1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan pariwisata Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2012) melaporkan bahwa jumlah wisatawan nusantara (wisnus) pada Tahun 2007 berjumlah 115.335.000 orang dengan total pengeluaran Rp.108,96 triliun. Sejak Tahun 2007-2010 jumlah wisnus mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2% dengan total pengeluaran rata-rata 11.4% setiap tahunnya. Sementara itu jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 5,1 juta pada Tahun 2001 meningkat menjadi 6,2 juta pada tahun 2008, atau meningkat sebesar 21,5%. Penerimaan devisa meningkat dari USD 5,4 miliar pada Tahun 2001 menjadi USD 7,3 miliar pada Tahun 2008, atau meningkat sebesar 35,89%. Dalam kurun waktu Tahun 20012008 telah terjadi peningkatan kunjungan wisman rata-rata sebesar 4,4% per tahun, dengan penerimaan devisa rata-rata sebesar 12,56 persen per tahun. Peningkatan yang terjadi menjadikan sektor pariwisata sebagai penyumbang terbesar devisa negara urutan ke-6 pada Tahun 2006, naik ke urutan ke-5 Tahun 2007 dan pada Tahun 2008 naik ke peringkat 4 (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010). Dalam beberapa
dekade terakhir
sebagai
akibat dari kemajuan
pembangunan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan kesadaran global terhadap aspek lingkungan, telah berkembang suatu jenis jasa wisata yang disebut dengan ecotourism atau ekowisata (Nugroho, 2011). Ekowisata sebagai bagian dari pariwisata pada umumnya tak lepas dari keindahan dan kekayaan alam serta keragaman budaya. Potensi yang luar biasa ini pernah diungkapkan oleh Presiden Soekarno pada sebuah rapat raksasa di Merauke Papua. Beliau menggungkapkan bahwa “tidak ada satu di luar Indonesia yang secantik Indonesia ini! Lautnya biru seperti Zamrud dan pulau-pulaunya itu seperti permata. Pendeknya Indonesia adalah satu tanah air yang paling cantik,
2
paling kaya, paling luas, paling, paling, paling, paling, paling,…segalanya!” (Departemen Penerangan, 1964). Sebagian data menjustifikasi bahwa Indonesia sebagai negara yang terletak di daerah khatulistiwa memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi (Nandika, 2005). Hutan di Indonesia adalah habitat bagi kurang lebih 38.000 jenis tumbuhan termasuk 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10% dari tumbuhan berbunga di dunia, yang separuhnya merupakan jenis endemik Indonesia), 515 spesies mamalia (12% jenis mamalia dunia), 511 spesies reptilia (7,3% dari jenis reptilia dunia), 270 spesies amphibia, 1.531 jenis burung (17% spesies burung dunia), 2.827 jenis binatang tak bertulang, kupu-kupu sebanyak 121 spesies (44% jenis endemik), serta lebih dari 25% spesies ikan air laut dan air tawar di dunia. Disamping itu, Indonesia memiliki tumbuhan palma sebanyak 477 spesies (47% endemik) dan kurang lebih 3.000 jenis spesies tumbuhan penghasil bahan berkhasiat obat. Di antara berbagai jenis tumbuhan dan satwa di atas beberapa diantaranya merupakan jenis-jenis yang baru ditemukan, terutama di kawasan-kawasan hutan di daerah Papua (Kementerian Kehutanan, 2010). Sementara itu berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan tata guna hutan kesepakatan (TGHK), Indonesia memiliki kekayaan sumber daya hutan seluas 134.275.567,98 juta hektar (Kementerian Kehutanan, 2012) yang tersebar di berbagai pulau utama dan peruntukannya dibagi menjadi 5 kategori, yaitu 19,2% sebagai kawasan konservasi, 23,7% sebagai hutan lindung, 16,8% sebagai hutan produksi terbatas, 25,1% sebagai hutan produksi tetap dan 15,3% sebagai hutan produksi konversi. Sejarah perkembangan ekowisata tidak terpisahkan dari keberadaan kawasan konservasi (Nugroho, 2011). Kawasan konservasi berdasarkan penutupan lahan memiliki luasan 14.365.000 ha (Departemen Kehutanan, 2005) atau secara keseluruhan berjumlah 527 unit kawasan konservasi daratan dan laut, yang meliputi 50 unit Taman Nasional (TN), 118 unit Taman Wisata Alam (TWA), 22 unit Taman Hutan Raya (Tahura), 14 unit Taman Buru (TB), 248 unit Cagar Alam (CA), dan 75 unit Suaka Margasatwa (SM). Bagi kawasan konservasi laut telah ditetapkan sebanyak 7 unit Taman Nasional, 5 unit Cagar Alam, 2 unit
3
Suaka Margasatwa, dan 14 unit Taman Wisata Alam (Kementerian Kehutanan, 2010). Kawasan TWA Gunung Meja (TWA GM) sebagai salah satu dari enam taman wisata alam di Provinsi Papua Barat (BPS Papua Barat, 2012) telah ditetapkan
oleh
Pemerintah
lewat
Surat
Keputusan
Menteri
Pertanian
No.19/Kpts/UmI/1980. Disebut Gunung Meja karena bentuk fisiografi kawasan yang membentang menyerupai meja yaitu pada tepi batas kawasan dari arah Barat Laut ke arah Tenggara mempunyai kecuraman lebih dari 25%, sedangkan di bagian tengah kawasan relatif datar atau sekitar 0-8% (Manuhua, 2007). Kawasan ini juga masih memiliki tutupan hutan yang relatif masih baik yaitu sekitar 90% dari luasan keseluruhan 460,25 ha dan di sekeliling maupun di dalam kawasan telah terdapat jalan beraspal. Masyarakat suku Arfak yang mendiami kampung Ayambori terletak berbatasan langsung dengan batas kawasan bagian Timur. Adanya aspek keindahan maupun keunikan alam serta budaya masyarakat setempat menjadikan kawasan TWA GM sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Sistem informasi geografis atau sering disingkat SIG merupakan alat bantu utama dalam pengembangan ekowisata. SIG dapat menyediakan data spasial yang sesuai dengan bentuk dunia nyata (real time). Dengan kata lain, SIG mampu mengekstraksi komponen-komponen geografis di atas permukaan bumi ke dalam bentuk yang lebih kecil (peta) sehingga memberikan kemudahan bagi pengelola dalam mengambil keputusan yang terkait dengan manajemen kawasan. 1.2 Masalah Permasalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan selalu berkaitan erat dengan dua aspek utama yaitu sosiosistem dan ekosistem. Pada umumnya masyarakat suku Arfak yang tinggal di sekitar kawasan TWA Gunung Meja memiliki tingkat pengetahuan dan pendapatan yang relatif rendah dengan sifat keterbukaan terhadap pihak luar yang relatif tinggi. Mereka relatif kurang diberdayakan oleh Pemerintah Daerah setempat, hal ini diindikasikan dengan tingginya kasus kriminalitas yang terjadi di antara kalangan
4
mereka1. Selain itu keragaman budaya yang mereka miliki sebenarnya dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata2 yang menarik, namun sampai saat ini pembinaan oleh Pemerintah Daerah setempat masih sangat minim. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian subsisten dan kebun buah-buahan di lahan sekitar pemukiman dan di tepi Kawasan TWA Gunung Meja. Pada bagian Timur kawasan yang berbatasan dengan jalan kini mulai terdapat pembukaan lahan untuk penanaman tanaman buah-buahan seperti lansat, durian dan rambutan. Tekanan yang sama juga terjadi pada bagian Barat hingga Selatan kawasan yang tepat berbatasan dengan pemukiman perkotaan. Masyarakat masih bebas membuka lahan untuk menanam tanaman palawija dalam luasan yang terbatas. Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu untuk merayakan harihari besar masyarakat sering mengambil kayu (berukuran 10-20 cm) dan kulit kayu dalam jumlah besar untuk pembuatan pondok, pembuatan pagar kebun dan kayu bakar (Warsito, 2010). Kondisi ini diperparah lagi dengan kegiatan perburuan3 yang masih terjadi dan aktifitas pembuangan sampah di dalam kawasan4. Sikap vadalisme baik oleh masyarakat suku Arfak dan masyarakat kota terjadi sebagai akibat dari minimnya tindakan pengelolaan kawasan yang masih terbatas pada pengawasan, padahal di dalam kawasan terdapat banyak objek wisata yang sangat menarik. Dikhawatirkan jika tekanan pada kawasan dibiarkan terus menerus maka lama-kelamaan tentu akan mengancam keberadaan biodiversitas flora dan fauna serta fungsi hidroorologis dari kawasan TWA GM. Dalam mengatasi permasalahan yang terjadi diperlukan suatu strategi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat suku Arfak terutama lewat keindahan alam, keunikan budaya dan pola pertanian tradisional, serta sekaligus
1
Sejak penelitian ini dilakukan, satu kasus pembunuhan terjadi di dusun kecil dekat jalan Inamberi sebelah Timur kawasan. Kasus-kasus pembunuhan lainnya dapat dibaca di www.lenterapapuabarat.com (2012 dan news.okezone.com (2012) 2 Tarian “tumbu tanah” dan rumah kaki seribu 3 (www.kapanlagi.com, 2009) 4 (www.kompas.com, 2011)
5
dapat membentengi kawasan dari tindakan merusak yang datang terus menerus. Salah satu langkah konkrit yang dapat ditempuh adalah dengan pengembangan ekowisata. Fandeli dan Mukhlison (2000) berpendapat bahwa kawasan pengembangan untuk ekowisata perlu didasarkan pada rencana tata ruang dan kesesuaian lingkungan. Penelitian mengenai kesesuaian lahan dan desain tata ruang ekowisata dengan alat bantu teknologi sistem informasi geografis adalah langkah penting dalam menjelaskan tindakan manajemen kawasan di tingkat tapak. Penelitian ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : o
Bagaimana kondisi pal batas kawasan, berapa luasan dan keliling batas kawasan yang aktual, bagaimana perbandingannya dengan berbagai sumber peta lainnya?
o
Di mana letak lahan yang sesuai untuk sarana wisata di dalam blok pemanfaatan, jenis kegiatan wisata apa saja yang sesuai dengan kondisi lahan, berapa luasan tiap kegiatan wisata, bagaimana distribusinya?
o
Berapa luas daerah/blok yang harus dilindungi, di mana letaknya, bagaimana hubungannya dengan lokasi sarana dan objek wisata?
o
Di mana letak objek dan data tarik wisata yang menarik, berapa jumlahnya, berapa cakupan luas lahan tiap objek wisata, bagaimana sebarannya?
o
Bagaimana kondisi dan sebaran fasilitas eksisting termasuk sistem jaringan jalan, listrik, air bersih dan telekomunikasi yang terdapat di dalam dan di sekitar kawasan?
o
Apakah seluruh data yang dihasilkan dapat digunakan oleh pihak lain, bagaimana bentuknya, apakah mudah dalam penggunaannya? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Menilai kesesuaian lahan untuk pengembangan sarana wisata berdasarkan faktor sifat fisik tanah;
2.
Mengetahui desain tata ruang ekowisata yang optimal berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku;
3.
Membangun basis data spasial dan non spasial dalam bentuk aplikasi.
6
1.4 Manfaat Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama yang berkaitan dengan aplikasi SIG dalam perencanaan tapak kawasan taman wisata alam. Di samping itu bagi pembangunan daerah, penelitian ini dapat menjadi acuan dalam menilai kesesuaian lahan dan perencanaan tapak untuk pengembangan ekowisata, di hutan dataran rendah Papua bagian Utara dan Selatan. Hasil penelitian bermanfaat sebagai informasi penting bagi pengelola maupun stakeholders yang terkait dengan TWA Gunung Meja, khususnya dalam upaya mendukung penyusunan perencanaan tapak kawasan dan sebagai bahan pertimbangan dalam perancangan peraturan daerah. 1.5 Keaslian Penelitian Sejauh ini telah banyak penelitian mengenai pengembangan ekowisata. Li, dkk. (2012) di daerah Wuan China mengembangkan perhitungan kuantitatif dari persepsi wisatawan terhadap kualitas dan kuantitas bentang lahan berdasarkan data grid dan raster. Li, dkk. (2012) menggunakan SIG untuk membangun virtual 3 dimensi bentang lahan dari digital elevation model (DEM) dan citra beresolusi tinggi. Bunruamkaew & Murayama (2011) menilai kesesuaian lahan untuk ekowisata menggunakan SIG dan analisis proses hierarki (AHP). Kriteria yang digunakan antara lain : kenampakan, tutupan lahan, aspek perlindungan, keanekaragaman spesies, ketinggian, kelerengan, kedekatan terhadap lokasi budaya, jarak dari jalan dan ukuran pemukiman. Faktor-faktor tersebut dipilih menurut pendapat para ahli yang profesional. Pendekatan lain dengan SIG dan teknologi komputer dari jaringan komunikasi serta multimedia digunakan oleh Hai-ling, dkk. (2011) untuk pengelolaan informasi di dalam kawasan ekowisata. Alfra, dkk. (2008) membuat rencana penataan lansekap untuk ekowisata menggunakan karakter fisik dan sosial budaya dalam menentukan evaluasi lahan dan blok perencanaan. Hasil penataan lansekap berupa sketsa perencanaan lahan untuk ekowisata namun belum terikat dengan item lokasi penelitian karena tidak menggunakan SIG. Yilmaz (2011) menganalisis potensi ekowisata di distrik
7
Golhisar Turki dengan lebih menekankan pada ruang lingkup dan konsep ekowisata menggunakan teknologi global positioning system (GPS). Penilaian potensi ekowisata lainnya diteliti oleh Saudi (2009), Latupapua (2007), Indarwati (2004). Penelitian pengembangan ekowisata juga difokuskan pada kajian implementasi (Yudartha, 2012 ), kebijakan (Handojo, 2008; Efendi, 2009), ekonomi (Diki, 2011), dan sosial/berbasis masyarakat (Citra 2012; Hendarini, 2010; Subandi 2006). Studi pengembangan ekowisata lebih banyak dilakukan pada kawasan hutan. Kajian potensi (Faridh, 2011; Bahri, 2011; Wibawanto, 2011; Mahfud, 2011; Widodo, 2011; Herturiansyah, 2011; Haruna, 2011; Hermita, 2010; Farid, 2006; Muhibbudin, 2005) dan strategi (Muttaqin, 2012; Dirawan, 2006) lebih banyak diminati. Beberapa penelitian lebih tertuju pada pengembangan ekowisata berbasis masyarakat (Martani, 2010; Mooy, 2010; Wuryani, 2007; Setiawan, 2006; Nurdin, 2005) dan perencanaan (Asmin, 2004) pada kawasan hutan. Khusus untuk wilayah Papua penelitian mengenai ekowisata pada bidang ekologi telah diteliti oleh Suartana (2013) di Suaka Margasatwa Jamursba Medi Kabupaten Tambrauw. Pada bidang sosial atau berbasis masyarakat diteliti oleh Wanma (2011) di daerah Raja Ampat dan Wuryani (2007) di daerah Taman Nasional Wasur Merauke. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini lebih menekankan pada penerapan metode penilaian kesesuaian lahan untuk sarana wisata berdasarkan klasifikasi sifat fisik tanah dan teknik pengolahan data secara keseluruhan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Pada lokasi yang sama terdapat dua penelitian yang mirip dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Basna (2007) dan Basna (2012). Basna (2007) dan Basna (2012) mengkaji model pengelolaan TWA GM berdasarkan hasil interpretasi citra satelit, pengolahan data SIG dan hasil wawancara yang dikonversi menjadi data interval untuk dijadikan input dalam pengolahan selanjutnya dengan statistik deskriptif. Terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam penelitian Basna (2007) dan Basna (2012) sehingga relatif belum dapat dijadikan sebagai data pendukung penelitian ini.
8
Beberapa kelemahan yang dimaksud antara lain : (1) Basna (2007) dan Basna (2012) menggambarkan batas kawasan TWA GM yang relatif tidak mengacu pada sumber peta yang baik dan benar atau tidak dilakukan pengambilan data pal batas kawasan sehingga peta-peta milik Basna (2007) dan Basna (2012) relatif tidak sesuai dengan kondisi aktual batas kawasan TW GM. (2) beberapa peta yang dihasilkan dalam Basna (2007) dan Basna (2012) merujuk pada peta tata guna lahan milik BAPEDA Manokwari [lihat halaman 143 dalam Basna (2012)]. BAPEDA Manokwari atau BP3D Kabupaten Manokwari sendiri sebenarnya mempunyai data penggunaan lahan (land use) yang merujuk pada peta RBI lembar 3015 (file “G3015”) milik Bakosurtanal. Dikoreksi lebih jauh bahwa antara peta tata guna lahan milik Basna (2012) dan milik BAPEDA/BP3D Manokwari sama sekali tidak mempunyai kesamaan. Pada peta skala besar (<1:20.000 untuk TWA GM) sangat tidak memungkinkan jika sebuah institusi membuat peta tata guna lahan yang sangat detail hingga mencapai delapan klasifikasi penggunaan lahan seperti yang dituliskan oleh Basna (2012). Kelas penggunaan lahan yang bersumber pada BAPEDA/BP3D sebenarnya hanya terbagi dalam tiga kelas yaitu mayoritas hutan rimba, lahan pemukiman dan perladangan. Hal ini memberikan indikasi bahwa Basna (2012) membuat peta tata guna lahan yang relatif tidak mengacu pada sumber peta BAPEDA/BP3D Kabupaten Manokwari. (3) Selain itu jika dilihat secara seksama, ada indikasi bahwa beberapa peta tematik yang dihasilkan secara teknis digambarkan menggunakan teknik konversi vector to raster dari data poligon tata guna lahan sebelumnya. Teknik tersebut digunakan untuk menimbulkan efek penggambaran yang serupa dengan hasil interpretasi citra yang dikonversi dengan metode raster to vector. (4) Pada peta pengelolaan kawasan berdasarkan blok juga cenderung hanya mengacu pada tata guna lahan (faktor vegetasi) dan tidak mengandung muatan faktor jenis tanah, lereng dan iklim. Cakupan beberapa kelemahan dari segi spasial sangat menentukan letak perbedaan antara keaslian dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Basna (2007) dan Basna (2012). Berikut pada
9
Tabel 1. ditampilkan penelitian-penelitian yang pernah dilaksanakan pada kawasan TWA Gunung Meja : Tabel 1. Daftar Penelitian pada TWA Gunung Meja No 1
Peneliti/Lembaga J. F. U. Zieck
Jenis Dokumen Laporan Penelitian Laporan Penelitian
2
TFPM TWA GM
3
Hastuti
4
Daud Leppe dan Max J. Tokede
5
Devi Manuhua
Skripsi (tidak dipublikasi)
6
Natalsen Basna
Tesis
7
Buku
8
Krisma Lekitoo, M. Matani, H. Remetwa, C.D. Heatubun Hans F. Z. Peday
9
Krisma Lekitoo
Tesis
10
Natalsen Basna
Disertasi
Skripsi (tidak dipublikasi) Buku
Tesis
Judul Bos Reserve “Tafelberg” et Manokwarie Potret dan Rencana Umum Pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari Kepekaan Erosi Tanah di Gunung Meja di Distrik Manokwari Potensi Biofisik Taman Wisata Alam Gunung Meja Kab. Manokwari Estimasi Penyebaran Potensi Erosi melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG) pada Kawasan Hutan Wisata Gunung Meja Kab. Manokwari Kajian Pengelolaan Hutan Wisata Alam Gunung Meja Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat Buah-buahan yang dapat dimakan di Kawasan TWA Gunung MejaPapua Barat Kajian Spasial Sebaran dan Keanekaragaman Vegetasi di Daerah Tangkapan Air TWA Gunung Meja Keanekaragaman Jenis dan Pola Komunitas pada Plot Monitoring Flora Taman Wisata Alam Gunung Meja Kab. Manokwari Model Pengelolaan Lingkungan Taman Wisata Alam Gunung Meja berbasis Analisis Model Persamaan Struktural (Kasus di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat)
Tahun 1960 2004
2005 2006
2007
2007
2008
2009
2011
2012