I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai Di negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, dengan tingkat kesejahteraan masih rendah, pembangunan menjadi sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan yang dilakukan selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan, apabila pembangunan yang dilakukan tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Pembangunan yang baik adalah pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu dengan memperhatikan mempertimbangkan aspek lingkungan sejak perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, sampai pembongkarannya (demolish). Adanya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan, dapat dikatakan bahwa pembangunan tersebut sudah merupakan bagian dari pembangunan yang berkelanjutan. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan
terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembagunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Adapun pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) haruslah memiliki konsep dalam melaksanakan kegiatan pembagunannya, yaitu : (a) Konsep pembangunan, (b) Konsep lingkungan, (c) Konsep sosial budaya. Kegiatan pPembangunan yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan manusia. Pertambahan populasi penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas, sehingga faktor pertambahan penduduk ini mempengaruhi perubahan yang besar dalam lingkungan hidup (Soemarwoto, 2001). Agar berperan aktif dalam pembangunan, maka sSumberdaya tidak hanya harus berperan aktif dan tidak hanya dikelola secara berkelanjutan (sustainable management), tetapi perlu
2
dikelola menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang berkelanjutan tersebut memerlukan keseimbangan antara ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga aspek tersebut harus dapat diwujudkan melalui trade off yang dapat diterima dan disepakati para pihak (Rossi, 2004). Pertambahan penduduk perkotaan di Indonesia sangat pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015 (BPS, 20033). Salah satu implikasi tingginya kKepadatan penduduk perkotaan tersebut berimplikasi
padaadalah
mepeningkatanya
kebutuhan
perumahan,
yang
merupakan masalah utama kota-kota besar di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan adanya hubungan kuat antara penyebaran pengembangan perumahan dengan ketersediaan lahan, harga tanah, dan aksesibilitas. Bahkan karena keterbatasan lahan, maka kualitas lingkungan dan perumahan
masuk pada
kategori tidak layak jika ditinjau dari segi kesehatan. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup manusianya, pemerintah telah melakukan peremajaan kota sebagai upaya penataan kembali bagian kawasan kota dengan cara mengganti sebagian, atau seluruh dari unsurunsur lama dengan yang lebih baru. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan vitalitas serta kualitas lingkungan baik secara fisik, fungsional, maupun visual. Adanya peningkatan vitalitas dan kualitas lingkungan, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih baik bagi kehidupan kota secara keseluruhan. Adapun salah satu cara untuk meningkatkan vitalitas dan kualitas lingkungan tersebut dengan cara melakukan pembangunan rumah susun, . Bbaik
dalam
bentuk rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) ataupun rumah susun sederhana milik (Rusunami). Pembangunan rumah susun sebagai kebijakan pembangunan perumahan telah lama dilaksanakan. Rumah susun yang pertama dibangun pada tahun 1950an adalah berupa flat perumahan instansi pemerintah di Jalan Iskandarsyah, Jakarta Selatan, diperuntukkan bagi perumahan PNS Departemen Luar Negeri.
3
Namun saat ini rumah susun tersebut telah beralih fungsi menjadi kawasan bisnis Pasar Raya. Selain itu juga terdapat rumah susun Flat PTIK di Jl. Tirtayasa, yang hingga saat ini kondisinya masih terawat dengan baik. Rumah susun lainnya adalah Rumah Susun Kebon Kacang yang merupakan pembangunan rumah susun (public housing) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rusunawa seperti tersebut di atas juga telah dibangun di Tanah Abang, Penjaringan, Cengkareng, Medan, Bandung, Batam dan lain-lain. Menurut para stakeholders, dengan membangun rumah susun di daerah perkotaan, maka kota dapat ditata dengan rapi, efisien, dan kota bercitrakan modern. Hingga saat ini telah dilakukan berbagai penelitian yang mencoba mencari hubungan pengembangan perumahan dengan aspek keberlanjutan, baik ditinjau dari fisik lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Elder dan Zumpano (1991) telah melakukan penelitian kepemilikan lahan, permintaan perumahan dan lokasi perumahan. Penelitian ini mendapatkan hasilHasil penelitian tersebut menyatakan bahwa salah satu aspek yang menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan rumah adalah jarak lokasi perumahan ke tempat kerja. Hal tersebut menjadi pertimbangan pemilihan rumah oleh kepala keluarga yang menggunakan sarana angkutan umum. Penelitian lainnya dilakukan oleh Almeida (1998) yang meneliti model tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa dinamika tata guna lahan memberikan estimasi pada perkembangan perkotaan berkelanjutan. Tamin (2001) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa belum ada pemodelan yang menjelaskan penentuan lokasi perumahan berkelanjutan secara komprehensif. Sheiner dan Kaster (2002) melakukan penelitian tentang gaya hidup, pilihan lokasi perumahan dan mobilitas sehari-hari. Hasil penelitian tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa pilihan lokasi perumahan dan mobilitas sehari-hari adalah hal yang saling terkaitberhubungan. Ionnides dan Rossi-Housberg (2004) meneliti struktur dan pertumbuhan kota, dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pola konsentrasi
kegiatan
ekonomi
dan
evolusinya
merupakan
determinan
pertumbuhan ekonomi nasional. Evaluasi distribusi kota memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
4
Freeman
(2004)
meneliti
tentang
trend
lokasi
perumahan,
hasil
penelitiannya menunjukkanhasil penelitiannya menunjukkan bahwa kedekatan dengan lokasi perumahan pemerintah dapat meningkatkan keterjangkauan daya beli rumah murah. Winarso (2004) meneliti tentang kebijakan pertanahan untuk pengembangan lahan perumahan di Indonesia. Hasil, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan lahan perkotaan termasuk faktor eksogen, yang akan yang akan mempengaruhi keputusan para pengembang dalam memilih lokasi perumahan. Dilain pihak pDi lain pihak pembangunan perumahan khususnya rusunawa tentunya membutuhkan banyak sumberdaya alam sebagai bahan baku konstruksinya, seperti: pasir, batu, semen, besi, kayu, dll. Keberadaan bahanbahan bangunan tersebut sangat terbatas secara kuantitas di alam. Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan, saat ini sudah dalam tahap memprihatinkan. Kegagalan pengelolaah hutan produksi secara lestari, telah menyebabkan banjir, longsor, erosi sampai berkurangnya penyerapan CO2 yang berpengaruh pada perubahan iklim global. Hutan Indonesia mencapai 63% dari luas daratan
dan menjadi bagian
penting dari paru-paru kehidupan dunia, sehingga kelestarian hutan Indonesia tidak hanya menjadi kepentingan Bangsa Indonesia tetapi juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di seluruh dunia (Poernama, 2006). Akan tetapi di Indonesia sampai sekarang terus terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang menyebabkan penurunanpenurunan penutupan vegetasi hutan. Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985/1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 19972000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2005-2010 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Demikian juga penggalian pasir dan batu yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan telah menyebabkan bahaya banjir dan longsor yang menelan korban jiwa. Kondisi tersebut di atas mendorong perlunya Demikian juga penggalian pasir dan batu yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan telah menyebabkan bahaya banjir dan longsor serta menelan korban jiwa.
5
penelitian tentang sistem pembangunan rusunawa yang ramah lingkungan, yang
dalam
pelaksanaan
pembangunannya
secara
fisik,
memanfaatkan
sumberdaya alam seminimal mungkin. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu disusun suatu model pengembangan rusunawa yang ramah lingkungan dengan mengoptimalkan pelaksanaan konstruksi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi yang ideal untuk mengefisiensikan pelaksanaan pembangunan rusunawa, sehingga mewujudkan pengembangan Rusunawa yang memperhatikan kelestarian lingkungan (environmental sustainability). 1.2
Perumusan Masalah Tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan dan sangat terbatasnya
lahan mengakibatkan kondisi pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman di perkotaan masih belum terealisir sepenuhnya. Bahkan kondisi ini terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia, karena pertambahan penduduk setiap tahunnya relatif tidak diimbangi dengan ketersediaan perumahan dan permukiman. Selain itu, permasalahan yang menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan perumahan adalah akibat kemampuan ekonomi masyarakat yang terbatas. Sebagai perbandingan, persentase alokasi dana APBN dalam memfasilitasi pembangunan perumahan
di
Indonesia,
dibanding
dengan
negara-negara
lain
adalah
sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
(%) Gambar 1. Perbandingan persentase APBN dalam memfasilitasi pembangunan perumahan, (Menpera, 2009) Kondisi tersebut menyebabkan masalah kekurangan rumah (backlog) di Indonesia masih terus meningkat. Sensus perumahan yang dilaksanakan BPS Tahun 200710 menunjukkan angka backlog sebesar 8,5 juta dan perlunya
6
rekonstruksi rumah akibat bencana alam sebesar 118 ribu unit, adanya rumah tidak layak huni 13 juta unit, permukiman kumuh pada 54 ribu hektar di 10 ribu lokasi dan pertambahan kebutuhan rumah 800.000 unit/tahun. Pada uUmumnya pembangunan perumahan untuk golongan menengah ke atas lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pembangunan rumah sederhana untuk kelompok menengah ke bawah. Padahal, dilihat dari statistik dan komposisi penduduk, jumlah penduduk yang masuk kategori menengah ke bawah jauh lebih banyak dibanding kelas menengah atas. Sementara itu, pembangunan perumahan sederhana maupun Rusunawa dapat dikatakan belum menunjukkan pertumbuhan berarti. Perumahan untuk masyarakat menengah ke bawah dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bahkan hampir tidak ada yang dikembangkan oleh pengembang. Menurut Suwito S. (2004), hantaman kKrisis ekonomi yang membuat harga bahan bangunan menjulang semakin memperpuruk kondisi rakyat kecil terhadap kebutuhan papan. Pada tahun 2006 pemerintah mencanangkan program pembangunan 1.000 menara rumah susun sederhana (Rusuna), baik itu Rusunawa (sewa) yang akan dikembangkan
oleh
pemerintah
maupun
Rusunami
(milik)
yang
akan
dikembangkan oleh swasta. Target ini diharapkan dapat dicapai pada tahun 2011, dengan melibatkan stakeholders, namun realisasi pembangunan Rusuna sampai saat ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah menara Rusuna yang telah dibangun lima tahun terakhir. (Menpera, 2011) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Melihat
Rusunawa 50 67 86 98 55 49 143
lambatnya
perkembangan
Rusunami 7 94
pembangunan
Total 50 67 86 105 149 49 143
Rusunami
oleh
pengembang swasta, maka pemerintah merencanakan pembangunan 650 menara Rusunawa selama lima tahun, sebagaimana rencana pada Tabel 2. Tabel 2. Rencana pembangunan Rusunawa, (Bappenas, RPJMN 2010-2014) Tahun
Rusunawa (menara)
7 2010
170
2011
170
2012
170
2013
70
2014
70
Kalau dilihat dari rencana masa pelaksanaan pembangunan Rusuna, baik Rusunami yang akan dibangun pengembang maupun Rusunawa yang akan dibangun pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum, akan ada pembangunan 200 menara setiap tahun. Hal ini akan menyebabkan penggunaan sumber daya alam untuk bahan bangunan secara besarbesaran, khususnya penggunaan kayu, pasir, batu, semen sampai besi. Bahanbahan bangunan tersebut tentunya akan diambil langsung dari alam, yang dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada saat pelaksanaan konstruksi, kayu dimanfaatkan sebagai bahan bangunan utama berupa kusen, rangka atap, daun pintu dan jendela, maupun untuk bahan bangunan pendukung konstruksi berupa bekesting dan perancah. Biasanya kayu diambil langsung dari hutan, dengan menebang pepohonan yang berfungsi sebagai penyedia O2, penyerap CO2, pencegah erosi dan banjir. Demikian juga dengan bahan bangunan lain seperti pasir dan batu, yang biasanya langsung diambil dari sungai atau pegunungan, yang berfungsi sebagai penahan tanah longsor dan banjir. Dalam penyediaan bahan bangunan yang diambil dari alam, kemudian diolah sampai menjadi bahan siap pakai untuk dipasang dan dirakit sebagai bagian konstruksi, memerlukan banyak energi. Baik itu energi yang dihasilkan oleh bahan bakar yang dapat diperbaharui seperti: nabati, air, angin, sinar matahari, maupun dari bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui seperti dari fosil-fosil. Sebagaimana diketahui, sampai saat ini bahwa mayoritas energi yang dipakai adalah dari bahan bakar fosil, yang dalam penggunaannya mengeluarkan emisi CO2 sebagai salah satu gas rumah kaca. Melihat kondisi tersebut di atas, bahwa penggunaan kayu dalam pembangunan fisik Rusunawa dapat mengurangi persediaan O2 dan mengurangi pula penyerapan CO2 oleh tanaman kayu tersebut. Kondisi yang sama juga terjadi
8
pada pemanfaatan sumber daya alam berupa pasir, batu dan semen yang dapat mengurangi daya dukung lingkungan, ditambah kebutuhan energi untuk membuat bahan bangunan agar siap pakai. Oleh karena itu dirasa perlu melakukan penelitian terhadap cara-cara pelaksanaan konstruksi yang ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan sumber-sumber daya alam yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Adanya pPembangunan rusunawa ini tentu saja tidak serta merta menyelesaikan permasalahan pemenuhan kebutuhan akan rumah, karena dalam pelaksanaan pembangunannya harus mempertimbangkan kesiapan dan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu beberapa fokus permasalahan yang dapat diformulasikan, untuk dicarikan jawabannya adalah: 1. Bahan bangunan apa saja yang termasuk katagori ramah lingkungan, baik dari segi kebutuhan energi pembuatannya, pemasangannya, sampai pengelolaannya, hingga perkiraan dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya ? 2. Jenis pelaksanaan konstruksi seperti apa yang dapat dipilih, agar seminimal mungkin menggunakan bahan-bahan bangunan dari sumber daya alam, yang berdampak pada ketahanan lingkungan ? 3. Bagaimana kesediaan stakeholders dalam mengembangkan Rusunawa dengan metoda pelaksanaan dan penggunaan bahan bangunan yang ramah lingkungan (green building) ? 4. Apa saja kendala yang dihadapi selama ini dalam mengembangkan Rusunawa melalui optimasi pelaksanaan konstruksi
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah membangun model pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan (green building) dengan optimasi pelaksanaan konstruksi. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan berbagai kajian yang akan mendukung tujuan penelitian, yaitu: 1. Menganalisa gidentifikasi jenis–jenis bahan bangunan utama yang berperan penting ramah lingkungan ddalam beberapa alternatif pelaksanaan konstruksi
9
pengembangan
Rrusunawa
yang
berpotensi
menimbulkan
dampak
lingkungan;ramah lingkungan. 2. Mengidentifikasi alternatif pelaksanaan konstruksi pembangunan Rrusunawa yang ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi bangunan hijau (green building construction).; 3. Mengidentifikasigidentifikasi kendala dalam
pelaksanaan pengembangan
Rrusunawa yang ramah lingkungan;. 4. Mengembangkan model pengembangan Rrusunawa yang ramah lingkungan;. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai : 1. Gambaran umum tentang permasalahan perumahan dan permukiman, khususnya dalam pengembangan pelaksanaan pembangunan Rusunawa yang ramah lingkungan. 2. Informasi tentang bahan-bahan bangunan yang ramah lingkungan, yaitu yang hemat energi dengan tingkat emisi minimal, yang dibutuhkan dalam pembangunan Rusunawa. 3. Alternatif model pelaksanaan konstruksi pengembangan Rusunawa, sebagai salah satu strategi pemenuhan kebutuhan rumah yang ramah lingkungan. 4. Referensi dalam pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan. 5. Informasi ilmiah untuk pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan (green building) melalui optimasi pelaksanaan konstruksi bangunan hijau (green construction). 1.5 Kerangka Pemikiran Pembangunan Rusunawa sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan, telah lama dikembangkan pemerintah, khususnya lagi setelah pencanangan pengembangan 1.000 menara Rusuna. Rusunawa yang akan dikembangkan adalah yang direncanakan memenuhi aspek-aspek keberlanjutan, yaitu hemat energi, hemat sumber daya alam, nyaman dan aman serta seminimal mungkin menghasilkan limbah dan sampah (green building). Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2010, yang dimaksud dengan bangunan ramah lingkungan (green
10
building) adalah suatu bangunan yang menerapkan prinsip lingkungan dalam perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaannya dan aspek penting penanganan dampak perubahan iklimMenurut . Iggnes (2008), menyatakan bahwa bangunan yang berkelanjutan haruslah memiliki konsep sebagai berikut: (1) Pemilihan material yang low energy-embody; (2) Orientasi tata letak bangunan; (3) Hemat energi; (4) Hemat penggunaan air; (5) Memiliki recycle air buangan; (6) Penanganan sampah 3R (reuse, reduce, recycle); (7) Low heat dissipation; (8) Memperhatikan unsur iklim lokal; (9) Penggunaan HVAC yang ramah ozon; (10) Memiliki juklak/SOP pengoperasian bangunan dengan spirit penghematan energi dan sumber-sumber yang digunakan. Selain
itu,
menurut
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
Umum
No:
05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi diantaranya memberikan acuan untuk pembangunan Rusunawa dengan cara sebagai berikut: 1. Menerapkan rancangan, teknologi konstruksi, mekanikal dan elektrikal, maupun pengelolaan rumah susun hemat energi. 2. Maksimalisasi ventilasi silang secara alami untuk menaikkan tingkat nisbi dan menurunkan suhu ruangan. 3. Minimalisasi pemakaian lampu dengan memaksimalkan pencahayaan alami. 4. Menggunakan peralatan managemen air, udara, tinja dan lain lain yang hemat energi. 5. Menggunakan sistem utilitas daur ulang seperti daur ulang pembuangan air untuk menyiram taman. 6. Mengunakan bahan bangunan maupun teknologi pembangunan yang tidak mengkonsumsi banyak energi. 7. Melaksanakan pembangunan dengan menggunakan seminimal mungkin bahan baku dari alam 8. Menata lingkungan dan lanskap di sekitar bangunan gedung dengan menanam banyak pohon juga merupakan salah satu upaya penghematan energi yang juga dapat mengurangi pemanasan global. Di lain pihak, permasalahan pemanasan global juga sampai saat ini belum menemukan solusi terbaik. Pertemuan para kepala negara dan pemerintahan di
11
Kopenhagen, Denmark beberapa waktu lalu, belum menghasilkan kesepakatan bersama yang mengikat untuk mengurangi emisi CO2, sebagai salah satu gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global sampai perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu peserta, berpartisipasi secara mandiri akan mengurangi emisi CO2 sebesar 26 % pada 2020, melalui pengurangan laju luasan hutan (deforestasi), baik penebangan pohon, maupun akibat kebakaran. Melihat kondisi tersebut dan kaitan dalam mencapai target pembangunan 1.000 menara rusuna, maka diperlukan suatu optimasi atau eksplorasi tata cara pembangunan rumah susun yang ramah lingkungan, dengan seminimal mungkin menggunakan sumber daya alam, khususnya kayu. Salah satu metoda pelaksanaan konstruksi yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan sistem beton pracetak (pre cast) Dengan sistem ini, beton dicetak terlebih dahulu, baik di pabrik atau di lapangan, selanjutnya baru dirakit di lapangan sesuai kebutuhan perencanaan. Cetakan beton (bekisting) biasanya terbuat dari besi yang dapat dipakai berulangulang (Ervianto 2006). Pada pelaksanaan beton biasa (konvensional), beton dicetak di lapangan sesuai bentuk strukturnya, dengan sistem beton biasa dibutuhkan banyak kayu untuk cetakan beton (bekisting) berikut penyangganya, cetakan kayu ini umumnya hanya bisa dipakai 1-2 kali saja, selanjutnya dibuang, karena setelah dipakai akan terjadi perubahan bentuk kayu karena kembang-susut pengaruh akibat air beton. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat bukti potensial akan manfaat teknologi dan sistem beton pracetak ini. Untuk penggunaan beton pracetak bagi pembangunan rusunawa, telah ditemukan beberapa hal seperti di bawah ini (Nurjaman dan Sijabat, 2007): •
Efisiensi biaya bisa mencapai 20 % jika dibandingkan pada rancangan awal dengan sistem konvensional.
•
Efisiensi waktu pelaksanaan pembangunan (misalnya dengan sistem konvensional waktu pelaksanaan 8 bulan, pada sistem pracetak dapat menjadi 6 bulan).
•
Ketahanan bangunan terhadap gempa lebih besar dibandingkan dengan sistem konvensional.
12
•
Mengurangi pemakaian bahan bangunan, khususnya penggunaan kayu yang bisa dihemat sampai lebih dari 95 %, tergantung metoda yang digunakan. Dengan demikian diharapkan, selain secara perencanaan sudah ramah
lingkungan (green design), secara pelaksanaan konstruksi juga ramah lingkungan (green construction). Berkurangnya pemakaian bahan bangunan pada sistem ini, khususnya kayu, sudah barang tentu akan mengurangi penebangan pohon di hutan (deforestasi), sehingga memberikan kontribusi dalam mempertahankan luasan hutan, yang berfungsi sebagai penyerap CO2. Adapun kerangka pemikiran yang penelitian sebagaimana tertera pada Gambar 2.
UU 1/2011 UU 28/2002
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
1.6 Novelty Penelitian terkait sebelumnya banyak mengkaji model penentuan lokasi dan model engembangan perumahan yang berkelanjutan dengan rekomendasi pembangunan rusunawa. Namun penelitian yang lebih fokus pada cara pembangunan rusunawa, agar dapat dilaksanakan secara ramah lingkungan, sampai saat ini belum ada. Berdasarkan hal tersebut maka model kebijakan pengembangan
rusunawa
yang
ramah
lingkungan
berkelanjutan
(green