I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar
terhadap
upaya
pengentasan
kemiskinan
karena
pada
dasarnya
pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terusmenerus menjadi masalah yang berkepanjangan. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi d apat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin. Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang. Berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka - angka ini mengindikasikan bahwa programprogram penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 mengenai perbandingan antara tingkat kemiskinan di kota dan tingkat kemiskinan di desa dimulai dari tahun 2000-2008.
2
Gambar 1. Grafik kemiskinan antara kota dan desa tahun 2000-2008. Kemiskinan merupakan problem sosial yang hingga saa t ini belum dapat terpecahkan.
Tingginya
angka
kemiskinan
mendorong
permasalahan-
permasalahan sosial lain, seperti: kian sulitnya masyarakat memperoleh pekerjaan yang layak, rendahnya tingkat pendidikan yang dapat diraih, meningkatnya angka kriminalitas, berkembangnya konflik-konflik sosial antarmasyarakat, dan makin rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup. Kemiskinan di Indonesia bahkan cenderung mengalami kenaikan, menurut BPS (2008), jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta jiwa dari angka kemiskinan pada Maret 2005 sebesar 35,1 juta (15,97%). Meskipun angka ini sempat menurun pada tahun 2008 menjadi 34,96 juta (15,42%), banyak pihak memperkirakan kemiskinan akan meningkat kembali. Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah dilakukan oleh pemerintah. Program-program tersebut secara resmi dikelola pemerinta h pusat, seperti IDT (Inpres desa tertinggal) yang dilanjutkan dengan bermacam- macam program pemberdayaan masyarakat seperti : PPK (Program Pemberdayaan Kelurahan), P2MPD (Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), KPEL (Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal), PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) sedangkan program pengelolaan yang dikelola oleh
3
Pemerintah Daerah berupa PPMK, GERDU-TASKIN. Akan tetapi pelaksanaan berbagai program tersebut tidak disertai dengan koordinasi yang memadai lintas stakeholder sehingga sering terjadi tumpang tindih antar program, sedangkan sifat dari program-program tersebut hanya bersifat jangka pendek. Skema program yang sangat beragam di suatu lokasi seringkali justru membingungkan masyarakat dan mendorong terjadinya konflik horizantal antar masyarakat maupun konflik antar masyarakat dan aparat pemerintah desa. Hal ini berakibat banyaknya anggaran dan program/proyek penanggulangan kemiskinan belum mamp u mengurangi kemiskinan secara signifikan. Pada umumnya berbagai program tersebut mengadopsi penuh strategi penanggulangan kemiskinan yang telah berhasil di wilayah lain atau bahkan di negara lain tanpa disertai dengan adaptasi atau penyesuaian dengan karakteristik dan
kearifan
lokal.
Kebanyakan
program-program
ini
tidak
memiliki
keberlanjutan karena masyarakat tidak merasa memiliki bahkan merasa asing dengan polanya. Sangat jarang ditemui program yang mengadaptasi kearifan lokal sebagai strategi penanggulangan kemiskinan. Masyarakat merasa hanya menjadi obyek dari program/proyek dengan skema yang dipaksakan dari luar. Programprogram tersebut meskipun seringkali mengklaim bersifat partisipatif, namun dalam kenyataannya masyarakat hanya dilibatkan dalam pengambilan keputusan di tahapan akhir program (partisipasi semu). Maka dari itu diperlukan sebuah skenario/strategi yang tepat terhadap karakteristik dan kearifan lokal sehingga dapat diterima dan dijalankan dengan baik oleh masyarakat. Program tersebut tidak akan dinilai sebagai sesuatu yang dipaksakan dari luar namun memiliki akar yang kuat dalam tradisi atau budaya. Dengan partisipasi yang tinggi, masyarakat akan mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap program yang menjadi modal utama bagi jaminan keberlanjutannya di masa yang akan datang. Penelitian ini akan menggunakan studi kasus Kota Depok. Sebagai salah satu daerah penyangga ibu kota, Kota Depok memiliki arti strategis. Namun demikian, hingga saat ini kota Depok masih memiliki persoalan berat dengan tingginya angka kemiskinan yang mencapai 124.706 jiwa (Bapeda Depok, 2006). Kemiskinan di Kota Depok tersebar di enam kecamatan yaitu; kecamatan Sawangan, kecamatan Limo, kecamatan Beji, kecamatan Pancoran Mas,
4
kecamatan Sukmajaya dan kecamatan Cimanggis yang dapat dilihat di Gambar 1 jumlah penduduk miskin dan kepala keluarga miskin di Kota Depok. 35.000
30.702 28.232
30.000 25.000
23.642 21.235
20.000
Jumlah Penduduk Miskin (jiwa)
15.000 9.851 10.000
6.479
5.173 5.000
Kepala Keluarga (KK)
11.044
2.455
2.595
Kecamatan Limo
Kecamatan Beji
7.576 5.148
0 Kecamatan Sawangan
Kecamatan Pancoran Mas
Kecamatan Kecamatan Sukmajaya Cimanggis
Gambar 2. Jumlah penduduk miskin dan kepala keluarga miskin di kota Depok PDRB Kota Depok sebesar Rp. 8,97 triliun (BPS Kota Depok, 2006) sebenarnya Pemerintah Kota Depok memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah kemiskinan. Namun demikian, program penanggulangan kemiskinan yang ada dinilai kurang optimal dalam mengatasi kemiskinan karena tidak dilakukan secara terpadu. Masing- masing instansi masih melaksanakan berbagai program secara terpisah. Dibutuhkan strategi secara terpadu dalam kerangka kemitraan penanggulangan kemiskinan yang adaptif terhadap kearifan lokal. 1.2. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berik ut: 1. Bagaimana karakteristik kemiskinan di Kota Depok? 2. Bagaimana penentuan strategi kelembagaan untuk kemitraan Usaha Kecil Menengah (UKM) masyarakat miskin di Kota Depok? 1.3. Tujuan 1. Mengidentifikasi karakteristik kemiskinan di Kota Depok. 2. Mengidentifikasi aspek kelembagaan pada UKM masyarakat miskin di Kota Depok.
5
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat digunakan oleh para pemerintah Kota Depok khususnya dalam menentukan kebijakan ataupun alternatif- alternatif dalam pengentasan kemiskinan di Kota Depok dengan menggunakan program kemitraan, selain itu penelitian ini dapat dijadikan referensi maupun data dan informasi bagi penelitian sejenis yang meneliti permasalahan pemberdayaan masyarakat miskin dengan pola kemitraan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan difokuskan pada kajian mengenai kelembagaan dalam penanggulangan kemiskinan, karena kajian kemiskinan dari aspek kelembagaan masih sangat sedikit dan memerlukan elaborasi yang lebih luas dan spesifik dalam rangka pengentasan kemiskinan di Kota Depok.