I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Konsep pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial disebut sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan ini telah disepakati secara luas sejak diselenggarakannya United Nation Conference on the Human Environment di Stockholm tahun 1972 (WCED, 1987). Konsep pembangunan berkelanjutan telah diadopsi oleh setiap negara untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga tahap evaluasi. United Nation Environment Programme (1998) juga menyatakan agar kebijakan pembangunan dunia saat ini dan ke depan mengarah kepada pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana yang berazaskan konservasi tanpa menyebabkan kerusakan lingkungan (Alikodra, 2002). Paradigma pembangunan wilayah pesisir sejak tahun 1990 sampai sekarang berfokus pada pembangunan berkelanjutan. Karakteristik kunci dari pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan adalah pengelolaan lingkungan yang komprehensif, restorasi lingkungan dan partisipasi masyarakat. Sebagai sebuah ’way of thinking’ keberlanjutan tidak hanya menjadi bagian dari mainstream proses pengambilan keputusan namun harus menjadi realitas.
Prinsip pembangunan berkelanjutan
mempunyai empat efek utama dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Efek umum adalah pengaruh ’sustainability thinking’ terhadap keseluruhan konteks pengambilan keputusan dengan mengintegrasikan konsep keadilan, lingkungan dan ekonomi. Tiga dampak khusus terdapat pada dimensi ekonomi, pengelolaan sumberdaya lingkungan dan pembangunan sosial budaya (Kay dan Alder, 1999). Sumberdaya pesisir dan laut merupakan potensi besar yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pembangunan. Sumberdaya pesisir yang menjadi perhatian utama adalah perikanan, mangrove dan terumbu karang (Dahuri et al., 2001). Hutan mangrove adalah salah satu komponen ekosistem penting bagi kawasan pesisir.
Hutan mangrove merupakan
tipe hutan tropis yang khas
tumbuh di
sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh baik di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta
1
yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, pertumbuhan hutan mangrove tidak optimal (Kusmana, 2003). Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan
sesamanya di dalam suatu habitat
mangrove. Interaksi hutan mangrove dengan lingkungannya mampu menciptakan suatu kondisi yang sesuai bagi berlangsungnya proses biologi dari berbagai macam organisma akuatik, seperti pemijahan dan daerah asuhan. Di samping itu ekosistem mangrove juga merupakan salah satu sumberdaya alam pesisir dan laut yang multifungsi, yakni memiliki fungsi fisik, biologi dan sosial ekonomi.
Salah satu
alasan yang menjadikan ekosistem mangrove sangat terkait dengan perairan di sekitarnya adalah keunikan ekosistem mangrove yang merupakan batas yang menghubungkan antara ekosistem darat dan laut, sehingga dapat mempengaruhi proses kehidupan biota di wilayah tersebut (Kusmana, 2003). Ekosistem mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah species 89 jenis yang terdiri dari 35 species pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soemadihardjo et al., 1993 dalam Kusmana, 2003). Beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau (Rhizopora spp.), api-api (Avicennia spp.), pedada (Sonneratia spp.), tancang (Bruguiera spp.), nyirih (Xylocarpus spp.), tengar (Ceriops spp.) dan buta-buta (Excoceria spp.). Spesies pohon tersebut berasosiasi dengan ribuan spesies mamalia, burung, ikan dan invertebrata (IUCN, 1993). Di berbagai negara terutama negara berkembang, hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang potensial untuk memberikan sumbangsih yang berarti bagi kesejahteraan dan perekonomian bangsa. Di Indonesia hutan mangrove sudah sejak beberapa abad dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari. Saat ini sejalan dengan pesatnya pembangunan
di berbagai bidang, hutan mangrove
dimanfaatkan dalam skala komersial terutama dalam bentuk kayu sebagai bahan baku pulp, kertas dan arang. Pemanfaatan ekosistem mangrove terus meningkat pada dekade akhir kini, bukan saja dari segi pemanfaatan lahannya tetapi juga dari segi pemanfaatan tegakan
2
mangrovenya, baik secara tradisional maupun secara komersial. Tekanan terhadap ekosistem mangrove sangat besar dan terus meningkat, sehingga berimplikasi terhadap perubahan areal dan tata guna lahan. Kondisi hutan mangrove di Indonesia saat ini telah mengalami banyak kerusakan.
Kusmana (2003) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove
terjadi karena pengaruh faktor alam dan faktor manusia. Secara alamiah kerusakan mangrove terjadi karena adanya sedimentasi maupun kenaikan permukaan air laut. Sedangkan faktor manusia seperti eksploitasi mangrove yang tidak terkendali, konversi lahan untuk peruntukan lainnya serta pencemaran di perairan estuaria dan lokasi tumbuhnya mangrove. Di samping itu menurut Dahuri (2001) faktor-faktor yang dapat
mengancam kelestarian mangrove yaitu : tanah timbul dan
tenggelam;masalah sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, 27 % atau sekitar 4,293 juta ha berada di Indonesia (Kusmana, 1995). Namun demikian luas hutan mangrove terus menyusut, sesuai dengan hasil penafsiran potret udara dan survey lapangan, yang menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tahun 1982 sekitar 4.251.011 ha (Direktorat Bina Program, 1982). Hasil penafsiran Citra Landsat tahun 1991 (Liputan tahun 1986-1991), dengan luas areal liputan hutan 150 juta ha dan data referensi lainnya seperti peta RePProt, data SPOT dan potret udara yang dilakukan oleh INTAG, luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan 3.735.250 ha pada tahun 1993, artinya bahwa luas hutan mangrove di Indonesia telah mengalami degradasi sekitar 13 % atau sekitar 515.761 ha dalam kurun waktu 11 tahun. Penyebaran hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan Indonesia, sebagian besar terkonsentrasi di Papua dengan luasan sebesar 1,3 juta Ha dan sisanya di wilayah Indonesia lainnya (Kusmana, 2003). Sampai saat ini luas hutan mangrove di provinsi Maluku sebesar 165.775, 05 Ha (BAPEDALDA, 2004). Secara umum berdasarkan data Citra Landsat 7 ETM+
tahun 2001 di
Kabupaten Seram Bagian Barat, luas hutan mangrove 3.823,30 ha, daerah penyebarannya meliputi Kotania (Teluk Kotania), Kaibobu, Piru, Aryate (Teluk Piru), Rumahkay (Selat Seram), Buano dan Pulau Kelang. Tupan (2000) menyatakan bahwa sesuai data Citra Landsat-5 1993 luas hutan mangrove di Teluk Kotania sampai Pelita
3
Jaya adalah 1171,5 ha dan pada tahun 1997 luasannya berubah menjadi 1146,7 ha. Hal ini berarti bahwa dalam kurun waktu empat tahun terjadi pengurangan luas area hutan mangrove secara drastis, yaitu sekitar 6,2 ha/tahun. Selanjutnya Balai Pemetaan Hutan Ambon (2007) menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Teluk Kotania sampai tahun 2001 luasannya berubah menjadi 553,84 ha sesuai data Citra Landsat 7 ETM+. Berdasarkan data Citra Landsat 7 ETM+, kondisi hutan mangrove dengan penyusutan luas yang besar terjadi di Teluk Kotania, Teluk Piru dan Selat Seram. Berkurangnya area hutan mangrove disebabkan karena beberapa tahun terakhir pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir ini relatif tinggi. Di samping itu pola pemanfaatan hutan mangrove yang selama ini dilakukan masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat
berbasis pada kepentingan individu atau kelompok tertentu
seperti : penebangan hutan mangrove untuk bahan bangunan, kayu bakar, tiang pancang dalam pembudidayaan biota laut, kulit kayu untuk bahan penyamak jaring; konversi hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak, pertanian dan permukiman. Kondisi lingkungan akibat tingginya aktivitas manusia pada beberapa wilayah pesisir di Kabupaten Seram Bagian Barat telah menyebabkan komunitas mangrove pada beberapa areal mengalami tekanan yang relatif tinggi. Komunitas mangrove tidak dapat bertahan hidup dengan baik atau cenderung mengalami penurunan jumlah dan menuju kepunahan.
Permasalahan yang ditemukan adalah masih kurangnya
kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap peranan komunitas mangrove terhadap lingkungan sekitar, termasuk terhadap kehidupan manusia.
Penebangan hutan
mangrove secara semena-mena oleh sebagian masyarakat masih saja terjadi, terutama pada perairan pantai yang terletak dekat dengan daerah pemukiman. Hal ini mengakibatkan komunitas mangrove mengalami tekanan pertumbuhan sehingga berdampak pada ketidakstabilan keseimbangan ekosistem hutan mangrove, yang ditandai dengan terjadinya penurunan kerapatan vegetasi dan penyusutan luas lahan mangrove. Kondisi hutan mangrove ini mengalami kerusakan karena karena belum adanya Peraturan Daerah yang secara spesifik mengatur tentang kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove di kabupaten tersebut. Dalam
upaya
mengoptimalkan
pemanfaatan
hutan
mangrove,
maka
pengelolaan hutan mangrove perlu memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan
4
(sustainable development) yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Dahuri et al 2001, mengemukakan bahwa kriteria-kriteria pembangunan berkelanjutan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi yaitu ekologi, sosial ekonomi, sosial politik serta hukum dan kelembagaan. Namun dalam pembahasan ini, penulis menggunakan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial.
Menurut Susilo (2003), bukan pengelompokkan dimensi tersebut yang
penting, tetapi indikator atau kriteria pada setiap dimensi tersebut lebih penting, sehingga akan mencakup seluas mungkin indikator yang dapat digunakan untuk menilai status keberlanjutan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Susilo (2003) mengemukakan bahwa indikator-indikator pembangunan berkelanjutan dari setiap dimensi tersebut dapat dianalisis dan digunakan untuk menilai secara cepat (rapid appraisal) status keberlanjutan pembangunan sektor tertentu dengan menggunakan metode multi variabel non-parametrik yang disebut multidimensional scaling (MDS). Metode ini pernah digunakan untuk mengevaluasi pembangunan di bidang perikanan yang dikenal dengan nama RAPFISH (The Rapid Appraisal of the status of Fisheries) (Fauzi, 2002). Metode ini pernah juga digunakan untuk mengevaluasi pembangunan di bidang kehutanan, yang dikenal dengan nama RAP-INSUSFORMA (Rapid Appraisal of Index Sustainability for Forestry Management) (Maharyudi, 2006).
Metode multidimensional scaling yang akan
digunakan untuk menghitung indeks sustainabilitas pengelolaan ekosistem hutan mangrove akan disebut sebagai Rap-Mforest (Rapid Appraisal of
the status of
Mangrove Forest ). Hasil evaluasi keberlanjutan dari pengelolaan ekosistem hutan mangrove ini akan dipadukan dengan hasil analisis kondisi ekosistem (ekologi, ekonomi dan sosial) dan selanjutnya dilakukan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk merumuskan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan. Adapun penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir, memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) serta dapat mempertahankan kelestarian lingkungan.
5
I.2. Perumusan Masalah Secara geografis Kabupaten Seram Bagian Barat terletak pada dua wilayah yang secara fisik memiliki jarak yang relatif jauh. Kedua wilayah yang dimaksud yaitu: wilayah di Pulau Seram dan Kepulauan Lucipara. Kawasan pulau Seram batas koordinat wilayahnya mulai dari 127 o28’16,33” sampai 128o50’31,59” Bujur Timur dan 2o49’46,93” sampai 3o34’15,45” Lintang Selatan. Kepulauan Lucipara batas koordinat wilayahnya mulai dari 127 o27’7,64” sampai 127o48’27,69” Bujur Timur dan 5o20’17,65” sampai 5o35’25,65” Lintang Selatan. Wilayah ini terdiri dari 33 pulau termasuk Pulau Seram dan 32 pulau kecil lainnya di sekitar pulau Seram dengan luas total mencapai 5.067 Km2, sedangkan di wilayah Kepulauan Lucipara terdiri 9 pulau dengan luas total mencapai 3,206 Km2. Kawasan mangrove yang terdapat di Kabupaten Seram Bagian Barat masih memiliki ekosistem hutan mangrove yang relatif stabil, walaupun telah banyak yang mengalami degradasi cukup berat akibat pemanfaatan lahan yang tidak terencana dan terkendali. Wilayah pesisir Kabupaten Seram Bagian Barat di bagian daratan terdiri dari perkampungan penduduk, perkebunan dan pertanian, sedangkan pada bagian pantai dan laut ditemui adanya ekosistem hutan mangrove, ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang. Kondisi ini membutuhkan perhatian dari pihak-pihak terkait agar kelestarian dan kestabilan ekosistem tersebut dapat dipertahankan, mengingat banyak lokasi di Seram Bagian Barat yang memiliki ekosistem unik, yaitu dijumpainya ekosistem hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang pada satu lokasi yang berdekatan, dan memiliki keanekaragaman serta kekayaan biota laut yang tinggi. Kerusakan salah satu ekosistem dapat mempengaruhi ekosistem lainnya, oleh karena itu ekosistem mangrove berperan penting khususnya di wilayah pesisir dan laut. Di samping itu fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Pola pemanfaatan mangrove oleh masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat kurang memperhatikan aspek kelestarian.
Kondisi saat ini menunjukkan
ekosistem hutan mangrove sudah terancam rusak, karena berbagai aktivitas
6
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sehingga mengakibatkan tekanan pada ekosistem tersebut. Karena tekanan pertambahan penduduk terutama di daerah pesisir pantai, mengakibatkan adanya perubahan tataguna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, sehingga hutan mangrove dengan cepat akan menjadi rusak. Kerusakan dan pengurangan sumberdaya mangrove yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi perikanan serta mengurangi keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan. Berdasarkan survey awal di lapangan dan data hasil penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa Kabupaten Seram Bagian Barat masih memiliki kondisi perairan yang baik dan hutan mangrove yang relatif padat, oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian yang berbasis pada dimensi ekologi, ekonomi dan sosial melalui suatu perumusan kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang tepat. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Apa saja indikator-indikator ekosistem
hutan mangrove berkelanjutan di
Kabupaten Seram Bagian Barat. 2. Bagaimana kondisi ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat pada ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. 3. Seberapa besar nilai keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. 4. Bagaimana alternatif kebijakan yang tepat dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat. I.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menentukan indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan. 2. Menganalisis kondisi ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat pada ekosistem hutan mangrove. 3. Menganalisis nilai keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove. 4. Menentukan alternatif kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan.
7
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menentukan arah dan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove serta dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam hal : 1. Memberikan informasi dan referensi bagi stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan 2. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam menyusun strategi perencanaan
dan
rencana aksi pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Maluku I.5. Kerangka Pemikiran Dalam pengelolaan sumberdaya alam telah disepakati secara global bagaimana seharusnya dasar bagi
sumberdaya
alam dikelola agar berkelanjutan sebagai
peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi.
Pengelolaan sumberdaya alam perlu mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekologi, ekonomi dan sosial. masyarakat
Terdapat karakteristik dan dinamika
pantai serta berbagai aspek yang berlaku dalam masyarakat baik
ekonomi, ekologi, sosial dan pranata - pranata yang berlaku dalam masyarakat yang
p e r lu d ip e r t imb a n g k a n d a la m p e la k s a na a n p e mb a n g u n a n. Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam pesisir. Pengelolaan
mangrove yang berkelanjutan merupakan bagian dari pembangunan wilayah pesisir secara keseluruhan. Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang sangat rentan terhadap perubahan.
Perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir
akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Oleh karena itu kebutuhan yang seimbang harus dicapai diantara memenuhi kebutuhan sekarang untuk pembangunan ekonomi di satu pihak dan konservasi sistem pendukung di lain pihak. Tumbuhnya kesadaran akan fungsi perlindungan, produktif dan sosio-ekonomi dari ekosistem mangrove, dan akibat semakin berkurangnya sumberdaya tersebut, mendorong pentingnya konservasi dan kesinambungan pengelolaan terpadu antara sumberdaya dalam wilayah pesisir. Mengingat potensi multiguna dari sumberdaya alam ini, maka
8
pengelolaan hutan mangrove didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan dalam hubungan dengan perencanaan pengelo laan wilayah pesisir terpadu. Dalam
pengelolaaan
hutan
mangrove
yang
pengintegrasian antara kegiatan dalam dimensi ekologi,
berkelanjutan
perlu
ekonomi dan sosial
sebagaimana yang dikenal dalam konsep pembangunan berkelanjutan (Munasinghe, 2001).
Berdasarkan prinsip keberlanjutan, maka pengintegrasian ketiga dimensi
dalam pengelolaan hutan mangrove merupakan hal yang paling mendasar. Konsep pengelolaannya dapat dijabarkan sebagai berikut: •
Berdasarkan dimensi ekologi, pengelolaan hutan mangrove diperlukan untuk rehabilitasi dan konservasi serta pembatasan pemanfaatan berdasarkan kondisi daya dukungnya.
•
Dari dimensi ekonomi, pengelolaan hutan mangrove hendaknya ditekankan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan daerah kabupaten. Berbagai kegiatan usaha dapat dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar areal hutan mangrove. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat ini sangat penting, mengingat sebagian besar penduduk di wilayah pesisir Kabupaten Seram Bagian Barat tergolong miskin.
•
Dari dimensi sosial pengelolaan ditekankan pada peningkatan akses masyarakat terhadap sumberdaya mangrove secara merata bagi seluruh masyarakat. Pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan dari segi sosial sangat ditentukan oleh dua hal, yakni : sumberdaya manusia dan kelembagaan dalam masyarakat. SDM perlu dikembangkan kualitasnya melalui peningkatan pendidikan. Dalam penelitian ini dikumpulkan data-data menyangkut potensi ekosistem
hutan mangrove dari dimensi ekologi, ekonomi dan sosial yang akan dianalisis dengan bantuan beberapa software, selanjutnya akan dianalisis nilai indeks keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove untuk mengetahui status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove,
serta menentukan alternatif kebijakan pengelolaan
hutan mangrove berkelanjutan yang akan diterapkan pada obyek kajian. Adapun output yang dihasilkan dari seluruh rangkaian kegiatan tersebut adalah kebijakan pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan. Dengan adanya pilihan-pilihan kebijakan dari hasil penelitian ini, diharapkan pemerintah daerah dapat menentukan
9
suatu kebijakan pengelolaan hutan mangrove yang berdasarkan pada integrasi dimensi ekologi, ekonomi dan sosial.
Diagram kerangka penelitian dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.
EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
Manfaat ekologi
Ancaman kerusakan
Manfaat sosial
Manfaat ekonomi Pemanfaatan tinggi
Peranserta masyarakat rendah
Belum ada PERDA
Indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan
Kajian kondisi ekosistem
`
EKOLOGI
EKONOMI
SOSIAL
Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove
Penentuan Prioritas Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove
Feed back Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan
10
1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian Kebaruan (Novelty) dalam penelitian ini adalah dari segi problem solving, perumusan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat dilakukan melalui penentuan indikator-indikator ekosistem hutan mangrove, kajian terhadap kondisi dan potensi ekosistem hutan mangrove dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial dengan mempertimbangkan status nilai keberlanjutan dalam pengelolaan hutan mangrove berdasarkan ketiga aspek tersebut. Sedangkan dari hasil penelitian, perumusan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove merupakan hasil riset pertama di Kabupaten Seram Bagian Barat, sehingga diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah Kabupaten dalam menetapkan peraturan daerah tentang pengelolaan hutan mangrove di kabupaten tersebut. Kondisi ini hendaknya ditindaklanjuti oleh pemerintah dalam upaya menghindari terjadinya kerusakan mangrove dalam jumlah yang lebih besar.
11