I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island) di beberapa kawasan perkotaan di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Urban heat island (pulau bahang kota) menyebabkan heat island effect (efek pulau bahang) yang dicirikan dengan suhu udara di area perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Beberapa kota di dunia yang sudah mengalami efek pulau bahang adalah Los Angeles, London, Bogota, beberapa kota di Swedia, Philadelphia, dan Guangzhou. Beberapa kota di Indonesia juga sudah mengalami efek pulau bahang yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang dan juga Kota dan Kabupaten Bandung. Pulau bahang kota disebabkan oleh tingginya gas rumah kaca dan persentase lahan terbangun di perkotaan. Gas rumah kaca (CO2, N2O, CFC, CH4) dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia (transportasi, industri, sampah). Berbagai Aktivitas di perkotaan, menyebabkan terjadinya akumulasi gas-gas rumah kaca di atmosfer sehingga menyebabkan pancaran radiasi balik gelombang panjang terperangkap oleh gas-gas tersebut sehingga menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca di kawasan perkotaan ini membentuk pulau bahang kota dan menyebabkan suhu udara di kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya (Voogt 2002). Gas rumah kaca khususnya CO2 penyebab efek pulau bahang di Kabupaten Bandung dihasilkan oleh berbagai aktivitas transportasi, industri dan persampahan. Produksi CO2 dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Kabupaten Bandung (2006 dan 2009), jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2005 tercatat berjumlah 2.952.042 orang, dan pada tahun 2008 naik menjadi 3.127.008 orang. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,95 %. Semakin meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kebutuhan akan transportasi juga meningkat. Jumlah kendaraan pada tahun 2003 tercatat 76.144 kendaraan roda dua dan 22.670 kendaraan roda empat. Pada tahun 2008 meningkat menjadi 181.605 kendaraan bermotor roda dua, dan 28.411 kendaraan bermotor roda empat. Laju peningkatan kendaraan roda dua 27,7 %/tahun, dan kendaraan bermotor roda empat 5,06 %/tahun.
2 Aktivitas manusia di perkotaan dari transportasi, industri dan sampah, mengakibatkan polutan udara di perkotaan meningkat. Ditambah dengan posisi Kabupaten Bandung terletak di daerah cekungan, maka polutan udara yang terbawa aliran udara mengalami stagnasi sehingga pengenceran polutan di Kabupaten Bandung tidak efektif. Sebagai gambaran, hasil penelitian Soedomo (2001) menyatakan bahwa emisi polutan udara antropogenik SO4 di Jakarta 20.503 ton/tahun, dan Bandung 2.472 ton/tahun. Namun pembebanan SO4 di Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Bandung. Di Jakarta sebesar 4,34 kg/ha/thn, sedangkan di Kabupaten Bandung 5,37 kg/ha/thn. Selain diakibatkan oleh polutan udara, efek pulau bahang dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan. Lahan terbangun meningkatkan efek pulau bahang yang mengakibatkan suhu udara semakin tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi efek pulau bahang adalah dengan meningkatkan ruang terbuka hijau. Tetapi faktanya adalah berkebalikan dengan jumlah kendaraan bermotor, jumlah penduduk dan lahan terbangun, ruang terbuka hijau terus berkurang dari 119.150 ha (tahun 2003) menjadi 105.532 ha (tahun 2008). Tursilowati (2002) menyatakan bahwa hasil pengamatan secara spasial di Bandung, terlihat adanya perluasan efek pulau bahang (daerah dengan suhu tinggi 3035 °C) di pusat kota Bandung per tahun sebesar kira-kira 12.606 ha atau 4,47 % yang terletak pada kawasan terbangun (permukiman dan industri). Menurut Tursilowati, pertumbuhan kawasan terbangun menyebabkan perluasan efek pulau bahang. Hasil penelitian Tursilowati juga menyebutkan bahwa pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih 1.029 ha (0,36%). Meskipun pemerintah daerah sudah membuat kebijakan yang mendukung terwujudnya Kabupaten Bandung sebagai kota hijau, serta sudah menuangkannya dalam perencanaan dan pengembangan ruang terbuka hijau didalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, serta dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), tetapi karena belum menjadi prioritas penting dalam pembangunan daerah maka pelaksanaannya belum dapat mengatasi permasalahan lingkungan khususnya masalah pulau bahang kota. Meskipun kondisi perkotaan belum seperti yang diharapkan dan pemerintah daerah belum secara eksplisit mencanangkan diri sebagai kota hijau tetapi target pemerintah daerah untuk mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota yang bersih dan teduh adalah merupakan bagian dari kriteria kota hijau. Untuk mewujudkan target
3 tersebut maka masalah efek pulau bahang perlu segera ditangani agar iklim mikro perkotaan menjadi lebih baik dan nyaman. Salah satu cara untuk mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota hijau adalah dengan cara mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya pulau bahang kota serta memformulasikannya dalam sebuah model yang dapat dijadikan acuan dalam membuat kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, serta lingkungan yang ada. Melalui simulasi model, maka akan didapatkan skenario terbaik yang dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dalam mewujudkan keberlanjutan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan dalam pembangunan daerah sehingga akan dapat mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota hijau.
1.2. Kerangka Pemikiran 1.2.1. Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah Daerah Kebijakan pemerintah daerah sangat menentukan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Begitu pula sebaliknya, kondisi sosial ekonomi masyarakat akan menjadi dasar pertimbangan penentuan kebijakan pemerintah daerah. Salah satu kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dalam meningkatkan kondisi sosial dan pertumbuhan ekonomi adalah upaya peningkatan kapasitas produksi masyarakat agar dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan lapangan kerja. Selain itu, juga adanya kebijakan peningkatan pertumbuhan industri yaitu dengan memberikan berbagai program pengembangan industri kecil dan menengah, pengembangan cluster industri, pengembangan teknologi dan pengembangan sentra-sentra industri potensial.
1.2.2. Pulau Bahang Kota Kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kebijakan yang diputuskan dan dijalankan pemerintah daerah, sangat menentukan pertumbuhan lahan terbangun, jumlah penduduk, industri, jumlah kendaraan bermotor, serta kondisi ruang terbuka hijau. Aktivitas industri dan transportasi menyebabkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Selain itu emisi gas rumah kaca juga dihasilkan dari pemanfaatan bahan bakar fosil untuk berbagai aktivitas penduduk (memasak, penerangan), serta dari limbah sampah. Akumulasi emisi gas rumah kaca khususnya gas CO2 dari berbagai aktivitas manusia di perkotaan, menyebabkan konsentrasi gas CO2 di atmosfer menjadi tinggi dan berakibat terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca terjadi ketika gas CO2
4 yang terakumulasi di perkotaan menyerap radiasi balik berupa radiasi gelombang panjang. Akibatnya radiasi gelombang panjang terperangkap di atmosfer khususnya troposfer di atas perkotaan, dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Efek rumah kaca yang terjadi di kawasan perkotaan dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya, dan seperti pulau tersendiri, maka kondisi seperti ini disebut dengan efek pulau bahang (Voogt 2002). Selain dipengaruhi oleh gas CO2, efek pulau bahang juga dipengaruhi oleh nilai albedo dari tutupan lahan yang ada. Albedo merupakan perbandingan radiasi yang dipantulkan dengan radiasi yang datang di suatu permukaan (Geiger et al. 1961). Dari nilai albedo dan radiasi surya yang masuk ke permukaan bumi, dapat diperkirakan nilai radiasi neto (radiasi yang datang dikurangi radiasi yang keluar). Radiasi neto dari lahan terbangun digunakan untuk memanaskan lahan terbangun tersebut dan udara yang ada di atasnya. Area bervegetasi menggunakan radiasi neto untuk evapotrans-pirasi sehingga pemanasan udara di atasnya rendah. Kondisi ini menyebabkan area bervegetasi mempunyai suhu udara yang rendah. Persentase yang tinggi dari lahan terbangun di perkotaan menyebabkan radiasi neto hanya digunakan untuk memanaskan benda tersebut dan udara yang berada di atasnya sehingga area yang didominasi lahan terbangun suhu udaranya tinggi. Emisi CO2 dan persentase lahan terbangun yang tinggi, serta rendahnya persentase ruang terbuka hijau, menyebabkan efek pulau bahang semakin meningkat. Efek pulau bahang yang terjadi di berbagai perkotaan akan meningkatkan pemanasan global yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kondisi suhu udara di perkotaan tersebut. Oleh karena itu penanganan permasalahan pulau bahang kota yang saat ini sudah terjadi di banyak negara, akan membantu upaya mitigasi pemanasan global. 1.2.3. Kota Hijau Wildsmith (2009) menyatakan bahwa kota hijau (green city) adalah sebuah kota dengan kondisi ekosistem berkeseimbangan sehingga fungsi dan manfaatnya berkelanjutan. Berdasarkan pengertian ini maka salah satu strategi dalam mewujudkan kota hijau adalah melalui cara penanganan permasalahan lingkungan perkotaan yaitu masalah pulau bahang kota. Pulau bahang kota dapat diatasi dengan cara mengendalikan laju peningkatan emisi CO2, serta upaya peningkatan absorbsi CO2. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian parameter sumber emisi CO2
5 (transportasi, industri, manusia) serta perlu dilakukan upaya peningkatan absorbsi CO2 dengan cara mengembangkan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau berperan dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara melalui proses fotosintesis dan evapotranspirasi. Dengan peran ganda ini maka ruang terbuka hijau sangat penting dalam perbaikan kondisi iklim mikro perkotaan dan perbaikan kenyamanan kota. Suhu udara dan kondisi iklim mikro perkotaan yang nyaman dapat menciptakan kota hijau yang akan berdampak positif terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta akan menjadi dasar pembuatan kebijakan yang lebih baik dan lebih ramah lingkungan. Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota, disajikan pada Gambar 1. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji kondisi pulau bahang kota yang terdiri dari kajian potensi emisi gas CO2, ruang terbuka hijau, dan distribusi suhu permukaan di wilayah perkotaan Kabupaten Bandung. 2. Membuat model kota hijau Kabupaten Bandung melalui penanganan pulau bahang kota (urban heat island). 1.4. Hipotesa Kota hijau di Kabupaten Bandung akan dapat diwujudkan dengan menangani pulau bahang kota yaitu dengan cara mengendalikan sumber emisi CO2, meningkatkan ruang terbuka hijau dan mengendalikan pertumbuhan lahan terbangun. Selain faktor lingkungan, kota hijau dapat diwujudkan dengan meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial ekonomi dan lingkungan yang berjalan secara seimbang akan dapat mewujudkan kota hijau sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan.
Kondisi Sosial Ekonomi
Lahan
Kebijakan Pemerintah
Jumlah
6
Jumlah Kendaraan
Jumlah Unit Industri
Pemanasan Global
Pernapasan
Bahan Bakar Fosil
Albedo
Evapotranpirasi
MODEL KOTA HIJAU Keterangan : Sumber
: Meningkatkan : Menurunkan : Dunn (2003), WWF dan PWC (2011), Voogt (2002), Wang (2009), dan Wildsmith (2009)
Gambar 1 Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota di Kabupaten Bandung.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :
Sampah
7 1. Bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pengelolaan lingkungan, khususnya pengetahuan dalam mengatasi pulau bahang kota yang saat ini menjadi permasalahan perkotaan, baik di Indonesia maupun di dunia. 2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan di Kabupaten Bandung serta kota-kota lain di Indonesia sehingga akan dapat membantu mengatasi permasalahan pemanasan perkotaan serta dapat menjadi dasar menentukan strategi dalam mewujudkan kota hijau.
1.6. Kebaruan (Novelty) Kebaruan dari penelitian ini adalah adanya konsep penanganan pulau bahang kota untuk mewujudkan kota hijau dengan merumuskan parameter penentu pulau bahang kota yang terdiri dari parameter jenis penutupan lahan (lahan terbangun, tanah terbuka, ruang terbuka hijau) dan parameter sumber emisi CO2 (transportasi, industri, sampah, konsumsi energi domestik), serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat agar pembangunan berjalan secara berkesimbangan antara kondisi ekonomi, sosial dan ekologi. Kebaruan lain dari penelitian ini adalah adanya model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota sehingga memudahkan dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan.