I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah banyak menyebabkan kerusakan lingkungan. Salah satunya adalah kritisnya sejumlah daerah aliran sungai (DAS) yang semakin tahun semakin meningkat. Pada tahun 1984 jumlah DAS kritis 22 buah, meningkat menjadi 36 buah pada tahun 1992, dan 62 buah pada tahun 2005 (Ditjen Sumber Daya Air, Departemen PU, 2006). Dengan meningkatnya DAS kritis, keseimbangan siklus hidrologi menjadi terganggu, sehingga berkontribusi pada terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sub DAS Keduang, di daerah hulu DAS Bengawan Solo merupakan salah satu DAS kritis yang mengalami degradasi hutan dan lahan cukup serius. Hal ini ditandai dengan tingginya pasokan laju erosi tanah yang menyebabkan pendangkalan (sedimentasi) pada Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri. Aliran erosi dari 9 Sub DAS di sekitarnya yang terangkut menjadi sedimen di waduk mencapai 7.294 m3/ tahun, dimana Sub DAS Keduang merupakan pemasok terbesar mencapai 2.519 m3/ tahun (JICA, 2006). Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi erosi tanah dan sedimentasi di waduk Gajah Mungkur adalah dengan cara pengerukan sedimen secara periodik di depan intake (pintu air) waduk dan pembuatan penampung sedimen dengan flushing gate.
Menurut Direktur Perum Jasa Tirta Bengawan Solo Sutioso
Budiharto dalam Tempo interaktif 23 Agustus 2007, sedimen yang masuk ke dalam waduk sekitar 5 juta ton kubik per tahun, sementara pengerukan hanya bisa mengurangi 0,10 persen. Cara ini selain memerlukan biaya yang relatif tinggi mencapai Rp. 20.000,-/ m3, juga tidak efektif karena laju erosi dan penumpukan sedimetasi akan terjadi terus menerus selama hutan dan lahan di daerah hulu DAS tidak direhabilitasi. Pengerukan sedimen sebenarnya hanya langkah temporer agar air waduk tetap bisa mengalir, namun yang terpenting adalah upaya perbaikan DAS di daerah hulu.
2
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2005) dalam studi valuasi ekonomi kerusakan DAS di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa Barat menunjukkan bahwa kerusakan selama tiga tahun di daerah hilir sama dengan biaya rehabilitasi daerah hulu. Dengan kenyataan ini akan lebih ekonomis jika dilakukan rehabilitasi daerah hulu secara tuntas daripada melakukan pengerukan sedimen dan menderita segala dampak banjir di daerah hilir setiap tahun. Program rehabilitasi hutan dan lahan di wilayah DAS bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 2003 pemerintah telah melaksanakan program rehabilitasi hutan dan lahan melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Secara konsepsual program tersebut merupakan upaya strategis yang langsung menyentuh masyarakat (Departemen Kehutanan, 2007), namun di dalam pelaksanaannya program tersebut di beberapa daerah banyak mengalami kegagalan. Sejak tahun 2003 di Kalimantan Selatan sudah 29.000 hektar lahan kritis ditanami pohon proyek GNRHL, namun kurang lebih 11.600 hektar diantaranya (40 %) mati (Partono, 2006). Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat, menurut anggota Dewan Pakar Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Supardiono Sobirin dalam Word Press. com
tanggal 23 April 2008,
sedikitnya 19 juta pohon atau 59 % dari 32 juta pohon yang ditanam melalui GNRHL sepanjang tahun 2003 mati. Kematian itu mengakibatkan sedikitnya 19.000 hektar lahan dari 32.000 hektar lahan yang ditanami GNRHL tetap menjadi lahan kritis. Menurut Kepala Divisi Advokasi Kebijakan Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tengah dalam siaran Pers tanggal 25 Desember 2004, menyatakan bahwa kendala yang menyebabkan kegagalan proyek GNRHL di beberapa daerah di Indonesia antara lain disebabkan oleh perencanaan yang tidak matang, pelaksanaan program tidak memperhatikan waktu penanaman dan tingkat penerimaan masyarakat atas program GNRHL ini sangat menentukan. Kegagalankegagalan tersebut merupakan bagian dari karakteristik kebijakan pemerintah bersifat top down yang kurang memperhatikan aspirasi masyarakat.
Pada
umumnya spesies yang digunakan dalam kegiatan GNRHL dipilih oleh instansi pemerintah dan jarang dilakukan konsultasi dengan masyarakat setempat (Nawir et al. 2008). Kondisi tersebut tidak dapat menimbulkan rasa memiliki (sence of
3
bellonging), menyebabkan apatisme dan tidak dapat meningkatkan kemampuan serta kesadaran masyarakat untuk mendukung pelaksanaan program yang diterapkan. Sejalan dengan pelaksanaan program GNRHL yang dianggap gagal tersebut, pada tanggal 28 April 2005 pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA) sebagai komplementer GNRHL untuk mengatasi DAS kritis yang semakin meningkat. Salah satu program jangka pendek GNKPA adalah rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang melalui konservasi vegetatif dan sipil teknis. Konservasi vegetatif dilakukan dengan cara penanaman tanaman keras yang bernilai ekonomi tinggi (rambutan, pete, sengon, mahoni, mangga, dll.) di lahan masyarakat, sedangkan konservasi sipil teknis berupa pembuatan rorak, terasering, sumur resapan, chek dam dan pengamanan tebing. Program tersebut merupakan program terpadu
antar
departemen
menggunakan
pendekatan
partisipatif dengan
melibatkan masyarakat dan lembaga sosial yang ada pada setiap tahapan, mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan, sampai dengan tahap evaluasi. Adanya pendekatan partisipatif diharapkan masyarakat dapat berperan aktif, sehingga implementasi program GN-KPA dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang dapat berhasil dengan baik. Masyarakat di sekitar Sub DAS Keduang seperti halnya masyarakat lain yang tinggal di sekitar hulu DAS pada umumnya memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas. Hal ini tercermin pada (a) buruknya infrastruktur rumah; (b) rendahnya tingkat pendidikan (74 % tidak tamat Sekolah Dasar) dan sempitnya kepemilikan lahan yang rata-rata hanya 0,3 ha. (Persepsi, 2006). Dengan keterbatasan kondisi sosial ekonomi tersebut maka kemampuan masyarakat dalam keterlibatan program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air juga terbatas, sehingga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi. Keberhasilan program partisipatif sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat. Mitchell dan Setiawan (2000) mengatakan bahwa adanya partisipasi masyarakat yang tinggal di wilayah yang terkena kebijakan, program, atau proyek, dimungkinkan untuk : (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah,
4
(3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan dalam penerapan. Oleh karena itu, dalam konteks partisipasi masyarakat, maka program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang perlu dikaji dan dikembangkan implementasinya. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dimuka, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : (1)
Sampai seberapa jauh tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
(2)
Faktor-faktor
apakah
yang
mempengaruhi
tingkat
partisipasi
masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang. (3)
Bagaimanakah kebijakan yang tepat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
1.3. Tujuan Penelitian (1)
Mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
(2)
Mengkaji hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
(3)
Menyusun alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
1.4. Kegunaan Penelitian (1)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan disiplin ilmu Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan,
5
khususnya pada masalah partisipasi masyarakat dalam tindakan konservasi sumberdaya alam. (2)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pembuat Keputusan (decision makers) GN-KPA untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
(3)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengimplementasian programprogram pembangunan yang bersifat partisipatif.
1.5. Kerangka Pemikiran Program rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang disamping memerlukan penanganan serius dari para pembuat kebijakan, juga memerlukan partisipasi masyarakat yang tinggi. Tingkat partisipasi dalam setiap masyarakat tidak sama, tergantung sejauhmana keterlibatan mereka dalam pemecahan masalah yang dihadapi (Daniel et al., 2006). Masyarakat di Sub DAS Keduang adalah salah satu masyarakat yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang terbatas. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan mereka dalam keterlibatan kegiatan. Menurut Muis (2007), status sosial ekonomi (pekerjaan, pendidikan, pendapatan) berkaitan erat dengan tahapan partisipasi. Lapisan masyarakat yang berstatus sosial lebih tinggi biasanya lebih banyak terlibat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, kelas sosial menengah lebih banyak terlibat dalam proses pelaksanaan, sedangkan kelas sosial yang lebih rendah lebih banyak dalam proses pemanfaatan. Meskipun anggota masyarakat sudah mempunyai pengaruh, namun pengaruh tersebut tidak diperhitungkan karena kemampuan dan kedudukannya yang relatif lemah, sehingga kebijakankebijakan tertentu masih sering ditentukankan oleh para pembuat keputusan saja. Arenstein (1969) membagi tingkat partisipasi masyarakat ke dalam 8 (delapan) tingkatan partisipasi, yaitu: manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegated power, dan citizen control. Selanjutnya delapan tingkatan partisipasi tersebut dikelompokan ke dalam tiga tingkatan pembagian kekuasaan, yaitu : (1) non participation (Tingkatan
6
partisipasi rendah), (2) tokenism (Tingkatan partisipasi sedang) dan (3) Citizen power (Tingkatan partisipasi tinggi).
Pada tingkatan non participation,
masyarakat tidak mempunyai peran dalam proses kegiatan. Masyarakat hanya dijadikan sebagai simbol dan alat publikasi untuk kepentingan pihak pembuat kebijakan. Pada tingkatan tokenism, masyarakat sudah mulai terlibat, namun hanya sebatas menerima dan melaksanakan kegiatan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Sedangkan pada tingkatan citizen control, masyarakat sudah berperan aktif dan mempunyai kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan pada aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Partisipasi dalam arti yang sesungguhnya memerlukan kesadaran akan minat dan kepentingan yang sama untuk menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapinya. Kesadaran dituntut tidak hanya ketelibatan dalam aspek kognitif dan praktis, tetapi juga diperlukan keterlibatan emosional (Adi, 2003). Aspek kognitif dan praktis berkaitan dengan faktor pengetahuan, kemampuan dan kesempatan, sedangkan keterlibatan emosional menyangkut faktor kemauan dari anggota masyarakat untuk ikut serta dalam suatu proses kegiatan. Menurut Trison (2005) tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan ciri-ciri atau karakter individu dari anggota masyarakat itu sendiri yang meliputi antara lain : umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, pendapatan dan persepsi. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang ada di luar karakteristik individu anggota masyarakat yang meliputi antara lain : intensitas sosialisasi program (penyuluhan), ketersediaan sarana dan prasarana rehabilitasi, peran kelembagaan sosial serta peran pendamping. Penelitian yang dilakukan oleh Gerung (2004), Matrizal (2005) dan Muis (2007) tentang partisipasi masyarakat juga menunjukan bahwa faktor internal dan eksternal tersebut memiliki hubungan yang significan dengan tingkat partisipasi masyarakat. Faktor internal yang berkaitan dengan tingkat partisipasi masyarakat dapat berupa sumbangan tenaga, pemikiran, penyediaan lahan, perilaku dan kesepakatan-kesepakatan anggota masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan. Sedangkan faktor eksternal merupakan dukungan pemerintah yang berupa sosialisasi program dan penyuluhan, penyediaan sarana dan prasarana rehabilitasi
7
(dana, bibit dan pupuk), fasilitasi pembentukan lembaga serta pendampingan. Kedua faktor tersebut dapat berinteraksi menjadi suatu bentuk kegiatan yang bersifat partisipasi. Berdasarkan uraian tersebut, maka teori Arenstein (1969) dan hasil-hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya dijadikan sebagai landasan kerangka pikir untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dan menentukan alternatif kebijakan peningkatan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang, daerah hulu DAS Bengawan Solo. Secara skematis kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. 1.6. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan kerangka pikir yang telah dirumuskan dimuka, disusun hipotesis sebagai berikut : (1)
Tingkat partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air di Sub DAS Keduang masih tergolong pada tingkatan sedang (Tokenism).
(2) H1 :
Ada hubungan nyata antara faktor-faktor internal dan eksternal dengan
tingkat
partisipasi
masyarakat
dalam
kegiatan
rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang. Ho :
Tidak ada hubungan nyata antara faktor-faktor internal dan eksternal dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air di Sub DAS Keduang.
Faktor internal: Umur Tingkat Pendidikan Luas lahan Pendapatan Persepsi
Teori Arenstein (1969)
Kerusakan hutan dan lahan menyebabkan DAS kritis : erosi tanah, sedimentasi, pencemaran air, banjir dan kekeringan
Implementasi program GN-KPA : Rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumber daya air
Partisipasi masyarakat : Perencanaan Pelaksanaan Evaluasi
Teori Arenstein (1969)
Uji corelasi
Tingkatan partisipasi a. Nonparticipation b. tokenism c. citizen power (Arenstein, 1969)
Uji corelasi
AHP
Alternatif prioritas kebijakan
Peningkatan partisipasi masyarakat
AHP
Faktor eksternal : Intensitas sosialisasi program / penyuluhan Ketersediaan sarana rehabilitasi Peran lembaga sosial Peran pendamping
8
Gambar 1 Kerangka pemikiran peningkatan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan, lahan dan konservasi sumberdaya air
9