I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sumber
pembiayaan pembangunan saat ini bersumber dari hasil
pemanfaatan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang dimiliki merupakan asset
pembangunan dan asset bargaining dengan negara lain. Pengurasan
sumberdaya alam yang berlebihan dan tidak terkontrol demi mengejar pendapatan asli daerah guna membiayai pembangunan daerah menjadi masalah yang dihadapi pemerintah. Pengurasan sumberdaya alam yang diikuti dengan kerusakan lingkungan dalam jangka panjang tentunya akan menghamb at laju pembangunan. Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat majemuk (multifunction benefits) dalam pelaksanaan pembangunan. Setidaknya terdapat tiga manfaat sumberdaya hutan, yaitu: 1). sebagai sumber keanekaragaman jenis flora, antara lain penghasil kayu, pangan, bahan serat, bahan parfum, bahan obat, bahan kimia, bahan penyamak, pewarna, dan lainlain; 2). sebagai sumber keanekaragaman fauna yang dapat dimanfaatkan sebagai penghasil protein, bahan obat, sumber genetik untuk pemuliaan ternak, burung, serangga, ikan, reptil, madu, kulit, dan lain-lain; dan 3). sebagai sumber beranekaragam jasa yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti jasa pariwisata alam, pengatur tata air dan iklim mikro, pendaurulangan CO 2, perlindungan tanah, gudang plasmanutfah, dan lain-lain (Khan, 1996). Sebagai sumberdaya yang bersifat dapat dipulihkan (renewable resources), sumberdaya hutan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Nilai hutan ditentukan oleh kualitas hutan yang terdiri dari berbagai fungsi yang melekat pada keberadaan hutan yang ada (Upton and Bass, 2002). Hutan dikatakan memiliki fungsi sosial apabila kegiatan di bidang kehutanan memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat lokal maupun masyaraka t luar lainnya. Mekanisme pengelolaan sumberdaya hutan agar dapat terus dimanfaatkan diperlukan keberadaannya oleh semua pihak. Pemberian insentif untuk memelihara sumberdaya hutan serta adanya kejelasan pembagian tanggung jawab dalam pemeliharaan hutan merupakan salah satu hal penting dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Sumberdaya hutan dianggap memiliki
nilai
ekonomi apabila kegiatan di sektor kehutanan dapat menjamin keberlanjutan
1
usaha di bidang kehutanan ataupun mampu memberikan sumbangan kepada sektor lain. Dari sisi lingkungan, hutan memiliki fungsi sebagai penangkap dan penyedia air, penahan erosi, penyerap karbon, dan berbagai fungsi lingkungan lainnya. Fungsi ini akan menurun apabila terus menerus dilakukan eksploitasi terhadap sumberdaya hutan khususnya kayu tanpa ada upaya untuk menghutankan kembali. Hingga saat ini, sumberdaya hutan masih dikategorikan sebagai barang publik
karena tersedia setiap saat dan dapat dinikmati oleh siapapun tanpa
harus membayar. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab kegagalan dalam mekanisme pengelolaan hutan, karena tidak adanya kepemilikan yang jelas. Kerusakan atau kegagalan dalam mengelola sumberdaya hutan akan menimbulkan berbagai dampak seperti: - Pengurangan areal lahan dan penurunan kualitas hutan dikarenakan kecepatan tumbuh kayu secara alami lebih rendah dari tingkat penebangannya. Pengelolaan sisa stok tegakan biasanya buruk. Di samping itu, kualitas hutan hasil reforestrasi belum dapat menggantikan seluruh manfaat atau fungsi lingkungan yang diberikan oleh hutan alami. - Degradasi sumberdaya hutan. Eksploitasi sumberdaya hutan khususnya kayu, akan menyebabkan berbagai masalah yang berkaitan dengan rusaknya fungsi hutan seperti erosi, terganggunya daerah aliran sungai, dan terjadinya perubahan iklim. - Hilangnya keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh sumberdaya hutan. Flora dan fauna yang banyak tumbuh atau hidup di hutan akan musnah dengan ditebangnya
kayu.
Mengingat
bahwa
hutan
tropis
memiliki
jenis
keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuat obat-obatan dan makanan, maka kerusakan fungsi hutan ini perlu mendapat perhatian khusus. - Musnahnya budaya setempat. Fungsi hutan juga memberikan tempat bagi berkembangnya budaya masyarakat setempat serta sebagai sara na untuk belajar mengenai banyak hal, antara lain jenis kayu dan jenis non kayu lainnya yang dapat dimanfaatkan tanpa harus menebang kayunya, keanekaragaman hayati dan kekayaan budaya itu sendiri. Budaya dan segala pengetahuan yang ada dan berkembang di ma syarakat sekitar wilayah hutan telah turun temurun dilestarikan. Dengan semakin berkurangnya lahan kehutanan dan semakin
2
tergusurnya penduduk lokal yang tinggal di areal hutan akan menyebabkan budaya yang ada ikut punah pula. - Terganggunya pola hidup masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang hidupnya bergantung pada
ketersediaan sumberdaya hutan. Hal ini akan
dialami khususnya oleh kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki mata pencaharian lain selain memanfaatkan hasil hutan. - Terjadinya perubahan iklim, baik secara lokal, regional, maupun global. Berdasarkan dampak negatif seperti yang diuraikan di atas, terlihat bahwa sumberdaya hutan perlu diusahakan dan dimanfaatkan secara optimal untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian fungsinya. Praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di Indonesia telah dilakukan dari masa ke masa dengan berbagai periodeisasi sesuai dengan tujuan dan kepentingan. Selama tiga dasawarsa lebih, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dengan berbagai orientasi skala prioritas dan pencapaian sasaran dan tujuannya telah menghasilkan beragam kontribusi yang signifikan bagi proses pembangunan. Kontribusi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan sebagaimana dikonsepsikan melalui kerangka pembangunan nasional ternyata juga telah menimbulkan berbagai ekses negatif yang tidak pernah diharapkan sebelumnya. Faktanya, berbagai ekses negatif tersebut secara fisik tercermin dari semakin menurunnya kuantitas dan kualitas sumberdaya
hu tan
tropis
Indonesia
dalam
beberapa
tahun
terakhir
(Wibowo, 2006). Laju degradasi dan deforestrasi yang terjadi di berbagai kawasan hutan di Indonesia telah mencapai pada tahapan yang memprihatinkan. Dalam konteks penurunan kuantitas kawasan hutan, luas kawasan hutan tropis Indonesia kini hanya mencapai 109,35 juta ha dengan perincian: kawasan suaka alam dan perairan 23.239.815,57 ha, hutan lindung 29.100.016,02 ha, hutan produksi terbatas 16.212.527,26 ha,
hutan produksi tetap 27.738.950,20 ha. Data
penetapan kawasan hutan indonesia berdasarkan TGHK 1981 seluas 143,57 juta ha. Hal ini berarti bahwa dalam kurun waktu hampir dua dasawarsa telah terjadi konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan seluas hampir 34 juta ha. Dengan kata lain, setiap tahun rata-rata laju kerusakan hutan mencapai 1,7 juta ha. Saat ini, laju kerusakan hutan sudah mencapai 2,8 juta ha pertahun (Wibowo, 2006). Bank Dunia memperkirakan, jika laju penyusutan hutan saat ini
3
berlangsung terus maka pada tahun 2010 hutan dataran rendah di Kalimantan akan lenyap. Dewasa ini, perhatian dunia internasional terhadap masalah kehutanan terus meningkat. Berbagai permasalahan kehutanan yang tercermin dari besarnya laju kerusakan hutan saat ini tidak hanya berdasarkan faktor penyebab yang bersifat tunggal dengan dimensi waktu yang instan. Permasalahan mendasar pada pengelolaan hutan adalah menyangkut keputusan politik tentang: (1) pihak yang diberi kesempatan sebagai pelaku ekonomi kehutanan umumnya bukan rimbawan; (2) jumlah pelaku ekonomi yang terlalu sedikit; (3) pengesampingan peran masyarakat dan pengusaha lokal dan (4) pemahaman keterpisahan (bukan kesejalanan) antara ekonomi dan ekologi oleh masyarakat kehutanan
(Darusman,
2002).
Secara
umum
luas
kerusakan
hutan
mengakibatkan bertambahnya jumlah lahan kritis, meningkatnya suhu udara, terjadinya bencana banjir, dan sebagainya. Kerusakan hutan secara nyata telah menurunkan kualitas lingkungan. Berbagai Pengelolaan sumberdaya hutan yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya hutan yang berkelanjutan diperlukan. Secara geografis, Kalimantan Barat merupakan salah satu dari empat propinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara bagian Malaysia Timur (Serawak). Panjang kawasan perbatasan lebih kurang 847 km, melintasi lima Kabupaten, yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang. Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu, termasuk di dalamnya 14 wilayah kecamatan dan 97 desa dengan luas 20.352 Km2. Pada wilayah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak Malaysia Timur, sampai saat ini baru memiliki satu Pos Pengawas Lintas Batas (border gate) resmi yang sudah beroperasi secara permanen dari 16 Pos Pengawas Lintas Batas (PPLB) yang telah disepakati melalui forum kerjasama Sosek Malindo.(Kalimantan Barat Dalam Angka, 2005). Potensi sumbe rdaya alam di wilayah perbatasan khususnya sumberdaya hutan relatif besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi. Secara ekonomi wilayah ini lebih berorientasi kepada negara tetangga karena negara tetangga (Serawak) telah membangun pusat-pusat pertumbuhan diko ridor perbatasannya melalui berbagai
kegiatan
ekonomi
dan
perdagangan.
Kegiatan
ekonomi
dan
perdagangan di wilayah perbatasan ini menimbulkan daya tarik bagi masyarakat. Perbedaan harga jual menyebabkan masyarakat lebih memilih menjual hasil produknya ke n egara tetanga untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar..
4
Kondisi ini menunjukan bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan yang strategis dan memiliki nilai ekonomi (border prices). Sampai saat ini, masalah pengelolaan sumberdaya hutan menghadapi kendala, baik faktor eksternal seperti kebakaran hutan, pencurian kayu (illegal logging), juga faktor internal berupa deforestasi dan konflik multiguna. Kombinasi kedua kendala tadi mengakibatkan pengelolaan sumber daya hutan sulit dilaksanakan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi kini maupun generasi mendatang. Dengan kata lain, sumberdaya hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam yang berfungsi sebagai penyangga kelangsungan ekosistem kehidupan secara lintas teritorial dan lintas generasi tengah terancam kelestarian serta keberlanjutan fungsinya. Data terakhir menunjukkan bahwa Kalimantan Barat memiliki sumberdaya hutan seluas 9.178.760 hektar, sedangkan luas wilayah Kalimantan Barat adalah 14.680.700 hektar.(Kalimantan Barat Dalam Angka, 200 5). Menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah III Kalimantan Barat, luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan status kawasan terdiri dari kawasan konservasi seluas 1.459.603 Ha, kawasan lindung seluas 2.436.925 Ha, dan kawasan produksi seluas 5.140.396 Ha, sedangkan luas kawasan non hutan yang dimanfaatkan sebagai areal penggunaan lain seluas 5.502.000 Ha. Secara nyata, dampak dari kegiatan sektor kehutanan di Provinsi Kalimantan Barat baik secara legal maupun illegal telah men yebabkan peningkatan areal lahan kritis. Berdasarkan data statistik kehutanan Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2003, tercatat bahwa
luas lahan kritis di
Kalimantan Barat pada tahun 2002 telah mencapai 5.142.270 ha atau sekitar 56,02 % dari total luas hutan Kalimantan Barat. Penambahan luas lahan kritis ini tentunya berdampak tidak saja pada berkurangnya jumlah luas lahan hutan produktif tetapi juga pada fungsi lingkungan seperti pencegah erosi, penyedia air, penyerap karbon, keanekaragaman hayati, fungsi sosial masyarakat, dan sebagainya, yang keberadaannya tergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Berkurangnya luas areal hutan produktif ini juga berpengaruh pada jumlah perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang masih beroperasi di Provinsi Kalimantan Barat. Hal tersebut terlihat pada perkembangan jumlah ijin dan luas lahan yang dikelola. Pada tahun 1997 terdapat 37 jumlah ijin HPH dengan luas lahan sebesar 4.539.396 Ha, sedangkan pada tahun 2002 jumlah
5
ijin HPH berkurang menjadi 35 HPH dengan luas lahan sebesar 2.265.658 Ha. (Statistik Kehutanan Provinsi Kalbar, 2003). Berkurangnya jumlah dan luas HPH mempengaruhi jumlah produksi kayu baik yang dihasilkan oleh hutan alam maupun oleh Hutan Tanaman Industri (HTI). Menurut data Statistik Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, produksi kayu bulat yang berasal dari HTI menurun tiap tahunnya yaitu dari 23.258,98 m3 pada tahun 1997 menjadi 19.307,17 m3 pada tahun 2002. Luas areal yang dicadangkan untuk HTI pada tahun 2002 adalah 170.891 ha, namun hanya 39.472 ha saja yang terealisasikan untuk HTI. Realisasi penanaman juga mengalami penurunan dari 300 ha pada tahun 2001 menjadi tidak ada penanaman sama sekali pada tahun 2002 (BPKH Wilayah III Kalimantan Barat, 2004). Hingga saat ini terdapat 130 unit industri pengolahan kayu di Kalimantan Barat yang memerlukan bahan baku kayu bulat sebanyak 4.989.562 m3 per tahun. Produksi kayu bulat melalui perijinan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) hutan alam hanya sejumlah 2.921.898 m3 per tahun. Dengan demikian terdapat kekurangan suplai kayu bulat sebanyak 2.067.664 m3 per tahun. Kekurangan bahan baku kayu
bulat inilah yang disinyalir
menyebabkan maraknya kegiatan illegal logging di Kalimantan Barat (Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, 2004) Kegiatan operasi yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Barat maupun oleh instansi terkait selama tahun 2000 hingga 2002 menunjukkan bahwa kegiatan illegal logging telah dilakukan di hampir semua Kabupaten di Kalimantan Barat khususnya di Kabupaten Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, dan Kabupaten Ketapang.
Setiap hari rata-rata sebanyak 80 truk memuat kayu
olahan illegal melintasi jalur darat Badau Kabupaten Kapuashulu menuju Lubuk Antu Serawak; 50 truk melalui jalur Entikong Kabupaten Sanggau menuju Tebedu Serawak. Pengangkutan menggunakan armada pelayaran mencapai rata-rata 50 kapal per hari menuju pulau Jawa, serta 150 kapal per hari melalui laut Natuna menuju Serawak, Malaysia. Berdasarkan pengamatan langsung, dengan mudah dapat dilihat kendaraan yang memuat kayu illegal yang tidak dilengkapi dengan dokumen serta tidak membayar pungutan apapun melintasi pintu pos lintas batas Entikong (Kusmayadi, 2003). Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan perbatasan selama ini belum menunjukan adanya konsep yang komprehensif dan integratif. Kegiatan pembangunan di sektor kehutanan
6
terkesan masih berupa rencana pembangunan yang bersifat parsial dengan pendekatan sektoral. Ketidakjelasan lembaga yang mengelola kawasan perbatasan menjadikan penanganan wilayah perbatasan selama ini belum berjalan optimal dan terpadu. Banyak ditemui kebijakan yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Pada dasarnya hal ini memperlihatkan kurangnya koordinasi antar berbagai intansi, baik di tingkat pusat maupun di daerah (provinsi dan kabupaten). Mandat pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan telah didengungkan cukup lama, namun implementasinya di lapangan sering menghadapi banyak kendala. Hal ini dikarenakan bukan hanya sulit mengukur aspek keberlanjutan itu sendiri, namun keberlanjutan juga mengandung berbagai dimensi
yang
cukup
kompleks
yang
memerlukan
pendekatan
yang
komprehensif. Mengingat bahwa untuk masa depan aspek keberlanjutan merupakan aspek kunci dalam pengelolaan sumber daya hutan, maka perlu dikaji aspek keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya hutan khususnya di Kalimantan Barat dalam kaitannya dengan percaturan mikro dan makro regional. Kendala yang dihadapi dalam melakukan pengelolaan sumberdaya hutan dengan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai berikut; (a) Sulitnya
melakukan assessment keberlanjutan terhadap pengelolaan
sumberdaya hutan yang bersifat multi dimensi; (b) Bagaimana dampak dari assessment
keberlanjutan
terhadap
formulasi
kebijakan
pengelolaan
sumberdaya hutan di masa yang akan datang; (c) Bagaimana definisi operasional dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang mencakup berbagai dimensi tersebut, mengingat belum adanya ukuran operasional keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya hutan memerlukan suatu perencanaan pengelolaan yang terpadu yang mencakup aspek-aspek seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum dan kelembagaan.
Analisis
keberlanjutan
dalam
bentuk
snapshot
bagi
pengembangan rencana aksi selanjutnya perlu dilakukan. Berdasarkan snapshot dapat diperoleh gambaran yang komprehensif mengenai status (kondisi) keberlanjutan sumberdaya hutan yang sebenarnya sekaligus dapat bisa mengidentifikasikan
berbagai
masalah
serta
arah
pemecahannya
bagi
pengambilan keputusan dan penentuan prioritas kebijakan pengelolaan di wilayah studi. Dalam penelitian ini, snapshot tersebut akan dilakukan melalui
7
metode analisis Rap -Insusforma (Rapid Appraisal Indeks Sustainable for Forestry Management), yang hasilnya digunakan sebagai dasar untuk membangun model pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat dengan menggunakan analisis prospektif. 1.2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan permasalahanpermasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan yaitu: •
Pelaksanaan
otonomi
pembangunan
yang
daerah diambil
menyebabkan hanya
banyaknya
didasarkan
pada
kebijakan
pertimbangan
kepentingan daerah dan bersifat jangka pendek. •
Penanganan pembangunan daerah perbatasan yang berorientasi pada pelaksanaan otonomi daerah, telah memunculkan penafsiran yang berbeda dan cenderung mengarah pada pengkotakan -pengkotakan, padahal daerah perbatasan
merupakan
satu
kesatuan
kawasan
yang
memerlukan
penanganan secara terpadu. •
Mis management sumberdaya hutan telah menimbulkan kerugian ganda, yaitu kerugian berupa hilangnya penerimaan negara, maupun hilangnya fungsi lingkungan dan sosial dari keberadaan sumberdaya hutan.
•
Lemahnya peran kelembagaan dan penegakan hukum, serta adanya kecenderungan yang dilakukan oleh beberapa daerah untuk tidak menerapkan PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan, merupakan permasalahan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.
•
Lemahnya koordinasi antar bidang sektoral merupakan salah satu penyebab sulitnya pengambilan keputusan atas penyimpangan tujuan pembangunan.
•
Lemahnya pengawasan karena luasnya wilayah yang diawasi dan terbatasnya sarana dan prasarana pendukung pengawasan mengakibatkan fungsi pengawasan tidak optimal.
•
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan menyebabkan timbulnya ketertarikan masyarakat untuk melakukan kegiatan illegal logging karena lebih bersifat quick yield .
•
Dari sisi lingkungan, kerusakan akibat kegiatan penebangan hutan secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan fungsi hutan akan membawa
8
dampak serius tidak han ya bagi Kalimantan Barat tetapi juga wilayah-wilayah lain. Solusi dari permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan yang kompleks di atas memerlukan suatu
pendekatan yang bersifat multi dimensi sehingga
konsep pembangunan berkelanjutan pada sektor kehutanan dapat diwujudkan. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan selama ini masih bersifat jangka pendek dan belum didasarkan atas pertimbangan multi sektoral dan multi dimensi, sehingga timbul kerugian ganda yang berupa hilangnya penerimaan negara, kerusakan lingkungan dan masalah sosial. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: a) Apa saja atribut/indikator yang dapat digunakan
untuk menunjukkan
keberlanjutan pengelolan sumberdaya hutan untuk masing-masing dimensi (dimensi
ekologi,
ekonomi,
sosial
budaya,
teknologi,
hukum
dan
kelembagaan).? b) Seberapa besar nilai indeks keberlanjutan pengelolaan hutan pada saat ini? c)
Bagaimana model pengelolaan sumberdaya hutan yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.?
d) Bagaimana rumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan.? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model pengelolaan sumberdaya hutan dan merumuskan
kebijakan da sar rencana pengelolaan
sumberdaya hutan secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengkajian terhadap hal-hal sebagai berikut: a) Mengidentifikasi
atribut/indikator
yang
dapat
mencerminkan
status
keberlanjutan pengelolaan hutan yang mencakup dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. b) Menganalisis nilai indeks keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan. c) Membangun model pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan. d) Merumuskan kebijakan dan skenario strategi pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan di wilayah perbatasan.
9
1.4. Kerangka Pikir Penelitian Untuk
mencapai
tujuan
pengelolaan
sumberdaya
hutan
yang
berkelanjutan diperlukan berbagai kajian baik dari sisi fung si sumberdaya hutan itu sendiri maupun kajian tentang kesiapan pemerintah dalam menentukan arah prioritas kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan. Prioritas kebijakan tersebut perlu mempertimbangkan kajian secara multi sektoral dan multi dimensi. Ada 3 (tiga) dimensi utama yang perlu diperhatikan dalam menerapkan masalah keberlanjutan sumberdaya hutan yaitu dimensi ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Secara ekonomi, pemanfaatan sumberdaya hutan terutama kayu tidak terbantahkan telah men ghasilkan penerimaan ekonomi bagi pelaku ataupun masyarakat di sekitar kawasan hutan. Penerimaan ekonomi dari eksploitasi sumberdaya hutan dapat ditingkatkan melalui penggunaan teknologi. Secara ekologi, sumberdaya hutan memiliki manfaat dan fungsi lingkungan antara lain sebagai pengatur iklim global, pengendali erosi, penyerap karbon dan pencegah banjir. Dari sisi sosial budaya, sumberdaya hutan dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan sehingga terbentuk suatu komunitas sosial dan kelembagaan yang dapat menjaga kelangsungan budaya masyarakat setempat. Kesiapan sarana seperti peraturan dan perundang-undangan dalam dapat melaksanakan penataan kelembagaan dan penegakan hukum secara konsisten
dalam
pelaksanaan
pengelolaan
sumberdaya
hutan
secara
berkelanjutan menjadi hal yang penting. Untuk itu perlu dilakukan kajian atas peraturan dan perundang-undangan yang ada, khususnya yang berhubungan dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan, kebijakan pengembangan lingkungan hidup, penguatan kapasitas kelembagaan, evaluasi terhadap sistem insentif dan disinsentif bagi pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan. Kajian tersebut akan digunakan untuk menilai sinergitas antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan. Keberadaan ragam fungsi dan manfaat sumberdaya hutan tidak jarang menimbulkan konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. Faktor hukum perlu dipertimbangkan dalam rangka mendapatkan solusi alternatif pengelolaan sumberdaya hutan yang diharapkan dapat mengurangi terjadinya konflik kepentingan, sehingga pemanfaatan
sumberdaya hutan, baik secara
ekonomi maupun sosial dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
10
Alternatif pengelolaan sumberdaya hutan akan direpresentasikan dalam bentuk model pengelolaan sumberdaya hutan. Model yang akan dibangun didasarkan pada faktor-faktor penentu kondisi keberlanjutan pada 5 dimensi yaitu dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, teknologi, hukum dan ke lembagaan. Simulasi skenario kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan akan dilakukan dengan mengubah kondisi dari faktor-faktor yang berpengaruh pada masing-masing dimensi untuk menghasilkan rekomendasi bagi pihak pengambil keputusan. Gambar 1 menunjukkan kerangka pikir penelitian
Sumberdaya Hutan
Permintaan Manfaat Ekonomi Penerimaan Ekonomi
Manfaat Ekologi
Manfaat Sosial budaya
Fungsi Lingkungan
Kelembagaan & Penyerapan TK
Konflik Asset pemanfaatan Sumberdaya Hutan
Hukum
Alternatif Pengelolaan SDH
Model Pengelolaan SDH Ekonomi
Meningkatkan efisiensi ekonomi
Ekologi
Sosial Budaya
Teknologi
Meningkatkan Kualitas Lingkungan
Hukum & Kelembagaan
Meningkatkan manfaat sosial
Simulasi Skenario Kebijakan Pengelolaan SDH Berkelanjutan
−
+ Rekomendasi
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat
11
Tahapan pelaksanaan penyusunan model akan dimulai dengan penentuan keadaan saat ini (existing condition). Pada penelitian ini, penilaian keadaan saat ini dilakukan dengan menggunakan Rapid Appraisal Indekx Sustainability for Forestry Management (Rap-Insusforma) yang merupakan modifikasi dari Rapfish yang dikembangkan oleh Kavanagh (2001). Berdasarkan hasil analisis yang diintegrasikan dengan “stakeholders assesment” dibangun model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjurtan dengan menggunakan analisis prospektif. Hasil simulasi diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi dalam pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian dibatasi pada pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah pe rbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur (Serawak). Status (kondisi) keberlanjutan dari pengelolaan sumberdaya hutan didasarkan hanya pada 5 dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Penilaian status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini dilakukan menggunakan Rap-Insusforma dengan menghasilkan gambaran umum (snapshot) tentang nilai indeks yang dipetakan dalam 5 dimensi. Hasil
dari Rap-Insusforma berupa nilai indeks status keberlanjutan divalidasi
dengan analisis montecarlo . Penentuan atribut-atribut yang sensitif dari masingmasing dimensi dilakukan dengan analisis leverage. Berdasarkan hasil tersebut, model akan disusun dengan memperhatikan atribut sensitif yang diintegrasikan dengan faktor penentu berdasarkan stakeholders assessment. 1.6. Manfaat Penelitian Hasil penelitian model pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan di wilayah perbatasan diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menentuan arah dan prioritas kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan, serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi: a. Ilmu Pengetahuan −
Sebagai bahan referensi dalam pengkajian lebih lanjut terutama dalam bidang pengelolaan sumberdaya hutan.
−
Sebagai dasar pertimbangan metoda kuantitatif berbasis pengetahuan dalam menghasilkan alternatif keputusan.
b. Stakeholders
12
−
Sebagai dokumen blue print kebijakan bagi para stakeholders yang telah dan akan menginvestasikan menanamkan modalnya dalam sektor kehutanan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat.
−
Sebagai informasi dan referensi bagi stakholders dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat.
c. Pemerintah Sebagai
acuan
pemerintah
pengelolaan sumberdaya hutan
daerah
dalam
menyusun
prencanaan
di wilayah perbatasan serta penentuan
prioritas program aksi yang diperlukan.
13