I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Minyak dan gas bumi (migas) adalah sumber daya alam tidak terbarukan
yang bernilai ekonomis dan strategis. Sampai saat ini migas masih merupakan sumber energi yang menjadi pilihan utama bagi industri, transportasi dan rumah tangga. Selain
itu, pemanfaatan berbagai produk akhir atau produk turunan
(derivative) minyak bumi juga semakin meningkat sehingga peningkatan akan permintaan minyak dan gas bumi di seluruh dunia telah mengakibatkan pertumbuhan dan ekspansi pada kegiatan eksplorasi dan pengolahan minyak mentah di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Salah satu daerah yang
melakukan kegiatan eksploitasi dan pengolahan minyak mentah cukup tinggi di Indonesia adalah Propinsi Jawa Barat yang menempati peringkat kelima terbesar setelah Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Lampung, dengan volume produksi mencapai 4,31 % dari produksi total Indonesia. Sedangkan untuk
gas
alam,
Jawa
Barat
yang
mempunyai
84
lapangan
migas
(www.pertamina-javacrb.co.id/wilayah.php) menempati peringkat ketiga dengan produksi 11,27 % dari produksi total gas alam Indonesia. Produksi migas tahunan Jawa Barat pada tahun 2004 sebesar 18.902 barrel oil perday (BOPD) dan 468 million matric standard cubic feet perday (MMSCFD). Kegiatan produksi minyak dan gas bumi merupakan suatu rangkaian proses yang kompleks dengan melibatkan berbagai kegiatan industri minyak bumi, mulai dari hulu (upstream) sampai hilir (downstream).
Kegiatan hulu
(Upstream) meliputi kegiatan eksplorasi (pencarian), eksploitasi (pengangkatan) melalui kegiatan pengeboran dan penyelesaian sumur, sarana pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan minyak mentah untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan minyak. Kegiatan hilir (downstream) meliputi kegiatan prosessing (pengolahan) melalui kegiatan kilang minyak (refinery) untuk memproduksi bahan bakar beserta turunannya dan marketing serta distribusi melalui kegitan penyimpanan (storage). Minyak bumi di lapangan minyak (oilfields) umumnya diproduksi dari beberapa sumur minyak (oilwell). Sumur-sumur minyak ini menghasilkan fluida yang mengandung campuran minyak bumi, gas bumi dan air. Fluida yang dihasilkan dari beberapa sumur minyak ini dikumpulkan ke pusat pengolahan yang memiliki berbagai fasilitas produksi yang disebut sebagai stasiun
2 pengumpul (gathering station atau GS) untuk memisahkan produk minyak bumi dari komponen-komponen lain yang terdapat di dalam fluida, yaitu gas bumi dan air. Pada saat fluida di permukaan, gas yang terlarut di dalam fluida akan terpisahkan
lebih
dahulu
karena
tekanan
di
dalam
reservoir
(tempat
terkumpulnya dan terjebak minyak dan gas bumi secara alami di bawah tanah) lebih tinggi dibandingkan di bubblepoint (suhu pertama kalinya suatu cairan terbentuk gelembung gas, yang menandakan cairan itu mulai mendidih). Gas yang terlarut dalam fluida ini disebut sebagai associated gas, yang lebih dikenal dengan nama gas ikutan (flaring gas). Gas ikutan atau associated gas (flaring gas) ini terproduksi pada lapangan minyak (oil field), pada waktu pengeboran (drilling) atau pada pekerjaan lanjutan (workover), kilang minyak (refinery) pada waktu proses pengolahan minyak mentah, pabrik kimia (chemical plant) dan lahan sampah (landfill). Gas ikutan yang dibahas pada penelitian ini adalah gas ikutan yang terproduksi pada lapangan minyak. Gas ikutan tersebut pada umumnya digunakan sendiri untuk keperluan operasi produksi di lapangan (own use) atau di recovery (ditangkap) sisanya biasanya dibakar (flare) atau di buang keatmosfer (venting) berdampak pada pencemaran udara. Kegiatan
industri
minyak
dan
gas
bumi
umumnya
berpotensi
menimbulkan dampak pada lingkungan. Baik pada proses produksi, pengolahan minyak bumi, penyimpanan maupun industri yang menggunakan minyak bumi, akan dihasilkan bahan-bahan yang merupakan salah satu sumber pencemar lingkungan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis; dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi).
Bahan-bahan pencemar ini pada akhirnya
akan masuk ke dalam lingkungan sehingga jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah pada lingkungan. Jumlah gas ikutan yang dihasilkan dari kegiatan industri migas sektor hulu (Upstream) di Indonesia relatif tinggi. Sebagai gambaran jumlah gas ikutan yang dibakar (flare gas) di Indonesia adalah sebesar 3,7 % (300,5 mmscfd) dari total gas yang diproduksi (Yunus, 2005). Padahal dengan masih potensialnya gas ikutan, maka gas ikutan dalam jumlah yang memenuhi syarat (cukup), dapat digunakan kembali untuk berbagai keperluan. Pemanfaatan ini bisa dilakukan
3 setempat atau di industri lainnya yang lokasinya jauh dari lokasi gas tersebut diproduksi, dengan jalan memipakan gas (pipe line) yang dikompresikan terlebih dahulu. Kelebihan gas ikutan yang tidak dapat digunakan untuk keperluankeperluan tersebut dapat digunakan untuk gas lift, direinjeksikan kembali ke dalam sumur, dibakar (gas flaring), atau dibuang langsung ke atmosfer (venting). Pembakaran gas ikutan dan venting dilakukan untuk alasan (i) safety mengingat di dalam gas ikutan ini masih terdapat senyawa-senyawa yang mudah terbakar, yang apabila terlepas secara langsung di sekitar fasilitas pengolahan minyak dan gas bumi akan mudah terbakar, (ii) ketidakekonomisan melakukan recovery gas di fasilitas produksi, sehingga dibutuhkan unit pembakar dan vent stack. Adanya pembakaran gas ikutan ini selain akan menimbulkan pencemaran lingkungan, juga secara tidak langsung mengakibatkan terbuangnya potensi sumberdaya yang sebenarnya masih sangat potensial untuk dimanfaatkan. Padahal jumlah yang dihasilkan seharusnya sudah dapat memasok bahan baku industri seperti pada industri petrokimia. Hal ini sesuai dengan laporan Pusdatin ESDM (2006) yang mengatakan bahwa gas yang digunakan untuk bahan baku industri petrokimia (termasuk pupuk) besarnya 7,3 % (591,0 mmscfd). Oleh karena itu Badan Pengatur Minyak dan Gas (BP Migas) (08 May 2007) melalui program zero flaring berupaya untuk meminimalkan gas ikutan dengan cara memanfaatkan gas ikutan yang berada di lapangan produksi minyak bumi yang terbuang percuma dalam upaya pemanfaatan sebagai energi alternatif karena selain memiliki nilai ekonomis juga memiliki nilai strategis dan sekaligus mendukung program pengurangan pemanasan global (global warming). Berkaitan dengan hal tersebut pada telah diluncurkan Global Gas Flaring Reduction
Public-Private
Partnership
(GGFR)
pada
World
Summit
on
Sustainable Development di Bulan Agustus 2002. GGFR beranggotakan negaranegara penghasil minyak (OPEC), perusahaan minyak baik yang dimiliki negara maupun perusahaan multi nasional lainnya. Tujuan GGFR adalah memfasilitasi dan mendukung penurunan gas ikutan di dunia dengan cara bersama-sama untuk memanfaatkan gas ikutan sebagai energi yang bersih dan mencairkan hambatan-hambatan dalam pemanfaatan gas ikutan tersebut. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) juga sudah mencanangkan program penurunan cemaran gas ikutan dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang tercermin pada rencana aksi kebijakan energi nasional 2003 – 2020 secara terpadu. Salah satu
4 kebijakan untuk mendukung hal tersebut tertuang pada Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025 yang memuat program-program utama pengelolaan energi nasional.
Salah satu program utama yang tertuang pada blueprint
tersebut adalah melakukan pemanfaatan kembali (reutilization) gas ikutan yang dihasilkan dari proses produksi minyak bumi (program utama ke enam) menjadi bahan yang bernilai ekonomis sehingga akan menguntungkan secara finansial. Hal ini juga sudah ditindak lanjuti oleh Direktorat Jenderal (Ditjend) Minyak dan Gas (Migas) yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang minyak dan gas bumi melalui program GOGII (Green Oil Gas Industry Initiative) (25 Juli 2008) untuk menjadikan industri migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan program zero flare, zero discharge, clean air and go renewable. Walaupun sudah ada kebijakan dari Dirjen MIGAS melalui Program GOGII namun hingga saat ini kajian yang ada kaitannya dengan pengurangan dan pemanfaatan kembali gas ikutan yang dihasilkan dari proses produksi bahan bakar fossil (BBF) masih sangat terbatas, bahkan penelitian ke arah pemanfaatan gas ikutan yang akan memberikan dampak terbesar pada sektor ekonomi, ekologi dan sosial hingga saat ini belum pernah dilakukan.
Oleh
karena itu dalam rangka melaksanakan clean development mechanism (CDM) untuk
mendukung
pembangunan
berkelanjutan,
maka
penelitian
model
pemanfaatan gas ikutan di perusahaan MIGAS secara terpadu dan holistik sangat penting untuk dilakukan. Pada saat ini gas ikutan di beberapa lokasi produksi minyak dan gas bumi sudah mulai dimanfaatkan menjadi LPG, bahan pembangkit tenaga listrik (power generator) atau sebagai kondensat.
Selain itu juga telah dilakukan kajian
terhadap gas ikutan, yakni oleh Indriani (2005) yang melakukan studi secara komprehensif mengenai potensi clean development mechanism (CDM) ditinjau secara teknik dan ekonomi penurunan gas ikutan di Indonesia pada sektor minyak dan gas.
Peneliti lainnya adalah Dewi dan Chandra (2007) yang
melakukan kajian tentang pemanfaatan gas ikutan dari fasilitas produksi minyak untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) di bawah mekanisme pembangunan bersih (CDM). Penelitian tentang pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, maka perlu dikaji
pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam
5 mendukung pembangunan berkelanjutan yang mempunyai manfaat maksimal dengan dampak negatif pada lingkungan yang minimal serta dapat menjadikan perusahaan
hidup
berdampingan
secara
harmonis
dengan
masyarakat
sekitarnya. Juga dilakukan penelitian model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih, sehingga
dari
sini
akan
dapat
diketahui
strategi
mana
yang
paling
menguntungkan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Dalam hal ini apakah gas ikutan tersebut dijadikan LPG, bahan bakar (lean gas) power generator atau menjadi kondensat. Dalam rangka mendapatkan kebijakan pengelolaan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, maka penelitian model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan MIGAS perlu segera dilakukan.
1.2.
Tujuan Penelitian Penelitian ini, secara umum bertujuan untuk mengembangkan suatu
model pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih. Penelitian difokuskan pada pemanfaatan kembali gas ikutan sebagai energi yang ramah lingkungan. Untuk membangun model pengelolaan eksploitasi minyak, beberapa tujuan spesifik yang ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan potensi pemanfaatannya 2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi migas. 3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site specific. 4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial. Hasil
penelitian
ini,
diharapkan
dapat
dijadikan
standar
dalam
pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism in oil industry). 1.3.
Kerangka Pemikiran Kegiatan ekploitasi migas merupakan salah satu bagian pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Namun demikian, selain dihasilkan minyak dan gas, kegiatan
6 ekploitasi tersebut selalu menghasilkan gas ikutan dan limbah yang berpotensi menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. Gas
ikutan
yang
dihasilkan
pada
umumnya
langsung
dibakar.
Pembakaran gas ikutan ini akan menghasilkan gas-gas emisi yang akan terlepas ke udara dan sebagian gas-gas emisi ini (CO2, CH4, dan H2O) akan terakumulasi di atmosfer bumi yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global (global warming). Demikian pula halnya dengan gas yang dilepas melalui vent stack (cerobong) berupa gas CH4 (methan) yang merupakan salah satu dari komponen gas-gas rumah kaca. Selain mengakibatkan efek rumah kaca, kelebihan gas ikutan yang pada saat ini tidak digunakan dan kemudian dibakar atau venting (dibuang langsung ke atmosfer) juga merupakan salah satu kegiatan inefisiensi mengingat gas ikutan yang dibakar masih memiliki kandungan energi yang cukup untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau kandungan komponen-komponen gas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku LPG, kondensat, feed stock industri petrokimia (petrochemical), dan lain-lain. Hal ini juga dinyatakan pada Protokol Kyoto yang mendorong dunia untuk mengupayakan pengurangan gas-gas emisi rumah kaca dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim, terutama oleh negara-negara industri (developed countries) yang termasuk dalam Annex-I countries pada Protokol Kyoto. Protokol Kyoto juga memungkinkan negaranegara berkembang (developing countries) yang bukan termasuk negara-negara yang wajib menurunkan emisi rumah kaca (non-Annex I countries) untuk dapat ikut serta dalam pelaksanaan pengurangan dampak perubahan iklim dan pemanasan global melalui mekanisme pembangunan bersih atau yang dikenal dengan clean development mechanism (CDM). Sejalan dengan Protokol Kyoto dan implementasi dari Protokol Kyoto tersebut, BP Migas telah berusaha untuk melakukan pembangunan bersih melalui anjuran pengurangan emisi gas ikutan dengan melakukan pengolahan dan pemanfaatan gas tersebut. Aplikasi CDM pada pengurangan gas ikutan di lokasi proses produksi minyak
akan
mendorong
perusahaan-perusahaan
yang
mengusahakan
pengolahan migas untuk melakukan pengurangan gas ikutan, mengingat aplikasi CDM memberikan keuntungan tambahan berupa revenue dari penjualan certified emission reduction (CER) yang dihasilkan dari kegiatan reduksi gas ikutan yang berkontribusi pada peningkatan dampak pemanasan global. Kegiatan reduksi
7 gas flaring yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan gas ikutan sebelum gas ini dibakar atau dibuang langsung ke atmosfer (venting) atau menginjeksikannya kembali (reinjection) dan menyimpannya di dalam formasi minyak bumi. Hal ini mengandung arti bahwa gas ikutan yang hendak dibakar, dimanfaatkan menjadi bahan baku produksi LNG, LPG, kondensate, atau produk-produk petrokimia atau sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan steam melalui pemipaan gas yang telah dikompresikan terlebih dahulu (CNG= compessed natural gas), sehingga dapat memberikan keuntungan secara finansial yang cukup menarik. Melalui pengolahan gas ikutan menjadi produk LPG, kondensat dan lean gas maka akan diperoleh dampak positif secara ekonomi, ekologi dan sosial. Secara ekonomi, produk yang dihasilkan merupakan bahan bakar yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat meningkatkan pendapatan perusahan dan PDRB daerah.
Pengolahan gas ikutan juga akan mereduksi jumlah gas ikutan yang
dibakar, yang berarti menurunkan pencemaran udara yang dihasilkan dalam proses pembakaran tesebut. Selain itu, usaha pengolahan gas ikutan tersebut akan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat dan masyarakat sekitar berpeluang
mendapatkan
pembinaan
melalui
kegiatan
corporate
social
responsibility dari perusahaan pengolah gas ikutan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian pengembangan model pengelolaan gas ikutan yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, ramah lingkungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar. Model tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai arahan dalam merumuskan kebijakan eksploitasi minyak dan gas bumi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Secara ringkas kerangkan pemikiran tersebut di atas dapat dilihat pada bagan alir Gambar 1.
1.4.
Perumusan Masalah Sampai saat ini pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak di Indonesia
belum memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan secara holistik, baik kaidah lingkungan binaan dan lingkungan alam, maupun kaidah lingkungan sosial. Konsep pengelolaan lingkungan masih sebatas secara fisik saja, sehingga kurang memperhatikan aspek ekologi dan sosial. Pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi sebagai hanya terfokus kepada komoditas minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang
8 memiliki nilai ekonomi tinggi, padahal disisi lain kegiatan eksploitasi minyak bumi juga menghasilkan gas ikutan. Gas ikutan tersebut jika tidak dimanfaatkan
Gas Alam (Natural Gas)
Pengelolaan SDA
Protokol Kyoto
Eksploitasi Migas
Penurunan Gas Rumah kaca
Minyak Mentah mengandung gas ikutan
Minyak Mentah
Flare (di Bakar)
Clean Development Mechanism (CDM)
Pengolahan (Utilization)
Pencemaran Udara
Dampak Positif
Sosial
Ekonomi
Ekologi
Model Pengelolaan Gas Ikutan
Kebijakan Eksploitasi Minyak Bumi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan
Gambar 1.
Bagan alir kerangka pemikiran
9 kembali akan masuk ke lingkungan (atmosfir) untuk selanjutnya akan mencemari udara. Produksi gas ikutan di Indonesia menduduki rangking empat setelah Nigeria, Angola, Irak di antara negara penghasil minyak anggota GGFR (Global Gas Flaring Reduction) yakni organisasi yang tidak mencari keuntungan (nirlaba) bernaung di bawah Bank Dunia yang beranggotakan negara penghasil minyak (OPEC) dan perusahaan minyak milik negara maupun perusahaan minyak multinasional lainnya. Saat ini sudah dilakukan studi pemanfaatan kembali gas ikutan menjadi bahan dan sumber energi baru yang menguntungkan secara ekonomi.
Kajian tersebut meliputi konversi dari gas ikutan
menjadi bahan bakar (lean gas) pembangkit listrik
menjadi LPG,
(power generator) atau
sebagai kondensat. Dalam rangka membangun model pemanfaatan gas ikutan guna mendukung pelaksanaan mekanisme produksi bersih pada kegiatan eksploitasi minyak dan gas sebagai landasan penyusunan rekomendasi kebijakan pengelolaan migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, ada beberapa pertanyaan yang perlu dipecahkan, yaitu: 1. Bagaimana kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan bagaimana potensinya untuk dapat dimanfaatkan ? 2. Bagaimana kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi migas? 3. Bagaimana disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific?. 4. Bagaimana
strategi
kebijakan
pengelolaan
gas
ikutan
yang
menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan kajian ilmiah dengan menggunakan pendekatan sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan yang setiap kajian terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan. Secara ringkas perumusan masalah penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
10
EKSPLOITASI MIGAS
PENGOLAHAN GAS IKUTAN
Kajian kondisi existing system pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan
CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM
Studi kelayakan Ekonomi pemanfaatan gas ikutan
Pengembangan desain model pengelolaan gas ikutan
Perumusan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan yang berkelanjutan
Gambar 2. 1.5.
Bagan alir perumusan masalah
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu
lingkungan berupa konsep model pengelolaan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial dengan pemanfaatan kembali gas ikutan. Selain itu, penelitian ini secara praktis bermanfaat sebagai: 1. masukan tentang pemanfaatan gas ikutan yang menguntungkan secara ekologi, ekonomi dan sosial. 2. alternatif model pemanfatan gas ikutan dalam eksploitasi migas. 3. alternatif kebijakan yang bersifat operasional dalam pengelolaan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dalam pola pembangunan berkelanjutan. 4. referensi dalam pengelolaan gas ikutan di industri migas.
11 1.6.
Novelty Kajian tentang pemanfaatan gas ikutan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti terdahulu, antara lain: -
Indriani (2005) melakukan studi secara komprehensif mengenai potensi clean development mechanism (CDM) ditinjau secara teknik dan ekonomi penurunan gas ikutan pada sektor minyak dan gas di Indonesia.
-
Dewi dan Chandra (2007) melakukan kajian tentang pemanfaatan gas ikutan dari fasilitas produksi minyak untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) dibawah mekanisme pembangunan bersih (CDM). Kebaruan penelitian ini adalah applicability CDM pada pemanfaatan
associated gas (flaring gas) di lapangan PT Pertamina EP yang memiliki karakteristik cadangan (reservoir) berlapis dan sangat terbatas (site spesific) sehingga harus dikembangkan dengan hati-hati terutama dalam penetapan target serta tingginya kandungan karbon dioksida (CO2) dan hydrogen sulfide (H2S). PT Pertamina EP belum pernah membuat kajian tentang pengelolaan gas ikutan pada lapangan minyak, sehingga srategi konversi gas ikutan
yang
berwawasan lingkungan dan model pemanfaatan gas ikutan yang bersifat holistik, yang menggambarkan hubungan antar sub sistem
ekologi, tekno-
ekonomi dan sosial pada kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site specific secara dinamis serta model kebijakan dan pengelolaan eksploitasi minyak bumi yang nantinya dapat dijadikan sebagai arahan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan dan strategi pengelolaan migas berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kebaruan dari penelitian ini gas ikutan yang selama ini langsung dibuang ke lingkungan atau dibakar dapat dimanfaatkan menjadi LPG, sehingga dapat mendatangkan keuntungan secara “ekonomis” karena LPG nya dapat dijual secara langsung dan “dijual” melalui mekanisme perdagangan karbon (carbon trade mechanism) serta dapat memberikan keuntungan pada lingkungan karena dapat meminimalkan terjadinya pencemaran udara (air pollution), hujan asam (acid rain) dan pemanasan global (global warming) serta menguntungkan secara sosial (social benefit) karena dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kemakmuran rakyat secara berkeadilan.