I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan dan hutan merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Hilang atau berkurangnya ketersediaan sumberdaya tersebut akan berdampak sangat besar bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang tidak saja mencukupi kebutuhan hidup manusia, namun juga memberikan kontribusi yang besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (Fauzi, 2004). Pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
baik
akan
meningkatkan
kesejahteraan umat manusia, dan pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk. Oleh karena itu, persoalan mendasar sehubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam adalah bagaimana mengelola sumberdaya alam tersebut agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Salah satu sumberdaya alam yang menjadi perhatian dalam beberapa tahun terakhir adalah lahan. Lahan merupakan sumberdaya utama dalam kegiatan pertanian. Di sebagian wilayah Indonesia terutama di Jawa, Madura dan Bali, serta di beberapa pusat pemukiman di luar pulau tersebut, kepadatan penduduk dan nisbah jumlah penduduk terhadap luas tanah (man-land ratio) sudah sedemikian besar sehingga lahan menjadi sumberdaya produksi pertanian yang semakin langka, baik secara kuantitatif (luas areal yang semakin sempit dan terpencar) maupun secara kualitatif (mutu dan kesuburan tanah menurun). Akibat dari tekanan penggunaan yang berlebihan tersebut adalah terjadinya degradasi lahan (Sitorus, 2004). Saat ini pengelolaan lahan yang terjadi kurang memperhatikan karakteristik dan daya dukung lahan atau kelas kemampuan lahan, serta kaidahkaidah pengelolaan dan konservasi tanah yang benar sehingga menjadi penyebab degradasi lingkungan. Program penerapan konservasi tanah harus dilakukan secara terpadu antara lembaga/instansi terkait dengan penataan kembali implementasi teknik konservasi, penataan usahatani konservasi, penataan kelembagaan pendukung konservasi tanah dan kebijakan finansialnya (Padusung dan Arman, 2002). 1
2
Menurut Nasution (2004), terdapat ketimpangan kepemilikan
tanah
pertanian, dimana 43% rumahtangga perdesaan petani ”miskin tanah” (memiliki kepemilikan tanah kurang dari 0,1 hektar), dan 16% rumahtangga perdesaan memiliki luas kepemilikan tanah sekitar lebih dari 1 hektar, sehingga diperlukan penataan kembali kepemilikan tanah pertanian yang sesungguhnya lebih banyak berhubungan dengan aspek distribusi pendapatan dari pada masalah peningkatan efisiensi ataupun produktivitas sumberdaya lahan. Menurut Sumaryanto et al. (2002), struktur kepemilikan tanah rumahtangga pertanian cukup timpang, dimana hampir dua pertiga bagian petani tergolong dalam kelompok penguasaan kurang dari satu hektar. Menurut Putera (1999), rata-rata penguasaan lahan pertanian di Jawa berkurang dari 0,58 hektar di tahun 1983 menjadi 0,47 hektar di tahun 1993. Lahan yang ada saat ini rentan sekali untuk berpindah kepemilikan dimana petani yang tidak memiliki lahan cenderung bertambah, dan akumulasi penguasaan lahan pada satu tangan banyak terjadi. Hasil penelitian Bachriadi (1999) menunjukkan bahwa pada tahun 1993, petani yang tidak memiliki lahan meliputi 28 persen dari seluruh rumahtangga petani, sementara itu 2 persen rumahtangga petani menguasai 20,4 persen lahan pertanian yang ada. Proses
pembangunan
daerah,
khususnya
sektor
pertanian,
telah
membuktikan bahwa berbagai kendala masih dihadapi. Salah satu masalah utama yang dihadapi adalah keadaan bio-fisik lahan yang sangat beragam dan sebagian sudah rusak atau mempunyai potensi sangat besar untuk menjadi rusak. Dalam kondisi seperti ini mutlak diperlukan kebijakan-kebijakan penajaman teknologi pemanfaatan sumberdaya lahan dimana dalam pengelolaannya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi lahan sehingga hasil yang diharapkan dapat lebih optimal. Lima syarat yang harus dipenuhi dalam pengembangan teknologi pengelolaan lahan, adalah: (1) Teknis bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat, (2) Ekonomis menguntungkan, (3) Sosial tidak bertentangan dan bahkan mampu mendorong motivasi petani, (4) Aman lingkungan, dan (5) Mendorong pertumbuhan wilayah secara berkelanjutan. Salah satu kunci untuk menyelesaikan konflik pengelolaan lahan dan problematik degradasi sumberdaya lahan terletak pada kebijakan yang didukung
3
oleh pendanaan jangka panjang yang kontinyu. Kebijakan dalam konteks ini harus mampu mempromosikan sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu suatu sistem pertanian yang didukung oleh adanya insentif bagi produsen (pemilik lahan dan tenaga kerja), kredit pedesaan, kebijakan pasar/harga yang kondusif, sistem transportasi, teknologi tepat guna yang site-specific, serta program penelitian dan penyuluhan. Hal ini membawa konsekuensi yang sangat berat, yaitu tersedianya kebijakan-kebijakan lokal sesuai dengan kondisi setempat, yang sasarannya adalah sistem penggunaan lahan yang dicirikan oleh tingkat penutupan vegetatif yang lebih baik pada permukaan lahan. Tiga faktor penunjang yang dipersyaratkan bagi pengembangan kebijakankebijakan lokal ini adalah: (1) Tersedianya data base management system tentang sumberdaya lahan, air, vegetasi, manusia, dan sumberdaya ekonomi lainnya, (2) Mekanisme analisis kendala dan problematik, dan (3) Mekanisme perencanaan yang didukung oleh brainware, software dan hardware yang dapat diakses oleh para perencana pembangunan di tingkat daerah. Untuk dapat mendorong dan mendukung berkembangnya kebijakan-kebijakan lokal tersebut, maka kebijakan nasional tentang penggunaan dan pengelolaan lahan harus diarahkan kepada: (1) Perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, (2) Menggalang partisipasi aktif dari para pengguna lahan (pemilik lahan, pemilik kapital, dan tenaga kerja), dan (3)
Pengembangan
kelembagaan
penunjang,
terutama
lembaga-lembaga
perencana dan pemantau di daerah. Sektor pertanian sangat berkepentingan untuk memberikan kontribusi dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Sektor inilah yang secara langsung maupun tidak langsung selalu menghadapi permasalahan struktur penguasaan
lahan
berikut
segala
implikasinya,
meskipun
seringkali
permasalahannya bukan hanya terletak pada sektor pertanian. Pola penggunaan lahan untuk usaha pertanian dapat dipilah menjadi dua hal, yaitu: usaha pertanian skala besar yang dikelola oleh badan usaha milik negara maupun swasta, dan usaha pertanian rakyat (Sumaryanto et al. 2002). Meskipun usaha pertanian rakyat umumnya menerapkan pola campuran, tetapi menurut komoditas dominan yang diusahakannya, secara garis besar dapat dibagi
4
menjadi dua kategori, yaitu: usaha pertanian tanaman pangan (hortikultura), dan perkebunan rakyat. Menyikapi berbagai tantangan dan ancaman dalam penerapan pola campuran tersebut, maka perlu dilakukan terobosan program yang melibatkan berbagai pihak secara terarah dan terkoordinasi. Salah satu program tersebut adalah pengembangan kawasan agropolitan yang dilakukan pada daerah pemasok hasil produksi pertanian melalui pengembangan Daerah Pusat Pertumbuhan. Pengembangan
kawasan
agropolitan
adalah
untuk
meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan. Adapun kawasan agropolitan di Pulau Jawa dan komoditas unggulannya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kawasan Agropolitan di Pulau Jawa dan Komoditas Unggulan No 1 2
Provinsi Banten Jawa Barat
3
Jawa Tengah
4 5
D.I. Yogyakarta Jawa Timur
Kabupaten / Kota Kab. Pandeglang Kab. Cianjur Kab. Kuningan Kab. Bogor Kab. Bekasi Kab. Semarang Kab. Pemalang Kab. Magelang Kab. Kulon Progo Kab. Banyuwangi Kab. Mojokerto Kab. Ngawi Kab. Lumajang Kota Batu Kab. Tulungagung Kab. Madiun Kab. Bangkalan
Komoditas Unggulan Durian dan Melinjo Sayuran dataran tinggi Sapi Manggis dan Durian Sayuran dataran rendah Sayuran dan Bunga-bungaan Hortikultura dan Sapi Salak dan Cabe Biofarmaka Sayuran dan Jeruk Sirsak dan Palawija Jagung Padi dan Kedelai Tanaman Hias Padi, Jagung dan Kedelai Padi dan Kedelai Kacang Tanah
Sumber: Badan Pengembangan SDM Pertanian (2002)
Berkembangnya sistem dan usaha agribisnis di kawasan agropolitan tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga ”off farm”, yaitu: usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan
5
hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur terdiri dari Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya. Permasalahan yang dihadapi kawasan agropolitan khususnya di Desa Sukatani adalah rendahnya pendapatan, sedangkan yang menjadi faktor pembatas adalah ketersediaan air dalam melakukan kegiatan usahataninya. Hal ini terkait
dengan
lahan
dominan
merupakan
lahan
tadah
hujan
yang
menggantungkan sumber air kegiatan usahataninya dari air hujan. Berbeda halnya dengan Desa Sindangjaya, pada umumnya tidak menganggap air sebagai faktor pembatas, tetapi masalah produktivitas dan kesuburan tanah yang menjadi permasalahan yang perlu diperhatikan, karena sistem usahataninya lebih intensif. Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik usahatani komoditas hortikultura dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kawasan Agropolitan Pacet-Cianjur.
1.2. Perumusan Masalah Lahan merupakan sumberdaya strategis dan merupakan salah satu faktor kunci bagi keberhasilan pengembangan agropolitan. Lahan mempunyai sifat yang unik, ditinjau dari segi kepemilikan maupun dari segi penggunaannya. Lahan memiliki nilai sosial, budaya, ekonomi dan politik, serta nilai sakral bagi pemiliknya terutama masyarakat perdesaan. Ditinjau dari aspek pertanian, kualitas lahan sangat bervariasi dan tidak merata di semua tempat, baik dari segi fisiknya maupun nilai strategis lokasinya. Kualitas lahan dan kondisi lingkungan yang tidak sama menyebabkan keragaman tingkat kegiatan penggunaannya dan tingkat pembangunan di berbagai wilayah. Selain itu, ketersediaan lahan tidak saja ditentukan oleh faktor kesesuaiannya untuk penggunaan komoditi atau kegiatan tertentu, namun juga ditentukan oleh aspek kelembagaan, yaitu kebijakan dalam kepemilikan, penggunaan, produktivitas dan teknik konservasi tanah. Pengelolaan lahan pertanian di kawasan agropolitan pada kenyataannya melibatkan banyak pihak dengan kepentingannya masing-masing. Dalam kondisi
6
seperti ini diperlukan pendekatan sistemik untuk mengevaluasi keadaan yang optimal
dengan
mengorbankan
sebagian kepentingan suatu pihak dan
memprioritaskan sebagian kepentingan beberapa pihak lainnya. Suatu model dan metode optimasi pengelolaan lahan merupakan idaman banyak pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya lahan. Akan tetapi model seperti ini sangat sulit dikembangkan dan biasanya akan menghadapi berbagai hambatan dalam penerapannya di lapangan. Benturan kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat biasanya tercermin dalam konflik-konflik penggunaan lahan yang pada akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, seperti erosi tanah, sedimentasi, banjir, tanah longsor, dan gangguan-gangguan terhadap kawasan sekitarnya. Masalah degradasi sumberdaya lahan mungkin terjadi berpangkal dari pesatnya pembangunan infrastruktur fisik yang membuka aksesibilitas lokasi, sehingga semakin banyak penduduk yang memanfaatkan sumberdaya lahan secara lebih intensif berorientasi profit. Konflik-konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya lahan menjadi semakin banyak dan semakin parah. Salah satu kepentingan utama dari pengelolaan lahan ini adalah untuk mendapatkan produkproduk pertanian, seperti tanaman sayuran, tanaman hias, dan ternak. Komoditikomoditi ini dibudidayakan oleh para petani (sebagai pengelola lahan milik atau lahan sewa) pada lahan usahanya, baik yang berupa tegalan, pekarangan, maupun kebun campuran. Tindakan konservasi tanah, pengelolaan dan rehabilitasi lahan telah lama dirintis dan terus dikembangkan, mencakup aspek teknis-sipil, biologi, dan sosialekonomi. Namun demikian dalam penerapannya di lapangan seringkali usahausaha ini menghadapi berbagai kendala yang serius. Tampaknya hal seperti ini terjadi karena adanya konflik antara kepentingan pelestarian sumberdaya lahan dengan kepentingan ekonomi penduduk setempat. Kepentingan-kepentingan ini biasanya tidak saling menenggang, sehingga dalam upaya pengelolaan lahan diperlukan adanya prioritas kepentingan. Konflik-konflik kepentingan ini menjadi semakin banyak dan semakin parah sejalan dengan bertambahnya jumlah
7
penduduk yang memanfaatkan sumberdaya lahan seperti yang terjadi di kawasan agropolitan. Dalam penelitian ini akan ditelaah proses-proses penggunaan lahan dan pengelolaan lahan yang akan memadukan antara kepentingan konservasi tanah dan kepentingan produksi pertanian untuk menjamin ketersediaan hasil komoditas bagi penduduk setempat. Pengelolaan lahan di suatu kawasan menyangkut aspekaspek sumberdaya tanah, sumberdaya air, sumberdaya manusia, unsur teknologi, dan perekonomian masyarakat. Berdasarkan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian adalah: 1. Bagaimana karakteristik pola penguasaan lahan dan pola tanam usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan? 2. Bagaimana kelayakan dan produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan penguasaan lahan serta peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura? 4. Bagaimana tingkat erosi berdasarkan komoditi yang dibudidayakan?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah: 1. Mengetahui karakteristik pola penguasaan lahan dan pola tanam usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan. 2. Mengetahui tingkat kelayakan dan produktivitas usahatani komoditas hortikultura dengan penguasaan lahan serta peran petani terhadap penerapan teknik konservasi tanah. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas usahatani komoditas hortikultura. 4. Mengetahui tingkat erosi berdasarkan komoditi yang dibudidayakan.
1.4. Kerangka Pemikiran Karakteristik usahatani sangat berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam mengelola dan menjalankan aktivitas usahataninya, baik dari segi
8
penggunaan sarana produksi, alat dan mekanisasi pertanian, teknologi maupun tenaga kerja. Salah satu sarana produksi yang paling penting dalam kegiatan usahatani adalah ketersediaan dan status kepemilikan tanah. Status kepemilikan tanah menentukan kemauan petani untuk melakukan kegiatan konservasi tanah. Upaya konservasi tanah merupakan upaya yang bersifat jangka panjang, sehingga hasilnya baru akan dirasakan dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, petani bersedia melakukan konservasi jika status lahan yang dikerjakannya adalah milik sendiri. Jika lahan yang digarap bukan milik sendiri, maka sulit buat petani melakukan upaya konservasi tanah (Susilowati et al. 1997). Eratnya keterkaitan lahan dengan kegiatan pertanian menyebabkan upaya perbaikan kesejahteraan petani tidak cukup hanya melalui perbaikan teknologi dan kelembagaan yang terkait dengan proses produksi dan perbaikan akses petani terhadap penggunaan lahan (Jamal, 2000). Namun, perlu diikuti dengan kepemilikan lahan yang merata, penggunaan lahan yang tepat, produktivitas lahan yang memadai dan upaya penggunaan teknik konservasi tanah yang tepat. Tindakan konservasi tanah pada prinsipnya adalah usaha untuk menempatkan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Jadi upaya konservasi tanah ditujukan untuk dua hal, yaitu: mencegah kerusakan tanah dan memperbaiki tanah-tanah yang rusak agar dapat tercapai produksi yang setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas (Sitorus, 2004). Kawasan agropolitan, khususnya pada lokasi penelitian sangat menarik untuk dilakukan penelitian berkaitan dengan sumberdaya yang terbatas dalam kegiatan usahatani serta penerapan teknik konservasi tanah yang jarang dilakukan oleh petani, sebagaimana diagram kerangka pikir penelitian yang tertera pada Gambar 1.
9
Kawasan Agropolitan : Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya
Karakteristik Usahatani Komoditas Hortikultura
Pola Penguasaan Lahan
Pola Tanam
Penggunaan Pupuk dan Pestisida
Penerapan Teknik Konservasi Tanah
Pengelolaan Lahan Usahatani Tegalan / Pekarangan
Produktivitas Usahatani Komoditas Hortikultura
Fisik / Lahan : 1. Solum Tanah 2. Kesuburan Tanah 3. Kepekaan Erosi
Fisik / Lahan
1. Hasil Pertanian 2. Pendapatan 3. Kesempatan Kerja 4. Debit air, Sedimen, Fosfat dan BOD
Ekonomi
Kesejahteraan Petani / Buruh Tani
Peran Petani Terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Kawasan Agropolitan Pacet - Cianjur
Sistem Usahatani Komoditas Hortikultura yang Berkelanjutan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Harga Saprodi : 1. Bibit 2. Pupuk 3. Pestisida 4. Tenaga Kerja 5. Alat-alat Pertanian
10
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Pemerintah: sebagai bahan referensi perencanaan untuk proses pengambilan keputusan dalam menerapkan usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan Kecamatan Pacet-Cianjur 2. Ilmu Pengetahuan: sebagai bahan referensi dan kajian ilmiah dalam menerapkan
usahatani
komoditas
hortikultura
khususnya
untuk
pengembangan di kawasan agropolitan Kecamatan Pacet-Cianjur 3. Masyarakat: sebagai bahan sumbangan pemikiran kepada kelompok tani tentang usahatani komoditas hortikultura di kawasan agropolitan Kecamatan Pacet-Cianjur.