I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Polusi tanah merupakan permasalahan yang kini d ihadapi negara-negara agraris, termasuk Indonesia. Tanpa disadari sebenarnya agrokultur sendiri merupakan sumber terbesar penyebab
tercemarnya tanah dan hilangnya
produktivitas tanah. Pemakaian pupuk kimia dan pestisida dalam jumlah besar menimbulkan pencemaran, baik tanah maupun air tanah, dengan kadar racun yang beranekaragam. Degradasi tanah pertanian sudah makin parah dengan sudah mengendapnya pestisida maupun bahan agrokimia lainnya dalam waktu yang cukup lama. Padahal untuk mengembalikan kesuburan tanah, memerlukan waktu bertahun-tahun. Sementara itu, manusia hanya memerlukan beberapa tahun untuk merusaknya. Hal ini bisa dilihat dari tanah pertanian di Indonesia yang semakin lama semakin menurun produktivitasnya disebabkan mulai hilangnya kemampuan tanah untuk memproduksi nutrisi. Salah satu penyebab menurunnya produktivitas pertanian Indonesia berdasarkan kajian Bappenas adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan pangan nasional di masa yang akan datang. Meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah saat ini atau menjadi 400 juta jiwa. Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat terjadi pula peningkatan konsumsi perkapita untuk berbagai jenis pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari 2 kali lipat jumlah kebutuhan saat ini. Hal ini telah memunculkan kerisauan akan terjadinya keadaan “rawan pangan” di masa yang akan datang (Djakapermana, 2003). Kenyataanya tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta (Yudohusodo dalam Djakapermana, 2003). Berdasarkan kenyataan tersebut pemerintah telah mengembangkan program
pertanian intensif sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produksi pertanian. Volume pemakaian pestisida oleh petani terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan produksi hasil pertanian. Menurut data dari Komisi Pestisida Indonesia pada tahun 2003 terdapat 152 perusahaan produsen formula pestisida dengan 813 merek dagang terdiri dari 97% pestisida sintetis dan 3% pestisida alami. Sejak penemuan DDT pada tahun 1874 dan bubur bordeox pada tahun 1882 menawarkan alternatif solusi bagi pengusaha tani, pestisida sintetis telah diterima sebagai solusi pengendalian hama sehingga penggunaannya semakin meluas di kalangan petani. Pencemaran lahan oleh pestisida tersebut harus segera diatasi. Alternatif penanganan yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendegradasi pestisida tersebut atau disebut bioremediasi. Kelebihan bioremediasi adalah lebih efek tif dan ekonomis untuk mendegradasi polutan polutan organik, sehingga saat ini menjadi pilihan bagi banyak industri dan lembaga penelitian.
Bioremediasi dengan cara pengomposan belum banyak
dilakukan di Indonesia sehingga perlu dikembangkan. Hal ini sebag ai upaya mengurangi lahan tercemar pestisida yang sudah sangat meluas di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah Penggunaan pestisida secara terus -menerus dan berlebihan menimbulkan masalah lingkungan seperti tanah tercemar dan menjadi keras. Salah jenis pestisida yang familiar di kalangan petani hortikultur sebagai pemberantas hama insekta adalah curacron. Curacron merupakan pestisida golongan organofosfat berbahan aktif profenofos yang mempunyai spektrum luas dan bersifat toksik, jika masuk
ke
rantai
makanan
ak an
meningkatkan
toksisitasnya
sehingga
membahayakan bagi manusia. Salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan pertanian adalah cemaran bahan kimia di tanah. Cemaran tersebut akan terakumulasi di tanah dan diserap oleh tanaman. Berdasarkan data pertanian dan perkebunan Cianjur 2005, jenis pestisida yang umum digunakan petani diantaranya adalah curacron dan dursban. Kebiasaan petani yang senantiasa mengganti dursban dengan curacron karena alasan lebih murah dan ampuh, menyebabkan volume pemakaian curacron
2
tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Fuad 2005, residu profenofos pada sayuran di berbagai daerah pertanian di Jawa Barat sudah melewati ambang batas yang ditetapkan oleh WHO yaitu 0.005 ppm. Residu profenofos pada sayuran di mencapai 0.0068 ppm. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diduga residu profenofos di tanah pertanian tersebut juga tinggi. Residu profenofos tersebut jika dibiarkan dalam waktu yang lama akan merusak tanah pertanian dan menyebabkan tanah menjadi kurang/tidak produktif lagi. Bioremediasi tanah tercemar pestisida perlu dilakukan sebagai upaya mencari solusi menangani dan mengurangi luas lahan yang tercemar pestisida. Upaya yang sudah dilakukan petani untuk mengatasi pencemaran lahan pertanian mereka adalah mencampurkan kotoran sapi dan tanah sebelum lahan ditanami kembali, dan dibiarkan selama 6 minggu. Perlakuan ini lama dan diduga tidak efektif menurunkan cemaran pestisida. Meskipun mekanisme degradasi sebagian besar pestisida oleh mikroba tanah telah diketahui, namun mekanisme degradasi selama proses pengomposan belum terungkap dengan jelas (Reddy dan Michel, 1999). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan studi degradasi pestisida selama proses pengomposan untuk mengetahui laju degradasi konsentrasi residu pestisida (pro fenofos) selama proses pengomposan. Bioremediasi dengan strategi pengomposan dapat dilakukan menggunakan bahan-bahan sisa pertanian, kotoran hewan (misal kotoran kuda, sapi, domba, ayam), lumpur aktif, jerami, serbuk gergaji, gambut (Bernier et al. 1997) dengan memperhatikan C/N rasio campuran. Jika bahan-bahan tersebut diinkubasi dengan tanah tercemar pestisida maka akan terjadi proses penguraian bahan organik secara eksotermik oleh sekelompok mikroba pada suhu tinggi (thermophilic phase) dan proses ini disebut pengomposan. Selama proses pengomposan akan terjadi degradasi bahan -bahan organik oleh bakteri yang ada di dalam campuran kompos. Penelitian mengenai bioremediasi dengan teknologi pengomposan saat ini mulai berkembang di beberapa negara, termasuk Indonesia. Penelitian bioremediasi pengomposan perlu terus dilakukan dan hasilnya diaplikasikan pada lahan tercemar pestisida yang semakin meluas di Indonesia dan negara berkembang lainnya.
3
1.3 Kerangka Pemikiran Penggunaan pestisida yang meningkat dan intensif pada usaha pertanian di Indonesia merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Namun, pada akhirnya residu pestisida tersebut tidak saja terakumulasi pada produk pertanian tetapi juga akan terakumulasi di dalam tanah sehingga menyebabkan tanah menjadi tidak subur bahkan tidak produktif lagi untuk ditanami. Lahan pertanian tercemar pestisida tersebut harus segera ditangani agar pencemaran tidak semakin meluas dan lahan bisa kembali produktif. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi lahan tercemar pestisida. Salah satu penanganan lahan tercemar pestisida tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang mampu mendegradasi pestisida (bioremediasi). Bioremediasi dengan strategi pengomposan diperkirakan lebih efektif karena keanekaragaman bakteri yang mampu melakukan co-metabolisme terhadap pestisida tersebut. Selain itu pengomposan lebih mudah dilakukan dan murah. Diagram alir kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1. Bioremediasi dapat dilakukan langsung pada lah an yang tercemar (in situ) atau dilakukan di luar lingkungan yang tercemar dengan membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan menggunakan inokulan yang mampu mendegradasi kontaminan organik (ex situ) (Vidali, 2001). Selanjutnya Vidali (2001)
menjelaskan
bahwa
teknik
bioremediasi
meliputi:
biostimulasi,
bioaugmentasi, biofilter, bioreaktor, bioslurry, bioventing, pengomposan dan landfarming. Bioremediasi ini dapat dilakukan jika tanah terkontaminasi pestisida tersebut mengandung mikroba-mikroba indigen yang mampu hidup dan telah beradaptasi dengan kontaminan pestisida yang ada di lahan tersebut. Bioremediasi menggunakan mikroba indigen memerlukan waktu yang lama, sehingga bisa menjadi kendala dalam upaya pemulihan lahan. Sebagai alternatif, bioremediasi dengan teknologi pengomposan dapat digunakan karena memiliki keunggulan-keunggulan:
keanekaragaman
mikroba
yang
tinggi
sehingga
kemampuan mendegradasi polutan juga tinggi karena terjadi co-metabolisme, suhu yang tinggi saat pengomposan memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat dan pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi. Selain itu pengomposan 4
lebih mudah diaplikasikan dan bahan -bahan yang digunakan banyak tersedia di sekitar masyarakat.
Produksi Pertanian Meningkat
Penggunaan Pestisida Secara intensif
Produksi Pertanian Menurun
Lahan pertanian Tercemar pestisida
Bioremediasai (Pengomposan)
Analisis Residu Pestisida
Analisis Kompos
Pasca Bioremediasi
Uji Toksisitas Kompos
Gambar 1. Diagram Kerangka Berfikir
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengukur laju degradasi profenofos pada perlakuan C/N rasio selama proses pengomposan. 2. Menguji pertumbuhan tanaman hortikultura pada tanah yang telah diremediasi. 3. Mengisolasi bakteri yang berperan dalam degradasi profenofos. 5
Manfaat penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh C/N rasio terhadap laju degradasi profenofos selama proses pengomposan. 2. Mengetahui pertumbuhan tanaman pada lahan yang telah diremediasi. 3. Mengetahui bakteri yang berperan dalam degradasi profenofos. 4. Memberikan masukan kepada petani, Pemerintahan Daerah, Dinas Pertanian, LSM atau produsen pestisida dalam upaya mengatasi lahan tercemar pestisida.
1.5 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Rasio C/N campuran bahan -bahan pengomposan akan berpengaruh terhadap laju degradasi profenofos. 2. Bioremediasi
lahan
tercemar
profenofos
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan tanaman. 3. Campuran pengomposan mengandung bakteri yang berperan dalam degradasi residu profenofos.
6