I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan banyak negara berkembang sering harus dibayar dengan biaya mahal dalam bentuk berbagai kerusakan alam maupun lingkungan sosial. Karena itu, muncul konsep pembangunan ekonomi baru yang memasukkan lebih banyak dimensi untuk mengukur keberhasilan pembangunan dalam perspektif waktu panjang dengan mempertimbangkan kepentingan antar generasi yang dikenal dengan model pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan mulai menggema sejak tahun 1992, sebagai respon atas makin memburuknya lingkungan ekonomi dan sosial dunia yang disebabkan kurangnya perhatian banyak negara dalam membangun negaranya. Akibatnya, kerusakan lingkungan alam dan sosial membawa konsekuensi serius bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri (Deklarasi Rio 1992). Pembangunan
ekonomi
yang
diharapkan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, akhirnya dapat menjadi bumerang jika biayanya harus dibayar mahal oleh generasi mendatang, karena rusaknya lingkungan hidup dan sosial. Generasi mendatang, juga memiliki hak dan kewajiban yang sama
seperti
generasi
sekarang.
Mereka
juga
memiliki
hak
untuk
meningkatkan kesejahteraannya disemua aspek, mendapatkan lingkungan alam dan sosial yang sehat, yang dapat mendukung usaha mereka untuk meningkatkan
kesejahteraan
hidup
mereka.
Oleh
karena
itu,
dalam
membangun ekonomi suatu bangsa tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan jangka pendek saja, namun harus melihatnya dalam perspektif jangka
panjang.
Dengan
demikian
dalam
pembangunan,
konsep
pembangunan berkelanjutan mutlak dilakukan. Negara Indonesia, merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari 17.480 pulau (Adrianto 2005; DKP 2009). Lebih dari 10.000 buah dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang hanya sebagian kecil saja memiliki penduduk. Tetapi walaupun pulau-pulau itu terpencil dan tidak berpenghuni, kegiatan eksploitasi tetap saja berlangsung. Padahal sesungguhnya pulau-pulau ini memiliki nilai penting karena memiliki sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan maupun non
pangan. Sebagai sumber pangan, perairan sekitar pulau-pulau kecil (PPK) memiliki potensi sumberdaya ikan yang besar dan sangat potensial untuk media budi daya ikan di laut, atau untuk pemanfaatan budi daya rumput laut. Sebagai sumber non pangan, memiliki kekayaan ekosistem yang kaya seperti mangrove, padang lamun, terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya. Selanjutnya PPK juga dapat dikelola untuk media komunikasi, kawasan rekreasi atau pariwisata, kawasan konservasi dan pertahanan keamanan. Pengembangan kawasan PPK akan mendatangkan manfaat antara lain: (1) Secara ekonomi, potensi sumberdaya hayati dan non hayati begitu besar sehingga jika PPK berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan, maka akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru, (2) Secara sosial, pengembangan kawasan PPK akan meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang tinggal di
kawasan PPK serta dapat
mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah, (3) Secara geopolitik, pengembangan PPK terutama di kawasan perbatasan akan menjamin keamanan dan ketahanan wilayah Indonesia. Dengan berkembangnya wilayah perbatasan, akan mudah mendeteksi ancaman yang datangnya dari negara lain, dan (4) Secara ekologis, pengembangan PPK akan semakin meningkatkan pengawasan terhadap ancaman kerusakan ekosistem akibat faktor alam atau manusia (Dahuri 2008). Selain itu, pengembangan PPK merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuannya adalah untuk pendayagunaan sumberdaya PPK secara menyeluruh, terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka sumberdaya PPK harus diatur agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan hasil-hasilnya, dan kelestarian lingkungan. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dapat tercapai. Pengelolaan PPK di Indonesia selama ini dilakukan berdasarkan kebijakan yang umumnya berorientasi daratan (mainland). Sehingga kawasan PPK kurang mendapat perhatian dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Contoh kasus yang terjadi yaitu lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah NKRI, dan degradasi lingkungan yang terjadi di Pulau Nipah akibat penambangan pasir. Namun sejak tahun 1999 saat didirikan DKP, pengelolaan dan pemanfaatan PPK dilakukan di bawah pengawasan DKP, dan dibentuk
suatu bidang yang khusus menangani sumberdaya pesisir dan PPK (Ditjen P3K). Perhatian pemerintah akan keberadaan PPK dibuktikan pula dengan lahirnya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK. Salah satu wilayah PPK di Indonesia adalah Kabupaten Wakatobi, yang keseluruhan wilayahnya terdiri dari gugusan PPK dan sangat kecil. Kabupaten ini secara geografi terletak di bagian timur Pulau Buton dan merupakan wilayah terluar sebelah timur Provinsi Sulawesi Tenggara. Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan laut di sekitarnya memiliki luas 1.390.000 ha. Posisi Wakatobi sangat strategis yakni terletak pada Pusat Segitiga
Karang
Dunia
(Coral
Triangle
Center),
memiliki
jumlah
keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia yakni 750 jenis karang dari 850 spesies karang dunia, 900 jenis ikan, dengan 46 dive sites teridentifikasi (salah satunya Marimabok). Wakatobi memiliki 90.000 ha terumbu karang dan Atol Kaledupa (48 km) atol tunggal terpanjang di dunia (Operation Wallacea 2006). Keadaan inilah yang menjadi potensi pembangunan di wilayah Kepulauan Wakatobi kedepan,
sehingga strategi pembangunan perlu
diarahkan pada pemanfaatan sumberdaya, khususnya sumberdaya laut dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat Kepulauan Wakatobi. Kondisi di atas menjadikan Kepulauan Wakatobi sebagai suatu gugusan pulau sangat kecil yang terus tumbuh dan berkembang. Bahkan peningkatan pemanfaatannya terus mengalami kenaikan sejak tahun 2003. Sejak perubahan status menjadi kabupaten baru yakni Kabupaten Wakatobi, seiring dengan perubahan politik nasional yang menekankan otonomi dan desentralisasi kewenangan, maka Wakatobi dimekarkan sebagai daerah otonom baru dan memisahkan diri dari Kabupaten Buton melalui UU No. 29 tahun
2003
(tentang
Pembentukan
Kabupaten
Bombana,
Kabupaten
Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara). Sumberdaya alam yang dimiliki Kabupaten Wakatobi didominasi oleh sumberdaya laut, dan merupakan potensi yang menentukan masa depan Kabupaten Wakatobi. Potensi sumberdaya laut (SDL) merupakan aset yang penting dan menjadi andalan bagi pembangunan Kabupaten Wakatobi kedepan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga diperlukan pengelolaan
sumberdaya
alam
secara
berkelanjutan.
Kekayaan
SDL
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan fungsi ekologi penting untuk keseimbangan lingkungan. Dari aspek ekonomi, SDL termasuk ekosistem terumbu karang merupakan sumber penghasilan masyarakat dan devisa daerah. Dari aspek ekologi, terumbu karang merupakan ‘rumah’ ikan, tempat tumbuh dan berkembang-biaknya ikan-ikan karang dan biota lainnya.Terumbu karang juga berfungsi melindungi pantai dan PPK dari hantaman badai. Akan tetapi, bilamana pemerintah dan masyarakat Wakatobi tidak berhasil mengembangkannya sesuai prinsip-prinsip pengelolaan yang berwawasan lingkungan, maka akan terjadi kondisi yang dapat mengganggu pencapaian tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan pengelolaan spesifik yang merupakan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Pengelolaan PPK yang spesifik tersebut, agar tercapai pembangunan yang
berkelanjutan,
maka
mulai
dari
perencanaan
pembangunan,
pelaksanaan sampai evaluasi dan pengawasan, dibutuhkan partisipasi masyarakat secara aktif. Masyarakat dapat berperan aktif jika ada rasa memiliki dan tanggung jawab penuh yang disebabkan aspirasi mereka telah tercakup di dalam proses pembangunan (pengelolaan berbasis partisipasi masyarakat). Pengelolaan berbasis partisipasi masyarakat adalah pengelolaan yang menempatkan masyarakat sebagai pengelola sumberdaya alam dan jasa lingkungannya yang didukung oleh pemerintah dan dunia usaha.
1. 2 Perumusan Masalah Kabupaten Wakatobi
merupakan gugusan
PPK
bahkan
dapat
dikatakan gugusan pulau sangat kecil, berjumlah 48 buah. Luas daratan 457 km2, luas perairan 13.533 km2 dan keliling 327 km. Potensi sumberdaya laut Kabupaten Wakatobi memiliki peluang investasi yang cukup signifikan, hal ini mengingat 97% dari keseluruhan wilayah Kabupaten Wakatobi adalah perairan laut. Hasil produksi perikanan di Kabupaten Wakatobi, terdiri dari beberapa jenis khususnya untuk komoditi ekspor seperti ikan Demersal, Pelagis, ikan Sunu, Kerapu, Kakap, Baronang, Lobster, Cumi-cumi, Kepiting, Rumput laut, dan Kerang-kerangan. Hasil survey yang dilakukan oleh Tim Teknis Balai Taman Nasional Wakatobi dan TNC-WWF tahun 2006, menunjukkan bahwa terdapat 11 sumberdaya penting yang perlu dikelola secara arif dan bijaksana berdasarkan
prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup, yakni terumbu karang cincin (atoll reef), terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), gosong karang (patch reef), hutan mangrove, daerah pemijahan ikan (spawning grounds), padang lamun (seagrass), daerah upwelling, tempat bertelur burung pantai, daerah terlihatnya paus dan lumba-lumba (cetacean) dan pantai peneluran penyu. Sebagai daerah kepulauan yang didominasi wilayah laut, Kabupaten Wakatobi mempunyai potensi terbesar berupa hasil perikanan dan kelautan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budi daya. Hal ini menyebabkan 67% penduduk Wakatobi menggantungkan hidupnya pada SDL. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan sebesar 31%, budi daya rumput laut 22%, pariwisata bahari 14%, pertanian 23% dan lain-lain 10%. Meskipun demikian ada beberapa produk pertanian tanaman pangan dan perkebunan yang cukup potensial untuk dikembangkan (Hugua 2008). Struktur penyusun PDRB Kabupaten Wakatobi pada tahun 2007, dominan diperoleh dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan sebesar 37,39% (termasuk di dalamnya adalah sektor perikanan tangkap dan budi daya rumput laut), sektor jasa-jasa menempati urutan kedua sebesar 21,45%, serta yang berkaitan dengan pariwisata yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati urutan ketiga sebesar 14,59% (BPS 2008). Berdasarkan data-data diatas, mengindikasikan SDL Kabupaten Wakatobi memiliki peran besar dalam kegiatan perekonomian masyarakat, baik sebagai sumber mata pencaharian penduduk maupun sebagai sumber devisa daerah. Peranan SDL tersebut agar dapat memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat,
serta
tetap
dapat
menjalankan
fungsinya
sebagai
penyeimbang ekosistem global, diperlukan pengelolaan yang bijaksana. Pengelolaan SDL dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, masyarakat dan swasta. Walaupun perairan Wakatobi kaya akan potensi SDL khususnya terumbu karang, yang menjadi rumah bagi berbagai jenis binatang dan tumbuhan laut, kenyataannya mulai terdapat kerusakan. Kerusakan yang terjadi sebagai akibat penggunaan bom atau racun sianida. Menurut Sugiyanta (1996) diacu dalam Anonim (1997) ledakan bom di dalam air terjadi 2–4 kali dalam sehari, yang menyebabkan perairan menjadi keruh, banyak ikan mati, dan merusak terumbu karang sampai radius 3–4 meter.
Kekayaaan dan keunikan terumbu karang di Wakatobi telah mengalami kerusakan. Hal ini terindikasi dari hasil survei REA yang dilakukan di Kabupaten Wakatobi pada 33 stasiun pada tahun 2003 kondisi karang termasuk kategori baik. Namun pada tahun 2006, berdasarkan hasil studi CRITC LIPI pada 52 stasiun, kondisi karang mengalami penurunan menjadi kategori sedang (tutupan karang hanya mencapai 31%). Padahal sebagai kawasan taman nasional, kondisi karang di kawasan ini idealnya dalam kategori baik dan sangat baik (Hidayati 2007). Penurunan kualitas sumberdaya laut khususnya terumbu karang di kawasan Wakatobi mendapat tekanan yang cukup besar akibat pemanfaatan SDL yang dilakukan secara intensif dalam kurun waktu yang cukup lama, baik oleh masyarakat setempat maupun nelayan dari luar daerah (Hidayati et al. 2007). Penurunan kualitas SDL utamanya berasal dari eksploitasi terumbu karang yang dilakukan oleh nelayan menggunakan bahan dan alat yang merusak (penggunaan linggis dan cungkil batu), penambangan batu karang dan pasir, penangkapan hasil laut yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bom dan racun sianida, penebangan hutan mangrove dan pemanfaatan padang lamun untuk lokasi pemukiman (La Ola 2004; Duncan 2005; Hidayati et al. 2007). Pada wilayah Kepulauan Wakatobi terdapat gugusan pulau yang memiliki jumlah pulau terbanyak (24 pulau), yaitu Gugus Pulau Kaledupa (GPK). Pengelolaan SDL pada wilayah GPK menghadapi tantangan pembangunan yang kompleks mengingat sifat ekosistemnya yang kaya akan sumberdaya dan merupakan sumberdaya milik bersama (common pool resources). Pada sumberdaya milik bersama, sulit untuk membatasi pemanfaatannya atau biaya pembatasan begitu tinggi. Dengan demikian, setiap individu berupaya menjadi penumpang bebas yang memanfaatkan SDL tanpa bersedia berkontribusi terhadap pelestariannya. Selain itu, pengambilan suatu unit SDL akan mengurangi ketersediaan bagi pihak lain untuk memanfaatkannya, atau disebut sebagai karakter substractibility atau rivalry. Akibat karakter ini maka sumberdaya milik bersama rentan terhadap masalah eksploitasi berlebih (overeksploitation) atau kerusakan sumberdaya. Inilah yang dikatakan sebagai tragedi milik bersama (tragedy of the commons). Sesungguhnya tragedi bisa terjadi jika tidak ada pembatasan dan aturan terhadap pemanfaatan sumberdaya, atau sumberdaya bersifat akses terbuka
(open access). Kenyataan seperti ini pun telah terjadi di wilayah Gugus Pulau Kaledupa. Aktivitas masyarakat yang merusak sumberdaya laut yang terjadi di wilayah GPK disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk, tekanan penduduk dan sulitnya memperoleh bahan bangunan akibat letak GPK jauh dari lokasi penyedia bahan bangunan. Tingkat kesejahteraan penduduk diukur dari besarnya pendapatan per kapita. Dari data BPS (2008) diketahui bahwa pendapatan per kapita penduduk di Wakatobi pada tahun 2007 mencapai Rp 385.325,00 per bulan. Besarnya pendapatan per kapita ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan garis kemiskinan 1$ US per hari, tetapi lebih kecil bila dibandingkan dengan garis kemiskinan 2$ US per hari. Batasan garis kemiskinan yang saat ini digunakan oleh Bank Dunia adalah 2$ US per hari, sehingga pendapatan per kapita penduduk Wakatobi lebih rendah dibanding garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk di Kabupaten Wakatobi masih hidup di bawah garis kemiskinan. Selain kemiskinan, faktor lain penyebab kerusakan sumberdaya adalah akibat tekanan penduduk. Jika dilihat dari tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Wakatobi, maka wilayah terpadat berada di Kecamatan Kaledupa yaitu 234 jiwa/km2 dan Kecamatan Kaledupa Selatan menempati urutan ketiga yaitu sebanyak 133 jiwa/km2 (BPS 2008), dimana kedua kecamatan tersebut terletak di wilayah Gugus Pulau Kaledupa. Akibat kemiskinan dan tekanan jumlah penduduk, menyebabkan terjadi peningkatan pemanfanfaatan sumberdaya laut guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Tekanan dan pengrusakan terhadap sumberdaya yang terjadi di wilayah GPK diperparah dengan kurang berfungsinya institusi (lembaga) yang mengatur dan mengawasi pemanfaatan sumberdaya di wilayah ini. Sehingga para pelaku destruktif dalam pemanfaatan sumberdaya tidak mendapat sanksi dari kegiatan yang dilakukannya, dengan demikian aktivitas pengrusakan terus saja berlangsung. Selain aktivitas masyarakat yang memberikan tekanan terhadap keberadaan SDL di wilayah GPK, persoalan lain yang terjadi yaitu ada dualisme kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah GPK. Adanya pertentangan kewenangan antara pemerintah pusat yang diwakili oleh Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi (TNLKW) yang ditunjuk
sebagai taman nasional pada tanggal 30 Juli 1996, dan keberadaan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi melalui UU No. 29 Tahun 2003, menyebabkan
terjadi
tumpang
tindih
wewenang
dalam
pengelolaan
sumberdaya. Orientasi yang berbeda dari dua institusi yang berwenang di wilayah ini menjadi polemik. Disatu sisi sebagai Taman Nasional Laut, wilayah Wakatobi melalui Balai TNLKW berorientasi pada konservasi lingkungan dan menjaga kelestarian sumberdaya laut. Sementara sebagai kabupaten, melalui pemerintah daerah berusaha untuk meningkatkan sumbangan pendapatan asli daerah
(PAD)
dengan
memanfaatkan
sumberdaya
yang
ada
guna
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Belum lagi posisi TNLKW sampai saat ini masih berada di bawah Departemen Kehutanan, sementara idealnya sebagai taman nasional laut semestinya berada di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan. Berbagai persoalan yang terjadi di wilayah GPK dalam pemanfaatan SDL yang merupakan Common Pool Resources telah menghadirkan konflik antar kepentingan, baik ekonomi maupun politik dan cenderung merugikan kepentingan umum. Kerugian yang terjadi akibat kegagalan pengelolaan sumberdaya dapat berupa kerusakan lingkungan maupun hilangnya mata pencaharian masyarakat setempat, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari berbagai persoalan yang terjadi dalam pengelolaan SDL di wilayah GPK,
seperti
kurang
efektifnya
peran
pemerintah,
kurangnya
peran
kelembagaan, membuat peran serta masyarakat mutlak diperlukan. Sebab masyarakat sebagai pemanfaat sumberdaya, merupakan komunitas yang berada dekat dengan sumberdaya dan secara langsung akan menerima manfaat sumberdaya serta akibat dari kerusakan sumberdaya, sehingga diperlukan peran serta mereka dalam mengelola sumberdaya. Peran masyarakat
diharapkan
berupa
partisipasi
positif
dalam
mengelola
sumberdaya sehingga dapat memaksimumkan keuntungan dan meminimalkan kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas pemanfaatan. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat meningkat dan kelestarian lingkungan tetap terjaga, atau dengan kata lain kualitas dan kuantitas sumberdaya dapat dipertahankan sehingga
tetap
berkesinambungan.
dapat
menopang
kehidupan
masyarakat
secara
Dalam
upaya
menangani
permasalahan
di
wilayah
ini
perlu
dikembangkan pendekatan yang mengintegrasikan pengaturan pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh sumberdaya yang ada di dalamnya agar berbagai permasalahan yang ada dapat diselesaikan sejak dari sumbernya. Pengelolaan SDL di wilayah GPK dimaksudkan
untuk
mewujudkan
pembangunan
berkelanjutan
melalui
pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip keterpaduan, pendekatan bottom-up, kerjasama antar daerah, penegakan hukum, dan konsistensi dalam memanfaatkan sumberdaya. Walaupun
telah
menjadi
common
interests,
proses
pelibatan
masyarakat sebagai subyek utama dalam pengelolaan sumberdaya GPK masih belum menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar kepentingan yang sulit dicarikan solusinya, meningkatkan transaction cost, dan cenderung merugikan kepentingan publik. Hal lainnya adalah menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar berbagai kepentingan seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil, efektif, dan seimbang. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya setempat (local unique). Berdasarkan uraian diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan penelitian yang diformulasikan sebagai berikut: 1) Bagaimana pengelolaan sumberdaya PPK yang selama ini dilakukan di wilayah GPK, apakah sudah mendukung pembangunan berkelanjutan? 2) Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PPK di wilayah GPK? 3) Bagaimanakah
bentuk
pengelolaan
sumberdaya
laut
GPK
yang
berkelanjutan dan berbasis partisipasi masyarakat?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1) Menganalisis kondisi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya PPK yang selama ini dilakukan di wilayah GPK.
2) Menganalisis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya PPK di wilayah GPK. 3) Memformulasikan bentuk pengelolaan sumberdaya laut GPK yang berkelanjutan dan berbasis partisipasi masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi: 1) Penentu kebijakan, sebagai informasi mengenai status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di daerahnya, sehingga dapat dijadikan dasar dalam menyusun kebijakan selanjutnya dalam pengelolaan PPK. 2) Masyarakat dalam mengelola sumberdaya PPK yang berkelanjutan sehingga dapat berpartisipasi secara positif dalam pengelolaan PPK. 3) Peneliti selanjutnya, sebagai bahan informasi mengenai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya PPK dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah GPK pada 4 (empat) pulau terbesar yaitu pada Pulau Kaledupa, Pulau Hoga, Pulau Lentea dan Pulau Darawa. Pada masing-masing pulau, akan diteliti aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pada kegiatan perikanan tangkap, kegiatan budi daya rumput laut, dan kegiatan wisata bahari. Aktivitas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya PPK tersebut, masing-masing diukur status keberlanjutannya. Pada penelitian ini juga diteliti partisipasi masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya GPK,
sehubungan
dengan
aktivitasnya
sebagai
nelayan
tangkap,
pembudidaya rumput laut dan pengelola wisata. Partisipasi diukur mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, perolehan manfaat sampai pada evaluasi dan pengawasan. Partisipasi yang diukur berdasarkan bentuk dan tingkat partisipasinya. Kemudian
dianalisis
hubungan
antara
status
keberlanjutan
pengelolaan sumberdaya pada GPK yang diwakili oleh 4 (empat) pulau dengan partisipasi masyarakat pada 4 (empat) pulau tersebut. Dari hasil analisis, akan diketahui bentuk pemanfaatan mana yang pengelolaannya
berkelanjutan, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Selanjutnya akan dianalisis alternatif (skenario) berdasarkan 3 (tiga) kriteria yaitu kriteria ekonomi (sumbangan PAD dan pendapatan masyarakat), kriteria sosial budaya (penyerapan tenaga kerja dan partisipasi), serta kriteria kelembagaan (lembaga lokal dan aturan). Dari hasil analisis, akan ditemukan skenario (alternatif) terbaik yang akan direkomendasikan sebagai bentuk pengelolaan GPK yang berkelanjutan dan
berbasis
partisipasi
masyarakat.
Selengkapnya
ruang
lingkup
penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gugus Pulau Kaledupa
Nelayan Tangkap
Pulau Hoga
Pulau Lentea
Pembudidaya Rumput Laut
Pulau Darawa
Pengelola Wisata
Keberlanjutan Partisipasi Analisis Kebijakan
Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Laut Gugus Pulau Kaledupa Berbasis Partisipasi Masyarakat
Gambar 1 Ruang lingkup wilayah penelitian.
Sustainability feedback
Pulau Kaledupa