1
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian Kehutanan 2010). Keberadaan hutan Indonesia sangat penting karena fungsinya sebagai paru-paru dunia. Informasi sumberdaya hutan yang lengkap, tepat waktu dan handal diperlukan untuk pengelolaan kawasan hutan yang sangat luas. Salah satu cara untuk mendapatkan informasi dari sumberdaya hutan adalah dengan melakukan inventarisasi hutan. Inventarisasi hutan cara konvensional (terrestris) memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang besar. Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan teknologi inventarisasi hutan yang mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang relatif murah (Jaya 2009). Selain pertimbangan kondisi alamnya, Indonesia sebagai negara tropis memiliki tutupan awan yang luas serta sering mengalami gangguan asap, maka dibutuhkan teknologi penginderaan jauh Radio Detection And Ranging (Radar) yang menggunakan gelombang microwave yang mampu menembus awan, asap dan dapat dipergunakan dalam berbagai kondisi cuaca. Selama dua dekade terakhir, beberapa satelit dengan menggunakan sensor Radar telah diluncurkan, seperti
SEASAT, SIR-A, SIR-B, SIR-C, ERS-1, ERS-2, ALMAZ, JERS-1,
RADARSAT dan ALOS PALSAR. Aplikasi sistem radar telah dimanfaatkan untuk berbagai bidang, baik untuk lingkungan hidup, kehutanan, pertanian, pertambangan dan lainnya. Filho et al. (2011) menggunakan citra radar multi polarisasi band L untuk identifikasi lingkungan lahan basah di wilayah pesisir pantai utara Amazon Brasil. Penelitian ini membuktikan bahwa polarisasi VV lebih unggul untuk mengenali morfologi daerah intertidal pada kondisi musim semi, polarisasi HH lebih cocok untuk pemetaan lingkungan pesisir yang ditutupi oleh hutan dan belukar seperti mangrove dan tumbuhan bukit, dan polarisasi HV cocok untuk membedakan zona transisi antara bakau dan dataran pesisir.
2
Jaenicke at al. (2011) memanfaatkan citra radar (ENVISAT ASAR dan ALOS PALSAR) untuk memantau efek restorasi pada lahan gambut di Kalimantan Tengah. Penelitian ini membuktikan bahwa citra radar multitemporal mampu mendeteksi peningkatan kelembaban tanah gambut setelah pembangunan bendungan terutama di daerah yang gundul. Selanjutnya, penelitian ini juga membuktikan bahwa polarisasi silang (cross polarization) memiliki korelasi yang kuat antara koefisien backscatter dengan tingkat permukaan air tanah diatas 50 cm. DiGiacomo et al. (2004) melakukan penelitian menggunakan citra radar terhadap bahaya pencemaran di lepas pantai California Selatan. Citra radar yang digunakan pada penelitian ini adalah ERS-1 dan ERS-2 band C (5.3 GHz), resolusi spasial 12.5 meter dengan polarisasi VV. Citra RADARSAT yang digunakan polarisasi HH. Harrell et al. (1995) melakukan penelitian terhadap sensitifitas citra ERS-1 band C dan JERS-1 band L terhadap biomasa dan struktur tegakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa backscatter citra radar ERS-1 dan JERS-1 responsif terhadap biomasa, kepadatan dan tinggi, meskipun faktor lain seperti kelembaban permukaan sering memiliki pengaruh kuat. Data ERS-1 lebih sensitif terhadap kelembaban permukaan dibandingkan data JERS-1. Satelit generasi baru Advanced
Land
Observing
Satellite (ALOS)
diluncurkan tanggal 24 Januari 2006 oleh Jepang merupakan satelit pengamatan bumi pengembangan dari Japan Earth Resources Sattelite-1 (JERS-1) dan Advanced Earth Observing Satellite (ADEOS). ALOS membawa
tiga
jenis
sensor yaitu Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR), Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM), dan (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2). PALSAR merupakan sensor satelit ALOS yang menggunakan sensor Radar. Sistem radar terdiri dari komponen transmitter, receiver, antenna dan recorder. Transmitter digunakan untuk membangkitkan sinyal, dan ditransmisikan melalui antenna termasuk pancar baliknya dari permukaan bumi, kemudian sinyal balik (backscatter) diterima oleh receiver dan data sinyal pancar balik dicatat oleh recorder. Intensitas atau kekuatan backscatter radar dipengaruhi oleh sifat objek dan sistem radarnya (Purwadhi 2001). Pada penelitian ini akan
3
mengkaji sifat kekasaran objek hutan hujan tropis pada ketinggian 1600 m dpl yang mempengaruhi nilai backscatter citra ALOS PALSAR. Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap hubungan antara citra radar dengan kekasaran objek, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Wal et al. (2005) tentang karakteristik kekasaran permukaan dan tekstur sedimen dengan menggunakan citra radar ERS-1 dan ERS-2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara backscatter dengan kandungan lumpur memiliki korelasi negatif, sedangkan antara backscatter dengan ukuran butir sedimen memiliki korelasi positif yang signifikan. Neusch dan Sties (1999) menerapkan model Dubois menggunakan citra radar untuk penentuan kelembaban tanah dan kekasaran permukaan tanah. Hutan merupakan objek yang memiliki kekasaran yang disebabkan beberapa faktor, antara lain hutan memiliki strata tajuk. Raymond et al. (2003) mencirikan hutan hujan tropis dengan struktur tajuk yang memiliki strata, yaitu strata tajuk yang paling dominan, strata tajuk yang lebih kecil dan strata tajuk semak belukar. Ciri-ciri tersebut menjadi sifat kekasaran dari objek hutan hujan tropis yang mempengaruhi nilai backscatter. Panjang gelombang radar antara 1 mm sampai dengan 1 m mempengaruhi kedalaman penetrasi gelombang ke dalam permukaan objek. Smith (2006) menyatakan bahwa panjang gelombang mikro yang pendek (short-wavelength) yang terdapat pada band X dan C, hanya mampu penetrasi sebatas kanopi vegetasi paling atas saja, sedangkan panjang gelombang mikro yang panjang (longerwavelength) yang terdapat pada band L dan P, mampu penetrasi mencapai ranting, cabang dan batang pohon. Tipe backscatter menurut Sun et al. (1991) pada tegakan hutan terdiri dari: (1) volume backscattering (daun dan cabang); (2) backscatter langsung dari permukaan tanah; dan (3) backscatter dari hubungan antara permukaan tanah dengan tajuk pohon (terdiri dari tiga kondisi, yaitu ground-crown, crown-ground, dan ground-crown-ground). Selain penggunaan pada sektor kehutanan, panjang gelombang radar dapat dimafaatkan untuk berbagai sektor lainnya, seperti Urso dan Minacapilli (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan band L dan band C untuk mengetahui distribusi spasial kandungan air tanah. Penelitian ini memberikan hasil bahwa
4
penggunaan backscatter dari band L dapat memberikan informasi tentang distribusi spasial kandungan air tanah, sedangkan band C tidak dapat memberikan informasi tentang distribusi spasial kandungan air tanah. Band C dan band L juga digunakan oleh Bergen et al. (2007) untuk pemodelan struktur vegetasi habitat burung. Haralick et al. (1970) meneliti penggunaan citra radar band K untuk diskriminasi tanaman, hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman dan persentasi penutupan lahan secara signifikan mempengaruhi backscatter. Band X dimanfaatkan untuk pencitraan induksi badai di sekitar laut Kepulauan Goto, Jepang. Penelitian menggunakan band X ini menunjukkan bahwa kualitas backscatter dari permukaan laut dipengaruhi oleh sudut depresi antena, kecepatan angin dan kekasaran permukaan (Huh, Mastin dan Suhayda 1984). Taylor et al. (1996) menggunakan citra radar band P untuk mengetahui karakteristik garam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh konstanta dialektrik citra radar band P hampir mendekati kondisi di lapangan, meskipun citra radar dengan band L konstanta dialektriknya memberikan diskriminasi terbaik membedakan daerah garam dan yang bukan. Band Ku dimanfaatkan untuk penelitian permukaan tanah pada skala regional dan skala global. Hasil penelitian menunjukkan bahwa citra radar Topex dengan band Ku dan C memiliki kemampuan tinggi untuk pemantauan daerah yang tertutup salju pada skala regional dan global (Papa et al. 2003). Sun et al. (1991) melakukan penelitian tentang model backscatter radar untuk hutan konifer. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan parameter utama untuk modelnya adalah parameter fisik dari tegakan hutan, seperti jumlah pohon per area, tinggi rata-rata pohon pada tegakan, standar deviasi tinggi pohon, dielektrik konstanta, cabang, batang pohon dan kekasaran permukaan tanah. Budi (2005) dalam penelitiannya tentang karakteristik backscatter citra Radarsat menyatakan bahwa radar sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan bumi, dan permukaan yang datar menyebabkan specular backscatter dan memiliki nilai backscatter yang sangat rendah karena sinyal menjauhi sensor. Penelitian penggunaan citra ALOS PALSAR yang pernah dilakukan antara lain: Awaya et al. (2009) telah menganalisis hubungan antara biomassa dengan
5
koefisien backscatter ALOS PALSAR dengan kesimpulan bahwa perubahan backscatter memiliki hubungan dengan perubahan biomassa yang disebabkan oleh beberapa gangguan atau pertumbuhan dari hutan. Wardhana et al. (2009) menggunakan citra ALOS PALSAR untuk mengetahui hubungan antara backscatter dengan biomassa hutan lahan gambut. Selanjutnya disebutkan bahwa estimasi biomassa menggunakan radar hanya dapat menggunakan polarisasi HH (Horizontal-Horizontal) dengan R2 = 0.46. Takahashi (2009) mengatakan bahwa dengan citra ALOS PALSAR menunjukkan bahwa polarisasi HV (HorizontalVertikal) lebih baik dibandingkan polarisasi HH untuk mengestimasi karbon di atas permukaan tanah. Dari beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dipandang penting untuk melakukan penelitian ini karena belum ada penelitian yang mengkaji pengaruh peubah tegakan terhadap karakteristik backscatter ALOS PALSAR khususnya pada hutan hujan tropis pada ketinggian 1600 m dpl. 1.2 Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang terdahulu, maka masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah peubah tegakan hutan hujan tropis pada ketinggian 1600 m dpl yang mempengaruhi nilai backscatter citra ALOS PALSAR. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi peubah tegakan hutan hujan tropis pada ketinggian 1600 m dpl yang mempengaruhi backscatter citra ALOS PALSAR. 1.4 Manfaat Penelitian Sebagai dasar untuk mengembangkan penyusunan klasifikasi citra ALOS PALSAR pada hutan hujan tropis. 1.5 Kerangka Pemikiran Pengelolaan hutan yang lestari membutuhkan data dan informasi tentang kondisi fisik kawasan hutan. Data dan informasi tentang kawasan hutan dapat diperoleh secara efektif dan efisien dengan memanfaatan teknologi remote sensing.
6
Remote sensing dengan sensor optik yang digunakan Pemerintah Indonesia memiliki kelemahan terhadap gangguan tutupan awan dan asap. Pemanfaatan teknologi remote sensing sensor radar untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang dimiliki citra optik sangat cocok di daerah tropis yang sering mendapatkan gangguan tutupan awan dan asap. Remote sensing radar merupakan remote sensing aktif yang memanfaatkan gelombang mikro. Intensitas gelombang mikro yang dipantulkan (backscatter) objek kembali ke antena dipengaruhi oleh konstanta dialektrik dan kekasaran objek. Untuk objek hutan, kekasaran objeknya dipengaruhi oleh peubah-peubah tegakan. Pada penelitian ini akan mengidentifikasi peubah tegakan hutan hujan tropis pada ketinggian 1600 m dpl yang mempengaruhi backscatter citra ALOS PALSAR. Untuk mengetahui peubah tegakan yang paling berpengaruh terhadap backscatter citra ALOS PALSAR, maka dilakukan analisis diskriminan terhadap peubah-peubah tegakan yang diduga mempengaruhi backscatter citra ALOS PALSAR. Diagram
alir
kerangka
pikir pada penelitian ini disajikan pada
Gambar 1. Pengelolaan Hutan Pemantauan Sumber Daya Hutan
Terestris
Remote Sensing
Sensor Radar
Sensor Optik
Backscatter Non Vegetasi Vegetasi Roughness - Tekstur - Struktur
Konstanta dielektrik Analisis Diskriminan
Faktor yang berpengaruh
Gambar 1 Diagram alir kerangka pikir.