1
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan ekonomi suatu negara saat ini tidak terlepas dari peran
pemerintah dalam mengatur perekonomian untuk mencapai kesejahteraan sosial (Social Walfare) bagi publik. Mayoritas negara di dunia ini melakukan strategi perekonomian yang lebih hati-hati dan menggabungkan prinsip pasar bebas (market mechanism) dengan intervensi pemerintah yang lebih terarah dan tepat guna (Deliarnov, 2006). Aliran-aliran pemikiran seperti Marxisme, Keynesian, dan paham sosialis lainnya juga mendukung institusi politik dan pemerintahan dalam perekonomian untuk mencapai ekonomi yang lebih efisien dan lebih adil. Kekuatan ekonomi dunia saat ini sedang bergeser dari barat ke timur. Resesi ekonomi yang terjadi tahun 2008/2009 mempercepat pergeseran perekonomian. Ketika dunia barat mengalami kemunduran ekonomi, benua Asia khususnya Asia Timur, terus tumbuh mencapai kemajuan yang signifikan. China, India, dan Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2009. ASEAN (Association of Southeast Asian Nation) adalah perhimpunan bangsabangsa Asia terutama Asia Tenggara, merupakan organisasi geo-politik dan ekonomi yang anggotanya terdiri dari 11 negara dari wilayah Asia Tenggara. Ketika negaranegara di dunia melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan ekonomi, Pemerintah kawasan ASEAN sepakat untuk bekerjasama dengan menghilangkan hambatan-hambatan dan membuka perekonomian secara lebih bebas guna mencapai integrasi ekonomi. Selama lebih dari empat dekade sejak dicetuskan pada deklarasi Bangkok tahun 1967 oleh para pemimpin negara Asia Tenggara, ASEAN telah menjadi kekuatan regional terbesar di dunia setelah Uni Eropa. Di tengah krisis yang melanda Amerika Serikat dan Uni Eropa, ASEAN dan China seakan menjadi daya tarik dan harapan baru bagi perekonomian global. Tingginya antusias internasional terhadap ASEAN karena negara-negara lain ingin berinvestasi lebih banyak di kawasan
2
ASEAN. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai investasi yang masuk ke kawasan ASEAN pada tahun 2009 tercatat 37,8 miliar dollar AS dan tahun 2010 kenaikan investasi mencapai 100 persen menjadi 70,8 miliar dollar AS1. World Bank (2011) mengungkapkan bahwa populasi total ASEAN yang mencapai 600 juta jiwa menjadi salah satu pertimbangan menarik bagi produsenprodusen di negara maju dan kondisi ini didukung dengan total Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,8 triliun dollar AS. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi kolektif ASEAN tercatat 7,5 persen (UNCTAD, 2012). Sejumlah kalangan memprediksi dalam empat tahun ke depan (sampai tahun 2015) pertumbuhan ekonomi ASEAN masih berkisar 6 persen sedangkan pertumbuhan ekonomi dunia yang diramalkan hanya sekitar 3,3 persen hingga 3,7 persen1 . Selain itu, Laporan UNDP tentang Human Development tahun 2011 menjelaskan indeks pembangunan manusia di negara-negara ASEAN mempunyai pertumbuhan positif sekitar satu persen hingga dua persen per tahun yangmencerminkan kesejahteraan sosial masyarakat kawasan ASEAN dari tahun ke tahun semakin membaik. Namun dibalik semua prospek perkembangan perekonomian dan pencapaian prestasi-prestasi ASEAN, masih ada permasalahan internal yang menaungi pemerintahan di sektor publik pada kawasan ASEAN salah satunya adalah permasalahan korupsi. Korupsi merupakan penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan pribadi dan salah satu faktor yang menyebabkan high cost economy (Transparency International (2010); Damanhuri (2010)). Beberapa penelitian membuktikan bahwa korupsi banyak terjadi di negara miskin dan negara sedang berkembang atau terjadi pada gaya kepemimpinan yang otoriter (Sasana, 2004). Banyaknya
praktik korupsi di negara dunia ketiga dan
berkembang merupakan bentuk kegagalan perencanaan pemerintah akibat kualitas institusi yang rendah sehingga kepentingan pribadi lebih didahulukan daripada kepentingan nasional (Todaro dan Smith, 2006). 1
Eny Prihtiyani, 13 November 2011, dalam artikel “Kekuatan Ekonomi Baru yang Terus Berbenah” [http://internasional.kompas.com/]
3
Kebanyakan anggota ASEAN merupakan negara sedang berkembang dan regim pemerintahannya masih belum menganut sistem demokrasi secara penuh. Seperti negara Thailand yang ingin memperjuangan demokrasi dengan cara kudeta militer, junta militer di Myanmar, Brunei yang masih menggunakan sistem kesultanan, dan negara sosilalis (Laos, Kamboja, dan Vietnam). Walaupun dalam beberapa dokumen perjanjian dan pertemuan negara ASEAN sepakat untuk menerapkan sistem demokrasi secara penuh, tetapi implementasinya di beberapa negara masih kurang terlihat nyata2. Tabel 1.1 Dinamika Indeks Persepsi Korupsi dan Sistem Pemerintahan Negara Anggota ASEAN selama 10 Tahun. No
Negara
1 2
Indonesia
CPI Score 2000* 1.7
Malaysia
4.8
3 4 5 6 7 8 9
Singapura Filipina Thailand Myanmar Laos Vietnam Brunei Darussalam
9.1 2.8 3.2 2.5
Kamboja
-
10
-
Sistem Pemerintahan 2000** Demokrasi Demokrasi Terbatas Regim Otoriter Demokrasi Demokrasi Regim Otoriter Regim Totaliter Regim Totaliter Monarki Tradisional Demokrasi terbatas
CPI Score 2010* 2.8 4.4 9.3 2.4 3.5 1.0 2.1 2.7 5.5 2.1
Sistem Pemerintahan 2010** Demokrasi Demokrasi Terbatas Demokrasi Demokrasi Demokrasi Demokrasi Komunis Komunis Demokrasi Terbatas Demokrasi Terbatas
Sumber : *) Corruption Perception Index, Transparency International tahun 2000 dan tahun 2010 **) Ensiklopedia Bebas(Wikipedia) dan A survey of Global Political Change in The 20 th Century (Freedomhouse) tahun 2011
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa walaupun terjadi perubahan sistem pemerintahan di beberapa negara ASEAN yang semula regim pemerintah diktator 2
Rakaryan Sukarjaputra, 18 Desember 2006, dalam Artikel “Demokrasi Setengah Hati di ASEAN”, [http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7182&coid=3&caid=31&gid=2]
4
menjadi pemerintah demokrasi selama 10 tahun masa transisi, tetapi perubahan persepsi korupsi tidak terlalu signifikan dan bahkan skor cenderung menurun seperti yang terjadi Malaysia dan Filipina. Data tersebut mendukung pendapat Syed Husseis Alatas dalam Damanhuri (2010) bahwa praktik-praktik korupsi sudah mengakar kuat dan sulit diberantas di Asia Tenggara. Negara penganut sistem pemerintahan demokrasi belum tentu terbebas dari perilaku-perilaku korupsi. Korupsi yang dimaksud adalah korupsi dengan level tingkat pemerintahan atau sektor publik. Myrdal dalam Damanhuri (2010) Korupsi di Asia Selatan dan Asia Tenggara berasal dari penyakit neo-patrimonalisme, yakni warisan budaya feudal kerajaankerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam konteks tersebut, rakyat biasa atau bawahan memberikan “upeti” (berkembang menjadi sogok, komisi, amplop, dan lain-lain). Hal tersebut erat kaitannya dengan kualitas pemerintahan negara-negara ASEAN. Para pejabat di sektor publik cenderung memiliki perilaku rent seeking behavior (dalam hal ini korupsi) yang dapat menurunkan kualitas pemerintahan dan kualitas institusi yang dalam penelitian Casseli dan Morelly dalam Sasana (2000) dapat dilihat dari dimensi kompetensi dan dimensi kejujuran. Dalam hal ini, korupsi menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengidentifikasi penyebab korupsi dan seberapa besar pengaruh korupsi terhadap investasi dan pembangunan manusia di kawasan ASEAN. Pembangunan manusia di kawasan ASEAN merupakan syarat perlu untuk menciptakan sumberdaya manusia berkualitas dalam menghadapi Asean Economy Community (AEC) 2015. Jika korupsi tidak ditangani secara tepat, hal ini tentunya akan menghambat kerjasama antar negara ASEAN dan dunia internasional dalam menciptakan stabilitas investasi seperti yang tertuang dalam kesepakatan Bali Concord III tahun 2011 antara 10 negara ASEAN untuk mencegah dan melawan korupsi.
1.2
Rumusan Masalah Negara-negara
berkembang
atau
negara
dunia
ketiga
memiliki
kecenderungan untuk melakukan praktik-praktik korupsi di sektor publik akibat kualitas institusi pemerintahan yang rendah dalam mengontrol tingkat korupsi
5
sehingga kepentingan pribadi lebih didahulukan daripada kepentingan nasional. ASEAN sebagai organisasi regional yang terbentuk pada tahun 1967, sebagian besar negara-negara anggotanya merupakan negara-negara berkembang dan berpendapatan rendah/menengah rendah kecuali Brunei Darussalam dan Singapura (lihat Tabel 1.2). Kemungkinan besar ada indikasi bahwa rent seeking behavior juga terjadi di negaranegara ASEAN.
Tabel 1.2 Kategori Negara-Negara Anggota ASEAN Berdasarkan Pendapatan per Kapita tahun 2010 Negara
Kategori Pendapatan
Negara
Kategori Pendapatan
Indonesia
Lower Middle Income
Myanmar
Lower Income
Malaysia
Upper Middle Income
Laos
Lower Middle Income
Singapura
High Income
Vietnam
Lower Middle Income
Filipina
Lower Middle Income
Brunei D
High Income
Thailand
Upper Middle Income
Kamboja
Low Income
Low income ($1,005 atau kurang) Lower Middle Income ($1,006 to $3,975) , Upper Middle Income ($3,976 to $12,275) High Income (U$ 12,276 atau lebih)
Sumber : World Bank, 2010
Tingginya tingkat korupsi di suatu negara juga dapat menyebabkan high economy cost sehingga terhambatnya proses investasi dan lambannya pembangunan infrastruktur publik seperti sekolah dan fasilitas kesehatan, secara langung dapat menghambat pembangunan manusia (Damanhuri (2010); Akcay (2010)). Korupsi juga berdampak pada kemiskinan dan ketimpangan pendapatan melalui beberapa jalur seperti pertumbuhan secara keseluruhan, sistem pajak yang bias, miskin sasaran program sosial, serta melalui dampaknya pada kepemilikan aset, bentuk sumberdaya manusia, ketimpangan pendidikan, dan ketidakpastian dalam faktor akumulasi (Gupta et al, 2000).
6
Dalam konteks kerjasama antar negara ASEAN, Hal ini tentunya juga akan menghambat kerjasama ASEAN Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah disepakati untuk tahun 2015 terutama dalam bidang penciptaan stabilitas investasi riil dalam negeri dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Pada akhirnya, pemerintah atau negara akan gagal menciptakan social walfare dan pembangunan manusia bagi masyarakat ASEAN. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah dinamika korupsi, pembangunan manusia, investasi, di delapan Negara ASEAN ? 2. Fakto-faktor apa yang menentukan korupsi dan bagaimana pengaruhnya terhadap tingkat pembangunan manusia dan investasi di delapan Negara Kawasan ASEAN?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian skripsi ini
adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis dinamika pembangunan manusia, investasi, dan korupsi di negaranegara anggota ASEAN. 2. Menganalisis penyebab korupsi dan pengarunya terhadap investasi dan pembangunan manusia di negara-negara ASEAN.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik bagi penulis ataupun
bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara lain adalah : 1. Bagi pemerintah atau instansi pengambil keputusan terkait diharapkan tulisan ini dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan terkait pentingnya meminimalkan rent seeking behavior guna mencapai social walfare bagi publik di wilayah ASEAN. 2. Bagi pembaca diharapkan dapat memberikan masukan-masukan dan menjadi sumber informasi bagi penelitian selanjutnya.
7
3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi wadah untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan terutama bidang ilmu ekonomi serta menambah pengalaman dan wawasan dalam penelitian.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup serta keterbatasan dalam penelitian ini adalah :
1. Periode tahun analisis yang digunakan hanya dari tahun 2000 sampai 2009 dikarenakan keterbatasan beberapa data tahun sebelum tahun 2000 dan setelah 2009. 2. Peneliti mengambil negara ASEAN delapan (Filiphina, Thailand, Singapura, Vietnam, Indonesia, Malaysia, Laos, dan Kamboja) karena negara-negara tersebut sebagian besar merupakan negara berkembang dan mempunyai permasalahan yang sama terutama dalam pemberantasan korupsi. Brunei dan Myanmar tidak diikutsertakan karena keterbatasan data penelitian. 3. Penelitian ini untuk mengidentifikasi penyebab korupsi (variabel tak bebas analisis satu) dilihat dari sisi ekonomi dan politik (proksimasi variabel demokrasi) serta beberapa variabel pendukung sesuai acuan literatur penelitian. 4. Ukuran Indeks Pembangunan Manusia yang dipakai dalam analisis masih menggunakan dimensi dan komponen lama, bukan dimensi dan komponen baru. Hal ini disebabkan ketidaklengkapan data untuk ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang baru. 5. Analisis pada pengaruh Indeks Kebebasan Ekonomi (Economic Freedom Index) terhadap korupsi tidak menyertakan Labour Freedom Index karena keterbatasan data. Walaupun data Labour Freedom hanya tersedia dari tahun 2005-2012 tetapi Economic
Freedom
Index
pada
analisis
determinan
korupsi
tetap
mengkompositkan kebebasan tenaga kerja dari tahun 2005 sampai 2009. 6. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International hanya berdasarkan survei yang dilakukan kepada para pelaku bisnis dan perkara korupsi yang dibawa ke pengadilan. Korupsi bersifat tersembunyi dan sulit untuk mengukur secara langsung.