I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kompetisi antar perusahaan semakin hari semakin kompetitif. Keberhasilan sebuah perusahaan salah satunya diukur oleh usia perusahaan tersebut. Usia ini antara lain menggambarkan daya tahan suatu perusahaan dalam kompetisi. Gambaran ketatnya persaingan yang diindikasikan oleh usia perusahaan dapat disimak dari apa yang diungkapkan oleh Scott (2000) bahwa rata-rata usia perusahaan yang masuk dalam daftar Fortune 100 hanya berkisar 42 tahun. Majalah Fortune 500 menyebutkan bahwa “25% perusahaan bangkrut setiap 10 tahun” dan hanya beberapa perusahaan berumur panjang termasuk yang terakhir ini adalah Stora (Swedia, 800 tahun), Sumitomo (Jepang, 400 tahun), Du Pont (AS, 195 tahun), Pilkington (Inggris, 171 tahun) (Sangkala, 2007). Organisasi pada dasarnya seperti mahluk hidup yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan. Perubahan lingkungan strategik organisasi yang sangat cepat dalam berbagai dimensi, seperti teknologi, sosial, ekonomi, perundangan, dan globalisasi menuntut organisasi untuk mampu
beradaptasi pada
perubahan itu. Apabila organisasi terlambat untuk berubah maka dapat memungkinkan menurunkan kinerja organisasi. Organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka akan selalu mengalami perubahan. Sasaran dari perubahan adalah untuk menciptakan sistem yang mampu bertahan dalam situasi perubahan yang terus terjadi agar organisasi dapat bertahan hidup dan bertumbuhkembang. Organisasi pembelajaran sangat dibutuhkan manajemen perusahaan terutama dalam menghadapi perubahan lingkungan yang cepat, termasuk perkembangan pengetahuan dan teknologi. Pada awalnya organisasi pembelajaran hanya dikembangkan di sektor privat. Keberhasilan penerapan pada sektor privat kemudian diadopsi dan diterapkan di sektor publik. Adaptasi sistem dan penerapan organisasi
2
pembelajaran di sektor publik terjadi karena sektor privat dan sektor publik memiliki kemiripan dalam fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating dan controlling. Salah satu organisasi publik yang telah berhasil mentransformasikan dirinya menjadi organisasi pembelajaran adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Reformasi perpajakan dengan program utama modernisasi dan reformasi pelayanan perpajakan telah memperlihatkan hasil. Hal ini terbukti dengan terjadinya kenaikan realisasi pajak sebesar 34%, menjadi Rp 571 triliun pada tahun 2008, pencapaian tertinggi sepanjang sejarah RI. Realisasi penerimaan pajak (tidak termasuk PPh migas) pada tahun 2005 mencapai Rp 263,35 triliun, tahun 2006 Rp 314,86 triliun, target APBN 2007 Rp 411,32 triliun, APBNP 2007 sebesar Rp 395,25 triliun (Majalah Berita Pajak, 2009). Beberapa ahli manajemen menyatakan keberhasilan penerapan organisasi pembelajaran dan memberi dukungan terhadap penerapan organisasi pembelajaran di sektor publik. Osborne, Gaebler, Plastrick, Kettl, Tapscott dan Lovell menyatakan bahwa dengan organisasi pembelajaran, organisasi publik akan lebih costumer oriented, hierarki lebih pendek, pekerjaan berpusat pada kerja kelompok, efektif, memiliki daya tanggap, akuntabilitas pegawai publik meningkat serta organisasi publik akan menjadi pusat jaringan dengan kegiatan utama melakukan pengendalian dan penggerakkan (Agus Joko Purwanto, 2007). Modernisasi perpajakan oleh DJP diawali dengan restrukturisasi fungsi operasional (pelayanan kepada wajib pajak) melalui pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar yang diikuti pendirian KPP Madya dan KPP Pratama. Selain itu, pada awal tahun 2009 dibentuk kantor khusus pelayanan pajak untuk orang-orang kaya atau pengusaha di Indonesia yang disebut High Wealth Individual Tax Office (KPP HWI/KPP WP OP Besar). Sejak dimulai pada tahun 2002, reformasi perpajakan telah berhasil mengubah institusi DJP menjadi lebih baik. Indikator keberhasilan reformasi perpajakan dapat dilihat setidaknya dari dua hal mendasar:
3
perubahan persepsi masyarakat terhadap institusi Direktorat Jenderal Pajak dan keberhasilan pencapaian target penerimaan pajak. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Transparency International tahun 2006, maka DJP masuk dalam kategori sebagai intitusi yang dinilai paling korup dengan tingkat inisiatif meminta suap mencapai 76%. Tahun 2008, DJP tidak masuk lagi dalam daftar institusi yang dinilai paling korup di Indonesia (Bisnis Indonesia, 2 Juni 2009). Dampak reformasi perpajakan juga dapat dilihat dari peningkatan wajib pajak dan penerimaan pajak. Dibandingkan dengan tahun 2004, tahun 2009 jumlah wajib pajak orang pribadi meningkat 252,7 persen menjadi 11 juta orang. Dibandingkan jumlah wajib pajak orang pribadi pada tahun 1999 yang hanya 1,3 juta orang dengan tahun 2009 peningkatannya lebih besar lagi, yakni 746,2 persen. Jumlah wajib pajak badan pada tahun 2009 juga menigkat 87,74 persen (dibandingkan dengan tahun 2004) atau 216,7 persen (dibandingkan dengan tahun 1999) menjadi 1,9 juta institusi. Dilihat dari segi penerimaan pajak, dibandingkan dengan tahun 2004, pajak penghasilan di luar minyak dan gas pada akhir tahun lalu tercatat naik 160,9 persen ke Rp 250,5 triliun. Pajak penghasilan minyak dan gas meningkat 252 persen menjadi Rp 77,1 triliun. Sedangkan pajak pertambahan nilai meningkat 104,5 persen ke Rp 209,6 triliun (Tempo Interaktif, 18 Maret 2009). Reformasi Perpajakan merupakan langkah strategis yang telah dilakukan DJP untuk menjadi organisasi pembelajaran. Tidak hanya reformasi
di
bidang
administrasi
dengan
melakukan
modernisasi
administrasi perpajakan, reformasi juga lakukan di bidang peraturan atau kebijakan dengan melakukan amandemen Undang-Undang Perpajakan dan bidang pengawasan dengan pengadaan Bank Data Nasional. Berbagai program reformasi telah dilakukan dan akan terus dilakukan oleh DJP agar mencapai visinya menjadi institusi pemerintahan yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien, dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi. Reformasi jilid satu telah usai dan kini memasuki reformasi jilid dua. Tahun 2009 adalah tahun dicanangkannya reformasi perpajakan jilid dua,
4
yaitu dimulai dengan reformasi bidang Sumber Daya Manusia (SDM). Reformasi bidang SDM ini meliputi pembenahan mutu, integritas serta militansi SDM perpajakan melalui peningkatan pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi reformasi jilid satu dari perspektif tingkat penerapan organisasi pembelajaran di lingkungan DJP agar dapat dilakukan evaluasi dan sumbang saran guna perbaikan-perbaikan di masa yang akan datang. 1.2. Rumusan Masalah Reformasi perpajakan secara komprehensif dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan menjalankan tiga hal yaitu di bidang administrasi dengan melakukan Modernisasi Administrasi Perpajakan, di bidang peraturan atau kebijakan dengan melakukan Amandemen UndangUndang Perpajakan dan yang terakhir yaitu bidang pengawasan dengan pengadaan Bank Data Nasional. Reformasi di tiga hal tersebut membawa perubahan positif bagi DJP. Modernisasi perpajakan sebagai bagian dari reformasi perpajakan menjadi hal yang menarik dan trend di lingkungan DJP. Ada nuansa tersendiri yang membuatnya menjadi lebih teknis, fokus dan dinamis sejalan reformasi perpajakan itu sendiri (Liberti Pandiangan, 2008). Pada tanggal 28 Agustus 2007, terjadi penggabungan Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB), dan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karipka) menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama. Tugas dan fungsi yang ada pada KPP, KP PBB, dan Karipka bergabung pada seksi-seksi yang ada pada KPP Pratama Bandung Tegallega sehingga terjadi banyak perubahan baik dalam struktur organisasi, tugas dan fungsi, sistem kerja, sumber daya manusia dan sarana kantor. Setiap organisasi merupakan organisasi pembelajaran namun setiap organisasi memiliki perbedaan tingkat penerapan organisasi pembelajaran. Sejak terjadi penggabungan KPP, KP PBB, dan Karipka akibat reformasi perpajakan maka terjadi peningkatan penerapan organisasi pembelajaran di KPP Pratama Bandung Tegallega. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur
5
organisasi, sistem kerja, dan budaya kerja yang berlaku dan diterapkan dalam pelaksanaan kegiatannya. KPP Pratama Bandung Tegallega juga meraih predikat sebagai KPP Pratama terbaik ketiga se-Indonesia pada tahun 2008 dan menjadi salah satu KPP Pratama Percontohan pada tahun 2009. Penerapan model sistem organisasi pembelajaran seharusnya dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh elemen yang ada dalam suatu organisasi baik pimpinan maupun non pimpinan. Pada beberapa organisasi seringkali terjadi perbedaan persepsi mengenai penerapan model sistem organisasi pembelajar dilihat dari persepsi pimpinan dengan non pimpinan. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang dan judul dari penelitian ini, maka dirumuskan masalah yang menjadi arah penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana tingkat penerapan model sistem organisasi pembelajaran di KPP Pratama Bandung Tegallega? 2. Bagaimana persepsi pimpinan dan non pimpinan terhadap penerapan model sistem organisasi pembelajaran di KPP Pratama Bandung Tegallega? 3. Rekomendasi apa yang dapat diberikan sebagai implikasi manajerial bagi pimpinan KPP Pratama Bandung Tegallega untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran organisasi? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis tingkat penerapan model sistem organisasi pembelajaran di KPP Pratama Bandung Tegallega. 2. Menganalisis persepsi pimpinan dan non pimpinan terhadap penerapan model sistem organisasi pembelajaran di KPP Pratama Bandung Tegallega. 3. Memberikan rekomendasi sebagai implikasi manajerial bagi pimpinan KPP Pratama Bandung Tegallega untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran organisasi.
6
1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya membahas dan menggali secara mendalam potensi model sistem organisasi pembelajaran melalui sub sistem dinamika pembelajaran, sub sistem transformasi organisasi, sub sistem pemberdayaan manusia, sub sistem pengelolaan pengetahuan dan sub sistem penerapan teknologi. Selain itu, juga melihat persepsi dan sikap pimpinan dan non pimpinan terhadap penerapan organisasi pembelajaran di KPP Pratama Bandung Tegalllega. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Akademisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang penerapan model sistem organisasi pembelajaran di sektor publik khususnya di Kantor Pelayanan Pajak (KPP). 2. Praktisi Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan maupun sumbang saran bagi pimpinan organisasi khususnya pimpinan KPP Pratama Bandung Tegallega dalam membuat kebijakan pengembangan organisasi agar terjadi peningkatan penerapan model sistem organisasi pembelajaran yang berimplikasi pada peningkatan kinerja organisasi.