I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif atau sering disebut NAPZA, di Indonesia saat ini sangat memperhatinkan berbagai kalangan. Laporan Survey nasional penyalahgunaan NAPZA yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Pranata Pembangunan, Universitas Indonesia bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (2003), antara lain menyebutkan bahwa keprihatinan tersebut berhubungan dengan makin meningkatnya jumlah pelaku penyalahgunaan NAPZA. Jenis NAPZA yang disalahgunakan juga makin beragam dan makin luas distribusinya. Seiring denganhal tersebut, peningkatan kejahatan NAPZA yang ditangani Kepolisian Republik Indonesia juga mengalami peningkatan, baik segi pelakunya maupun jumlah barang yang disita. Indonesia saat ini tidak lagi sekedar daerah transit NAPZA, melainkan sudah menjadi wilayah pemasaran, bahkan sudah menjadi produsen NAPZA dari sindikat internasional, seperti yang ditunjukkan dengan terbongkarnya pabrik NAPZA di daerah Tangerang, Medan dan tempat yang lain (BNN : 2006). Penyalahgunaan NAPZA merupakan permasalahan yang kompleks baik dilihat dari faktor penyebabnya maupun dampak yang ditimbulkannya. Penyebanya merupakan kompleksitas dari berbagai faktor, termasuk faktor fisik, faktor kejiwaan pelaku, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial, ekonomi bagi orang tua dan keluarga. Secara umum penyalahgunaan NAPZA bisa menimbulkan kerugian berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia. Masalah penyalahgunaan NAPZA untuk saat sekarang sudah menembus berbagai lapisan usia dan berbagai lapisan sosial dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor penyebab, antara lain: (a) faktor individu yang rentan terhadap penyalahgunaan NAPZA, mencakup individu yang kurang mendapat perhatian dariorang tua,
individu-individu
berasal
dari
keluarga yang pecah/pisah cerai, individu yang pola asuh keluarga salah terutama
Minimnya segi penanaman nilai-nilai agama dan nilai sosial masyarakat lainnya, (b) faktor lingkungan, antara lain mencakup lemahnya kontrol sosial masyarakat terhadap penyalahgunaandan peredaran gelap NAPZA sehingga tingkat penyalahgunaan makin bertambah baik segi kuantitas maupun kualitasnya, dan sudah dianggap sebagai gaya hidup yang ngetrend pada komunitas tertentu, dan (c) faktor obat/zat, antara lain mencakup adanya kemudahan dalam mengakses NAPZA dan harganya relatif terjangkau (Depertemen Sosial RI, 2005). Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari Badan Narkotika Nasioanal (BNN), untuk periode Juli 2006 di Indonesia, penyandang masalah ini didominasi oleh golongan usia produktif yaitu umur 16 sampai 29 tahun, yaitu sebanyak 9.848 kasus atau 61,39 persen dari total penyalahgunaan NAPZA sebanyak 16.040 kasus ( Direktorat Informasi IV BNN : 2006). Kondisi ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan bangsa Indonesia, bila dikaitkan keadaan generasi muda sebagai pewaris cita-cita perjuangan bangsa. Perekonomian nasional dibebani oleh biaya pengobatan rehabilitasi, penegakkan hukum, dan operasi pemberantasan pengedar gelap NAPZA. Pada saat yang bersamaan, masyarakat harus memikul biaya sosial dari dampak penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA dalam bentuk meningkatnya tindak kejahatan dalam kehidupan masyarakat sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi menurunnya produktivitas nasional. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan proses upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA, oleh karena mencegah lebih baik daripada mengobati. Pencegahan merupakan suatu upaya membantu individu menghindari memulai atau mencoba menyalahgunakan NAPZA, dengan menjalani cara dan gaya hidup sehat, serta mengubah kondisi kehidupan yang membuat individu mudah terjangkit penyalahgunaan NAPZA. Pencegahan penyalahgunaan NAPZA memerlukan strategi yang bisa mewujudkan adanya penguatan rasa takut, rasa bersalah, rasa malu terhadap bahaya penyalahgunaan NAPZA, melalui sarana penegakan hukum, agama, pendidikan moral, pengawasan sosial, dan pengembangan idiologi. Upaya yang dijadikan kajian penelitian adalah penguatan lembaga keagamaan dengan harapan
akan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA. Menyadari bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks dan bersifat holistik, maka dipandang perlu adanya upaya yang menyeluruh melibatkan semua eleman masyarakat. Salah satu bentuk upaya tersebut yaitu dalam bentuk kajian melalui penerapan strategi penguatan lembaga keagamaan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam upaya-upaya bersifat preventif. Menguatnya nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat yang digerakkan oleh lembaga keagamaan yang ada secara tidak langsung akan mengurangi penyandang masalah penyalahgunaan NAPZA. Penguatan lembaga merupakan suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku, organisasi dan sistem yang ada dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien, serta merupakan suatu strategi untuk meningkatkan daya dukung kelembagaan dalam mengatasi masalah dan kebutuhan yang dihadapi (Sumpeno, 2002). Kelurahan Kebonlega sebagai ibukota Kecamatan Bojongloa Kidul memiliki nilai strategis yaitu selain dilalui Jalan Soekarno-Hatta sebagai jalur ekonomi yang menghubungkan dengan wilayah selatan Jawa Barat, juga memiliki sarana sosial berupa terminal Leuwipanjang yang merupakan terminal bus antar kota antar propinsi. Keberadaan terminal ini menjadikan wilayah Kelurahan Kebonlega menjadi salah satu pintu masuk para pendatang dari luar wilayah Kota Bandung. Kondisi tersebut secara tidak langsung memberikan dampak bagi masyarakat sekitarnya antara lain munculnya perumahan padat dan kumuh, menjamurnya tempat-tempat hiburan malam yang berkaitan dengan maraknya praktek prostitusi, dan penyalahgunaan NAPZA. Salah satu faktor pendukung timbulnya penyalahgunaan NAPZA adalah pengaruh lingkungan sosial buruk yang ditandai oleh keberadaan pemukiman padat dan kumuh serta meningkatnya angka tindak kriminalitas yang memiliki korelasi penyalahgunaan NAPZA. Pada sisi lain, di wilayah ini Kelurahan Kebonlega terdapat Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Klas IIA Banceuy sebagai lembaga yang membina warga binaan pemasyarakatan/narapidana yang terkait dengan tindak kejahatan NAPZA. Keberadaan lembaga pem,asyarakatan ini merupakan salah
satu sistem sumber yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar yaitu dengan dipakainya tenaga pengajar agama setempat dari unsur lembaga DKM untuk memberikan pembelajaran para warga binaan pemasyarakatan dalam pembinaan agama yang dianutnya. Pada tugas dan fungsi seksi bimbingan kemasyarakatan di Lapas ini diterangkan bahwa seksi tersebut selain memberikan penyuluhan kepada keluarga warga binaan menjelang bebas, juga ada jenis kegiatan bersifat penyuluhan kepada lembaga sosial yang ada di masyarakat, termasuk lembaga keagamaan sebagai upaya bersifat preventif tersebut kurang berjalan secara optimal. Dengan demikian seksi ini belum memberikan kontribusinya kepada lembaga sosial dan masyarakat pada umumnya. Lembaga keagamaan yang ada di Kelurahan Kebonlega pada umumnya belum dilibatkan secara langsung dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hal ini secara eksplisit belum diterapkannya program kegiatan dengan masalah tersebut. Kondisi ini berkaitan dengan keterbatasan pengetahuan tentang NAPZA bagi pengelola lembaga keagamaan yang ada. Berdasarkan hasil informasi yang berhasil diidentifikasi oleh pengkaji, secara inplisit upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA masih dalam wujud himbauan untuk menjauhi NAPZA sudah dilaksanakan melalui kotbah dan cerama agama. Satu upaya dalam mewujudkan strategi pencegahan penyalahgunaan NAPZA adalah dengan penguatan kapasitas lembaga-lembaga di masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut idealnya memiliki performa lembaga yang ditopang dengan berbagai kridibilitas bagi segi pelembagaan norma-norma, kapasitas kepemimpinan, keberadaan program, ketersediaan sumberdaya. Keragaan lembaga dipengaruhi juga oleh faktor keluasan jaringan kerja dan kualitas pengurus. Berdasarkan hasil studi dokumentasi dan wawancara yang dilakukan pengkaji di wilayah Kelurahan Kebonlega pada tahun 2003, pernah ada upaya berupa kegiatan anti narkoba berbasis keluarga. Kegaiatan yang dilakukan terkait dalam Program Pencegahan Berbasis Keluarga. Kegiatan ini berlatar belakang dari inisiatip beberapa keluarga yang salah satu atau lebih anggota keluarganya menjadi penyandang masalah penyalahgunaan narkoba yang ingin berbagi pengalaman kepada keluarga-keluarga lain tentang bahaya dari masalah
penyalahgunaan NAPZA. Pada kenyataannya program ini tidak berjalan lama disebabkan oleh berbagai hal terutama berkaitan dengan pengelolanya banyak yang pindah domisili, tidak adanya upaya-upaya dalam kaderisasi dan keterbatasan sebagian masyarakat tentang pengetahuan tentang NAPZA dengan berbagai dampaknya. Pada proses pembangun diperlukan adanya keterlibatan langsung dari berbagai unsur komunitas masyarakat, salah satunya adalah perlunya pelibatan unsur lembaga keagamaan. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa dalam kehidupan yang sarat kompetitif, sarat pancaroba, munculnya berbagai krisis seperti krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis kepercayaan yang pada gilirannya munculnya kesenjangan sosial yang berdampak langsung dengan kondisi sosial yang relatif rentan dengan munculnya berbagai permasalahan sosial di masyarakat, termasuk salah satunya adalah masalah penyalahgunaan NAPZA (Kartono, 1996). Eksistensi lembaga keagamaan sebagai salah satu lembaga sosial masyarakat bila diberdayakan bisa menjadi kekuatan sosial yang memiliki kemampuan mengatasi permasalahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Lembaga keagamaan yang memiliki kapasitas yang baik dalam menjalankan peran dan fungsinya, dianggap memiliki daya tangkal yang kuat pada upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hal ini berkaitan dengan melembaganya nilai-nilai agama dan nilai sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut bisa meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah masalah penyalahgunaan NAPZA. Menguatnya lembaga keagamaan sangat berkaitan dengan melembaganya nilai-nilai keimanan berdasarkan ajaran agama yang dianutnya. Keimanan akan memandu kaidah-kaidah dasar kesehatan dan perilaku preventif. Keimanan akan menuntun untuk dapat mewujudkan keseimbangan fisik dan psikis. Keimanan juga yang membuat individu melakukan segala sesuatu dengan proporsional. Peranan keimanan dalam bidang kesehatan jiwa adalah kemampuannya untuk meningkatkan dan memperkuat imunitas jiwa. Keimanan dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang kehidupan hingga mampu membuat individu
lebih besar dalam menghadapi kondisi hidup bagaimanapun, serta akan memandang segala dengan baik dan positif (Izzamuddin, 2006). Atas dasar pemikiran tersebut maka perlunya penguatan dan pemberdayaan lembaga keagamaan yang ada sebagai satu upaya preventif yang memiliki daya tangkal terhadap berbagai penyakit masyarakat termasuk masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang sudah menjadi masalah besar bagi kehidupan manusia. Dari gambaran latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka pertanyaan pokok kajian ini adalah: “Bagaimana Penguatan Lembaga Keagamaan dalam Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA?”
1.2 Perumusan Masalah Mengembangkan kapasitas sangat berkaitan dengan proses membangun kemandirian dalam pembangunan masyarakat. Kemandirian adalah tingkat kemajuan yang harus dicapai oleh suatu komunitas, sehingga komunitas tersebut dapat membangun dan memelihara kelangsungan hidupnya berdasarkan kekuatannya sendiri (Kartasasmita, 1996). Lembaga keagamaan yang akan dianalisis ini merupakan lembaga yang tumbuh dari masyarakat. Diharapkan dengan dilakukannya kajian terhadap penguatan lembaga keagamaan dapat disusun suatu rencana dan program pembangunan komunitas yang sesuai dengan azas kemandirian, kejujuran, kesetaraan dan keberlanjutan sehingga dapat dijadikan acuan bagi pengembangan lembaga-lembaga sejenis lainnya. Dari gambaran latar belakang dan permasalahan di atas, maka perumusan masalah adalam penelitian ini adalah : a.
Bagaimana performa lembaga keagamaan khususnya yang berkaitan dengan masalah NAPZA di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung?
b.
Bagaimana strategi dan program yang tepat dalam penguatan dan pengembangan lembaga keagamaan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA?
1.3
Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan permasalahan di atas, secara umum tujuan kajian ini
adalah mengkaji kapasitas lembaga keagamaan yang dimiliki masyarakat lokal melalui penguatan kapasitasnya di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kemampuan masyarakat
berkaitan
dengan
pencegahan
penyalahgunaan
NAPZA
di
wilayahnya. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian kajian pengembangan ini secara khusus adalah : a. Mendeskripsikan performa lembaga keagamaan di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung b. Menyusun strategi dan program penguatan lembaga keagamaan dalam meningkatkan kemampuan masyarakat mencegah penyalahgunaan NAPZA di Kelurahan Kebonlega, Kecamatan Bojongloa Kidul, Kota Bandung
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini dapat ditinjau dalam perspektif praktis dan
akademis, yaitu: a.
Manfaat praktis, memberikan masukan bagi instansi pemerintah yang terkait serta lembaga swadaya masyarakat untuk merumuskan kebijakan dan program yang aspiratif dan partisipatif, serta memberikan masukan alternatif teknik dan model pemberdayaan masyarakat bagi elemen penggiat pengembangan masyarakat yang peduli terhadap pengembangan masyarakat.
b.
Manfaat akademis, mengkayakan literatur tentang teori dan praktek pengembangan masyarakat model partisipatif dan komprehensif yang dialkukan melalui penguatan lembaga keagamaan