1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Lahirnya konsep pengembangan agropolitan merupakan respons dari adanya
ketimpangan pembangunan wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah perdesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang jauh tertinggal. Proses interaksi antara kota dengan desa selama ini secara fungsional selalu dalam posisi saling memperlemah dimana wilayah perdesaan berada pada posisi yang selalu kalah. Ibarat teori dua buah magnit yang berlainan jenis maka magnit yang lebih kecil akan selalu kalah bahkan terhisap oleh magnit yang lebih besar. Kondisi ideal yang sebenarnya diharapkan adalah adanya keterkaitan pembangunan sosial ekonomi antara perkotaan dan perdesaan (ruralurban linkages). Wilayah perkotaan yang lebih diarahkan sebagai pusat pemerintahan dan jasa akan membutuhkan wilayah perdesaan yang berfungsi sebagai produsen pertanian, dan sebaliknya wilayah perdesaan juga akan membutuhkan wilayah perkotaan (bersifat interdependensi antara produsenkonsumen). Posisi wilayah perdesaan dengan kegiatan utama sektor pertanian primer, berada pada kondisi yang stagnan dengan produktivitas rendah yang membutuhkan mitra dan faktor penggerak dari luar yaitu wilayah perkotaan, sehingga
pembangunan
perkotaan
dapat
dikatakan
sebagai
penggerak
pembangunan perdesaan (city as engine rural development). Kondisi ketimpangan pembangunan yang bersifat antar wilayah (interregional) ini mengakibatkan timbulnya gejala urban bias (Lipton, 1977 dalam Rustiadi, 2007). Urban bias terjadi akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula meramalkan bakal terjadinya penetesan (trickle down effect) dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata net-effect-nya justru menimbulkan pengurasan besar-besaran (massive backwash effect). Jika ditinjau dari potensi dan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh negara Indonesia terutama wilayah perdesaan, maka peran wilayah perdesaan sangat penting dalam menopang perekonomian nasional terutama melalui
2 pendekatan “rural-based national development”. Potensi dan sumberdaya alam di wilayah perdesaan ini menyediakan hampir segala bentuk barang dan jasa yang sangat dibutuhkan dalam menopang kehidupan manusia, terutama sebagai : (1) penyedia pangan untuk penduduk di wilayah perdesaan maupun di wilayah perkotaan, (2) penyedia tenaga kerja terutama untuk pembangunan di wilayah perkotaan yang cukup pesat, (3) penyedia bahan baku untuk industri seperti bahan konstruksi bangunan dan perumahan, serta (4) penghasil komoditi untuk diekspor ke luar negeri. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan potensi ‘resources rural-base’ yang dimiliki, wilayah perdesaan telah terbukti “robust” terhadap berbagai masalah yang dialami Indonesia terutama dalam masa krisis ekonomi yang berkepanjangan. Hal ini membuat pemerintah Indonesia memperkuat kebijakan pembangunan di wilayah perdesaan (pro-rural), salah satunya melalui pengembangan Agropolitan. Pencanangan pengembangan Agropolitan secara nasional di Indonesia dilakukan pada tahun 2002 secara bersama antara Menteri Pertanian dengan Menteri Pekerjaan Umum (saat itu disebut sebagai Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah), yang kemudian dikembangkan secara bersama dengan beberapa departemen terkait lainnya, antara lain: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Perindustrian, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Kementerian Riset dan Teknologi/BPPT. Masing-masing kementerian terkait mengarahkan program-program strategisnya, yang masukannya diperoleh melalui pendekatan ”bottom up planning” yaitu melalui musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Program-program strategis dari departemen terkait yang masih bersifat sektoral ini, disepakati untuk dilaksanakan secara terpadu dalam suatu ’rencana tindak’ yang diintegrasikan dalam suatu dokumen kesepakatan pembangunan yang disebut master plan. Master plan pengembangan kawasan agropolitan disusun untuk kurun waktu 15 sampai 25 tahun, secara garis besar memuat
3 rencana pembangunan jangka panjang lintas sektor dari seluruh departemen terkait, yang kemudian ditindaklanjuti dengan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) 5 sampai 10 tahun. RPJM ini memuat rencana pembangunan jangka menengah masing-masing sektor. Rencana pembangunan jangka pendek atau rencana pembangunan tahunan (Repeta), memuat kegiatan-kegiatan yang telah tertuang dalam DIPA yang siap diimplementasikan oleh masing-masing kementerian terkait di masing-masing kawasan agropolitan, didukung dengan alokasi dana melalui APBD I dan II, dengan pembagian tupoksi dan dukungan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram dukungan kementerian terkait dalam pengembangan kawasan agropolitan.
4 Konsep pengembangan agropolitan yang dinilai cukup ideal dan prospektif, membuat cukup banyak pemerintah daerah berminat untuk mengembangkannya. Hal ini terbukti dengan telah berkembangnya kawasan agropolitan di 180 kabupaten terhitung mulai dicanangkan pada tahun 2002 sampai dengan pelaksanaan tahun 2008. Kawasan agropolitan ini menyebar di Provinsi NAD 4 Kawasan, Sumut 9 kawasan, Sumbar 8 kawasan, Riau 4 kawasan, Kepri 4 kawasan, Jambi 5 kawasan, Sumsel 9 kawasan, Babel 5 kawasan, Bengkulu 7 kawasan, Lampung 5 kawasan. Jabar 9 kawasan, Banten 4 kawasan, Jateng 10 kawasan, D.I. Yogyakarta 4 kawasan, Jatim 11 kawasan. Kalbar 7 kawasan, Kalteng 5 kawasan, Kalsel 4 kawasan, Kaltim 5 kawasan. Bali 7 kawasan, NTT 4 kawasan, NTB 7 kawasan. Sulut 5 kawasan, Gorontalo 5 kawasan, Sulteng 4 kawasan, Sulsel 8 kawasan, Sulbar 8 kawasan, Sultra 4 kawasan. Maluku 4 kawasan, Malut 5 kawasan, Papua 3 kawasan, Irjabar 3 kawasan. Jumlah kawasan agropolitan yang telah difasilitasi pemerintah dari tahun 2002 hingga tahun 2008 disajikan pada Gambar 2 dan Peta penyebaran pengembangan kawasan agropolitan tahun 2002 sampai dengan tahun 2008 disajikan pada Gambar 3.
60 50 40 30
39
20
31
10
18
22 11
8 0
Jumlah Kawasan
51
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Total Kawasan Tahun 2002 sd 2008 sebanyak 180 kawasan (Sumber : Pokja Pengembangan Agropolitan Pusat, 2008)
Gambar 2 Jumlah kawasan agropolitan yang telah difasilitasi pemerintah dari tahun 2002 sd 2008.
5
Gambar 3 Peta penyebaran pengembangan kawasan agropolitan tahun 2002 hingga tahun 2008 di Indonesia (Sumber: Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat, 2008).
6 Pengembangan agropolitan merupakan salah satu strategi pengembangan wilayah perdesaan berbasis pertanian (rural based developmentl). Strategi ini searah dengan langkah strategis pemerintah yang dituangkan dalam strategi tiga jalur (triple track strategy) pembangunan ekonomi nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 % selama periode rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) Tahun 2005-2009. Pendekatan triple track strategy yang pro-growth, pro-job, dan pro-poor, tersebut adalah : (1) Pendekatan pro-growth merupakan pendekatan yang diarahkan untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan ekspor, dengan mendorong kegiatan-kegiatan pengembangan usaha kecil menengah. (2) Pendekatan pro-job merupakan pendekatan yang diarahkan untuk mendorong terciptanya lapangan pekerjaan dengan menggerakkan sektor riil, industri dan jasa termasuk pengembangan kegiatan-kegiatan usaha skala kecil, menengah dan koperasi. (3) Pendekatan pro-poor merupakan pendekatan yang diarahkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin yang bermukim di wilayah-wilayah perdesaan, melalui kegiatan revitalisasi pertanian dan ekonomi perdesaan, sehingga masyarakat miskin dapat memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar, seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan. Pengembangan kawasan agropolitan dilakukan melalui pembangunan kotakota kecil berbasis komoditas unggulan pertanian. Menurut Bajracharya (1995), pembangunan kota-kota kecil sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kondisi masyarakat miskin di wilayah perdesaan di negara berkembang. Argumentasi dan pertimbangan untuk membangun kota-kota kecil antara lain adalah : (1) Kota kecil akan memberi pasar pada konsumen di perkotaan, dan berfungsi sebagai pusat pemasaran hasil produksi pertanian dari wilayah perdesaan; (2) Kota kecil memungkinkan untuk memberikan lapangan pekerjaan non-formal di sekitarnya; dan (3) Kota kecil merupakan lokasi yang tepat untuk mengkonsentrasikan investasi prasarana dan sarana untuk mendukung kegiatan pertanian, kesehatan, pendidikan dan inovasi usaha pertanian.
7 Menurut Anwar (2005), pembangunan kota kecil di lingkungan pertanian merupakan pembangunan pusat-pusat pelayanan publik pada kota-kota kecil dengan memberikan kelengkapan infrastruktur fasilitas publik setara perkotaan. Fasilitas publik tersebut antara lain air bersih, tenaga listrik, pusat pasar, pusat hiburan (amenities), lembaga perbankan dan keuangan, sekolah menengah sampai cabang universitas bersama pusat pendidikan dan latihan dan terdapatnya bangunan-bangunan lain, ruang terbuka dan taman, saluran pembuang (sewerage), jaringan jalan dan sistem transportasi serta komunikasi. Kelengkapan fasilitasfasilitas infrastruktur agropolitan setara perkotaan tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya untuk melepaskan masyarakat perdesaan dari keterisolasian, dan untuk mendorong dan mendukung pencapaian strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan yang dapat menyumbang kepada peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional. Pembangunan infrastruktur pada kawasan agropolitan memiliki peran sangat penting dalam menumbuh-kembangkan kawasan agropolitan, yang merupakan aspek pendorong pertumbuhan ekonomi kawasan
tersebut
melalui
terlayaninya subsistem usahatani,
pemasaran,
agroindustri dan permukiman. Wilayah Indonesia terdiri dari sekitar 66.000 desa dan 4.000 kecamatan, dimana sekitar 80 % diantaranya terdiri dari wilayah perdesaan dengan aktivitas utama kegiatan pertanian. Jika kawasan agropolitan diasumsikan setara dengan wilayah kecamatan maka akan ada sekitar 3.200 kawasan agropolitan di Indonesia yang bisa dikembangkan melalui kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, untuk menopang perekonomian nasional berbasis pertanian. Model kebijakan
pembangunan
infrastruktur
berkelanjutan
dalam
mendukung
pengembangan Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu (KAMM) diharapkan dapat menjadi prototype pengembangan kawasan agropolitan di Indonesia. KAMM yang telah dirintis pembangunannya mulai tahun 2002, telah mendapat stimulan selama beberapa tahun dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten, sehingga di masa yang akan datang diharapkan dapat berkembang secara mandiri dengan mengandalkan pengelolaan sumberdaya alam setempat. Pengembangan kawasan agropolitan mandiri dapat diartikan sebagai model pembangunan yang tidak bergantung lagi kepada bantuan
8 pemerintah, namun lebih menekankan kepada optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki oleh KAMM, yaitu komoditas unggulan hortikultura dan produk-produk ikutan lainnya. Dalam pengembangan kawasan agropolitan, pembangunan infrastruktur merupakan pembangunan yang sangat penting untuk mendukung seluruh kegiatan dan kelancaran pelaksanaan seluruh kegiatan yang terdapat di dalamnya. Namun pada saat pembangunan infrastruktur bukan tidak mungkin dapat terjadi berbagai problem terutama yang ada kaitannya dengan kelestarian lingkungan. Oleh karenanya, perlu dilakukan kajian tentang pembangunan infrastruktur yang memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang tidak saja dapat dinikmati oleh generasi saat ini, namun juga akan dinikmati oleh generasi di masa yang akan datang.
1.2
Perumusan Masalah Kebijakan pembangunan nasional yang lebih mandahulukan pertumbuhan
ekonomi di wilayah perkotaan, sementara wilayah perdesaan hanya diposisikan sebagai produsen pertanian pada kondisi yang stagnan dengan produktivitas rendah, menjadikan wilayah perdesaan semakin jauh tertinggal. Pembangunan di wilayah perkotaan yang pada umumnya: (1) kebijakan yang lebih memfavoritkan wilayah perkotaan; (2) pertumbuhan ekonomi tinggi; (3) punya daya tarik yang tinggi; (4) fasilitas perkotaan yang cukup lengkap. Kebijakan dan kondisi seperti ini dapat diartikan sebagai model kebijakan pembangunan yang salah arah, karena disamping akan memicu timbulnya permasalahan baru di wilayah perkotaan seperti polusi, kemacetan lalu lintas, timbulnya slums area dan rumah-rumah liar (ruli) yang tidak layak huni, kekurangan air bersih, degradasi dan sanitasi lingkungan yang buruk, mewabahnya penyakit menular dan lain-lain. Keadaan seperti ini pada akhirnya berkontribusi pada timbulnya permasalahan di wilayah perdesaan, antara lain: (1) produktivitas wilayah perdesaan semakin rendah; (2) kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi; (2) laju urbanisasi semakin tinggi; (3) lapangan pekerjaan yang tersedia semakin terbatas; (4) kapasitas sumberdaya manusia yang semakin rendah; (5) keterbatasan kepemilikan lahan usaha pertanian; (6) pengurasan sumberdaya alam; (7) minimnya penyediaan
9 infrastruktur; (8) meningkatnya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang telah mendorong terjadinya krisis lahan, krisis energi, krisis pangan, krisis air, dan bahkan mengakibatkan sering terjadi bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Sedangkan wilayah perkotaan yang diposisikan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi (city as engine of development) menimbulkan dampak pembangunan yang demikian pesat telah memicu terjadinya aglomerasi kegiatan pembangunan dalam skala besar, seperti pembangunan fasilitas ekonomi, gedung-gedung pencakar langit, superblok perkantoran, pusat perdagangan, apartemen, dan fasilitas umum lainnya. Kondisi ini menimbulkan daya tarik yang tinggi terhadap wilayah perkotaan, mengakibatkan masyarakat wilayah perdesaan secara rasional mulai melakukan migrasi ke wilayah perkotaan, terutama ke kota-kota menengah (secondary city) yang semakin lama semakin deras (speed up processes), meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dibandingkan di wilayah perdesaan. Agropolitan sebagai salah satu strategi pembangunan wilayah perdesaan diharapkan dapat menyeimbangkan pembangunan antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan. Agropolitan yang menitikberatkan pembangunan agribisnis dan infrastruktur kota-kota tani di wilayah perdesaan potensial hanya dapat dilakukan secara berkesinambungan apabila sarana dan prasarana yang tersedia dapat menstimulasi dan mendorong aktivitas produksi dan pasar di wilayah perdesaan (Pradhan, 2003). Perdesaan sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer harus didorong menjadi desa-desa yang mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi lokal. Oleh karena itu, tersedianya sarana dan prasarana sangat menentukan dalam mendorong pengembangan kawasan agropolitan. Kawasan Agropolitan Merapi-Merbabu (KAMM) merupakan salah satu kawasan agropolitan berbasis hortikultura yang telah dikembangkan melalui dukungan pemerintah. Dalam tahapan-tahapan kegiatan pengembangan KAMM yang dimulai dari tahapan penyusunan master plan, sinkronisasi dan koordinasi lintas sektor, sosialisasi dan penyiapan masyarakat, dan pelaksanaan dukungan
10 lintas sektor berupa stimulans pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten selama tiga tahun berturut-turut mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, muncul pula berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain menyangkut pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, tata ruang, teknologi, permodalan, dan kelembagaan. Setelah pemberian dukungan stimulans dari pemerintah, diasumsikan bahwa kinerja
KAMM
akan
meningkat,
dan
selanjutnya
diproyeksikan
akan
dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah bersama masyarakat secara mandiri. Salah satu prasyarat dalam mendukung pengembangan kawasan agropolitan mandiri adalah tersedianya infrastruktur penunjang kawasan agropolitan. Oleh karena itu diperlukan kajian tentang pencapaian kinerja KAMM pasca fasilitasi, serta kajian tingkat kemandirian KAMM, dan rancangan model infrastruktur berkelanjutan yang memperhatikan aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan serta kajian arahan kebijakan pembangunan infrastruktur dalam menunjang pengembangan kawasan agropolitan. Untuk itu pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana kinerja KAMM pasca fasilitasi pemerintah? 2) Bagaimana tingkat kemandirian KAMM? 3) Bagaimana rancangan model pembangunan infrastruktur KAMM? 4) Bagaimana arahan kebijakan pembangunan KAMM? Diagram alir perumusan masalah dalam pembangunan infrastruktur mendukung pengembangan kawasan agropolitan disajikan pada Gambar 4.
11
KAWASAN AGROPOLITAN MERAPI-MERBABU (KAMM) by nature
Studi Kasus Pasca Fasilitasi (2005-2007)
RESEARCH QUESTION 1. Bagaimana Kinerja KAMM Pasca Fasilitasi? 2. Bagaimana Tingkat Kemandirian KAMM? 3. Bagaimana Model & Skenario Pembangunan Infrastruktur KAMM? 4. Bagaimana Arahan Kebijakan Pembangunan Infrastruktur KAMM?
Gambar 4 Diagram alir perumusan masalah dalam pembangunan infrastruktur berkelanjutan mendukung pengembangan kawasan agropolitan di KAMM
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah menyusun model kebijakan pembangunan
infrastruktur
berkelanjutan
dalam
mendukung
pengembangan
kawasan
agropolitan di KAMM. Untuk membangun model tersebut perlu dilakukan beberapa kegiatan sebagai tujuan antara, yaitu : 1. Menganalisis kinerja KAMM. 2. Menganalisis tingkat kemandirian KAMM. 3. Merancang model pembangunan infrastruktur berkelanjutan di KAMM, dan skenario pembangunannya. 4. Merumuskan arahan kebijakan pembangunan infrastruktur berkelanjutan dalam menunjang pengembangan kawasan agropolitan di KAMM.
12
1.4
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran studi ini dimulai dengan tinjauan terhadap konsep
pembangunan nasional yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua wilayah pembangunan, yaitu wilayah pembangunan di perkotaan dan wilayah pembangunan di perdesaan. Wilayah perkotaan selama ini lebih diarahkan sebagai pusat pemerintahan dan pusat pelayanan jasa. Kondisi ini dapat dilihat dari tingginya pertumbuhan ekonomi di wilayah perkotaan, daya tarik perkotaan yang cukup tinggi dan modern sehingga mendorong laju urbanisasi, infrastruktur yang memadai mulai dari infrastruktur yang bersifat makro, sekunder sampai mikro, tingginya insentif yang diberikan oleh pemerintah sehingga menarik perhatian para investor untuk menanamkan investasinya di wilayah perkotaan. Sementara itu, wilayah perdesaan lebih diarahkan sebagai produsen bidang pertanian, dengan perannya sebagai penyedia pangan, penyedia tenaga kerja, penyedia bahan baku industri, dan sebagai penghasil komoditi, kondisinya sangat jauh berbeda dengan wilayah perkotaan. Kondisi di wilayah perdesaan ditandai dengan tingginya angka kemiskinan, banyaknya pengangguran, minimnya penyediaan infrastruktur dan kondisi yang tersedia baru pada lingkup infrastruktur yang bersifat makro dan sekunder, sedangkan infrastruktur yang bersifat mikro penyediaannya lebih diserahkan kepada prakarsa dan swadaya masyarakat membuat beban masyarakat di wilayah perdesaan semakin berat. Kondisi wilayah perdesaan juga ditandai dengan sangat rendahnya minat investor untuk menanamkan modalnya, justru yang terjadi adalah adanya pengurasan sumberdaya alam secara besar-besaran (backwash effect) tanpa adanya pengembalian kapital ke wilayah perdesaan. Kondisi yang jauh berbeda ini dapat dikatakan sebagai adanya ketimpangan pembangunan antara wilayah perkotaan dengan wilayah perdesaan. Ketimpangan pembangunan ini menjadikan wilayah perdesaan semakin jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah perkotaan, baik dari segi kehidupan sosial, ekonomi maupun lingkungan. Upaya-upaya pembangunan yang telah dilakukan oleh pemerintah, baik melalui model pendekatan sektoral maupun model pendekatan wilayah belum dianggap cukup untuk menyeimbangkan pembangunan antara wilayah perkotaan
13 dengan wilayah perdesaan. Model pendekatan sektoral yang berada pada kementerian-kementerian terkait, programnya secara umum dilaksanakan oleh kementerian yang bersangkutan bersama jajaran vertikal di bawahnya. Program sektoral yang ada di beberapa kementerian yang diarahkan untuk mengembangkan wilayah perdesaan antara lain adalah : PUAP (pengembangan usaha agribisnis perdesaan), KUNAK (kawasan usaha peternakan), KIMBUN (kawasan inti masyarakat perkebunan), KAS (kawasan agribisnis sayuran) yang berada di Kementerian Pertanian. Kegiatan budidaya perikanan, pengolahan perikanan serta kegiatan tangkap perikanan berada di Kementerian Kelautan dan Perikanan. PIK (pengembangan
industri
kecil)
berada
di
Kementerian
Perindustrian.
Pengembangan kawasan produksi berada di Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal (PDT). Pengembangan UPT (unit permukiman transmigrasi) berada di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. PIP (pengembangan infrastruktur perdesaan), KTP2D (kawasan terpilih pusat pengembangan desa) berada di Kementerian Pekerjaan Umum. Model pembangunan
melalui
pendekatan
sektoral ini
mempunyai
kelemahan dan keunggulan. Kelemahannya antara lain adalah nuansa ego sektoralnya sangat tinggi, sedangkan keunggulannya adalah lebih mudah dikoordinasikan karena berada dalam satu garis komando (vertikal). Sedangkan model pembangunan melalui pendekatan wilayah, adalah model pembangunan yang dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi antar departemen terkait, dalam suatu skala tertentu bisa berupa skala nasional, regional, provinsi, maupun kawasan, diarahkan untuk mengembangkan wilayah secara holistik, baik wilayah perkotaan maupun wilayah perdesaan. Program yang ada dalam skala nasional antara lain adalah : KAPET (kawasan pengembangan ekonomi terpadu), KADAL (kawasan andalan), KPEL (kawasan pengembangan ekonomi lokal), PARUL (poverty alleviation trough rural-urban linkages program), RISE (regional infrastruktur social economic), dan KCT (kawasan cepat tumbuh), yang semula berada di BAPPENAS belakangan berada di Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan program pendekatan wilayah yang bersifat regional, antara lain adalah : SUDSP (Sumatera Urban Development Sector Project), SAADP (Sulawesi Agriculture Area Development Project), NTAADP (Nusa Tenggara
14 Area Development Project), dan BRADP (Bengkulu Regional Area Development Project) 1. Model pembangunan melalui pendekatan pengembangan wilayah baik dalam skala nasional maupun skala regional ini mempunyai kelemahan dan keunggulan. Kelemahannya antara lain adalah programnya terlalu makro, sulit diikuti sektor, dan fungsi koodinasi kurang optimal karena wilayahnya biasanya terdiri dari beberapa provinsi dan tidak ada yang bertindak sebagai leading sektor. Sedangkan keunggulannya adalah secara konsep perencanaan cukup bagus. Generasi penerus model pendekatan pengembangan wilayah dekade ini, yang dapat mengintegrasikan model pendekatan sektor ke dalam model pendekatan wilayah adalah pengembangan kawasan agropolitan. Program utama yang dikembangkan di kawasan agropolitan, pertama adalah pengembangan agribisnis mulai dari hulu sampai hilir yang meliputi pengembangan produksi, pengolahan
dan
pemasaran,
dan
kedua
adalah
pengembangan
politan
(kota/permukiman). Model pembangunan agropolitan ini mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya antara lain adalah: (1) konseptual, programnya dirancang secara konseptual yang dimulai dari penyusunan master plan kawasan agropolitan untuk program jangka panjang, ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), serta rencana teknis (detail engineering design/DED). (2) koordinasi internal-eksternal, karena masingmasing instansi terkait mempunyai kepentingan dalam mengembangkan kegiatan sektornya masing-masing sehingga membutuhkan koordinasi secara internal (koordinasi dilingkungan departemen masing-masing dan koordinasi eksternal (koordinasi dengan departemen terkait). (3) ada leading sektor, kemajemukan sektor yang dikembangkan di kawasan agropolitan membutuhkan peran leading sektor sesuai dengan karakteristik kawasan. Jika komoditas unggulan kawasan agropolitan terdiri dari sub-sektor pertanian, maka leading sektornya adalah Kementerian Pertanian, dan jika komoditas unggulan kawasan terdiri dari subsektor perikanan, maka leading sektornya adalah Kementerian Perikanan dan Kelautan, dan seterusnya. (4) Implementable, model ini merupakan model yang banyak dan mudah didukung oleh lintas sektor karena pembagian tupoksi antar 1
Sasomo, Sugeng, 2002, Pengalaman Pelaksanaan Program Pembangunan Perdesaan dan Infrastruktur Perdesaan, Semiloka Pembangunan Infrastruktur Perdesaan, Jakarta 20 Agustus 2002.
15 departemen terkait cukup jelas dan tidak ada yang overlapping, (5) Tidak ego sektoral, karena pengembangan kawasan agropolitan merupakan program dan kesepakatan bersama, maka kepentingan sektor masing-masing tetap terlihat sehingga tidak menimbulkan kecemburuan dan ego sektoral, (6) wilayah cukup jelas, kawasan agropolitan yang akan dikembangkan secara fisik mempunyai ruang lingkup dan batasan yang jelas dan terlihat dalam dokumen master plan walau secara administrasi pemerintahan dan skala ekonomi tidak dibatasi. Kondisi seperti ini membuat kinerja pengembangan kawasan agropolitan terlihat secara holistik. Program yang telah disepakati secara bersama dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi, dan berjalan secara simultan dan harmonis. Sedangkan kelemahannya adalah fungsi koordinasi eksternal antar departemen terkait yang kurang optimal karena program-program pendukung kawasan agropolitan tetap berada pada departemen dan instansi terkait masing-masing, sehingga peran Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan hanya sebatas pada fungsi garis koordinasi hubungan kerja dan bukan fungsi garis komando instruksi kerja. Komponen yang dikembangkan di kawasan agropolitan mengandung azas multi sektor, multi finance, multi stake holders, dan multi years. Komponen tersebut antara lain pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, tata ruang, usahatani, permukiman, infrastruktur, teknologi, permodalan, sosial budaya, dan kelembagaan. Salah satu komponen utama yang merupakan faktor pengungkit (leverage) untuk berkembangnya sistem dan usaha agribisnis serta untuk mengembangkan kota-kota kecil (mikropolitan) berbasis pertanian adalah melalui pembangunan infrastruktur yang bersifat hard, yang meliputi infrastruktur air, jalan, sarana transportasi, sarana limbah, bangunan, energi, dan telekomunikasi. Faktor pengungkit lainnya adalah infrastruktur yang bersifat soft, yang meliputi adanya kebijakan yang berpihak kepada petani, kemudahan dalam mendapatkan permodalan untuk ushatani, serta adanya bantuan pendidikan dan pelatihan praktis dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia yang terampil dalam mengembangkan usahatani. Pembangunan infrastruktur di kawasan agropolitan ini harus berkelanjutan, dengan memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan sosial, ekonomi, dan
16 lingkungan. Memenuhi aspek keberlanjutan sosial yang berarti infrastruktur yang dibangun harus bermanfaat bagi masyarakat umum dan petani, memenuhi aspek keberlanjutan ekonomi yang berarti infrastruktur yang dibangun harus menguntungkan bagi pengembangan kawasan dan petani, serta memenuhi aspek keberlanjutan lingkungan yang berarti infrastruktur yang dibangun harus ramah lingkungan. Fungsi dan peran strategis pembangunan infrastruktur berkelanjutan ini diharapkan akan mampu menunjang pengembangan kawasan agropolitan menuju kawasan agropolitan mandiri yang pada gilirannya akan dapat menunjang pembangunan nasional melalui pengembangan ekonomi lokal di kawasan agropolitan. Dalam menuju kawasan agropolitan mandiri, menurut GTZ GmbH (2003) setidaknya ada 10 kriteria/fungsi pokok (cornerstone) yang harus dipenuhi, salah satu diantaranya adalah fungsionalisasi dan efektifitas infrastruktur. Infrastruktur yang dibangun di KAMM harus berfungsi secara optimal, efektif dan efisien. Infrastruktur irigasi dan jalan usahatani (farm-road), harus betul-betul dapat menunjang peningkatan produktivitas hasil pertanian. Infrastruktur home industry, packing house, cold storage, jaringan listrik, air bersih, instalasi pengolah limbah, jalan poros desa harus dapat menunjang pengolahan hasil pertanian. Infrastruktur sub-terminal agribisnis, pasar-pasar tradisional, sarana telekomunikasi, jalan antar desa-kota harus dapat memperlancar pemasaran produk pertanian sampai ke kota-kota pemasaran akhir dan konsumen akhir. Kerangka
pemikiran
model
kebijakan
pembangunan
infrastruktur
berkelanjutan dalam menunjang pengembangan kawasan agropolitan di KAMM disajikan pada Gambar 5.
17
Gambar 5 Kerangka pemikiran model kebijakan pembangunan infrastruktur berkelanjutan dalam menunjang pengembangan kawasan agropolitan
18
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Pemerintah: (1) Mendorong pemerintah agar berperan kuat dalam menciptakan kebijakan pembangunan yang pro-rural di Indonesia, (2) Mengingatkan pemerintah, bahwa pembangunan infrastruktur publik masih perlu ditangani oleh pemerintah, terutama oleh pemerintah kabupaten dan provinsi. 2. Masyarakat: Memberi dorongan kepada masyarakat, agar mengembangkan kawasan agropolitan secara mandiri, tanpa harus selalu bergantung lagi kepada pemerintah, baik pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten. 3. Stakeholders: Bermanfaat
bagi
stakeholders
karena
bisa
menjadikan
model
pengembangan KAMM sebagai prototype pengembangan kawasan agropolitan lain di Indonesia untuk komoditas pertanian yang sama, sehingga lebih efisien dalam mengembangkan kawasan agropolitan di wilayah masing-masing. 1.6
Novelty Penelitian ini mempunyai tiga keunggulan dan kebaruan, yaitu :
(1)
Kebaruan
dari
segi
konsep:
yaitu
dihasilkannya
sebuah
konsep
pembangunan perdesaan yang dapat mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian ke dalam model pembangunan wilayah melalui penekanan pembangunan infrastruktur yang selama ini belum pernah ada. (2)
Kebaruan dari segi metodologi: yaitu kajian yang komprehensif melalui pendekatan sistem, dengan memanfaatkan hard systems methodology (HSM) yang terdiri atas analisis sistem dinamik, serta soft systems methodology (SSM) yang terdiri atas teknik pengambilan keputusan berjenjang (AHP) dan metode-metode lain dalam menghasilkan model pembangunan infrastruktur berkelanjutan yang selama ini belum pernah ada.
(3) Kebaruan dari segi penemuan: yaitu hasil penelitian yang dapat mengintegrasikan model penelitian yang selama ini berdasarkan teori-teori, dengan model penelitian berdasarkan fakta-fakta lapangan/data empiris.