I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana Gempa dan Tsunami yang terjadi di beberapa wilayah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak yang sungguh luar biasa besarnya, baik terhadap manusia dan sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut. memporak-porandakan
dan
menghancurkan
Bencana alam tersebut telah kehidupan
manusia
yang
sebelumnya berlangsung normal menjadi demikian naif, tak berdaya, dan kehilangan semua yang dimilikinya. Dampak langsung bencana gempa bumi dan tsunami terhadap manusia terlihat pada banyaknya korban meninggal dan hancurnya tempat tinggal serta fasilitas umum lainnya, seperti perkantoran, sarana prasarana transportasi, dan tempat ibadah serta kerusakan terhadap lahan-lahan pertanian. Menurut catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, sampai dengan Februari 2005, jumlah korban meninggal di seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tercatat 124.603 jiwa, 400.379 jiwa mengungsi akibat kehilangan tempat tinggal, dan 111.769 jiwa lainnya dinyatakan hilang. Musibah ini menyebabkan berkurangnya jumlah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam penduduk sekitar empat persen, yang sebelumnya berjumlah sekitar 4,2 jiwa turun menjadi 4.031.589 setelah tsunami. Secara umum, wilayah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang paling parah terkena dampak bencana gempa bumi dan tsunami adalah kabupaten/kota yang berada di wilayah pantai barat Aceh, yaitu Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan sebagian Nagan Raya. Adapun wilayah kabupaten/kota di pantai timur Aceh yang juga terkena dampak gempa bumi dan tsunami meskipun tidak separah kondisi di wilayah pantai barat adalah Pidie, Bireuen, Lhoksuemawe, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Disamping korban manusia, dampak kerusakan juga terjadi pada lingkungan dan sumberdaya alam. Secara logis, karena episentrum gempa bumi berpusat di laut (sebelah barat daya Banda Aceh) maka kerusakan lingkungan laut sudah pasti terjadi meskipun belum ada hasil penelitian yang secara resmi menjelaskan tingkat kerusakan lingkungan laut akibat gempa bumi tersebut. Hipotesis ini kemungkinan besar ada benarnya mengingat besarnya goncangan
2
yang diakibatkan oleh gempa tersebut. Catatan Badan Meteorologi Amerika Serikat menyebutkan bahwa kekuatan gempa yang mengguncang kawasan Asia yang berpusat di lautan Hindia tersebut mencapai 8,9 pada Skala Richter. Berdasarkan hasil penilaian sementara oleh Departemen Pertanian, lahan sawah milik masyarakat yang mengalami kerusakan berat (puso) diperkirakan mencapai 20.101 Ha dan kerusakan ladang mencapai 31.345 Ha. Ladang yang mengalami puso sebagian besar biasanya digunakan untuk membudidayakan tanaman palawija dan hortikultur serta sedikit perkebunan kelapa.Tercatat sembilan kabupaten/kota yang terkena bencana tsunami dan mengalami kerusakan lahan pertanian cukup parah yaitu di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Utara, Aceh Timur, Simeuleu, Pidie, dan Bireun. Sedangkan berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) kerusakan lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultur diperkirakan 61.816 ha lahan yang terdiri dari 37.471 ha lahan basah dan 24.345 ha lahan kering. Selain kerusakan pada lahan pertanian tersebut, kerusakan juga terjadi pada jaringan irigasi, bangunan irigasi, saluran irigasi di tingkat usahatani, jalan usahatani, pematang (sawah), terasering (lahan kering), serta bangunan petakan lahan usahatani. Lahan perkebunan yang mengalami kerusakan diperkirakan mencapai 36.803 ha yang meliputi lahan perkebunan karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, cengkeh, pala, pinang, coklat, nilam, dan jahe (Departemen Pertanian, dalam BAPPENAS, 2005). Lahan perkebunan yang paling luas mengalami kerusakan adalah tanaman kelapa yang tumbuh di sepanjang pesisir. Sedangkan berdasarkan wilayah, lahan perkebunan yang paling banyak mengalami kerusakan berada di wilayah Kabupaten Aceh Barat, Simeulue, Nagan Raya, dan Aceh Jaya. Belum ada data mengenai persentase dari kerusakan lahan perkebunan terhadap total lahan perkebunan yang ada di NAD. Besarnya kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem akibat gempa dan tsunami memerlukan perhatian khusus terutama pada lahan-lahan pertanian yang merupakan lahan usaha masyarakat. Hal ini mengingat begitu banyak masyarakat yang hidupnya tergantung pada lahan pertanian. Hancurnya lahanlahan pertanian tersebut mengakibatkan hancurnya kegiatan perekonomian masyarakat, khususnya di sektor pertanian dan perikanan yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat setempat. Perkiraan terakhir menunjukkan bahwa 92.000 usaha pertanian dan perdagangan yang menampung sekitar
3
160.000 orang pekerja mengalami kemacetan (Subagyono,
2005). Untuk
menggerakkan kembali perekonomian di sektor pertanian, diperlukan suatu kondisi yang layak untuk pemanfaatan lahan bagi kegiatan pertanian. Kenyataaan di atas menjadi latar belakang melakukan penelitian dalam penelitian identifikasi kondisi lahan-lahan pertanian yang terkena dampak tsunami serta pendapat masyarakat terhadap upaya rehabilitasi lahan pertanian yang rusak akibat tsunami agar lahan pertanian dapat kembali difungsikan secara berkelanjutan. 1.2. Perumusan Masalah Sebelum bencana gempa bumi dan tsunami terjadi, sektor pertanian merupakan salah satu sektor unggulan dalam pembangunan ekonomi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Beberapa kabupaten yang merupakan sentra kegiatan pertanian adalah Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Utara, Aceh Timur, Simeuleu, Pidie, dan Bireun. Bencana alam tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam tidak saja menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dan ratusan ribu lainnya hilang, tetapi juga merusak berbagai fasilitas termasuk lahan pertanian. Kerusakan lahan pertanian sebagian besar diakibatkan oleh peningkatan kadar garam (salinitas), sedimen lumpur laut, sampah dan puingpuing bangunan, serta rusaknya infrastruktur irigasi/drainase dan jalan. Kerusakan lahan pertanian (tanaman pangan dan hortikultur) akibat tsunami mencapai 61.816 ha yang meliputi lahan basah dan lahah kering. Kerusakan yang terjadi di pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam sebesar 45.755 ha dan di pantai timur sebesar 16.061 ha. Dari jumlah lahan pertanian yang rusak di pantai timur dapat diklasifikasikan sekitar 50% tergolong rusak ringan dan 50% rusak sedang, sedangkan di pantai barat dari jumlah 45.755 ha, 10% tergolong rusak ringan (4.575,5 ha), 20% rusak sedang (9.151 ha) dan 60% rusak berat (27.453 ha) dan 10% tergenang air laut (5.575,5 ha). (FAO, 2005). Petani yang meninggal dunia dan hilang akibat tsunami sebanyak 47.275 orang dan sekitar 243.394 orang petani yang selamat kini menempati kamp dan barak hunian sementara. Kerusakan lahan terjadi utamanya dalam bentuk perubahan tekstur tanah dan perubahan garis pantai yang terjadi di hampir seluruh kawasan pesisir yg
4
terkena gelombang tsunami. Kerusakan lahan juga terjadi karena penimbunan dan pemadatan limbah tsunami yang terus berlangsung dibeberapa lokasi. Bentuk kerusakan lahan lain terjadi akibat dari luapan air laut yang mengakibatkan sifat-sifat kimia dan kesuburan tanah mengalami degradasi. Shofiyati, (2005) menyatakan paling sedikit ada empat bentuk utama kerusakan pada lahan pertanian yang terindentifikasi merupakan satu atau kombinasi dari bentuk kerusakan tersebut yaitu : 1) perubahan bentang lahan (landscape), 2) endapan lumpur dari laut dan pantai, 3) intrusi air laut ke dalam profil tanah, dan 4) penutupan sampah di atas permukaan tanah. Kerusakan
terhadap
lahan
pertanian tersebut telah menyebabkan
kehancuran terhadap roda perekonomian masyarakat, karena sebagian besar penduduk di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bermata pencaharian sebagai petani. Saat sekarang ini lahan-lahan yang rusak tersebut tidak dapat diusahakan sehingga masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani terpaksa mencari kegiatan usaha di bidang lainnya bahkan ada sebagian dari mereka hanya menunggu bantuan dari pemerintah untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan hancurnya berbagai kegiatan perekonomian
masyarakat, khususnya di bidang pertanian yang menjadi andalan masyarakat setempat, mengakibatkan masyarakat memerlukan pengaktifan kembali kegiatan usaha pertaniannya dan pemberian bantuan, untuk memulihkan keadaan perekonomiannya. Menanggapi bencana tersebut pemerintah dengan berbagai pihak, baik luar negeri maupun dalam negeri, menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pembangunan kembali provinsi ini (recovery). Dalam hal penanganan sektor pertanian terutama lahan-lahan pertanian yang terkena tsunami pemerintah telah merencanakan program rehabilitasi lahan pertanian yang rusak, sehingga lahanlahan pertanian dapat difungsikan kembali agar masyarakat kembali dapat melakukan aktifitas pertanian. Selain itu, perlu pula diperhatikan aspirasi masyarakat yang menghendaki adanya pengalihan kegiatan usaha, mengingat sebagian lahan pertanian mereka ada yang sama sekali tidak dapat difungsikan lagi karena lahan tersebut sudah tergenangi air laut. Berdasarkan gambaran kondisi dan permasalahan seperti di atas , maka dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik lahan pertanian yang rusak akibat tsunami pada lokasi penelitian.
5
2. Bagaimana aspirasi masyarakat terhadap kegiatan usaha pertanian mereka dimasa yang akan datang 3. Bagaimana pendapat masyarakat terhadap rencana kegiatan rehabilitasi dan perbaikan lahan pertanian pasca tsunami yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam upaya recovery Aceh pasca tsunami. 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Mengidentifikasi kerusakan
lahan
pertanian
pada
lokasi
penelitian
berdasarkan jarak dari garis pantai ke arah daratan 2.
Mempelajari aspirasi masyarakat terhadap kegiatan usaha pertanian mereka di masa yang akan datang.
3.
Mempelajari pendapat masyarakat terhadap rencana kegiatan rehabilitasi lahan pertanian pasca tsunami.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam memberikan masukan dan petunjuk untuk pemerintah dalam menentukan arah rencana pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan pertanian pasca tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2.
Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi masyarakat.
3.
Sebagai bahan informasi, pengetahuan dan rujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
1.5. Kerangka Pemikiran Sektor
pertanian
merupakan
salah
satu
sektor
andalan
dalam
pembangunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pengembangan sektor pertanian yang menjadi tujuan pokok adalah peningkatan produktivitas pertanian dan pendapatan petani sekaligus mempertahankan kesuburan tanah pertanian . Gempa dan tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah memporak-porandakan semua segi kehidupan yang ada di provinsi paling Barat Sumatera ini. Dampak langsung dari bencana tersebut adalah hilangnya jiwa manusia yang cukup besar dan kerusakan
6
terhadap sarana dan prasarana yang ada, ditambah lagi kerusakan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Salah satu sumberdaya alam yang terkena dampak kerusakan adalah sumberdaya pertanian yaitu berupa rusaknya lahan-lahan pertanian produktif milik masyarakat terutama lahan persawahan. Kerusakan ini mengakibatkan lumpuhnya perekonomian masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Kerusakan ini berupa timbunan sampah dan lumpur yang cukup tebal, perubahan tekstur tanah, dan meningkatnya salinitas tanah. Hal lain yang memperparah adalah kerusakan fasilitas pengairan dan irigasi serta kehilangan sarana produksi pertanian. Untuk mengembalikan roda perekonomian masyarakat di sektor ini diperlukan suatu upaya rehabilitasi tanah-tanah pertanian yang terkena dampak tsunami. Untuk melakukan rehabilitasi terhadap tanah-tanah pertanian tersebut perlu dilakukan pengamatan langsung terhadap karakteristik lahan pertanian yang rusak serta seberapa besar tingkat kerusakan yang terjadi, sehingga dapat diperoleh suatu gambaran tentang kondisi aktual lahan tersebut untuk dapat difungsikan kembali sebagai lahan pertanian. Sebelum tsunami provinsi NAD mampu memproduksi 1.5 juta ton padi dari 380 ribu ha sawah, 190 ribu ha diantara diairi oleh irigasi. Kerusakan lahan sawah akibat tsunami diperkirakan sebesar 10 % dari total luas areal sawah yang ada di provinsi ini. Hal ini membuat kehilangan produksi padi yang besar. Rata-rata produktivitas tanah untuk produksi padi sebesar 4,2 ton /ha,dan kehilangan produksi padi yang potensial paling sedikit sebesar 120.000 ton padi per musim tanam. Rehabilitasi lahan pertanian ini tidak saja bisa memulihkan keamanan pangan tetapi lebih dari pada itu juga memulihkan kembali mata pencaharian para petani. (Rachman, et al., 2005) Pemerintah saat ini telah mempunyai rencana rehabilitasi lahan-lahan pertanian yang rusak akibat tsunami dengan tujuan memperbaiki kondisi lahan tersebut agar dapat difungsikan kembali. Rencana kegiatan tersebut haruslah dilakukan melalui pendekatan sosial sehingga diharapkan kegiatan rehabilitasi dapat melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Penelitian ini mencoba untuk melakukan identifikasi terhadap karakteristik lahan pertanian yang rusak akibat tsunami melalui pendekatan biofisik dan sosial. Pendekatan biofisik berhubungan dengan kondisi sifat fisik-kimia tanah dan vegetasi yang tumbuh atau bertahan pada lahan pertanian yang terkena
7
dampak gelombang tsunami, sedangkan pendekatan sosial untuk melihat pendapat masyarakat terhadap rencana kegiatan rehabilitasi lahan pertanian yang akan dilakukan oleh pemerintah, karena pendapat masyarakat yang positif terhadap kegiatan rehabilitasi lahan tersebut dapat mendorong partisipasi mereka dalam pelaksanaan rehabilitasi lahan. Skema kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian