I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar dari masyarakat sekitarnya berupa penebangan secara liar untuk diambil kayunya atau daunnya (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999). Luas hutan mangrove yang tersisa sekarang diperkirakan 2.49 – 4.25 juta hektar (Departemen Kehutanan 1997), sedangkan menurut perhitungan Giesen (dalam Noor Khazali dan Suryadiputra 1999) luas sekarang diperkirakan 2.49 juta hektar dan perkiraan luas pada lima sampai sepuluh tahun lalu sebesar 4.13 juta hektar. Kelompok hutan mangrove di Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut (KGLTL) ditunjuk sebagai kawasan Suaka Alam, yakni Suaka Margasatwa oleh Mentri Pertanian melalui Surat Keputusan Nomor 811/Kpts./Um/11/1980 tanggal 5 November 1980 dengan luas sekitar 15.765 ha. Berdasarkan pengamatan di lapangan, menunjukkan kawasan tersebut sebagai Suaka Margasatwa sangat beralasan, karena: a. Kawasan hutan di Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan habitat berbagai satwa liar, terutama berbagai jenis burung dan merupakan salah satu tempat persinggahan jenis-jenis burung migran dari Belahan Bumi Utara dan Siberia menuju Australia dan Selandia Baru. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Giesen dan Sukotjo (1991) dilaporkan bahwa di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL) dijumpai 44 jenis burung, dimana 13 jenis diantaranya merupakan burung migran, 12 jenis mamalia dan 13 jenis reptilia. b. Hutan mangrove di daerah yang bersangkutan membentuk ekosistem mangrove dengan hamparan yang cukup kompak dan luas yang mencirikan perwakilan mangrove di kawasan Indonesia bagian barat. Giesen dan Sukotjo (1991) melaporkan bahwa kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL) ditumbuhi 37 jenis dari 21 suku. Berdasarkan kategori Tomlinson (1986), vegetasi yang dijumpai di kawasan tersebut terdiri atas major componen 10 jenis, minor componen 6 jenis, dan
2
mangal associate 21 jenis. Kondisi seperti ini menjadikan Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (KGLTL) merupakan satu-satunya Suaka Margasatwa di Indonesia yang keseluruhan areanya merupakan tipe ekosistem mangrove. Dengan demikian, status kawasan ini sebagai Suaka Margasatwa beralasan untuk dipertahankan. Tetapi dengan adanya pertambahan penduduk dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat kawasan hutan mangrove ini sangat rentan dengan tingkat konversi dan eksploitasi lahan yang cukup tinggi. Selain itu kawasan ini juga juga telah menjadi konflik kepentingan berupa pengkonversian lahan menyebabkan terjadinya perubahan peruntukan kawasan yang berdampak pada perubahan ekologis maupun ekonomis, yang secara tidak langsung berdampak terhadap penurunan pendapatan masyarakat dan menurunnya keanekaragaman jenis satwa terutama burung. Dengan semakin menyempitnya hutan mangrove telah menyebabkan semakin sempit pula ruang jelajah (home range) dari burung-burung yang menggunakan hutan mangrove sebagai habitat. Akibatnya beberapa spesies tertentu terancam punah. Terancamnya keberadaan 118 jenis burung di Indonesia bukan tak mungkin akan diikuti oleh kelangkaan jenis burung lain, terlebih jika keadaan hutan di Indonesia memburuk. Makin banyak jenis burung yang menghuni suatu hutan berarti makin banyak jenis flora hutan itu. Kalau jumlah burung berkurang, berarti tanaman hutan itu juga berkurang (Tomi 2006). Keseimbangan ekosistem dapat terancam jika diketahui beberapa anggota dari ekosistem itu mulai punah. Ketidakseimbangan ekosistem di suatu negara jelas berdampak pada ekosistem regional yang otomatis juga berpengaruh pada keseimbangan ekosistem dunia. Penelitian burung di hutan mangrove di Indonesia masih sangat terbatas, laporan-laporan yang ada terutama baru diutamakan untuk identifikasi spesies. Banyak informasi yang belum kita dapatkan tentang peranan hutan mangrove bagi pelestarian burung. Khususnya burung terestrial, burung air dan burung migran. Di Indonesia juga telah dilakukan perlindungan terhadap berbagai jenis burung yang tinggal di hutan mangrove, diantaranya: Ibis cinereus, Ardea sumatrana, dan Nycticorax caledonica. Untuk keperluan pelestarian spesies
3
burung yang diancam kepunahan ini telah dilakukan berbagai upaya baik yang meliputi perlindungan terhadap spesies burung maupun menetapkan Suaka Alam dan Taman Nasional. Pentingnya hutan mangrove bagi berbagai jenis burung terestrial dan burung air disebabkan karena hutan mangrove merupakan tempat untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Bagi beberapa jenis burung migran (terutama dari suku Charadriidae dan Scolapacidae), hutan mangrove sangat penting artinya dalam perjalanan sebagai tempat beristirahat dan mencari makan sebelum mencapai tempat untuk berkembang biak (Noor, Khazali dan Suryadiputra 1999). 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengetahui dan menganalisis struktur dan komposisi jenis tumbuhan mangrove di Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara.
2.
Mengetahui dan menganalisis keanekaragaman jenis burung di hutan mangrove Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara.
3.
Mengetahui dan menganalisis hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman burung di Suaka margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara.
1.3 Manfaat Penelitian 1.
Memberikan informasi struktur dan komposisi jenis tumbuhan mangrove di Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara.
2.
Memberikan informasi tentang keanekaragaman jenis burung di hutan mangrove Suaka margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur laut Sumatera Utara.
3.
Memberikan informasi hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung di Suaka Margasatwa Pantai Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera Utara.
4.
Memberikan masukan kepada instansi terkait dalam rangka pengelolaan yang tepat dalam memanfaatkan ekosistem mangrove secara lestari.
4
1.4 Kerangka Pemikiran Hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang menjadi habitat singgah burung migran saat ini senakin berkurang akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, perkebunan dan sawah. Padahal kawasan hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara merupakan salah satu daerah penting bagi persinggahan burung-burung migran. Selain itu, kawasan ini memiliki fungsi penting tempat burung menetap yang menggunakan mangrove sebagai habitat utamanya. Luas penyebaran mangrove di Sumatera Utara 83.550 ha, 60% diantaranya mengalami kerusakan. Kerusakan terparah menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Sumatera Utara berada pada titik-titik penting di pesisir Pantai Timur membentang dari Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan hingga Labuhan Batu atau kawasan yang selama ini menjadi habitat burung migran. Berdasarkan pengamatan Giyanto (2007) kerusakan hutan mangrove akibat alih fungsi menjadi tambak dan perkebunan menjadi ancaman serius bagi burung migran yang biasa singgah di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara. ” Konversi hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap ketersediaan makanan serta perubahan fungsi ekosistem. Hilangnya habitat alami akan menyebabkan hilannya keanekaragaman makanan yang menjadi pendukung kehidupan burung migran”. Ketidak tahuan pemerintah daerah akan wilayahnya akan menjadi persinggahan burung migran, menjadi salah satu penyebab habitat alami mereka berupa hutan mangrove dibiarkan beralih fungsi dan rusak. Selain di Pantai Cemara (Jambi) dan Semenanjung Banyuasin (Sumatera Selatan), wilayah persinggahan burung migran di Pulau Sumatera dan pada pesisir Pantai Timur Sumatera Utara. ”Birdlife International 2001 menetapkan pesisir Pantai Timur Sumatera Utara sebagai daerah penting bagi burung. Khusus untuk burung migran mereka tercakup dari Karang Gading (Langkat), Bagan Percut, Bagan Serdang (Deli Serdang), Sungai Ular dan Pantai Cermin (Serdang Bedagai) Giyanto 2007. Sehingga ruang lingkup penelitian hanya dibatasi oleh Struktur dan Komposisi Hutan Mangrove hubungannya dengan keanekaragaman jenis burung di Pantai Karang Gading, Langkat, Sumatera Utara dan penggunaan habitat oleh
5
burung baik penggunaan habitat secara vertikal maupun penggunaan habitat secara horizontal. Sehingga diperoleh gambaran habitat yang disukai oleh burungburung dihutan mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut baik burung-burung terestrial, burung-burung air dan burung-burung migran. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi masukan bagi pemerintah daerah khususnya Daerah Konservasi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Sumatera utara.
Ekosistem Hutan Mangrove
Struktur dan Komposisi
Keanekaragaman Jenis Burung
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Konservasi Hutan Mangrove Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian. 1.5 Hipotesis Berdasarkan teori yang ada dan tujuan dari penelitian ini, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah : H1 : Terdapat hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Sumatera Utara. H0 : Tidak terdapat hubungan antara struktur dan komposisi jenis tumbuhan dengan keanekaragaman jenis burung di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, Sumatera Utara