1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Degradasi ekosistem hutan dengan laju penurunan dalam kurun waktu 1990-2000 sebesar 1,6 juta hektar per tahun menyebabkan penurunan kualitas dan luasan habitat satwaliar, dampaknya berlanjut terhadap populasi satwaliar yang terus menurun (Bismark et al. 2003). Jika keadaan ini terus dibiarkan akan berakibat buruk terhadap kelestarian plasma nutfah hidupan liar. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1974 telah memperhatikan masalah konservasi alam termasuk
kelestarian plasma nutfah yang kegiatannya diawali dengan
dibentuknya Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam tahun 1971 dibawah Direktorat Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam tersebut selanjutnya menyusun rencana pengembangan dan penetapan
kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/
UNDP (Food and Agriculture Organization/United Nation Development Programme) dan usaha penyelamatan satwaliar yang terancam kepunahan atas bantuan WWF (World Wildlife Fund for Nature) (Alikodra 1990). Upaya penetapan jenis-jenis satwa yang dilindungi hingga usaha perlindungan terhadap satwaliar dan ekosistemnya ditindaklanjuti dengan ditetapkannya lima taman nasional pada tahun 1981 yaitu TN Baluran, TN Ujung Kulon, TN Leuseur, TN Gunung Gede Pangrango, dan TN Komodo. Secara keseluruhan
pemerintah
telah
menetapkan 535 lokasi kawasan konservasi
dengan luas 28.260150,56 ha, luasan tersebut meningkat dari sebelumnya yang hanya 23.210.348,57 ha. Dari luasan yang ada diantaranya 57,9% mempunyai status sebagai taman nasional (Ditjen PHKA 2007). Hingga tahun 2007, kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional berjumlah 50 Unit mencakup luas 16.384.594,45 ha (Ditjen PHKA 2007). Kawasan taman nasional ditetapkan berdasarkan kriteria IUCN (1994) adalah kawasan luas relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol dengan kepentingan pelestariaan yang tinggi, mempunyai potensi rekreasi besar, mudah dicapai oleh pengunjung dan bermanfaat bagi wilayah tersebut. Departemen Kehutanan mengimplementasikan
kriteria
IUCN tersebut untuk
2
penetapan taman nasional yaitu: a. harus mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami; b. memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; c. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; d. memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; e. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Penetapan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) tahun 1993 dan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) tahun 1997 adalah berdasarkan potensi ekosistem, flora dan fauna langka dilindungi yang ada dalam kawasan taman nasional tersebut, diantaranya habitat dan populasi banteng (Bos javanicus d’Alton 1832). Banteng masuk dalam ordo Artiodactyla, family Bovidae, genus Bos dan species Bos javanicus d’Alton 1832. Banteng dinyatakan IUCN (2008) sebagai satwa dalam katagori genting (endangered) yaitu populasi di alam berada pada tingkat resiko kepunahan sangat tinggi , jika
tidak ada usaha penyelamatan habitat dan
populasinya. Secara ekologis banteng berperan penting dalam sistem regenerasi vegetasi ekosistem hutan, melalui buah dan biji tumbuhan yang dimakan dan disebarkan melalui fesesnya. Manfaat banteng lainnya sebagai sumber plasma nutfah untuk pengembangan dan pemurnian sapi bali melalui perkawinan silang dengan banteng liar sehingga akan meningkatkan ketahanan dan nilai- nilai keunggulan (Alikodra 2011). Keterancaman populasi dan habitat banteng disebabkan sebarannya yang terbatas hanya pada beberapa kawasan konservasi seperti TN Meru Betiri, TN Baluran, TN Alas Purwo, TN Ujung Kulon, dan CA Leuweung Sancang di Jawa, serta TN Kutai dan TN Kayan Mentarang di Kalimantan. Habitat banteng di kawasan konservasi mengalami degradasi sekitar 17% sampai 30%. Populasinya mengalami penurunan yang cukup drastis seperti di TN Baluran jumlah populasi tahun 2002 sebanyak 126 ekor dan tahun 2006 tinggal 15 ekor (Pudyatmoko et al. 2007). Populasi di TNMB tahun 2007 diperkirakan 174 ekor, tahun 2009 menjadi
3
69 ekor (BTNMB 2009), di TNAP tahun 2004 sebanyak 340 ekor, tahun 2006 tinggal 163 ekor (BTNAP 2006). Banteng di Jawa masuk dalam sub spesies Bos javanicus javanicus dan di Kalimantan Bos javanicus lowi ( Lydekker 1912, diacu dalam Alikodra 1983). Banteng sebagai satwa herbivora yang lebih condong sebagai pemakan rumput (grazer) dibanding sebagai pemakan semak (browser) sangat membutuhkan padang penggembalaan sebagai habitatnya (Alikodra 1983). Habitat banteng di kawasan konservasi sebagian besar sudah mengalami penurunan yang disebabkan oleh pembukaan lahan, adanya enclave dan masuknya tumbuhan invasive species. Invasi dari jenis invasif seperti kirinyuh (Chromolaena odorata), kacangan (Cassia tora), telean (Lantana camara) dan Acacia nilotica telah
menginvasi padang
penggembalaan banteng lebih dari 50%, seperti yang terjadi di TNMB, TNAP, TNUK dan TN Baluran, sehingga keberadaan populasi banteng terancam karena kurangnya ketersediaan pakan. Banteng telah dilindungi sejak tahun 1931 dan dipertegas dengan PP No. 7 tahun 1999 karena keberadaan populasinya yang terancam kepunahan. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya juga menjadi landasan pokok untuk meningkatkan upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan arahan pemanfaatan yang lestari. Upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati melalui peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Cq Kementerian Kehutanan ternyata belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sehingga ancaman terhadap satwaliar beserta ekosistemnya termasuk banteng terus meningkat. Ancaman tersebut muncul karena dorongan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat yang sejatinya bertumpu pada sumberdaya hutan di sekitarnya. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang hidup di desa-desa sekitar taman nasional umumnya masih di bawah UMR (Upah Minimum Regional) dan sebagian besar hidup dalam kemiskinan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perburuan dan penebangan pohon secara illegal (Alikodra 2011). Pengelolaan kawasan konservasi, termasuk taman nasional seringkali memicu terjadinya konflik dengan masyarakat. Terutama karena adanya keterbatasan masyarakat dalam kepemilikan lahan ataupun adanya satwaliar yang keluar dari
4
kawasan konservasi ke lahan masyarakat seperti terjadi di sekitar TN Way Kambas, TN Gunung Leuseur, TN Tesso Nilo dan TN Bukit Barisan Selatan (Alikodra 2011). Indikasi adanya konflik dalam konservasi banteng terjadi di TNMB dan TNAP. Banteng sebagai satwaliar yang dilindungi, tetapi masyarakat ingin memanfaatkan banteng dan habitatnya untuk meningkatkan ekonomi yang masih rendah karena keterbatasan lahan khususnya lahan untuk kegiatan bertani yang mereka garap. Konflik meningkat karena
dipicu oleh keluarnya banteng
dari
kawasan taman nasional dan masuk ke dalam areal perkebunan Bandealit di TNMB dan kawasan Perum Perhutani di TNAP, serta merusak tanaman yang ada pada kedua lokasi tersebut. Keluarnya banteng dari taman nasional diduga karena sumber pakan di dalam kawasan tidak dapat memenuhi kebutuhan banteng baik secara kualitas maupun kuantitas. Keluarnya banteng mengganggu tanaman masyarakat dan menyebabkan konflik yang diindikasikan dengan peningkatan perburuan. Konflik merupakan suatu perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004). Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher et al. 2001). Konflik antara manusia dan satwaliar terjadi akibat sejumlah interaksi negatif baik langsung maupun tidak langsung antara manusia dengan satwaliar. Keberhasilan pengelolaan taman nasional sangat tergantung pada dukungan berupa partisipasi aktif dan penghargaan terhadap nilai sumberdaya hutan oleh masyarakat sekitar. Apabila masyarakat memandang taman nasional sebagai faktor pembatas, maka masyarakat tersebut dapat menggagalkan program dan upaya konservasi yang diindikasikan dengan terjadinya konflik. Namun jika upaya pelestarian dianggap sebagai sesuatu hal yang memberi manfaat, maka masyarakat setempat akan melindungi kawasan tersebut (MacKinnon et al. 1993). Sehingga arah pengelolaan taman nasional termasuk spesies di dalamnya harus dapat memberikan petunjuk model kemanfaatan bagi masyarakat sekitarnya. Taman Nasional dapat dimanfaatkan dalam bentuk ekowisata, pemanfaatan plasma nutfah sebagai sumber genetik dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Dalam pengelolaan kawasan yang dilindungi sangat memungkinkan dilakukan pengelolaan kolaborasi yang dapat meningkatkan pemanenan berupa HHBK seperti madu dan
5
tanaman obat dalam meningkatkan pendapatan tanpa mengancam biodivesitas (Fisher 1995). Di TNMB ditemukan tidak kurang 239 jenis tanaman yang terbagi dalam 78 famili dan 77 jenis diantaranya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai obat tradisional. Heriyanto (2007) menyatakan di TNMB ditemukan 28 jenis tumbuhan obat asli setempat dan telah dibudidayakan di zona rehabilitasi, bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat yaitu daun, buah, biji, batang, kulit batang, kulit buah, kecambah biji dan getah. Pemanfaatan tanaman obat tersebut oleh masyarakat masih dalam tahap pengambilan tanaman untuk dijual langsung atau dibuat ramuan. Pemanfaatan plasma nutfah berupa sumber genetik untuk satwa dalam rangka memperbanyak individu untuk restocking atau pemanfaatan secara lestari dapat dilakukan melalui konservasi ek-situ seperti penangkaran. Konservasi eksitu banteng sudah dilakukan di beberapa kebun binatang seperti Kebun Binatang Surabaya dan Kebun Binatang Ragunan serta di Taman Safari Indonesia dan Taman Safari Prigen yang sudah mulai melakukan inseminasi buatan. Hingga saat ini konflik dalam konservasi banteng
belum dapat
diselesaikan secara tepat karena arah kebijakan pengelolaan banteng masih pada aspek perlindungan tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Selain itu pengelolaannya belum optimal karena masih sentralistik hanya dikelola oleh Balai Taman Nasional mulai dari perencanaan sampai evaluasi tanpa melibatkan stakeholders yang berkepentingan lainnya. Sehingga perlu dicarikan solusinya secara optimal melalui penelitian sesuai dengan prinsip dasar konservasi yaitu: a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Penelitian ini dirancang atas dasar analisis permasalahan yang dapat menyebabkan konflik banteng yaitu aspek populasi dan potensi habitat, kesejahteraan masyarakat, kepentingan stakeholders serta aspek kelembagaan dalam rangka membangun pengelolaan banteng secara kolaboratif. 1.2 Kerangka Pemikiran Pada saat ini semakin disadari bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam baik berupa kawasan maupun spesies tidak cukup hanya diputuskan oleh
6
lembaga-lembaga pemerintah dengan aturan-aturan yang dibuat secara sentralistik. Kebijakan yang sentralistik tidak menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan kawasan maupun spesies. Hal tersebut dibuktikan dengan timbulnya berbagai konflik di hampir seluruh kawasan hutan termasuk kawasan konservasi. Sumber konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan kegiatan pengelolaan hutan disebabkan karena hak-hak ataupun akses mereka terhadap sumberdaya hutan tidak tertampung dalam kegiatan pengelolaan hutan, sedangkan konflik satwaliar disebabkan karena keluarnya satwaliar dari kawasan konservasi ke wilayah kegiatan masyarakat (Alikodra 2009). Mengatasi konflik di kawasan taman nasional dengan sentralistik, perlu
perubahan paradigma
kebijakan yang
pengelolaan yaitu dari manajemen
sentralistik ke manajemen kolaboratif. Manajemen kolaboratif adalah membangun atau menetapkan kesepakatan seluruh pihak terkait melalui kerjasama yang saling menguntungkan dengan mekanisme aturan-aturan yang disepakati oleh seluruh stakeholders. Kolaborasi adalah suatu kondisi dua atau lebih aktor sosial bernegosiasi, memperjelas dan memberikan garansi di antara mereka serta membagi secara adil fungsi, hak dan tanggung jawab dari suatu pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang diberi mandat untuk dikelola (Borrini-Feyerabend et al. 2000). Berdasarkan pengertian tersebut dapat diartikan pengelolaan kolaborasi adalah kemitraan diantara berbagai pihak yang berkepentingan dan menyetujui untuk berbagi fungsi/peran, wewenang dan tanggung jawab manajemen dalam mengelola sumberdaya alam yang statusnya dilindungi atau dikonservasi. Pengelolaan kolaborasi yang akan dikaji yaitu pengelolaan berbasis kemitraan atau kerjasama antara pihak terkait melalui pembagian peran, wewenang, berbagi keuntungan serta pembangunan kapasitas
melalui peningkatan ekonomi
masyarakat sekitar kawasan. Claridge dan O’Callaghan (1995) mengemukakan ada beberapa faktor pendukung manajemen kolaboratif (co-management) yaitu pembagian otoritas dan tanggung jawab, kerjasama, partisipasi, saling percaya dan menghargai, pembangunan kapasitas serta integrasi konservasi dan pembangunan. Di antara elemen penting yang terintegrasi dalam strategi pengelolaan kolaboratif adalah untuk tujuan sosial, budaya, dan ekonomi.
7
Konflik satwaliar banteng dan masyarakat di TNMB dan TNAP mulai memuncak sejak tahun 2003. Dalam kurun waktu tujuh tahun ditemukan 11 kasus kematian banteng di lokasi Perum Perhutani yang berbatasan dengan TNAP yaitu di blok Sumbergedang, blok Kepuhngantuk dan di Dusun Kuterejo Desa Kalipait (Murdyatmaka 2008). Di kawasan yang berbatasan dengan areal perkebunan Bandealit wilayah kerja Seksi Ambulu TNMB dalam kurun waktu empat tahun ditemukan enam kasus kematian banteng karena perburuan. Masyarakat dimaksud adalah masyarakat desa sekitar kawasan taman nasional dan perkebunan baik yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah. Konflik terjadi karena masuknya banteng ke areal perkebunan dan kawasan perhutani serta kebun masyarakat , yang menyebabkan keterancaman banteng oleh perburuan. Di TNAP banteng masuk dan merusak kawasan hutan produksi Perum Perhutani BKPH Blambangan yang menyebabkan matinya tanaman mahoni dibawah umur 5 tahun karena kulit batangnya dimakan banteng, selain itu merusak kebun masyarakat/pesanggem.
Di TNMB banteng merusak kebun
masyarakat/pesanggem dan perkebunan Bandealit yang menyebabkan rusaknya 10 ha tanaman vanili dan tanaman kopi. Untuk mengetahui lebih jelas siapa saja yang terkait dalam konservasi banteng dengan masyarakat
konflik
serta bagaimana pengaruh dan
kepentingannya perlu dilakukan suatu analisis stakeholders. Stakeholders adalah orang-orang yang mempunyai hak dan kepentingan dalam suatu sistem manajemen sumberdaya (Suporahardjo 2005). Stakeholders dapat berupa perorangan, komunitas, kelompok sosial, atau organisasi. Analisis stakeholders dapat digunakan secara progresif (cepat) untuk memberdayakan kelompok yang sebenarnya penting namun terpinggirkan serta untuk meningkatkan kebijakan dan lembaga (Suporahardjo 2005). Pendekatan penelitian manajemen konflik satwaliar banteng dan masyarakat menggunakan teori konflik dan teori co-management. Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula (Coser 1956). Pengelolaan kolaboratif adalah suatu kesepakatan dimana wewenang dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya dibagi antara pemerintah di satu sisi dan
8
stakeholders lain yang terkait dengan tujuan untuk menjaga integritas ekologi sumberdaya alam (NRTEE 1999). Pengelolaan kolaboratif dianggap paling ideal karena bersifat partisipatif, seluruh stakeholders dapat terlibat dalam perumusan rencana pengelolaan hingga pengawasan (Suporahardjo 2005). Pengelolaan kolaboratif merupakan metode resolusi konflik
yang menempatkan setiap
stakeholders sederajat (Tajudin 2000). Teori konflik dan kolaboratif dipergunakan sebagai landasan untuk meredam konflik dengan memperhatikan secara detail berbagai aspek konservasi banteng, kesejahteraan masyarakat, dan kepentingan manajemen taman nasional (Gambar 1), diagram kerangka penelitian dan faktor yang perlu menjadi sasaran penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Stakeholder
Masyarakat*)
lain
Konservasi Banteng
*) Masyarakat sekitar kawasan Perum Perhutani Perkenunan Bandealit
Taman Nasional
Gambar 1 Kerangka teoritis aspek penelitian manajemen konflik konservasi banteng (Coser 1956; Fisher et al. 2001; Knight dan Tighe 2003; UU No 5/1990 dan NRTEE 1999). Gambar 2 menerangkan bahwa penggunaan lahan yang tidak sesuai dalam kawasan taman nasional maupun penataan pemanfaatan areal berupa enclave dapat memicu timbulnya perubahan dan gangguan biofisik kawasan, yang berakibat pada perubahan ekologi kawasan dan banteng. Pemanfaatan lahan berupa enclave untuk pembangunan perkebunan, pertanian atau kegiatan penunjang ekonomi masyarakat lainnya dengan berbagai kebijakan sebelumnya dirasa kurang relevan dengan kebijakan dan aturan saat ini. Hal ini terlihat dari adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan lahan dan kawasan maupun konflik ekologis antara banteng dan masyarakat pengguna dan pengelola lahan (Fisher et al. 2001; Malik et al. 2003 ; Alikodra 2009).
9
Kegiatan Yang Membuat Gangguan Gangguan Biofisik Penyelesaian Masalah Gangguan Secara Fisik
Perbedaan Aturan dan Kepentingan
Konflik Pengelolaan Konflik
Manajemen Habitat
Manajemen Populasi
• Pengelolaan Habitat (Pembinaan Padang Penggembalaan)
• Teknik Pemanfaatan (Penambahan atau Pengurangan)
Sosek dan Kelembagan • Sosek dan Persepsi Masyarakat Sekitar Kawasan • Kepentingan Stakeholders • Kegiatan antar Stakeholders • Kelembagaan
Pengelolaan Kolaboratif Konservasi Banteng Perlindungan, Pelestarian, dan Pemanfaatan oleh Masyarakat
Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian (Fisher et al. 2001; Alikodra 2009; Suporahardjo 2005. Mod.) Sehubungan dengan adanya konflik dalam konservasi banteng
yang
diindikasikan dengan keluarnya banteng dari kawasan dan terjadinya perburuan yang mengancam populasi banteng, maka pihak taman nasional perlu mengelola konflik tersebut. Aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek kepentingan masyarakat , habitat dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang terkait dengan persepsi
masyarakat terhadap konservasi banteng melalui kelembagaan, seperti pada TN Ujung Kulon (TNUK), TN Way Kambas (TNWK) dan TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Adanya keterkaitan konflik dengan pemanfaatan sumberdaya lahan, sosial, ekonomi dan persepsi masyarakat atau lembaga (stakeholders) yang terlibat, maka pengelolaan
sumberdaya dan masyarakat di daerah penyangga
memerlukan
pengelolaan terpadu dalam bentuk kolaboratif ( IUCN 1997; Suporahardjo 2005). 1.3 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Dari latar belakang dan kerangka pemikiran yang dijelaskan sebelumnya (Gambar 2), bahwa keluarnya banteng dari kawasan TN menyebabkan terganggunya tanaman masyarakat, tanaman Perum Perhutani dan tanaman Perkebunan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi seperti yang terjadi di TNAP dan TNMB.
Terganggunya masyarakat oleh banteng menyebabkan
10
konflik kepentingan antara masyarakat dengan pengelola. Keluarnya banteng juga memudahkan akses untuk terjadinya perburuan yang berakibat pada terancamnya populasi banteng. Banteng keluar kawasan dimungkinkan oleh kurangnya ketersediaan pakan dalam kawasan, yang dikarenakan adanya gangguan dari berbagai kegiatan seperti adanya enclave, selain itu pengelolaan kawasan dan biodiversitas termasuk banteng belum berjalan secara optimal. Pengelolaan dalam upaya konservasi banteng akan optimal jika melibatkan berbagai stakeholders terkait, terutama yang terlibat dalam konflik konservasi banteng
dengan
menggunakan
pendekatan
manajemen
konflik
melalui
pengelolaan kolaboratif yang mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Prinsip dasar pengelolaan kolaboratif yaitu: 1) pemberdayaan dan pembangunan kapasitas, 2) pengakuan terhadap kearifan dan pengelolaan tradisional, 3) perbaikan hak masyarakat lokal, 4) pembangunan berkelanjutan, 5) akuntabel
dan
transparan,
6)
pelestarian
lingkungan
sumberdaya,
7)
pengembangan mata pencaharian, 8) keadilan, dan 9) keterpaduan (Knight & Tighe 2003). Diagram perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 3. Banteng
Masyarakat Konflik
Ruang gerak
TN
Daerah Penyangga
Potensi habitat
Sektor lain
Masyarakat
Sosial
Ekonomi
Pakan/Air
Integrasi
Integrasi
Manajemen Kolaboratif (Upaya resolusi konflik)
Gambar 3 Perumusan masalah penelitian (Alikodra 1990; Claridge dan O’Callaghan 1995; Suporahardjo 2005; Nikijuluw 2002)
11
Prinsip-prinsip dasar pengelolaan kolaboratif dalam upaya menyelesaikan konflik konservasi banteng dalam penelitian ini adalah pendekatan aspek sosial dan ekonomi masyarakat, aspek pengelolaan habitat dan populasi, aspek ruang seperti zonasi taman nasional, ruang daerah penyangga dan sektor lainnya dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Aspek-aspek tersebut diintegrasikan dalam rangka menentukan manajemen kolaboratif konservasi banteng yang melibatkan stakeholders terkait. Sesuai dengan kerangka pemikiran dan perumusan masalah maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1.
Bagaimana daya dukung habitat banteng di dalam kawasan dan di luar kawasan (daerah penyangga)
2.
Bagaimana kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan taman nasional
3.
Bagaimana persepsi, pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap nilai konservasi taman nasional dan banteng (manfaat, perlindungan, pelestarian)
4.
Bagaimana efektivitas manajemen taman nasional mengelola populasi banteng
5.
Bagaimana kelembagaan kolaborasi
konservasi dan pemanfaatan banteng di
Taman Nasional
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: memformulasikan strategi konservasi banteng di Taman Nasional dengan pendekatan pengembangan pengelolaan kolaboratif , untuk mencapai tujuan tersebut terdapat tujuan antara yaitu: 1.
Menganalisis dukungan habitat banteng di dalam dan di luar kawasan (daya dukung dan ruang habitat)
2.
Menganalisis aspek sosial, ekonomi serta persepsi masyarakat sekitar kawasan dari manfaat taman nasional dan banteng
3.
Menganalisis pengaruh dan kepentingan stakeholders terhadap nilai (value) konservasi taman nasional dan banteng (manfaat, perlindungan, kelestarian)
4.
Menganalisis tingkat co-management konservasi banteng di Taman Nasional
12
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah: 1. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang manajemen konflik konservasi satwaliar khususnya banteng dengan masyarakat 2. Memberikan acuan dalam kebijakan konservasi banteng di TNMB dan TNAP melalui pengelolaan secara kolaboratif dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan dan stakeholders terkait lainnya 3. Memberikan perubahan
paradigma terhadap manajemen konservasi
banteng yang tidak terbatas pada perlindungan saja, tetapi pemanfaatan secara berkelanjutan perlu dikembangkan seperti pengembangan penangkaran sebagai sumber bibit dan ekowisata 1.6
Kebaruan (Novelty) Hingga saat ini belum ada satu penelitian penyelesaian konflik konservasi
banteng melalui pendekatan manajemen kolaboratif, sehingga hasil penelitian ini merupakan kebaruan yang dapat dipakai sebagai acuan ilmiah bagi penyelesaian konflik satwaliar di berbagai kawasan konservasi.