I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Konsep
pembangunan
berkelanjutan
yang
menekankan
perlunya
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan antar generasi, mendorong dilakukannya penggunaan sumberdaya secara efisien. Oleh karena itu dikembangkan sejumlah kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang
menguraikan prinsip dan
instrumen lingkungan sebagai acuan semua pihak yang berkepentingan (WCED 1987). Kebijakan lingkungan yang awalnya dikembangkan dengan pendekatan command and control dan hanya menjadi domain regulator, selanjutnya menggunakan pendekatan baru yang lebih lentur untuk membangun perilaku industri dalam mengurangi polusi (Hart 1997). Hal ini disebabkan berkembangnya konteks pembangunan berkelanjutan yang mengkaitkan penggunaan sumberdaya dan teknologi yang digunakan oleh perusahaan dengan isu sosial dan lingkungan. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan sukarela (voluntary approach) (Higley et al. 2001; Potoski & Prakash 2003). Kebijakan perlindungan lingkungan berbasis sukarela memberi kelenturan kepada organisasi (industri, perusahaan, firma) untuk meningkatkan kinerja lingkungan sesuai dengan aktivitas yang mereka lakukan (Barde 2000). Organisasi dapat mengambil tindakan dengan segera untuk menyelesaikan masalah lingkungan yang dihadapi, tanpa menunggu adanya aturan legislasi
atau
ketentuan pajak terlebih dahulu (OECD 2003). Pendekatan ini diyakini mampu memberi manfaat bagi masyarakat, industri dan pemerintah. Masyarakat memperoleh manfaat berupa lingkungan hidup yang baik; organisasi dapat menekan biaya melalui penggunaan sumberdaya secara efisien; dan pemerintah juga dapat mengurangi kegiatan pemantauan yang akhirnya menurunkan beban administrasi maupun biaya penegakan hukum (Potoski 2003; Uchida 2004).
2 Salah satu tool yang banyak diacu oleh organisasi untuk memperagakan komitmen mereka terhadap perlindungan lingkungan sekaligus untuk memenuhi peraturan perundang-undangan adalah standar sistem manajemen lingkungan yang diterbitkan oleh International Organization for Standardization (ISO). Beberapa penelitian dan kajian mengenai penerapan standar ini menunjukkan bahwa organisasi dapat mengurangi polusi secara progresif dan memenuhi peraturan perundangan-undangan yang lebih baik (Dasgupta et al. 2000); menghemat biaya dan mencegah isu lingkungan yang tidak diharapkan (Wesly & Rogoff 2008); membangun corporate image (Yusoff et al. 2010); dan program sukarela berbasis standar mampu mendorong terciptanya rantai nilai korporasi multinasional antara perusahaan dan pemasok (Prakash et al. 2006). Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai salah satu pihak yang memanfaatkan sumberdaya air dalam kegiatan industrinya, sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya air baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Oleh karena itu, PLTA berkepentingan untuk melakukan berbagai tindakan perlindungan lingkungan.
Saat ini, tindakan perlindungan dan pengelolaan
sumberdaya air di banyak PLTA masih banyak terpola pada ketentuan yang terdapat di dalam aturan legislasi dan cenderung terbatas pada penyampaian laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL). Pengelolaan sumberdaya air oleh PLTA perlu dilakukan dengan pendekatan sukarela, karena PLTA dapat mengkreasikan tindakan perlindungan dan pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keperluan dan tanggungjawabnya. Selaku pemanfaat sumberdaya air, PLTA selain harus memperhatikan persyaratan teknis juga memiliki tanggungjawab untuk menjaga fungsi sumberdaya air setelah digunakannya agar tetap bisa dimanfaatkan oleh pihak lain. Sumberdaya air harus dikelola sebagai sumberdaya yang terbatas dan vulnarable, serta sumberdaya alam yang bernilai ekonomi. Menurut Sanim (2011), UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air secara eksplisit merupakan kontrak sosial antara pemerintah dan warga negaranya, serta menjamin akses setiap orang ke sumber air untuk mendapatkan air. Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, serta ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Hal ini menunjukkan bahwa
3 pemanfaataan dan peruntukan sumberdaya air lebih diprioritaskan untuk kepentingan umum dari pada kepentingan individu. Fungsi lingkungan hidup menempatkan
sumberdaya
sebagai
bagian dari ekosistem,
dan tempat
kelangsungan hidup flora dan fauna. Sedangkan fungsi ekonomi lebih menekankan pada pendayagunaan air untuk menunjang kehidupan usaha. Komitmen untuk mencegah terjadinya pencemaran, mengharuskan PLTA untuk memastikan bahwa bahan baku (material) yang digunakannya memenuhi ketentuan teknis maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. PLTA juga harus memastikan air yang dilepaskan ke badan sungai tidak mengurangi fungsinya untuk dimanfaatkan pihak lainnya. Selain itu daya air yang dikonversi menjadi energi listrik berasal dari air sungai yang tergolong barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global common/common resources) dan memiliki nilai intrinsik yang harus diasumsikan terbatas dan langka (Sanim 2011). Berdasarkan paparan di atas, perlu dilakukan penelitian perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Inisiatif pengendalian aspek lingkungan dari pemanfaatan sumberdaya air untuk mencegah dampak negatif lingkungan, tidak hanya memberi manfaat bagi PLTA tetapi juga bagi ekosistem dan stakeholder lainnya. PLTA harus memahami secara baik kondisi sumberdaya air, serta pandangan dan tekanan stakeholder dalam pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Selain itu, nilai jasa lingkungan sumberdaya air perlu dihitung guna meningkatkan pemahaman pentingnya nilai ekonomi sumberdaya air. Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA secara jelas untuk dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan yang bisa mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Penelitian dirancang terhadap PLTA yang telah mendapat sertifikat ISO 14001 yang berada di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa dengan karakteristik tekanan populasi penduduk, kebutuhan energi listrik, kapasitas produksi, dan jenis bendung yang relatif berbeda. PLTA Saguling dan Cirata di Provinsi Jawa Barat menjadi objek penelitian mewakili PLTA di Pulau Jawa, sementara PLTA
4 Tanggari I dan II di Provinsi Sulawesi Utara menjadi objek penelitian mewakili PLTA di luar Pulau Jawa. PLTA Saguling dan Cirata berada pada wilayah dengan tekanan populasi dan kebutuhan energi tinggi, sehingga relatif berada pada lingkungan dengan tingkat perubahan penggunaan lahan yang tinggi juga.
Selain itu, PLTA ini
memiliki kapasitas produksi yang cukup besar dan berada pada waduk yang memiliki bendungan buatan dengan genangan relatif luas. Sementara PLTA Tanggari I dan II berada pada wilayah dengan tekanan penduduk dan kebutuhan energi yang relatif lebih rendah, sehingga berada pada lingkungan dengan tingkat perubahan penggunaan lahan yang lebih rendah juga. PLTA ini juga merupakan PLTA yang tidak berada di waduk, tetapi langsung di badan sungai dengan mengalirkan langsung air sungai (run off river) ke dalam instalasi pembangkitan, serta memiliki kapasitas produksi yang lebih kecil. Perbedaan karakteristik tersebut diperkirakan memberikan perilaku sumberdaya alam yang relatif berbeda, sehingga perlu dikaji pendekatan perlindungan dan pengelolaan lingkungannya. 1.2. Kerangka Pemikiran Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air menyatakan bahwa “Sumberdaya air mempunyai fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras”.
Pengelolaan
sumberdaya air perlu mempertimbangkan prinsip pendekatan holistik, yang mengkaitkan pembangunan sosial dan ekonomi dengan perlindungan ekosistem alam; pendekatan partisipasi yang melibatkan para pengguna, perencana dan pembuat keputusan; serta mengakui hak asasi manusia untuk memperoleh akses terhadap air dan sanitasi yang bersih dengan harga yang tinggi. Inisiatif sukarela dalam perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air dapat memperkuat dan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan, karena bergeraknya semua komponen atau stakeholder secara sukarela untuk melindungi sumberdaya air. Meskipun secara teoritis total volume air di permukaan bumi relatif tetap, dan air akan selalu ada karena air bersirkulasi secara berkesinambungan dari bumi ke atmosfir dan kembali ke bumi ini relatif tetap. Namun ketersediaan air pada
5 tempat yang sesuai sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas yang memadai akan terancam jika dalam pengelolaannya tidak mengindahkan prinsip pelestarian (Cunningham et al. 1999; Titienberg 2003) dan pertimbangan ekonomi (Sanim 2011). Pemanfaatan sumberdaya air yang tidak dikendalikan secara bijaksana dapat menurunkan
kemampuan
sumberdaya
tersebut
dalam
memberikan
jasa
lingkungannya. Pemanfaatan sumberdaya air dan perubahan penggunaan lahan di wilayah hulu menghasilkan dinamika kuantitas dan kualitas air. Tidak hanya PLTA yang memperoleh implikasi dari kerusakan sumberdaya air tetapi juga pemanfaat air sungai lainnya. Secara umum, saat ini kondisi sumberdaya air pada PLTA di Jawa Barat (Saguling dan Cirata) serta PLTA di Sulawesi Utara (Tanggari I dan II) terancam oleh menurunnya kualitas dan kuantitas air akibat adanya perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA (Gambar 1). Untuk mengantisipasi hal tersebut dan mendukung tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan, perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya air secara komprehensif.
Pengelolaan yang bersifat
komprehensif ini diharapkan mampu mendorong kebijakan yang bisa mendukung perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air oleh PLTA berbasis sukarela. Kondisi tersebut mendorong pengelola PLTA untuk meningkatkan kepedulian
terhadap
pencapaian
kinerja
lingkungan
melalui
berbagai
pengendalian dampak lingkungan yang diakibatkannya sesuai dengan kebijakan dan tujuan lingkungan mereka. Inisiatif sukarela dan pemenuhan amanat regulasi tentang sumberdaya air diharapkan mampu menjadi solusi terhadap permasalahan yang mengancam kelestarian sumberdaya air di PLTA. Pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela ini bisa diterapkan PLTA dengan melakukan komunikasi eksternal dengan seluruh pihak terkait (stakeholder) untuk secara aktif bersama-sama melakukan program yang mendukung pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan. Program-program tersebut antara lain perbaikan kelembagaan dan pelaksanaan regulasi berbasis sukarela.
Kelembagaan yang kuat dengan dasar regulasi diharapkan mampu
berperan melakukan perbaikan kondisi lingkungan, khususnya penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA guna meningkatkan perbaikan kualitas dan kuantitas
6 sumberdaya air. Selain itu, perlu dilakukan inventarisasi, sosialisasi, edukasi dan diseminasi tentang pentingnya nilai ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air.
Gambar 1 Kerangka pemikiran kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Implementasi semua program tersebut diharapkan mampu mendukung perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air dalam kerangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan perumusan model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela oleh PLTA melalui kajian yang mendalam dan komprehensif. 1.3. Perumusan Masalah Air merupakan barang yang sangat esensial bagi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di planet ini. Air berfungsi penting bagi budidaya pertanian, industri pembangkit tenaga listrik dan transportasi dan fungsi sosial lainnya, dan semuanya berharap air memiliki nilai yang sangat tinggi (Sanim 2011).
Seiring dengan bertambahkanya penduduk dan pembangunan
ekonomi, maka permintaan air menjadi terus meningkat. Sementara pasokan air
7 semakin kritis. Hal ini membawa konsekuensi fungsi dari air sering terganggu (Fauzi 2004). Pada sisi lain, pemanfaatan air sungai oleh banyak pihak (industri, rumah tangga dan pertanian) membawa dampak terhadap kualitas air.
Umumnya
keluaran air yang berasal dari lokasi kegiatan tersebut langsung masuk ke dalam daerah aliran sungai tanpa adanya suatu penyangga, baik berupa pengolahan limbah rumah tangga, industri maupun pertanian. Jumlah keseimbangan bahan juga berkontribusi pada tingkat polusi yang akan ditimbulkan oleh kegiatan tersebut (Tjokrokusumo et al. 2000). Pemanfaatan lahan di daerah hulu atau kawasan greenbelt, atau penggundulan hutan berpengaruh terhadap infiltrasi dan aliran permukaan. Tanpa adanya tetumbuhan di atas permukaan tanah, air akan mengalir lebih cepat secara signifikan. Aliran dari lahan gundul umumnya lebih banyak membawa sedimen (Indarto 2010). Erosi yang terjadi dengan adanya aliran permukaan yang terbawa oleh sungai akhirnya masuk ke dalam waduk dan terendapkan pada dasar waduk, lebih lanjut akan mempengaruhi debit air yang masuk. Permasalahan lain pada sungai atau waduk adalah banyak sampah organik dan non organik baik dari kegiatan KJA maupun perubahan fungsi lahan. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya air dimana sumber air tersebut berada sehingga layak dalam jangka panjang dan bisa mendukung kontinuitas operasional pembangkit tersebut (Afandi 2010). Ketersediaan air sungai yang masuk dan keluar dari aliran sungai sangat mempengaruhi kontinuitas produksi listrik yang dihasilkannya. Korosi pada instalasi pembangkit tenaga listrik sangat dipengaruhi oleh menurunnya kualitas air dari faktor lingkungan di sekitar (fisika, kimia dan biologi). Korosi pada instalasi pembangkit tenaga listrik telah terlihat pada turbin, pemutar poros, radiator dan sistem pendingin yang terbuat dari logam. Apabila ini terjadi maka biaya pemeliharaan semakin tinggi dan operasional pembangkit menjadi terganggu (Putra 2010). Alur rumusan masalah dalam pengelolaan sumberdaya air di PLTA tersebut disajikan dalam Gambar 2.
8
Gambar 2 Perumusan masalah perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. PLTA yang diteliti memanfaatkan aliran air (pasokan air dari air permukaan dan air tanah) Sungai Citarum di Jawa Barat untuk PLTA Saguling dan PLTA Cirata, dan aliran Sungai Tondano di Sulawesi Utara untuk PLTA Tanggari I dan Tanggari II. Dalam kegiatan PLTA, energi potensial dari dam atau air terjun diubah menjadi energi mekanik dengan bantuan turbin, dan selanjutnya menjadi energi listrik dengan bantuan generator. Keberadaan air sungai atau waduk menempati posisi sentral untuk menjamin ketersediaan air dan sumber energi untuk pembangkit listrik guna memenuhi kebutuhan dan menjamin aktivitas sosial, ekonomi dan pembangunan. Pemanfaatan air oleh PLTA sebagai bahan baku untuk menghasilkan listrik, akan memberikan
dampak
negatif
jika
pengelolaannya
tidak
mengindahkan
pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai salah satu aktor dalam
9 pemanfaatan sumberdaya air, keempat PLTA yang diteliti mengambil tindakan perlindungan lingkungan secara proaktif melalui penerapan sistem manajemen lingkungan. Suatu sistem yang menawarkan fleksibilitas yang bertanggungjawab bagi perusahaan untuk menetapkan kebijakan dan program lingkungan sesuai dengan sifat dan karakteristik PLTA, dan menggunakan pendekatan Plan–Do– Check–Action (PDCA) untuk memperoleh hasil dan memberi keuntungan dalam konteks sosial ekonomi secara optimal PLTA yang telah menerapkan basis sukarela melakukan tindakan perlindungan sumberdaya air secara terprogram agar tidak terjadi penurunan kualitas air dan mempertahankan ketersediaan air yang dibutuhkannya. Kualitas air harus
memenuhi peraturan perundangan yang ditetapkan pemerintah dan
ketetapan lain yang berlaku. Pemanfaatan sumberdaya air yang memiliki banyak fungsi, memberi karakteristik unik bagi PLTA dalam penetapan program lingkungannya. Program lingkungan PLTA tidak bisa berdiri sendiri, PLTA perlu mempertimbangkan
masukan
dan
tanggapan
stakeholder.
Akseptabilitas
stakeholder akan mempercepat pencapaian target dan tujuan lingkungan PLTA. Hal ini bisa didukung dengan melakukan inventarisasi dan perhitungan, serta peningkatan pemahaman semua stakeholder tentang pentingnya nilai valuasi ekonomi jasa lingkungan yang berasal dari pemanfaatan air. Dengan demikian dari waktu ke waktu, perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air yang dilakukannya akan memberikan benefit kepada PLTA dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. Dari uraian diatas, permasalahan penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi perubahan penggunaan lahan, serta pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas sumberdaya air yang dimanfaatkan PLTA ? 2. Bagaimana tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder, serta landasan regulasi terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA ? 3. Berapa besar nilai jasa lingkungan yang diberikan sumberdaya air PLTA secara berkelanjutan ? 4. Bagaimana model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA ?
10 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk merumuskan kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Untuk mencapai tujuan umum tersebut terdapat tujuan spesifik penelitian yaitu: 1. Menganalisis kondisi perubahan penggunaan lahan dan kualitas sumberdaya air yang dimanfaatkan PLTA; 2. Menganalisis tingkat pengaruh dan kepentingan stakeholder, serta landasan regulasi terkait pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA; 3. Menganalisis nilai jasa lingkungan yang diberikan sumberdaya air PLTA secara berkelanjutan; 4. Merumuskan model kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian
kebijakan
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA memiliki nilai strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Adapun manfaat penelitian sebagai berikut: 1. Menjadi acuan dalam penyusunan dan perencanaan pemanfaatan sumberdaya air secara efektif, berkeadilan dan berkelanjutan; 2. Sebagai pertimbangan pengambil keputusan dalam merumuskan dan menetapkan aturan maupun kebijakan perlindungan lingkungan; 3. Memperbanyak khasanah ilmiah di bidang perlindungan lingkungan dengan pendekataan sukarela. 1.6. Novelty (Kebaruan) Desain perlindungan lingkungan selama ini masih menggunakan pendekatan mandatori (command and control) dimana peran regulator sangat dominan dan adanya keterbatasan ruang inovasi bagi perusahaan untuk melakukan perbaikan lingkungan. Sementara dalam penelitian ini menghasilkan desain kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berbeda dari pendekatan mandatori. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem (system approach) yang menggabungkan tiga aspek secara bersama yaitu: (1) aspek perbaikan
11 karakteristik sumberdaya air; (2) aspek perbaikan kelembagaan dan pemenuhan regulasi; serta (3) aspek pemahaman nilai ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air melalui komunikasi eksternal dengan pendekatan sukarela. Ketiga aspek ini menjadi pilar utama dalam desain model kebijakan berbasis sukarela yang mendudukkan peran perusahaan dan stakeholder secara bijaksana dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.