I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Keluarga adalah institusi pendidikan primer, sebelum seorang anak
mendapatkan pendidikan di lembaga lain. Pada institusi primer inilah seorang anak mengalami pengasuhan. Keberhasilan seorang anak dalam hubungan sosialnya tergantung dari pola pengasuhan yang diterapkan orangtua dalam keluarga. Pada umumnya pengasuhan diwujudkan dalam bentuk merawat, memelihara, mengajar, dan membimbing anak. Pola asuh anak antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya berbeda-beda. Sa’diyyah (1998) mengemukakan bahwa pola pengasuhan anak dalam sebuah keluarga dipengaruhi oleh umur Kepala Keluarga (KK) dan istri, usia saat menikah, status pekerjaan istri, jenis pekerjaan utama, besarnya keluarga, pendapatan keluarga, usia anak, jenis kelamin anak dan nomor urut anak dalam keluarga. Hasil penelitian Siregar (2003) pada keluarga migran di salah satu kelurahan di Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor menunjukkan bahwa interaksi keluarga dengan masyarakat setempat akan mempengaruhi pola sosialisasi anak dalam hal penggunaan bahasa. Gunarsa dan Gunarsa (1991) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan orangtua akan berpengaruh terhadap cara, pola dan kerangka berfikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian orangtua tersebut yang secara langsung atau tidak akan mempengaruhi pola komunikasi antara orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Seorang anak di sebuah keluarga akan diasuh menurut nilai budaya dan agama yang diyakini oleh kedua orangtuanya. Proses sosialisasi nilai budaya dan agama tersebut dapat dilakukan melalui komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal antara orangtua dan anak. Pikunas (1976) seperti yang dikutip oleh Hastuti (2008) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses belajar untuk mengenali nilai-nilai dan ekspetansi kelompok, dan meningkatkan kemampuan untuk mengikutinya (conform). Penelitian Hernawati (2002) juga mengungkapkan bahwa persepsi dan harapan orangtua tentang perkembangan anak berbeda secara nyata menurut budaya. Pada etnis Jawa di Indonesia yang menganut budaya kolektivistik,
seorang anak dalam keluarga Jawa yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke bawah dibutuhkan kontribusinya dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga. Pada keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, anak dipandang sebagai simbol martabat sebuah keluarga. Keduanya menganggap anak menentukan masa depan keluarga. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang menganut budaya individualistik, dimana seorang anak tidak dianggap sebagai masa depan kedua orangtuanya. Pola asuh anak dalam sebuah keluarga juga berkaitan erat dengan pola komunikasi dan relasi gender di dalamnya. Pada keluarga-keluarga yang tanggung jawab ekonominya sepenuhnya dilakukan oleh ayah (suami) maka peran ibu dalam mengasuh anak-anak sangatlah dominan. Pada kasus semacam ini, ibu berperan penuh dalam sektor domestik dan ayah hanya mengurusi sektor produktif yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan materi keluarga tersebut. Pola pengasuhan yang diterapkan akan berbeda jika dalam sebuah keluarga ibu juga ikut mengurusi sektor produktif dan sektor domestik sekaligus atau yang disebut mengalami peran ganda. Lingkungan tempat tinggal juga dapat mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orangtua pada anak-anaknya. Situasi lingkungan tempat tinggal yang kondusif akan mendorong orangtua untuk memberikan pengasuhan yang baik bagi anak. Sebaliknya, lingkungan yang tidak kondusif cenderung akan mengakibatkan orangtua tidak terlalu memperhatikan aspek-aspek penting dalam pengasuhan. Pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan anak mencakup faktor-faktor resiko dan faktor-faktor yang melindungi (protective and risk factors). Faktor resiko merupakan variabel-variabel yang berhubungan secara signifikan terhadap kegagalan pertumbuhan seorang anak, sedangkan faktor yang melindungi adalah kondisi yang berhubungan positif terhadap keberhasilan perkembangan anak meskipun terjadi peningkatan faktor resiko yang harus dihadapi (Alfiasari, 2008, p.5) Cole (1993) dalam Brooks (1997) seperti yang dikutip oleh Alfiasari (2008) mengidentifikasi faktor resiko yang secara umum menyebabkan kegagalan perkembangan seorang anak, yang mana dalam jangka pendek akan menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan, kegagalan pertumbuhan, kegagalan perkembangan
kognitif, dan juga kegagalan perkembangan sosial pada anak. Faktor resiko yang dimaksud antara lain (1) faktor ekologi yang mencakup lingkungan pertetanggan yang tidak nyaman dan aman, ketidakadilan yang muncul akibat perbedaan ras/suku/etnik, komunitas yang sebagian besar anggotanya adalah pengangguran, dan kemiskinan yang ekstrim yang terjadi dalam komunitas; (2) keadaan keluarga yang mencakup rendahnya kelas sosial, konflik keluarga, gangguan mental yang ada dalam keluarga, jumlah anggota keluarga yang besar, rendahnya emotional bonding antara anak dan orangtua, perpecahan keluarga, dan adanya penyimpangan dalam komunikasi di dalam keluarga. Merujuk pada konsep tersebut, lingkungan pemukimam kumuh (slum area) termasuk salah satu lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif bagi pembentukan karakter anak. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi sosial demografis di kawasan kumuh seperti kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya. Tumbuhnya kawasan kumuh terjadi karena tidak terbendungnya arus urbanisasi. Perkotaan selalu menjadi tempat yang menarik bagi banyak orang. Daerah perkotaan, khususnya kota besar dan kota yang sedang berkembang, memiliki faktor penarik bagi kaum pendatang dari luar kota. Anggapan bahwa di perkotaan tersedia banyak lapangan pekerjaan, berbagai fasilitas pendidikan dan rekreasi serta tingkat budaya yang lebih tinggi menyebabkan banyak orang tertarik untuk bermigrasi ke kota. Kawasan pemukiman kumuh sudah banyak ditemui di kotakota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Bogor. Saat ini, di luar Pulau Jawa juga semakin banyak ditemui kawasan pemukiman kumuh khususnya di kota yang sedang berkembang. Kota Dumai, Provinsi Riau termasuk salah satu contohnya. Salioso (2003) menyatakan bahwa Kota Dumai dirancang untuk menjadi “Pusat Pelayanan Industri dan Jasa di Pantai Timur Sumatera pada tahun 2020”. Peluang ini tentunya tidak disia-siakan oleh para pencari kerja yang kemudian mencoba peruntungannya dengan melakukan migrasi ke Kota Dumai. Data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2007 menunjukkan bahwa penduduk Kota Dumai berjumlah 231.121 jiwa.
Meningkatnya jumlah pendatang ke Kota Dumai dapat membawa dampak pada munculnya kawasan pemukiman kumuh (slum area). Data dari Bappeda Kota Dumai pada tahun 2000 menunjukkan bahwa dari 32 kelurahan yang ada di Kota Dumai, kawasan kumuh terdapat di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Dumai Barat (Kelurahan Pangkalan Sesai dan Kelurahan Rimba Sekampung) dan Dumai Timur (Keluarahan Teluk Binjai dan Kelurahan Sukajadi). Penduduk yang bermukim di kawasan tersebut rata-rata bekerja di sektor informal. Tata letak bangunan di kawasan tersebut tidak teratur, kepadatan penduduk sedang hingga tinggi, kerapatan bangunan sedang hingga tinggi, fasilitas dan sarana umum kurang memadai, dan rawan bencana terutama banjir, kebakaran dan penyakit. Kawasan pemukiman kumuh tersebut hingga saat ini masih ditemui di Kota Dumai. Atas dasar itulah, maka diteliti pola asuh anak dalam keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak yang tinggal di Kelurahan Sukajadi. Kelurahan ini berbatasan langsung dengan daerah bantaran sungai Dumai. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi orangtua terhadap nilai anak dalam keluarga etnis Jawa, Minang dan Batak yang tinggal di kawasan tersebut. Relasi gender dalam pengasuhan anak di keluarga tersebut juga dikaji untuk melihat peran masing-masing pihak dalam pengasuhan dan kaitannya dengan pembentukan karakter anak.
1.2
Masalah Penelitian Penduduk Kelurahan Sukajadi terdiri dari bermacam-macam etnis dan
latar belakang budaya seperti Minang, Jawa, Batak dan Melayu. Pola hidup penduduk yang beragam etnis tersebut biasanya sudah diadaptasi dengan kebudayaan setempat sehingga nilai-nilai budaya asal mungkin tidak lagi kental. Suami dan istri dalam biasanya akan sama-sama bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Tentu dapat ditemukan adanya pembagian kerja yang sedemikian rupa antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga tersebut, termasuk dalam hal pengasuhan anak. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Apakah terdapat perbedaan persepsi orangtua terhadap nilai anak dalam keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan penerapan pola asuh anak dalam keluarga keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak? 3. Bagaimana relasi gender dalam keluarga dalam kaitannya dengan pola asuh anak pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk : 1. Menjelaskan persepsi orangtua terhadap nilai anak pada keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak. 2. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan pola asuh anak dalam keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak. 3. Menganalisis relasi gender dalam keluarga etnis Minang, Jawa dan Batak dan hubungannya dengan pola asuh anak.
1.4
Kegunaan Penelitian Secara akademis, penelitian ini dapat memperkaya pemahaman tentang
konsep pengasuhan anak dalam keluarga. Melalui penelitian ini dapat diperoleh informasi mengenai keberagaman pola asuh anak dari latar belakang budaya orangtua yang beragam. Temuan penelitian ini dapat digunakan oleh pemerintah setempat untuk mengembangkan pendekatan kualitas anak dan relasi gender yang harmonis dalam keluarga.