I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepedulian masyarakat dunia terhadap kerusakan lingkungan baik global maupun
regional
akibat
adanya
pembangunan
ditandai
dengan
diselenggarakannya Konferensi Stockholm tahun 1972, dengan tema hanya satu bumi. Sepuluh tahun kemudian digagas konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan ini merupakan konsep upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumberdaya tanpa mengurangi potensi generasi selanjutnya untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Grunkemeyer & Moss 1999). Pembangunan adalah mengelola
sumberdaya alam untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Sejalan dengan perkembangan teknologi maka kebutuhan konsumsi untuk kebutuhan manusia meningkat. Hal tersebut sesuai dengan teori dari Paul dan Holdren tahun 1972 (Gans & Jost 2005) yang mengemukakan IPAT model. Berdasarkan IPAT model ini maka Impact (dampak) merupakan perkalian dari Population (penduduk) dengan Affluence (kemakmuran) dan Technology (teknologi), atau IPAT = Population X Affluence X Technology (Chambers, Simmon & Wackernagel 2002).
Menurut model ini, dampak lingkungan
merupakan hasil perkalian dari jumlah penduduk atau konsumen, dengan tingkat konsumsi (affluence) dan tingkat teknologi. Lahan merupakan sumberdaya alam yang mendukung kehidupan, yang merupakan permukaan terluar dari bumi.
Sifat biofisik lahan yang
menggambarkan tujuan penggunaan lahan disebut land use atau guna lahan, atau penggunaan lahan (Briassoulis 2000). Penggunaan lahan disebut pula sebagai penggunaan tanah, yang menurut Sandy (1999) merupakan terminologi yang sama dengan penggunaan ruang atau tata ruang. Permasalahan tata ruang dan lahan atau pertanahan, seolah-olah merupakan dua hal yang berbeda. Permasalahan tata ruang Indonesia menghadapi masalah urbanisasi dan persebaran penduduk terkonsentrasi di kota-kota tertentu saja, khususnya wilayah-wilayah metropolitan utama, seperti Jabotabek dan Bandung Raya. Demikian pula dengan sebagian besar penduduk masih sangat terpusat di
Pulau Jawa. Perkembangan penduduk kota terjadi dengan laju dan jumlah yang lebih tinggi di wilayah pinggir kota-kota besar, daripada di pusatnya (core), yang berakibat pada lahan pertanian yang subur di pinggiran kota beralih fungsi menjadi kawasan perkotaan (Firman 2004). Sementara itu, permasalahan lahan di Indonesia, adalah terdapatnya konflik pertanahan antar pihak seperti antara lembaga pemerintah dan rakyat, antara rakyat dengan lembaga tertentu, antara rakyat dengan investor, diantara rakyat sendiri bahkan diantara lembaga pemerintah. Konflik terjadi di hampir semua sektor seperti industri, pariwisata, pertambangan, kehutanan dan sebagainya. Masalah kedua adalah, kepemilikan lahan terkonsentrasi pada sekelompok orang. Masalah ketiga adalah lemahnya jaminan perlindungan kepemilikan lahan, terutama pada golongan miskin (Solihin 2004). Perubahan penggunaan lahan di Indonesia cukup tinggi, yaitu 1.000.000 hektar per tahuan merupakan permasalahan yang berdampak pada kerusakan lingkungan (BKTRN 2003). Aspek penggunaan lahan atau tata ruang merupakan aspek yang penting, karena itu perlu dilakukan suatu studi atau penelitian yang mengkaji aspek tersebut agar dapat menentukan strategi atau langkah untuk mengantisipasi dampak-dampak yang mungkin terjadi. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi dalam skala global, nasional maupun lokal, mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung baik secara lokal, nasional maupun global. Penyebab dan dampak perubahan ruang berbedabeda di setiap wilayah bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga diperlukan suatu simulasi dan analisis.
Masalah penggunaan lahan
adalah masalah keruangan atau spasial, sehingga pendekatan analisisnya perlu dengan analisis spasial. Kegiatan penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan penataan ruang ini memerlukan analisis spasial dan analisis non spasial. Tahap perencanaan tata ruang wilayah dimulai dengan pengumpulan data sosial ekonomi wilayah, yang kemudian menentukan kebutuhan-kebutuhannya atas ruang berdasarkan kegiatan atau sektor. Dengan kata lain pendekatannya berdasarkan kebutuhan manusia (antropocentris). Sedangkan, sumberdaya alam (ruang atau lahan) memiliki kapasitas maksimal untuk digunakan agar tidak
melampaui daya dukungnya.
Penelitian yang dilakukan adalah dengan
pendekatan kondisi sumberdaya alam (lahan) melalui pemodelan perubahan penggunaan lahan. Berdasarkan dengan pemodelan yang digunakan, dilakukan perkiraan penggunaan lahan dimasa mendatang. Penggunaan lahan yang diduga tersebut berdasarkan pada gambaran penggunaan lahan di masa lalu dihubungkan dengan faktor penyebab terjadi perubahan penggunaan lahan. Perencanaan tata ruang bertujuan untuk mengalokasikan ruang guna memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan. Hasil pembangunan tersebut diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat.
Tolok ukur keberhasilan
pembangunan yang diperoleh manusia adalah human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (UNDP 2004).
Tolok ukur ini, hanya
berorientasi kepada manusia (antropocentris). Pada penelitian ini, pendekatan untuk melihat hasil pembangunan tidak hanya dilihat pada aspek manusia saja, tetapi aspek lingkungan (ekosistem). Karena itu, dicari pendekatan yang dapat menggambarkan keadaan tersebut. Otonomi yang diberikan kepada daeah (kabupaten dan kota) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, memberikan kewenangan kepada kabupaten dan kota. Kewenangannya tersebut adalah dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan, serta menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang.
Dampak positif dari
kewenangan ini adalah kabupaten dan kota berlomba untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). PAD menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan yang berakibat pada adanya ketimpangan antara desa dan kota serta terjadi peningkatan (semakin intensif) eksploitasi sumberdaya alam. Salah satu wilayah yang cukup pesat perkembangannya adalah wilayah Bandung Raya yang meliputi Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kota Bandung dan Cimahi didominasi oleh kawasan perkotaan, sementara Kabupaten Bandung penggunaan lahannya tidak didominasi oleh kawasan perkotaan. Wilayah Kabupaten Bandung
memiliki luas 307.370,08
hektar dengan jumlah penduduk 4017582 jiwa yang mempunyai rata-rata kepadatan penduduk 13 jiwa per hektar (BPS 2003). Permasalahan lingkungan Kabupaten Bandung berawal dari permasalahan spasial (keruangan). Masalah
spasial ini meliputi tidak efisiennya penggunaan lahan tertentu, penggunaan lahan tidak sesuai dengan peruntukkan serta tingginya konversi kawasan tidak terbangun menjadi terbangun. Permasalahan tata ruang ini berdampak pada permasalahan lingkungan seperti banjir, kekeringan, erosi, longsor dan turunnya muka air tanah.
Bila permasalah lingkungan tersebut tidak dikaji secara
menyeluruh maka kondisi wilayah Kabupaten Bandung akan semakin parah. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dilakukan penelitian dengan judul “Model Perubahan Penggunaan Lahan untuk Penataan Ruang dalam Kerangka Pembangunan Wilayah yang Berkelanjutan”. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah menganalisis secara spasial perubahan penggunaan lahan, melakukan simulasi perubahannya berdasarkan skenario yang telah ditetapkan.
Hasil
pemodelan ini digunakan sebagai masukan dalam pengembangan penataan ruang wilayah. Aspek non spasial dalam penataan ruang wilayah dilakukan dengan menganalisis keberlanjutan pembangunan wilayah. Pada bagian akhir penelitian, para stakeholder dilibatkan dalam menentukan faktor kunci dari faktor yang telah diperoleh pada penelitian awal (spasial dan non spasial), para stakeholder menambahkan pula faktor yang belum teridentifikasi.
Hasil dari pertemuan
dengan para stakeholder adalah faktor kunci yang memegang peranan penting dalam penelitian. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk membangun model perubahan penggunaan lahan untuk konsep penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan di wilayah Kabupaten Bandung. Tujuan penelitian di atas dapat dicapai melalui tujuan-tujuan antara yang meliputi: 1. Mengevaluasi kesenjangan rencana tata ruang wilayah dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan. 2. Membangun model perubahan penggunaan lahan Kabupaten Bandung dengan menggunakan beberapa skenario. 3. Menganalisis tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah. 4. Menyusun skenario dan rekomendasi serta strategi untuk penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan.
1.3. Kerangka Pemikiran Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak.
Tata ruang dapat ditunjukan atau digambarkan
dengan penggunaan lahan. Penggunaan lahan aktual merupakan informasi yang penting dalam pemodelan perubahan penggunaan lahan. Peta penggunaan lahan tahun-tahun sebelumnya bila dioverlay atau ditumpang susunkan dengan penggunaan lahan aktual, dapat memberikan informasi perubahan penggunaan lahan. Metode overlay ini menggunakan geographic information system (GIS). Informasi ini tidak dapat memprediksi dimana dan seberapa perubahan yang mungkin dimasa mendatang. Verburg et al. (2002) menggabungkan GIS dengan analisis sistem dinamis untuk memodelkan perubahan penggunaan lahan. Pemodelan ini menggunakan data sosial ekonomi serta biofisik wilayah yang telah dispasialkan dan dengan menggunakan skenario yang telah ditetapkan dapat diprediksi penggunaan lahan dimasa mendatang. Informasi atau data sosial ekonomi wilayah yang ada dapat menggambarkan pembangunan wilayah dengan menggunakan human development index (HDI) atau indeks pembangunan manusia (UNDP 2004). Bila informasi biogeofisik wilayah ini disandingkan dengan informasi pembangunan maka gambaran pembangunan wilayah menjadi lebih lengkap tidak hanya dari aspek manusia saja tetapi sudah melihat aspek lingkungan (Prescott-Allen 2001). Pembangunan wilayah berkelanjutan dianalisis dengan mempelajari aspek sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah melalui analisis keberlanjutan. Hal ini dapat memberikan gambaran tingkat keberlanjutan pembangunan dari wilayah yang dianalisis. Informasi tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah merupakan informasi penting dalam penataan ruang. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Produk dari penataan ruang adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW). Dalam RTRW ini mengandung aspek spasial, yaitu alokasi ruang berdasarkan kegiatan atau sektor. Penggunaan lahan eksisting, dan hasil pendugaan (prediksi), akan dibandingkan untuk melihat kesenjangan diantara keduanya.
Model perubahan penggunaan lahan
Pembangunan wilayah yang berkelanjutan
Sosek wilayah
Analisis keberlanjutan (sustainability)
Penggunaan lahan aktual Biogeofisik wilayah
Simulasi dengan skenario Tingkat keberlanjutan pembangunan wilayah
Penggunaan lahan mendatang
Penataan Ruang
RTRW
Gambar 1 Kerangka pemikiran penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan (Modifikasi dari Verburg et al. 2002, Presscott-Allen 2001, dan UU No. 24 tahun 1992) Kedua aspek spasial dan non spasial dalam penataan ruang akan dibahas bersama para stakeholder. Pembahasan meliputi faktor yang ditemukan dalam penelitian awal pada aspek spasial (perubahan penggunaan lahan) dan aspek non spasial (pembangunan wilayah, analisis keberlanjutan, regulasi tata ruang dan kelembagaan), akan menjadi faktor penting atau ada faktor lain yang belum termasuk.
Keseluruh faktor yang teridentifikasi, dikaitkan dengan kegiatan
penataan ruang untuk membangun konsep penataan ruang dalam kerangka pembangunan
yang
berkelanjutan.
Kerangka
digambarkan dalam bentuk diagram (Gambar 1).
pemikiran
tersebut
diatas
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan adalah terhadap ilmu pengetahuan, para stakeholders dan pemerintah. − Bagi ilmu pengetahuan agar dapat menambah khasanah ilmu bidang lingkungan terutama penataan ruang dan pembangunan wilayah berkelanjutan. − Bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan pada penataan ruang dalam kerangka pembangunan wilayah yang berkelanjutan. − Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan acuan untuk menetapkan suatu kebijakan.
1.5. Novelty (Kebaruan) Novelty atau kebaruan dari penelitian ini terdapat pada pendekatan (approach) yang digunakan dan objek penelitian. Pendekatan yang dilakukan adalah secara terpadu atau terintegrasi dalam mengkaji aspek tata ruang agar penataannya memenuhi konsep pembangunan berkelanjutan. Pemodelan spasial dilakukan untuk melihat perubahan penggunaan lahan di masa mendatang sebagai masukan dalam penataan ruang dengan menggunakan CLUE-S (Conversion of Land Use Change and its Effect at small regional extent). Aspek keberlanjutan (sustainability) yang didekati dengan metode Wellbeing Index sebagai indikator keberlanjutan pembangunan wilayah. Secara keseluruhan, pendekatan yang dilakukan berdasarkan aspek wilayah (spasial) yang digabungkan dengan aspek non spasial untuk menentukan penataan ruang dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.