I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan penerapan pembangunan berkelanjutan, dalam beberapa tahun terakhir paradigma kegiatan pariwisata mulai bergeser, dari mass tourism ke konsep pariwisata berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata (atraksi, aksesibilitas dan amenitas pariwisata) yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi masyarakat dan stakeholders, nilai kepuasan optimal bagi wisatawan dalam jangka panjang, serta kepedulian terhadap keseimbangan, kelangsungan dan keberlanjutan sumberdaya alam yang menjadi faktor terdepan sebagai tujuan wisata. Dengan kata lain, wisata berkelanjutan merupakan salah satu mekanisme pembangunan berkelanjutan, yang tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi secara regional maupun lokal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun juga memelihara kelestarian sumberdaya alam, dalam hal ini keanekaragaman hayati sebagai daya tarik wisata (Damanik dan Weber, 2006). Menurut Supriatna (2008), secara konseptual ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya pelestarian lingkunan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Saat ini tren ekowisata semakin meningkat seiring tren “back to nature”, karena ekowisata merupakan salah satu pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Berdasarkan publikasi yang dikeluarkan The International Ecotourism Society (TIES) tahun 2007, pertumbuhan ekowisata secara global pada tahun 2004 mencapai 3 kali lebih cepat dibandingkan industri pariwisata lainnya. Ini menggambarkan bahwa minat masyarakat terhadap ekowisata saat ini jauh lebih besar dibanding dengan pariwisata konvensional. Lebih lanjut menurut Supriatna (2008), di negara-negara berkembang ekowisata menjadi industri yang populer dan bernilai US$ 12 miliar setiap tahunnya. Indonesia merupakan salah satu negara megabiodiversitas yang didukung dengan keindahan alam yang sangat mempesona serta memiliki beranekaragam
budaya sehingga berpeluang besar untuk mengembangkan sektor pariwisata sebagai sumber devisa. Sektor pariwisata nasional terus mengalami peningkatan dan memberikan kontribusi bagi negara, sehingga sektor ini dapat diandalkan untuk menumbuhkan perekonomian nasional melalui kedatangan pengunjung mancanegara, pertumbuhan destinasi, dan membuka lapangan kerja baru. Pertumbuhan tingkat pengunjung mancanegara serta penerimaan devisa negara dari kunjungan tersebut terlihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Perkembangan Pengunjung Mancanegara 2004-2009 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah Pengunjung Mancanegara
Rata-rata Pengeluaran (usd)
Kunjungan
Pertumbuhan (%)
Per Kunjungan
Per Hari
5.321.165 5.002.101 4.871.351 5.505.759 6.429.027 6.452.259
19,12 -6,00 -2,61 13,02 16,77 0,36
901,66 904,00 913,09 970,98 1.178,54 995,93
95,17 95,86 100,48 107,70 137,38 129,57
Ratarata Lama Tinggal (hari) 9,47 9,05 9,09 9,02 8,58 7,69
Sumber : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia (2010)
Penerimaan Devisa Juta USD
Pertumbuhan (%)
4.797,90 4.521,90 4.447,98 5.345,98 7.373,39 6.302,50
18,85 -5,75 -1,63 20,19 38,00 -14,57
Sejak tahun 2002 pemerintah Indonesia telah merancangkan konsep ekowisata untuk membangun pariwisata rakyat yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Adapun visi ekowisata Indonesia adalah untuk menciptakan pengembangan pariwisata melalui penyelenggaraan yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya), melibatkan dan menguntungkan masyarakat setempat, serta menguntungkan secara komersial. Dengan visi ini ekowisata memberikan peluang yang sangat besar, untuk mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional, regional maupun lokal. Hal ini sejalan dengan tujuan ekowisata di Indonesia yaitu untuk (1) Mewujudkan penyelenggaraan wisata yang bertanggung jawab, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam, peninggalan sejarah dan budaya; (2) Meningkatkan partisipasi masyarakat dan memberikan manfaat ekonomi
kepada
masyarakat
setempat;
dan
(3)
Menjadi
model
bagi
pengembangan pariwisata lainnya, melalui penerapan kaidah-kaidah ekowisata (www.ekowisata.com). Berdasarkan visi dan tujuan ekowisata Indonesia tersebut, maka konsep ekowisata harus mulai dikembangkan di daerah-daerah yang memiliki kekayaan 2
keanekaragaman hayati, peninggalan sejarah dan seni budaya yang merupakan daya tarik bagi pangsa pasar ekowisata. Daerah-daerah yang memiliki keanekargaman hayati yang tinggi dan berpotensi untuk pengembangan ekowisata pada umumnya adalah kawasan konservasi, seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam. Provinsi Papua Barat sejak tahun 2008 telah ditetapkan sebagai salah satu destinasi pariwisata di Indonesia oleh Departemen Pariwisata dan Kebudayaan Republik Indonesia, karena keindahan alam serta kenaekaragaman hayati yang dimiliki oleh provinsi ini. Adapun kawasan konservasi di Provinsi Papua Barat yang memiliki keindahan serta keanekaragaman hayati sebagai potensi wisata alam yang dapat dikembangkan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Kawasan Konservasi sebagai Potensi Wisata Alam di Provinsi Papua Barat Nama kawasan Kabupaten Betanta Barat Sorong Misool Selatan Sorong Pulau Waigeo Barat Sorong Pulai Waigeo Timur Sorong Salawati Utara Sorong Tamrau Utara Sorong Teluk Bintuni Teluk Bintuni Pegunungan Arfak Manokwari Pegunungan Wondiwoy Manokwari Kepulauan Raja Ampat Raja Ampat Sabuda Tataruga Fakfak Teluk Cendrawasih Teluk Wondama Gunung Meja Manokwari Beriat Sorong Klamono Sorong Sumber : Departemen Kehutanan (2004)
Fungsi Cagar Alam Cagar Alam Cagar Alam Cagar Alam Cagar Alam Cagar Alam Cagar Alam Cagar Alam Cagar alam Suaka Margasatwa Laut Suaka Margasatwa Laut Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Taman Wisata Alam Taman Wisata Alam
Luas (Ha) 16.749,08 84.000 153.000 119.500 57.000 368.365 124.850 68.325 73.022 60.000 5.000 1.453.000 500 9.193,75 1.909,37
Manokwari merupakan ibukota Provinsi Papua Barat yang terletak di bagian Kepala Burung Pulau Papua dan berada di sepanjang Teluk Doreri, memiliki keunggulan alami karena secara geografis memiliki panorama alami dengan keindahan alam yang sangat unik, terdiri dari perbukitan, pegunungan dan laut yang kaya akan potensi sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati sehingga potensial bagi pengembangan ekowisata. Kawasan konservasi yang ada di Manokwari terdiri dari Cagar Alam Pegunungan Arfak dan Pegunungan Wondiwoy serta Taman Wisata Alam Gunung Meja. Selain itu Manokwari juga memiliki keindahan laut, pesisir dan danau yang dijadikan sebagai objek wisata, 3
seperti Pantai Pasir Putih, Pantai Bakaro, Pantai Amban, Pantai Maruni, Pulau Mansinam, Pulau Lemon, Danau Kabori dan Danau Anggi. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Meja yang berbatasan langsung dengan wilayah Kota Manokwari memiliki potensi ekowisata yang potensial untuk dikembangkan. Berdasarkan Potret TWA Gunung Meja (2004), di TWA Gunung Meja terdapat keragaman flora, seperti jenis-jenis tumbuhan kayu dan non kayu (misalnya: palem, rotan, anggrek, herba, bambu, paku-pakuan, semak perdu, pandan dan liana). Selain keragaman flora, TWA Gunung Meja juga memiliki keragaman fauna dan ada beberapa yang endemik seperti kelompok burung (aves) di mana 14 jenis merupakan jenis endemik, kelompok kadal, kelompok amphibi, kelompok reptile, kelompok kura-kura dan kelompok mamalia. Keunggulan, keunikan dan keanekaragaman flora dan fauna, semakin diperkuat oleh karakteristik fisiografi yang melatarbelakangi kota, merupakan jajaran pegunungan dengan elevasi tertinggi 177 meter di atas permukaan laut yang beberapa sisinya terdapat tebing yang terjal dan lereng yang curam menampakkan panorama yang indah. Di beberapa sisi kawasan ini, tampak panorama laut dengan pantai pasir putih, birunya laut yang dipadu hijaunya pegunungan yang mengelilinginya. Selain itu Gunung Meja dicadangkan sebagai salah satu lokasi Kebun Botani di Nederland New Guinea (NNG) untuk pusat penelitian ilmiah bagi perwakilan Kepulauan Pasifik Selatan. TWA Gunung Meja merupakan miniatur hutan hujan tropis yang berfungsi sebagai paru-paru dan sumber air bersih serta penyanggah (Buffer zone) Kota Manokwari. Di dalam kawasan ini terdapat goa reservoir air dan goa alam sebanyak 19 goa dan 4 diantaranya merupakan goa berukuran besar yang menjadi tempat tinggal hewan malam seperti kelelawar dan binatang melata yang unik seperti cicak belang (lizard). Selain memiliki keunggulan dan keunikan flora dan fauna serta keindahan panorama, TWAGM juga merupakan saksi sejarah zaman penjajahan di Tanah Papua. Pada periode perang dunia II tentara sekutu memanfaatkan
Gunung
Meja sebagai
salah
satu
pos
pertahanan
dan
persinggahannya untuk strategi pertahanan militer di kawasan Pasifik Selatan. Sementara pada zaman pendudukan tentara Jepang, kawasan Gunung Meja dimanfaatkan sebagai kubu pertahanan militer, sehingga di kawasan ini dibangun
4
tugu Pendaratan Tentara Jepang divisi 221 dan 222 (Potret Taman Wisata Alam Gunung Meja, 2004). TWA Gunung Meja juga merupakan kawasan pengembangan wisata kluster I Papua Barat dan kawasan pengembangan wisata terpadu Kabupaten Manokwari. Dalam Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) TWA Gunung Meja 2009-2028, TWA Gunung Meja akan dijadikan kawasan wisata alam, pendidikan dan penelitian. Berdasarkan potensi-potensi keanekaragaman dan keunikan sumberdaya hayati, keindahan panorama, peninggalan sejarah, posisi strategis yang dimiliki Gunung Meja serta dijadikannya kawasan ini sebagai kawasan pengembangan wisata tingkat kabupaten maupun provinsi dan pengelolaan jangka panjang yang akan menjadikannya kawasan wisata alam, pendidikan dan penelitian, serta untuk mengembalikan TWA Gunung Meja sesuai dengan fungsi utama peruntukkannya yaitu sebagai kawasan wisata alam, maka kawasan ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam berbasis pendidikan dan penelitian sebagai bagian dari ekowisata. Untuk itu perlu dilakukan analisis ekonomi, analisis sosial dan analisis lingkungan untuk pengembangan yang berkelanjutan di TWA Gunung Meja. 1.2. Perumusan Masalah Semakin populernya kegiatan ekowisata dan sumbangan-sumbangan penting yang diberikan bagi aktivitas konservasi mendorong PBB lewat United Nations Environment Programe (UNEP) menetapkan tahun 2002 sebagai International Year of Ecotourism 2002, yang bertujuan untuk mempromosikan ekowisata pada skala internasional dan memberikan wahana dan kesempatan belajar bagi negara-negara yang mempunyai potensi untuk mengembangkan ekowisata di wilayahnya dari negara-negara yang telah sukses menyelenggarakan ekowisata (Hakim, 2004). Pada tahun yang sama, Indonesia juga menetapkan tahun 2002 sebagai tahun ekowisata. Namun ada beberapa permasalahan yang timbul dalam pengembangan ekowisata di Indonesia, antara lain: belum adanya konsep dan pemahaman yang sama tentang ekowisata oleh para stakeholder, ekowisata masih sekedar slogan-slogan dan alat promosi namun lemah dalam implementasi,
5
komitmen dari pemerintah mengenai pengembangan ekowisata yang masih lemah, terbatasnya peran serta masyarakat stakeholder dalam pengembangan ekowisata serta meningkatnya degradasi sumberdaya alam yang tidak terkendali pada kawasan wisata (Supriatna, 2008). Berdasarkan Potret TWA Gunung Meja (2004), Gunung Meja sebelum menjadi taman wisata alam, berfungsi sebagai Hutan Lindung Hidrologis. Pada tahun 1980 ditetapkan menjadi taman wisata alam didasarkan pada beberapa pertimbangan dan rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah, yaitu kawasan hutan ini letaknya strategis dekat pusat Kota Manokwari dan mudah dijangkau, memiliki nilai keindahan alam yang artistik dan situs sejarah bangsa, serta diharapkan akan menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan juga penambah devisa negara pada sektor pariwisata. Namun, kegiatankegiatan yang dilakukan sejak tahun 1980-an hingga saat ini belum ada yang terkait langsung dengan pengelolaan dan pengembangan kawasan sesuai fungsinya sebagai taman wisata alam. Belum adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam pengelolaan TWA Gunung Meja sebagai objek wisata alam terlihat dari adanya pembuangan sampah ke dalam kawasan yang tidak ditindak tegas oleh pemerintah, tidak adanya fasilitas umum dan penunjang untuk kegiatan wisata dan objek wisata situs sejarah yang tidak dirawat. Menurut Potret TWA Gunung Meja (2004), perkembangan jaman dan juga kebutuhan lahan pertanian masyarakat urban di sekitar wilayah perkotaan menyebabkan kawasan ini telah dirambah, sehingga filosofi budaya Hutan Gunung Meja telah terpolarisasi. Tanah larangan yang tidak boleh diganggu telah dimasuki oleh masyarakat luar, penebangan dan pemanfaatan lahan secara berlebihan dilakukan secara besar-besaran, serta masih adanya pembuangan sampah ke dalam kawasan baik dari masyarakat sekitar kawasan maupun oleh masyarakat di luar kawasan. Hal tersebut disebabkan karena TWA Gunung Meja berbatasan langsung dengan pemukiman, sehingga aksesibilitas terhadap kawasan dan interaksi masyarakat dengan kawasan sangat erat. Lebih lanjut menurut Potret TWA Gunung Meja (2004), berdasarkan beberapa hasil penelitian mengenai keadaan flora dan fauna yang ada di TWA Gunung Meja diketahui bahwa jumlah flora mengalami penurunan yang nyata baik dalam jumlah jenis maupun
6
kerapatan per hektar akibat eksploitasi terhadap kayu dan non kayu. Demikian pula untuk fauna seperti rusa dan babi hutan yang sudah sulit ditemukan lagi atau beberapa jenis burung endemik seperti cendrawasih kecil, mambruk, kakatua kerdil, nuri kepala hitam dan gagak toreh yang sudah tidak ditemukan lagi di kawasan ini. Hal tersebut merupakan dampak dari bentuk pola interaksi yang terjadi di dalam dan sekitar kawasan TWA Gunung Meja seperti adanya perladangan masyarakat, pengambilan kayu bakar, pengambilan hasil hutan non kayu, perburuan, pengambilan tanah top soil, batu-batu karang serta pemukiman penduduk dan bangunan fisik lainnya. Intensitas kerusakan dalam kawasan serta bentuk-bentuk interaksi yang menimbulkan kerusakan biofisik dan fungsi lingkungan kawasan, jika tidak ditanggulangi secara baik dan cepat maka kawasan ini akan mengalami degradasi sehingga nilai estetika sebagai potensi ekowisata akan berkurang atau hilang sama sekali. Karena itu, guna mempertahankan fungsi dan kelestarian kawasan TWA Gunung Meja serta mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan sebagai kawasan pariwisata dan rekreasi alam, maka upaya yang diusulkan dalam penelitian ini adalah pengembangan wisata alam yang berkelanjutan sebagai bagian dari ekowisata di kawasan ini. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah, prinsip pengembangan ekowisata selain sebagai upaya konservasi, juga harus ekonomis yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan, memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung dan mampu menampung kearifan lokal serta menghormati nilai-nilai sosial budaya. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam pengembangan wisata alam yang berkelanjutan di TWA Gunung Meja, perlu dilakukan analisis ekonomi melalui analisis pasar, valuasi wisata, estimasi nilai pengembangan wisata, identifikasi persepsi masyarakat, serta penghitungan daya dukung lingkungan sebagai dasar dari pengembangan wisata di TWA Gunung Meja. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka permasalahan penelitian yang muncul adalah:
7
1. Bagaimana pasar wisata alam dan elastisitas permintaan terhadap TWA Gunung Meja? 2. Berapa nilai ekonomi wisata alam TWA Gunung Meja? 3. Berapa nilai pengembangan wisata alam di TWA Gunung Meja? 4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengembangan TWA Gunung Meja sebagai kawasan wisata alam? 5. Bagaimana daya dukung lingkungan bagi pengembangan wisata alam yang berkelanjutan di TWA Gunung Meja? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis pengembangan wisata alam yang berkelanjutan sebagai bagian dari ekowisata di TWA Gunung Meja. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi pasar wisata alam dan elastisitas permintaan terhadap TWA Gunung Meja. 2. Mengestimasi nilai ekonomi wisata alam TWA Gunung Meja. 3. Mengestimasi nilai pengembangan wisata alam di TWA Gunung Meja. 4. Menganalisis persepsi masyarakat terhadap pengembangan TWA Gunung Meja sebagai kawasan wisata alam. 5. Menghitung daya dukung lingkungan bagi pengembangan wisata alam yang berkelanjutan di TWA Gunung Meja. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Mahasiswa Penelitian
ini
diharapkan
memberikan
pemahaman
mengenai
pengembangan wisata alam melalui analisis ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain itu, diharapkan penelitian ini menjadi satu informasi yang penting dalam pengembangan penelitian lebih lanjut seperti total nilai ekonomi di lokasi yang sama ataupun dalam penelitian mengenai pengembangan wisata alam berkelanjutan. 2. Stakeholder
8
Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi bagi para stakeholder setempat seperti Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Dinas Kehutanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta WWF, sebagai masukan dalam kebijakan pengelolaan TWA Gunung Meja. 3. Akademisi (UNIPA), LSM dan pemandu wisata Diharapkan penelitian ini menjadi sebuah acuan dalam melakukan penelitian lebih lanjut serta dalam melakukan promosi wisata. 4. Masyarakat Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat Kota Manokwari pada umumnya maupun secara khusus masyarakat sekitar kawasan TWA Gunung Meja mengenai nilai wisata TWA Gunung Meja, sehingga masyarakat turut menjaga kawasan ini agar tetap lestari. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Adapun yang menjadi objek penelitian adalah kawasan TWA Gunung Meja sebagai salah satu kawasan wisata di Papua Barat, dengan masyarakat
yang
bermukim di sekitar kawasan dan wisatawan yang berkunjung ke TWA Gunung Meja sebagai responden. Batasan dari penelitian ini adalah : 1. Analisis yang dilakukan adalah pengembangan wisata alam berkelanjutan sebagai bagian dari ekowisata. 2. Analisis ekonomi yang dilakukan dalam penelitian ini dibatasi pada analisis pasar, nilai ekonomi dan nilai pengembangan wisata alam. Nilai wisata alam yang dihitung menggunakan pendekatan Travel Cost Method (TCM) dari sisi wisatawan dan perhitungan manfaat ekonomi yang dibatasi hanya pada manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dari kegiatan wisata dari sisi penawaran. Untuk menghitung nilai pengembangan wisata digunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). 3. Analisis sosial yang dilakukan adalah mengidentifikasi persepsi masyarakat terhadap pengembangan wisata alam di TWA Gunung Meja. 4. Analisis lingkungan dibatasi hanya pada perhitungan daya dukung lingkungan terhadap kegiatan wisata di TWA Gunung Meja.
9