1
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional dimaksudkan untuk membangun manusia Indonesia agar memperoleh kehidupan yang lebih layak dengan cara menggerakkan perekonomian dalam arti meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan equity (keadilan, dan pemerataan
pembangunan)
serta
secara
ekologis
tetap
memperhatikan
aspek
keberlanjutan sumberdaya bagi generasi berikutnya. Pembangunan pada kawasan perbatasan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan kawasan perbatasan merupakan kawasan strategis nasional karena dapat dijadikan pintu gerbang perdagangan serta merupakan gambaran wajah negara Indonesia di mata negara lain. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berbatasan baik darat maupun laut dengan beberapa negara termasuk Timor Leste. Timor Leste yang semula menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjadi negara yang merdeka sejak tanggal 20 Mei 2002 yang diawali dengan jajak pendapat pada tahun 1999. Wilayah Timor Leste berbatasan laut dengan
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi
Maluku, sedangkan batas darat dengan Timor Barat (Provinsi Nusa Tenggara Timur), bahkan district enclave Oekusi secara geografis berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penentuan batas Indonesia dan Timor Leste yang ditandatangani pada tanggal 3 September 2005 antara Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Hasan Wirayudha dan Menlu Timor Leste Ramos Horta di Motaain telah menetapkan batas administratif secara geografis meskipun masih meninggalkan permasalahan pada beberapa titik. Batas darat wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Timor Leste secara keseluruhan sepanjang 268,8 km. Perbatasan darat ini terdiri atas batas sektor timur yakni Kabupaten Belu dengan district Covalima (153,8 km) sedangkan sektor barat yang berbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Kupang dengan district Oekusi (115 km) yang merupakan wilayah enclave karena berada di antara wilayah Indonesia. Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sebagai salah satu kabupaten di NTT yang berbatasan darat dengan Timor Leste memiliki 9 kecamatan dengan 163 desa/kelurahan.
2 Wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste terdapat pada 3 kecamatan dan tersebar di 24 desa. Panjang lintas batas antara Kabupaten TTU dengan Timor Leste adalah sepanjang 104,5 km. Sedangkan 53 desa lainnya dikategorikan oleh pemerintah Kabupaten TTU sebagai desa/kelurahan pendukung kawasan perbatasan serta 86 desa/kelurahan sebagai penyangga kawasan perbatasan. Adapun batas administratif Timor Leste dengan Timor Barata (Provinsi Nusa Tenggara Timur) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta batas administratif Timor Leste dengan Timor Barat (Provinsi NTT) Adapun aktivitas perekonomian Kabupaten TTU, Provinsi NTT, Indonesia dan Timor Leste sebelum pisah mengalami tren yang positif akan tetapi dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia bahkan Asia pada tahun 1998 menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi bahkan pertumbuhannya negatif. Hal ini terjadi karena daya beli masyarakat turun drastis dan perekonomian mengalami kelesuan. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten TTU dan Timor Leste dapat dilihat pada Tabel 1.
3 Tabel 1. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten TTU, Provinsi NTT, Indonesia dan TimorTimur (RDTL) tahun 1994 – 2005 Tahun
No
Pertumbuhan Ekonomi (%) Prov. NTT Tim-Tim (TL)
Kab. TTU
Indonesia
1
1994
7,59
8,64
9,95
8,2
1
1995
2,9
8,94
9,43
8,2
2
1996
7,08
8,22
10,81
7,8
3
1997
7,32
5,62
4,14
4,7
4
1998
-6,28
-2,73%
*
-13,1
5
1999
6,02
2,73%
*
0,8
6
2000
4,1
4,17
2,3
6,92
7
2001
3,27
5
2,3
4,92
8
2002
6,28
5
2,3
3,83
9
2003
5,18
4,57
2,3
4,5
10
2004
4,57
4,77
2,3
5,05
11
2005
3,39
3,1
2,3
5,61
Sumber (BPS Provinsi NTT, BPS Provinsi TimTim, 2006) Keterangan : *) : data tidak tersedia Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa aktivitas perekonomian Kabupaten TTU, Provinsi NTT dan Timor Leste sebelum pisah menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak tahun 1994-1999 yakni berturut-turut 7,59%; 2,90%; 7,08%; 7,32% ; -6,28% ; 6,02% untuk Kabupaten TTU. Sedangkan data pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1994-1999 berturut-turut adalah 8,64%; 8,94%; 8,22%; 5,62%; -2,73%; 2,73%. Adapun pertumbuhan yang negatif terjadi karena adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda wilayah Indonesia secara menyeluruh bahkan di seluruh Asia (BPS TTU, 2000). Sedangkan data BPS Provinsi Timor-Timur (1997) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Provinsi Timor Timur pada tahun 1994–1997 berturut–turut adalah 9,95%; 9,43%; 10,81%; 4,14%. Pertumbuhan ekonomi tersebut terjadi karena adanya aktivitas ekonomi pada kedua wilayah tersebut baik secara internal maupun karena adanya interaksi aktivitas perekonomian antar kedua wilayah (interregional). Aktivitas perekonomian antar kedua wilayah yang memberikan manfaat bagi Timor–Timur antara lain karena akses masyarakat Timor-Timur terhadap pasar lebih mudah baik dalam hal membeli produk maupun memasarkan produknya dengan biaya transaksi yang relatif murah. Sedangkan wilayah NTT memperoleh keuntungan dari belanja tenaga kerja maupun belanja
4 pembangunan Timor Leste ke wilayah NTT karena kedekatan secara geografis, sosial ekonomi, budaya dan politik. Selain itu, wilayah NTT memperoleh pendapatan berupa share dari pemasaran produk baik dari Timor-Timur maupun ke Timor–Timur karena kemudahan akses antar kedua wilayah. Adapun share pemasaran yang dimaksud adalah berasal dari aktivitas perdagangan dari Oekusi adalah berupa asam jawa 34.533 kg, nener 3.800.000 ekor, kayu cendana 30.725 kg, sapi 935 ekor, kambing 835 ekor, bawang putih 4,5 ton, sedangkan data perdagangan barang yang dipasok dari luar Oekusi adalah beras 1.107.880 ton, tepung terigu 2.876.000 zak, gula pasir 31.085.000 kg, semen 19.556.000 zak untuk memenuhi kebutuhan 53.020 jiwa. Aktivitas perdagangan ini melalui wilayah Kabupaten TTU dan melibatkan pedagang dari wilayah Kabupaten TTU (BPS Ambenu, 1995). Namun setelah Timor Leste berpisah disertai dengan belum membaiknya krisis ekonomi, sosial, hukum dan politik di Indonesia mengakibatkan peningkatan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten TTU pada tahun 2000-2005 tidak mencapai angka sebagaimana sebelum Timor Leste memisahkan diri yakni berturut–turut 4,10%; 3,27%; 6,28%; 5,18%; 4,57%; 3,39%. Demikian pula dengan pertumbuhan ekonomi Provinsi NTT pada tahun 2000-2005 berturut-turut adalah sebagai berikut 4,17%; 5%; 5%; 4,57%; 4,77%; 3,10%. Hal yang sama terjadi pada wilayah Timor Leste yang pertumbuhan ekonominya pada tahun 2002-2005 tercatat hanya 2,3%. Meskipun perekonomian Kabupaten TTU juga mengalami pertumbuhan namun kondisi wilayah perbatasan umumnya masih terbelakang. Salah satu penyebabnya adalah karena hilangnya sebagian potensi pendapatan yang diperoleh wilayah NTT, khususnya Kabupaten TTU berkurang dalam arti tidak lagi memperoleh share dari pemasaran produk dari maupun ke Timor Leste. Selain itu, belanja tenaga kerja dan belanja pembangunan Timor Leste ke wilayah NTT berkurang karena biaya interaksi yang tinggi meskipun dekat secara geografis. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Timor Leste, khususnya district enclave Oekusi. Masyarakat semakin miskin meskipun mereka banyak memperoleh bantuan dari pihak asing. Hal ini terjadi karena sumberdaya manusia yang masih rendah sehingga sumberdaya alam yang dimiliki belum dikelola dengan baik. Selain itu, ketergantungan terhadap tenaga kerja terampil dari Indonesia sebelum pisah dan akses terhadap pasar yang lebih mudah melalui wilayah NTT sehingga mengharuskan Timor Leste berbenah
5 dengan cara meningkatkan sumberdaya manusia dan menjalin kembali hubungan bilateral yang baik dengan Indonesia. Adapun perbandingan pertumbuhan ekonomi Kabupaten TTU, Provinsi NTT dan Timor–Timur sebelum dan setelah Timor-Timur berpisah dapat ditampilkan pada Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi 12
Prosentase
10 Kab.TTU
8
Prop.NTT
6
Tim-Tim (TL)
4
Indonesia
2 0 1995 1996 1997 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tahun
Gambar 2. Pertumbuhan ekonomi Kab. TTU, Prov. NTT, Indonesia dan Prov. Tim-Tim (RDTL) tahun 1994-2005 Kegiatan perekonomian di wilayah perbatasan semakin rendah dengan ditutupnya pasar perbatasan sehingga aktivitas perdagangan tradisional antar kedua wilayah yang hanya menggunakan pas lintas batas (PLB) tidak dapat berlangsung karena belum diberlakukan. Aktivitas perdagangan umumnya harus mengeluarkan biaya transaksi yang lebih tinggi karena harus melalui bea cukai dan keimigrasian. Aktivitas perdagangan ini hanya meningkatkan kesejahteraan pada kelompok-kelompok elit masyarakat baik yang memiliki modal ataupun yang memiliki kekuatan pengambilan keputusan. Sedangkan, penduduk di Oekusi sejumlah 57.616 jiwa (perempuan 28.968 dan laki-laki 28.648) yang mendiami 62 dusun, 18 desa dan 4 kecamatan (Direccao Nacional de Estatistica, 2008) maupun masyarakat TTU secara keseluruhan belum memperoleh manfaat dari interaksi antar kedua wilayah tersebut. Akibatnya terjadi penyelundupan yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah perbatasan dengan alasan klasik ingin saling membantu dalam mempertahankan hidup. Apabila hal ini tidak diantisipasi dengan baik maka akan terjadi kebocoran wilayah yang
6 tinggi dimana manfaat ekonomi hanya diperoleh pihak-pihak tertentu sedangkan masyarakat umum dari kedua wilayah secara keseluruhan tidak dapat mengambil manfaat dari aktivitas perdagangan tersebut. Dampak selanjutnya akan terjadi konflik sosial yang dapat tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional.
1.2. Permasalahan Wilayah
perbatasan
merupakan
wilayah
yang
unik
karena
aktivitas
masyarakatnya selalu dipengaruhi oleh negara lainnya sehingga memerlukan penanganan khusus yang lebih komprehensif dimana tidak hanya memperlakukan wilayah perbatasan dari aspek pertahanan dan keamanan tetapi juga dari aspek ekonomi demi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Pendekatan pembangunan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di wilayah perbatasan selama ini lebih menekankan wilayah perbatasan sebagai wilayah belakang dari negeri ini sehingga menyebabkan kesenjangan pembangunan. Sebagaimana dikemukakan Bappenas (2005) bahwa permasalahan pembangunan di perbatasan yang membutuhkan penanganan adalah bukan hanya berkaitan dengan aspek demarkasi dan deliniasi batas, aspek politik, hukum dan keamanan. Akan tetapi juga berkaitan dengan aspek kesenjangan pembangunan baik dengan wilayah lainnya di Indonesia maupun dengan negara tetangga. Menyadari adanya kesenjangan pembangunan dan kemiskinan antara wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya maka pemerintah merubah konsep pembangunan wilayah perbatasan yakni dengan memandang wilayah perbatasan sebagai halaman depan wilayah NKRI. Oleh karena itu, aktivitas perekonomian wilayah perbatasan harus dikelola dengan baik karena wilayah perbatasan merupakan kawasan strategis nasional yang menjadi wilayah prioritas pengembangan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 bahwa program pengembangan kawasan perbatasan ditujukan untuk: 1) menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional; 2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat kawasan perbatasan dengan menggali potensi ekonomi, sosial budaya serta keuntungan letak geografis yang strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.
7 Terdapat 20 kabupaten perbatasan yang menjadi prioritas pembangunan dalam RPJM nasional tahun 2004-2009, dimana Kabupaten TTU merupakan salah satu kabupaten perbatasan yang diprioritaskan pembangunannya. Namun kenyataannya, wilayah perbatasan masih termarginalkan dimana jumlah keluarga (KK) miskin di Kabupaten TTU sebagai salah satu kabupaten yang berbatasan darat dengan Timor Leste pada tahun 2005 adalah sebanyak 27.854 KK dengan penduduk miskinnya sebanyak 114.769 jiwa atau 55,40% dari seluruh penduduk Kabupaten TTU dimana terdapat 16.233 jiwa (4.072 KK) yang mengungsi dari Timor Leste dan tidak ingin kembali lagi ke Timor Leste. Sedangkan masyarakat miskin yang berada di wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste sebanyak 16.789 jiwa (BPS TTU,2005). Meskipun pendapatan per kapita rata-rata mengalami peningkatan yakni dari Rp 1.157.770,- pada tahun 1999 menjadi Rp 2.371.937,- pada tahun 2005. Namun belum setara dengan pendapatan per kapita rata-rata Provinsi NTT pada tahun 2005 yakni sebesar Rp 3.235.699,- ataupun pendapatan per kapita rata-rata secara nasional yang sebesar Rp 12.450.000,-. Hal ini berimplikasi pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia di wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi karena dengan pendapatan tersebut masyarakat tidak mampu memperoleh pendidikan formal yang baik sehingga SDM masyarakat masih rendah dan kondisi kesehatan masyarakat yang buruk. Sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten TTU yang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 1999, 2002, 2004 dan 2005 Kab. TTU, Prov. NTT dan Indonesia No Wilayah IPM 1996 1999 2002 2004 2005 1 Kab.TTU 59,6 53,7 59,5 62,4 63,1 2 Prop. NTT 61 60,4 60,3 62,7 63,6 3 Indonesia 68 64,3 65,8 68,7 69,8 Sumber: Laporan Pembangunan Manusia (UNDP et al., 2004) dan IPM (1996, 2005) Data pada Tabel 2. memperlihatkan bahwa IPM secara nasional mengalami penurunan pada masa krisis namun setelah itu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, nilai IPM Kabupaten TTU meningkat dari 53,7 (tahun 1999) menjadi 63,1
8 (tahun 2005), namun masih lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Meskipun mengalami peningkatan, namun dalam urutan kabupaten/ kota berada pada urutan 402 dari 440 kabupaten/kota se-Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa peran pemerintah sebagai lembaga yang membuat kebijakan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan belum optimal karena belum dapat menentukan prioritas pembangunan dengan tepat. Orientasi pembangunan masih menggunakan pendekatan keamanan dibanding pendekatan kesejahteraan sehingga berimplikasi pada semakin meningkatnya kesenjangan pembangunan antara wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya. Namun demikian, tidak berarti wilayah perbatasan tidak memiliki potensi untuk dikembangkan. Meskipun sumberdaya pembangunan wilayah perbatasan umumnya terbatas, namun bila dimanfaatkan melalui perencanaan pembangunan yang tepat akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Adapun potensi yang dimiliki wilayah perbatasan berupa bahan tambang dan galian baik golongan A,B maupun C. Potensi yang telah dieksploitasi adalah marmer dan batu aji, sedangkan potensi pertambangan lainnya yang bernilai ekonomis tinggi belum dimanfaatkan. Selain itu, potensi pertanian lahan kering juga belum dimanfaatkan seluruhnya. Data potensi desa tahun 2006 menunjukkan bahwa luas pertanian lahan kering (ladang) di Kabupaten TTU seluas 52.049,3 ha, sedangkan ladang yang belum dimanfaatkan seluas 37.344,5 ha atau sekitar 71,75% belum diolah. Sedangkan lahan sawah yang belum diusahakan seluas 3.053 ha. Selain itu, potensi perikanan, perkebunan dan kehutanan meskipun sedikit namun masih dapat ditingkatkan. Hal yang sama terjadi pula pada aktivitas ekonomi yang lain seperti home industry maupun usaha perdagangan input maupun output serta kebutuhan lainnya belum berkembang dengan baik di wilayah perbatasan. Hal ini diperparah oleh minimnya sarana-prasarana ekonomi di wilayah perbatasan misalnya pasar, koperasi, bank termasuk sarana dan prasarana transportasi sehingga menyulitkan masyarakat dalam melakukan interaksi spasial ke wilayah lainnya. Selain itu, pengembangan wilayah perbatasan umumnya masih bersifat sektoral dan belum menunjukkan keterkaitan antar sektor maupun antar wilayah. Adapun peranan setiap sektor dalam PDRB dapat ditampilkan sebagai berikut.
9 Tabel 3. Peranan sektor terhadap PDRB Kabupaten TTU tahun 1996–2005 berdasarkan harga konstan tahun 1993 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Pertanian 51,27 53,31 48,67 51,55 55,71 52,69 51,41 50,96 47,91 47,80
PP 1,78 1,68 2,12 1,36 1,46 1,42 1,57 1,73 1,67 1,65
IP 2,05 1,92 2,14 2,00 1,63 1,64 1,65 1,67 1,67 1,58
Peranan lapangan usaha (%) LGA K PRH PK 0,39 7,68 5,89 9,99 0,41 7,24 6,11 9,75 0,70 6,26 6,95 10,93 0,57 6,01 6,03 10,44 0,43 6,33 6,58 7,10 0,48 6,32 7,03 7,46 0,57 6,12 7,04 7,21 0,67 6,55 7,12 7,16 0,67 6,55 7,12 7,16 0,68 6,58 7,17 7,18
KPJP 3,83 3,78 3,73 3,38 2,64 2,65 2,86 3,08 3,08 3,23
Jasa 17,13 15,80 18,49 18,67 18,11 20,32 21,09 24,17 24,17 24,13
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber : Pendapatan Regional Kabupaten TTU 1995-2005 (2005) *) Keterangan:
PP=Pertambangan dan penggalian IP=Industri pengolahan K=Konstruksi LGA=Listrik, gas dan air bersih PRH=Perdagangan, hotel dan restoran PK=Pengangkutan dan komunikasi KPJP=Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
Berdasarkan data tersebut, peranan sektor pertanian terhadap PDRB di Kabupaten TTU masih tinggi yakni 51,55% pada tahun 1999, lalu mengalami peningkatan pada tahun 2000 yakni mencapai 55,71%, namun terus mengalami penurunan pada tahun 2001 yakni kontribusinya sebesar 52,69% hingga tahun 2005 kontribusi sektor pertanian hanya sebesar 47,80%. Apabila dihubungkan dengan persentase tenaga kerja berdasarkan sektor maka sektor pertanian menjadi tumpuan mata percaharian dari masyarakat di Kabupaten TTU secara umum. Hal ini ditunjukkan oleh persentase tenaga kerja per sektor pada tahun 1999 sebesar 83,15 % sedangkan sektor sekunder hanya sebesar 7,35% dan sektor tersier sebesar 9,49%. Pada tahun 2004 terjadi sedikit pergeseran menjadi sebesar 78,60% sedangkan sektor sekunder sebesar 8,74% dan sektor tersier sebesar 12,66%. Hal ini berarti pada saat terjadi krisis sosial, ekonomi dan politik di wilayah perbatasan, masyarakat memilih mengelola lahan usahataninya demi mempertahankan hidup. Sedangkan pada tahun-tahun berikutnya, sektor pertanian terus mengalami penurunan karena sektor-sektor lainnya mulai menunjukkan perbaikan dalam kinerjanya. Meskipun demikian transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor sekunder dan sektor tersier tidak terjadi karena jumlah tenaga kerja pada sektor pertanian terus mengalami peningkatan, penambahan tenaga kerja pada sektor sekunder dan tersier
10 umumnya berasal dari kelompok penduduk yang selama ini tidak termasuk angkatan kerja (sedang sekolah). Merujuk pada kondisi tersebut, Kabupaten TTU sebagai sebuah daerah otonom yang berbatasan dengan district enclave merumuskan berbagai permasalahan di Kabupaten TTU yang selanjutnya akan menjadi prioritas penanganan. Permasalahan tersebut mencakup: (1) terbatasnya sarana ekonomi; (2) pengelolan sumber daya alam belum optimal; (3) kualitas SDM masih rendah; (4) keterkaitan wilayah yang masih terbatas; (5) kemiskinan dan kesenjangan ekonomi; (6) konflik sosial di 6 lokasi yang masih bermasalah; (7) permasalahan yang berkaitan dengan pengungsi dari Timor Leste. Oleh karena itu, dalam RPJMD Kabupaten TTU tahun 2005–2010 dinyatakan bahwa pengembangan sumber pendapatan daerah Kabupaten TTU dapat diperoleh melalui peningkatan potensi peternakan, agroindustri dengan memanfaatkan produk dari jambu mete dan kemiri, pengembangan pasar perbatasan dengan district enclave Oekusi dan pertambangan daerah. Akan tetapi dalam penyusunan RPJMD ini tidak dilakukan survei pemetaan sumberdaya sehingga diperlukan beberapa kajian yang dapat digunakan sebagai referensi tambahan dalam pengambilan kebijakan pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah perbatasan hanya akan berhasil bila didasarkan pada sumberdaya yang dimiliki di wilayah perbatasan. Sumberdaya pembangunan yang dimaksud adalah sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sumberdaya manusia dan sumberdaya sosial. Pengembangan sumberdaya pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan menentukan prioritas pembangunan terhadap sumberdaya-sumberdaya tersebut sehingga dapat meningkatkan efisiensi pembangunan di wilayah perbatasan. Penentuan prioritas pembangunan dilakukan melalui proses perencanaan yang melibatkan seluruh stakeholder sehingga setiap elemen masyarakat lebih berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Keinginan dan kepentingan seluruh elemen masyarakat dalam memandang wilayah perbatasan sebagai suatu potensi pengembangan perlu dikaji sehingga setiap elemen masyarakat dapat berkontribusi penting terhadap pembangunan wilayah perbatasan. Stakeholder yang dimaksud meliputi akademisi, pemerintahan (government), swasta (business), masyarakat madani (LSM, tokoh adat dan tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan) sehingga pembangunan wilayah
11 diharapkan dapat menjamin hak-hak masyarakat wilayah perbatasan untuk terbebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Proses melibatkan stakeholder juga dimaksudkan untuk dapat mengurangi gap antara kekurangan informasi dari pengambil kebijakan terutama dari stakeholder yang selama ini berinteraksi dengan masyarakat dari wilayah Timor Leste sehingga diharapkan keputusan yang diambil dapat lebih komprehensif karena memadukan antara aspek rasionalitas dengan aspek kompromi yang dikaji secara ilmiah. Sebagaimana dikatakan oleh Rustiadi et al. (2007) bahwa partisipasi masyarakat dimaksudkan untuk (a) menambah informasi dalam upaya meningkatkan efektivitas keputusan perencanaan, (b) mengorganisir persetujuan dan dukungan terhadap tujuan dari suatu perencanaan, dan (c) perlindungan terhadap individu dan kelompok. Persepsi melibatkan aspek sikap, motivasi, kepentingan dan harapan dari stakeholder dalam memandang kawasan perbatasan dalam situasi sebelum dan setelah pisahnya Timor Leste serta upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Upaya-upaya yang dilakukan di wilayah perbatasan dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah, seharusnya direncanakan dalam suatu model pengembangan ekonomi wilayah sebagaimana dikatakan Rustiadi et al. (2007) bahwa model ekonomi secara umum dapat berupa kapet, kawasan agropolitan, kawasan cepat tumbuh. Selanjutnya menurut Hamid dan Alkadri (2003) menyatakan bahwa model pengembangan ekonomi wilayah perbatasan dapat berupa kawasan cepat tumbuh, kawasan agropolitan, kawasan transito dan kawasan wisata. Pengembangan model ekonomi tertentu di wilayah perbatasan dapat mempermudah interaksi antar sumberdaya pembangunan di wilayah perbatasan dan dapat mengarahkan setiap komponen yang terlibat dalam peran tertentu yang saling mendukung. Semakin banyak pihak yang terlibat dalam proses perencanaan akan meningkatkan biaya transaksi, namun tujuan dapat lebih mudah dicapai karena setiap komponen turut bertanggungjawab terhadap keputusan yang diambil secara bersama. Oleh karena masyarakat wilayah perbatasan yang umumnya masih terbelakang, namun harus diperhadapkan dengan berbagai kebijakan internasional, nasional, provinsi, kabupaten di wilayah perbatasan sehingga kearifan lokal dan keinginan masyarakat terkadang terabaikan. Kebijakan-kebijakan tersebut terkadang kurang mengakomodir
12 kepentingan, keinginan dan aspirasi seluruh stakeholder lokal sehingga perlu penelitian yang mengkaji persepsi stakeholder di wilayah perbatasan. Pengembangan wilayah perbatasan juga dapat diprioritaskan melalui supply side strategy yakni menentukan leading sector yang mampu menggerakkan perekonomian di wilayah perbatasan bahkan wilayah lainnya yang berinteraksi dengan wilayah perbatasan. Penentuan leading sector perlu dilakukan di Kabupaten TTU yang berada di wilayah perbatasan sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah tidak hanya mengoptimalkan produksi sektor unggulan yang belum tentu memberikan nilai tambah bruto yang besar terhadap wilayah tersebut, namun kebijakan-kebijakan pemerintah diharapkan dapat meningkatkan peran dari stakeholder lainnya untuk mengurangi kebocoran wilayah dengan melakukan usaha-usaha yang berkaitan dengan sektor-sektor unggulan tersebut. Interaksi yang dimaksud adalah berupa pemasaran output suatu sektor ekonomi yang akan digunakan oleh sektor lainnya di wilayah perbatasan tersebut maupun ke wilayah lainnya sehingga dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat perbatasan. Dampak selanjutnya akan meningkatkan daya beli masyarakat wilayah perbatasan terhadap produk lainnya yang dapat digunakan menjadi input bagi usahanya. Permintaan tersebut dapat dipenuhi dari sektor lainnya yang berada pada wilayah perbatasan tersebut maupun dari wilayah lainnya. Hal ini akan mengurangi kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pengembangan. Untuk itu, perlu didukung dengan penataan ruang wilayah dan penyediaan infrastruktur di wilayah perbatasan yang lebih memadai sehingga memudahkan interaksi antar sektor dan antar wilayah. Beberapa penelitian telah dilaksanakan terutama berkaitan dengan pengembangan potensi ekonomi dan sosial budaya untuk meningkatkan standar hidup di wilayah perbatasan. Penelitian–penelitian terdahulu hanya mengeksplorasi potensi ekonomi sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan penentuan prioritas pembangunan dalam rangka pengembangan ekonomi di wilayah perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan district enclave Oekusi yang berbasis pada persepsi stakeholder, model pengembangan ekonomi wilayah dan penentuan leading sector.
13 1.3. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya maka
rumusan
masalah penelitian yang akan dikaji adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi stakeholder mengenai pengaruh pisahnya Timor Leste terhadap Kabupaten TTU? 2. Bagaimana persepsi stakeholder terhadap penentuan prioritas pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi? 3. Sektor-sektor ekonomi apa yang menjadi sektor unggulan dan leading sector di Kabupaten TTU sebagai wilayah yang berbatasan dengan district enclave Oekusi?
1.4. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji revitalisasi pengembangan ekonomi lokal dan penentuan prioritas pembangunan di wilayah perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara dengan district enclave Oekusi. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui persepsi stakeholder mengenai pengaruh pisahnya Timor Leste terhadap Kabupaten TTU. 2. Untuk menganalisis persepsi stakeholder terhadap prioritas pengembangan ekonomi wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi. 3. Untuk menganalisis sektor-sektor ekonomi yang dapat dijadikan sebagai sektor unggulan dan leading sector di Kabupaten TTU. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai: 1. Bahan acuan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi. 2. Bahan acuan bagi stakeholder dalam melakukan aktivitas perekonomian di wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi. 3. Bahan rujukan penelitian–penelitian selanjutnya.