I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industrialisasi komoditas – komoditas pertanian terutama komoditas ekspor seperti hasil perkebunan sudah selayaknya dijadikan sebagai motor untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional serta peningkatan pendapatan petani. Pengembangan agroindustri menjadi sangat penting mengingat Indonesia memiliki potensi dan keunggulan yang sangat besar seperti ketersediaan bahan baku, tenaga kerja dan teknologi yang melimpah. Selain itu, proses industrialisasi juga dapat mendorong
transformasi
sektor
pertanian
ke
industri
sehingga
dapat
menggerakkan kegiatan ekonomi suatu komoditas mulai dari hulu sampai hilir melalui peningkatan nilai tambah komoditas menjadi produk. Saragih (2010) menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri secara otomatis akan menarik pertumbuhan pertanian primer sebagai penyedia bahan baku dan pertumbuhan pertanian primer ini akan menarik pertumbuhan industri hulu pertanian. Lebih luas lagi, Sinaga dan Susilowati (2007) menyebutkan bahwa kebijakan industri yang diarahkan kepada agroindustri diyakini
akan
dapat
akan
membangkitkan
ekonomi
nasional
yang
pertumbuhannya
ditransmisikan ke seluruh sektor perekonomian dan menjadi pendorong terbentuknya pertumbuhan ekonomi nasional yang cepat dan merata. Jika dikaitkan dengan proses liberalisasi perdagangan yang terjadi, maka agroindustri merupakan suatu keharusan untuk tetap dapat bersaing di pasar. Produk pertanian primer tidak bisa lagi mengandalkan keunggulan komparatif dari sisi harga, sehingga produk olahan pertanian dalam bentuk barang setengah jadi maupun produk final dapat dijadikan andalan sektor pertanian untuk bersaing sehingga pengembangan agroindustri harus menempati posisi sentral dalam strategi pemerintah (Tambunan, 2010; Wilkinson and Rocha, 2009). Sinkronisasi antara sektor pertanian dan industri dalam bentuk agroindustri menjadi sangat penting mengingat kedua sektor ini merupakan pilar utama perekonomian Indonesia. Sektor industri merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar bagi perekonomian Indonesia diikuti oleh sektor pertanian. Pada tahun 2010, sektor industri menyumbang PDB sebesar 28,8 persen, sementara sektor pertanian menyumbang sebesar 15,3 persen (BPS, 2011). Sumbangan kedua sektor ini dapat lebih ditingkatkan jika terjadi sinergi
2
yang lebih erat dalam bentuk agroindustri sehingga diperoleh nilai tambah dan daya saing yang lebih besar khususnya untuk komoditas – komoditas pertanian karena kedua sektor ini memiliki keterkaitan yang cukup erat. Susilowati, et al.,2007) menyebutkan bahwa sektor industri akan menciptakan permintaan investasi sektor pertanian primer yang merupakan penyedia bahan baku industri. Di sisi lain, Supriyati dan Suryani (2006) menyebutkan bahwa peluang pengembangan agroindustri masih sangat terbuka ditinjau dari sisi ketersediaan bahan baku yang disediakan oleh sektor pertanian dan permintaan produk olahan hasil industri. Komoditas perkebunan yang menghasilkan komoditas – komoditas ekspor andalan Indonesia seperti kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, kopi dan lada sebagian besar masih diekspor dalam bentuk komoditas primer. Hal ini menyebabkan harga komoditas perkebunan cenderung fluktuatif dan nilai tukar komoditas menjadi turun (Suprihatini, et al., 2004). Oleh karena itu, pengembangan
industri
hilir
komoditas
–
komoditas
perkebunan
akan
mengurangi ekspor dalam bentuk primer serta menjaring nilai tambah produk, memperkuat struktur ekspor komoditas, mengurangi risiko fluktuasi harga komoditas primer, mencegah penurunan nilai tukar dan mengantisipasi kejenuhan pasar komoditas primer perkebunan di masa yang akan datang dan pada akhirnya mampu meningkatkan devisa negara (Suprihatini, 2004). Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor dari subsektor perkebunan yang merupakan komoditas unggulan nasional di mana komoditas ini memberikan sumbangan devisa ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Ekspor kakao Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2009, ekspor kakao berjumlah 535.236 ton dengan nilai sebesar US$ 1.413.535,-. Jumlah ini meningkat drastis dalam dua dasawarsa terakhir di mana pada tahun 1990, ekspor Indonesia hanya sebesar 119.725 ton dengan nilai US$ 127.091,- (Gambar 1). Sama halnya dengan komoditas perkebunan lainnya, kakao Indonesia sebagian besar masih diekspor dalam bentuk komoditas primer yaitu biji kakao kering sehingga harganya relatif masih rendah (Pusdatin, 2010). Dari 535.236 ton ekspor kakao Indonesia, sebanyak 439.305 ton atau lebih dari 82 persen diekspor dalam bentuk biji. Selebihnya diekspor dalam bentuk kakao buah, pasta, butter, tepung, dan makanan yang mengandung coklat (Ditjenbun, 2010).
3
n1 1969 - 2009. Gambar 1 Volum ume dan nilai ekspor kakao Indonesia, Tahun (Sumber: Ditjenbun, 2010) a jjuga meningkat Luas areal per ertanaman dan produksi kakao Indonesia Pada tahun 1990, cukup signifikan dala lam beberapa tahun terakhir (Gambar 2). Pa produksi 142.347 luas areal kakao Indo donesia hanya sebesar 357.490 ha dengan pr uas areal menjadi ton. Jumlah ini menin ningkat tajam 10 tahun kemudian dengan lua n2 2010 meningkat 749.917 ha dengan p produksi 421.142 ton. Kemudian pada tahun 44.626 ton. Hal ini lagi lebih 2 kali lipatt m menjadi 1.651.539 ha dengan produksi 844. ntuk diusahakan. menandakan bahwa wa usahatani kakao semakin menarik untu but menempatkan Perkembangan usah sahatani kakao yang cukup signifikan tersebu ia setelah Pantai Indonesia sebagai pr produsen kakao terbesar keempat di dunia Gading memiliki Gading, Ghana dan n N Nigeria pada tahun 2008, di mana Pantaii G gkan pada tahun luas areal sebesarr 1 1,78 juta hektar (Pusdatin, 2010). Sedangk duksi lebih dari 15 2010, posisi Indonesi esia menjadi peringkat ketiga yang memproduk persen kakao dunia a (I (ICCO, 2011). Dengan perkembangan usaha hatani kakao yang terus menerus serta rta masih besarnya potensi yang dimiliki, In Indonesia dapat menjadi produsen kak kakao terbesar dunia pada masa yang akan da datang. Perkebunan ka kakao tersebar di seluruh provinsi di Indon onesia. Sentra – sentra produksi kakao kao berada di Sulawesi Selatan, Sulawesi Teng enggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi esi Barat. Sebagian besar perkebunan kakao od diusahakan oleh perkebunan rakyat de dengan proporsi hampir mencapai 95 persen sen dan melibatkan
4
1.567.273 kepala keluarga rga petani pada tahun 2010. Banyaknya pe petani yang terlibat membuat penguasa saan lahan rata – rata untuk setiap petani cu cukup kecil, yaitu hanya 1 ha/kepala ke keluarga. Hal tersebut juga berdampak pada a rrendahnya produktivitas tanaman kaka kakao Indonesia. Pada tahun 2009, produktivi ktivitas kakao pada perkebunan rakyatt (PR) hanya sebesar 811 kg/ha/tahun, se sedangkan nal (PBN) dan perkebunan besar swasta (PB PBS) sedikit perkebunan besar nasiona lebih baik dengan produkt uktivitas masing – masing 941 dan 979 kg kg/ha/tahun (Ditjenbun, 2010). Tingkat at produktivitas tersebut jauh di bawah potensi nsi produksi g mencapai 2 ton/ha/tahun. Sebagai perb rbandingan, klon unggul kakao yang uatemala pada tahun 2008 mencapai 1,71 ton ton/ha/tahun produktivitas kakao di Gua yang merupakan negara de dengan produktivitas kakao tertinggi di dunia. a.
Gambar 2 Luas areall d dan produksi kakao Indonesia, Tahun 1967 – 2010. (Sumber: Ditjenbun, 2010) ktivitas kakao nasional tidak terlepas da dari belum Rendahnya produkti budidaya anjuran, terutama oleh perkebun unan rakyat diterapkannya teknologi b nya klon unggul. Di samping itu, perkebun unan kakao serta belum digunakannya dan penyakit khususnya hama penggerek bu buah kakao. banyak terserang hama da m usahatani (on farm) tersebut tidak terle erlepas dari Masalah pada subsistem di pada subsistem hulu seperti penyediaan ben benih unggul permasalahan yang terjadi ta statistik menunjukkan bahwa pada tahun 200 2009, jumlah dan sarana produksi. Data tanaman kakao yang rusa rusak dan tua sehingga tidak dapat men enghasilkan
5
mencapai 220.040 h ha, atau hampir 15 persen dari total perk erkebunan kakao nasional. Pada subsistem stem hilir, mutu produk kakao Indonesia, kh khususnya yang dihasilkan dari perke kebunan rakyat sangat rendah. Biji kakao ha hasil perkebunan rakyat umumnya tid tidak difermentasi serta banyak mengandun ung kotoran dan jamur. Selain itu, pen pengolahan kakao seperti dalam bentuk bubu buk coklat belum berkembang. Kondisi disi ini menyebabkan produksi dan ekspor or produk-produk kakao olahan seperti rti kakao butter, tepung kakao, kakao paste ste serta makanan yang mengandung co coklat masih sangat rendah dan nilai tambah h yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini dapat dilihat dari komposisi ekspor dan nila nilai ekspor kakao dimana pangsa eksp spor biji kakao mencapai 82 persen hanya m menghasilkan 77 persen dari total nilai lai ekspornya (Gambar 3).
(a) Vol Volume ekspor
(b) Nila Nilai ekspor
Gambar 3 Vo Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia, Tahu hun 2009. (Sumber: Ditjenbun, 2010) Minimnya peng ngolahan kakao tidak terlepas dari berbaga gai permasalahan yang terjadi dalam sist sistem agribisnis kakao mulai dari hulu sampa pai hilir sehingga agroindustri kakao be belum berkembang dan beroperasi secara opt ptimal (Drajat dan Wahyudi, 2008). Pa Padahal, kakao merupakan komoditas agro roindustri karena hanya bisa di jual ke konsumen (industri) setelah melalui prose roses pengolahan (Manggabarani, 2010 10). Di sisi lain, potensi pengembangan ind ndustri hilir kakao masih sangat besarr jijika dilihat dari berlimpahnya bahan baku yan ang tersedia serta peluang untuk memp mperoleh nilai tambah dan penyerapan tena enaga kerja yang sangat besar sehingg gga harus dimanfaatkan oleh pelaku bisnis kak akao di Indonesia (Wahyudi dan Rahard ardjo, 2008). Besarnya poten ensi pengembangan industri hilir kakao serta aa adanya berbagai faktor
yang
mengh ghambat
mendorong
pemerintah menera rapkan berbagai
6
kebijakan yang terkait dengan agribisnis kakao sehingga diharapkan agroindustri kakao nasional dapat berkembang. Kebijakan yang telah dilaksanakan antara lain: (i) kebijakan industri nasional yang menempatkan industri pengolahan kakao sebagai industri prioritas; (ii) gerakan nasional peningkatan produktivitas dan mutu kakao (Gernas kakao); (iii) penerapan bea ekspor kakao untuk menjamin kebutuhan industri dalam negeri. Penerapan kebijakan tersebut diharapkan mampu mendorong perkembangan industri hilir kakao dalam negeri serta memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem agribisnis kakao, sehingga perlu dikaji dinamika dampaknya pada masa yang akan datang. 1.2 Rumusan Masalah Sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia, pengembangan industri hilir diharapkan dapat menjadi motor penggerak sistem agribisnis kakao yang lebih berdaya saing. Namun hal tersebut tidak sejalan dengan perkembangan industri hilir kakao. Pada periode 2005 – 2009, ketika produksi kakao menunjukkan tren peningkatan sebesar 3,94 persen per tahun, kapasitas dan realisasi produksi industri pengolahan kakao justru mengalami penurunan (Tabel 1). Pada Tahun 2005, kapasitas yang dimiliki industri pengolahan kakao mampu mengolah produksi kakao nasional sebesar 41,85 persen, namun yang terealisasi hanya 23,02 persen karena tingkat utilisasi kapasitas industri hanya sebesar 55 persen. Sedangkan kapasitas industri pada tahun 2009 justru mengalami penurunan menjadi 297.000 ton walaupun sempat mencapai 353.900 ton pada periode 2006 – 2007. Penurunan kapasitas industri tersebut menyebabkan kemampuan industri pengolahan kakao dalam menyerap produksi biji kakao domestik turun dari 41,85 persen pada tahun 2005 menjadi 36.69 persen pada tahun 2009. Pengolahan kakao nasional yang belum berkembang menyebabkan nilai tambah kakao diperoleh negara-negara yang menjadi tujuan ekspor biji kakao, seperti Malaysia yang merupakan negara tujuan utama ekspor biji kakao Indonesia (42 persen dari total ekspor biji kakao). Pada Tahun 2010, volume grinding kakao Malaysia mencapai 302 ribu ton, jauh di atas volume grinding Indonesia yang hanya sebesar 130 ribu ton (Gambar 4). Padahal pada tahun yang sama, produksi biji kakao Malaysia hanya sebesar 15 ribu ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negerinya, Malaysia mengimpor biji
7
kakao dalam jumlah yang cukup besar, salah satunya dari Indonesia. Pada tahun 2010, Malaysia mengimpor biji kakao dari Indonesia sebesar 202 ribu ton (Kemendag, 2011). Berkembangnya industri hilir kakao Malaysia menyebabkan negara tersebut memperoleh nilai tambah dan daya saing yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari nilai ekspor kakao Malaysia yang mencapai 71 persen nilai ekspor kakao Indonesia, padahal produksi kakao Malaysia hanya 1,8 persen dari produksi kakao Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengembangan industri hilir kakao dalam negeri menjadi sangat penting untuk peningkatan nilai tambah dan daya saing ekspor kakao Indonesia. Tabel 1
Produksi biji kakao, kapasitas dan realisasi industri pengolahan kakao,Tahun 2005 – 2009
55,00
Rasio Kapasitas Industri – Produksi Kakao (%) 41,85
Rasio Realisasi Industri – Produksi Kakao (%) 23,02
198.200
56,00
46,00
25,76
353.900
198.200
56,00
47,82
26,78
803.594
297.000
178.000
59,93
36,96
22,15
809.583
297.000
178.500
60,10
36,69
22,05
Tahun
Produksi Biji Kakao (ton)
Kapasitas Produksi Industri (ton)
Realisasi Produksi Industri (ton)
Utilisasi Kapasitas Industri (%)
2005
748.828
313.400
172.370
2006
769.386
353.900
2007
740.006
2008 2009
Sumber: Ditjenbun (2010); Ditjen Agrokim (2009), diolah Salah satu permasalahan yang menyebabkan tidak berkembangnya industri pengolahan kakao adalah adanya upaya negara – negara tujuan ekspor kakao olahan Indonesia dalam melindungi industri kakao dalam negerinya menjadi penghambat perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri. Muttaqin (2011a) menyebutkan bahwa ekspor produk kakao olahan Indonesia sulit bersaing di Eropa dan Amerika Serikat karena mendapat hambatan berupa pengenaan bea masuk hingga 7 – 9 persen yang membuat industri pengolahan kakao sulit berkembang. Masalah lain yang dihadapi industri pengolahan kakao domestik adalah pasokan bahan baku yang belum memenuhi standar, sehingga sebagian besar bahan baku harus dipenuhi melalui impor. Muttaqin (2011b) mencatat bahwa produksi kakao fermentasi nasional hanya 15 persen dari produksi sehingga hanya memenuhi sekitar 60 persen dari kebutuhan industri pengolahan. Penerapan perdagangan bebas sesuai dengan Komitmen ASEAN –
8
CEPT dimana mulai 1 Ja Januari 2010, bea masuk produk olahan ka kakao antar negara ASEAN menjadi 0 p persen membuka peluang membanjirnya prod roduk kakao olahan dari negara ASEAN N terutama Malaysia juga dapat menjadi anca caman bagi industri pengolahan kakao on nasional (Manggabarani, 2010).
Gambar 4 Perkembangan an produksi dan grinding kakao Indonesia dan n Malaysia, Tahun 2006 - 2010. (Sumber: Ditjen jenbun, 2010; Kemendag, 2011; ICCO, 2011;; Ma Malaysian Cocoa Board, 2011) Upaya pemerintah un sudah cukup untuk mengembangkan industri hilir kakao sud banyak dan melibatkan ber asional yang erbagai instansi. Dalam kebijakan industri nasi dituangkan dalam Peratura ahun 2008, uran Presiden Republik Indonesia No. 28 Tah industri pengolahan kakao ao dan coklat termasuk dalam klaster industr stri prioritas nasional yang akan diperku njadi industri rkuat dan direstrukturisasi agar mampu menja kelas dunia dan industri stri andalan masa depan. Untuk menindakl aklanjuti hal erapa strategi seperti optimalisasi kapasita sitas industri tersebut, dilakukan beber ana pada tahun 2014 diharapkan dapat men encapai 80 kakao dalam negeri diman rpasang (Depperin, 2008). Untuk memenuhii kkebutuhan persen dari kapasitas terpa berkualitas, Departemen Pertanian melakuka kan gerakan bahan baku industri yang b an mutu kakao nasional (Gernas Kakao). Ge Gerakan ini peningkatan produksi dan entuk kebijakan pemerintah dalam upaya mem empercepat merupakan salah satu ben kakao nasional. Sementara itu, untuk menu numbuhkan peningkatan mutu hasil ka kao, Kementerian Keuangan melalui Peratura ran Menteri industri pengolahan kakao 011/2010 menetapkan bea keluar atas baran rang ekspor Keuangan No. 67/PMK.01
9
berupa biji kakao yang besarannya antara 0 sampai 15 persen, tergantung harga komoditas di pasar internasional (Kemenkeu, 2010). Upaya untuk memperlancar pasokan biji kakao untuk industri pengolahan dalam negeri dilakukan dengan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk perdagangan biji kakao dalam negeri sejak tahun 2007 (Media Industri, 2010). Berbagai kebijakan tersebut diklaim berdampak positif terhadap industri kakao
dalam
negeri.
Ditjenbun
(2011)
menyebutkan
bahwa
sebelum
diterapkannya bea keluar kakao, dari 16 unit industri kakao dalam negeri, yang beroperasi hanya 5 unit.
Namun, setelah peraturan bea keluar diterapkan,
jumlah industri yang beroperasi bertambah 6 unit dan 3 unit yang ada meningkatkan kapasitas terpasang. Berbagai kebijakan tersebut juga diklaim meningkatkan nilai tambah kakao dalam negeri sebesar 26 persen dan menurunkan volume ekspor biji kakao sekitar 20 persen (Ditjenbun, 2011). Keberhasilan tersebut diharapkan sejalan dengan upaya peningkatan ekspor kakao olahan yang ditargetkan sebesar 8 persen per tahun (Ditjen Agrokim, 2009). Keberhasilan penerapan kebijakan bea keluar dalam merangsang industri hilir kakao dikhawatirkan tidak sejalan dengan upaya meningkatkan taraf hidup petani. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa kakao yang dihasilkan petani sebagian besar tidak sesuai dengan kebutuhan industri sehingga bahan baku industri dipenuhi dari impor menjadi kontraproduktif. KPPU (2009) menyebutkan bahwa industri pengolahan kakao dan petani belum terintegrasi dan terdistorsi oleh sistem perdagangan yang berujung pada inefisiensi. Ketika industri pengolahan dan kegiatan usahatani tidak terintegrasi dengan baik, maka penerapan bea keluar ekspor biji kakao hanya akan menyebabkan turunnya harga di tingkat petani, sehingga bea keluar tersebut menjadi tanggungan petani kakao. Arsyad (2007) menyebutkan bahwa kebijakan bea ekspor akan menekan harga domestik sehingga menurunkan pendapatan petani. Selain itu, penetapan bea ekspor juga menyebabkan dampak negatif terhadap volume ekspor dan produksi. Skenario larangan ekspor gelondong jambu mete yang diteliti oleh Indrawanto (2008) menunjukkan bahwa kebijakan larangan ekspor mampu menjamin pasokan bahan baku untuk agroindustri, namun di sisi lain biaya keterjaminan pasokan tersebut akan ditanggung oleh petani berupa penurunan harga akibat semakin sempitnya alternatif pasar. Penerapan bea ekspor juga tetap memunculkan peluang terjadinya policy resistance seperti yang terjadi pada
10
penerapan kebijakan penghapusan pajak pertambahan nilai perdagangan kakao. Sejak penerapan penghapusan pajak pertambahan nilai perdagangan kakao domestik pada tahun 2007, industri pengolahan kakao justru mengalami penurunan kapasitas dan realisasi produksi (Tabel 1). Opini tersebut didukung oleh hasil penelitian Permani, et al., (2011) yang menyebutkan bahwa penerapan pajak ekspor kakao berpengaruh menyebabkan kerugian yang sangat signifikan kepada petani, dan hanya sedikit mampu mendorong perkembangan industri pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa selain menyebabkan penurunan pendapatan petani secara langsung, kebijakan penerapan bea ekspor kakao juga berpeluang tidak mampu mendorong perkembangan industri hilir kakao. Pengembangan agroindustri juga dapat berdampak negatif kepada petani secara langsung. Hanson and Cranfield (2009) mengingatkan bahwa jika proses agroindustrialisasi tidak diikuti dengan kebijakan yang tepat dapat memberikan efek negatif dalam jangka pendek melalui tersingkirnya petani kecil dan usaha informal. Sedangkan dalam jangka panjang dapat memunculkan konsentrasi vertikal dan horizontal dari rantai pasok produk agroindustri serta terjadinya eksternalitas lingkungan. Pengembangan agroindustri kakao selayaknya dapat berkontribusi positif kepada seluruh komponen yang terkait terutama petani kecil, walaupun setiap komponen/stakeholders yang terlibat memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda - beda sesuai dengan pendapat Sa’id (2010). UNEP (2009) menyebutkan bahwa salah satu tahap penting dalam integrasi kebijakan adalah harmonisasi kebijakan untuk kepentingan yang berbeda dari setiap stakeholders yang terkait. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengembangan industri hilir kakao melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan dan permasalahan yang berbeda – beda sehingga menimbulkan interaksi yang rumit. Pertumbuhan produksi biji kakao yang sangat cepat tidak mampu diimbangi oleh pertumbuhan industri pengolahan. Kebijakan yang diterapkan pemerintah seperti bea ekspor juga diduga tidak mampu memberikan dampak positif terhadap seluruh pihak yang terlibat akibat adanya dampak negatif yang ditimbulkan berupa penurunan pendapatan petani. Untuk itu, sesuai dengan pendapat Syam, et al.,(2006), strategi pengembangan agroindustri berbasis kakao di Indonesia seharusnya dilakukan melalui pendekatan sistem sehingga pendekatannya lebih menyeluruh, terintegrasi dan bersinergi antar komponen yang terkait. Adanya dinamika yang terjadi pada setiap komponen yang terkait dengan industri hilir kakao
11
menyebabkan perubahan perilaku dari waktu ke waktu. Untuk itu, perlu dibangun model agroindustri kakao yang mencakup seluruh komponen yang terlibat sebagai sistem serta dinamika perubahan perilakunya. Selain itu, perlu dianalisis bagaimana
dampak
kebijakan
pengembangan
agroindustri
kakao
yang
diterapkan pemerintah (Gernas dan bea ekspor kakao) terhadap dinamika industri hilir kakao nasional dan penerimaan petani, serta alternatif kebijakan yang dapat diterapkan pemerintah yang mampu mengakomodasi kepentingan dari elemen-elemen yang terkait dalam sistem agroindustri kakao. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Membangun model dinamika sistem agroindustri kakao 2. Menganalisis
dampak
pencapaian
kebijakan
Gernas
kakao
dan
penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri hilir kakao dan penerimaan petani. 3. Menyusun alternatif kebijakan untuk pengembangan industri hilir kakao dan upaya peningkatan penerimaan petani. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan mengevaluasi kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor kakao yang telah diterapkan pemerintah dalam upaya pengembangan industri hilir kakao dan peningkatan penerimaan petani. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif kebijakan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengembangan industri hilir kakao sekaligus mampu meningkatkan penerimaan petani. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah penelitian yang terkait dengan komoditas kakao dan penggunaan pendekatan dinamika sistem dalam menganalisis kebijakan di bidang pertanian. 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1. Sistem agroindustri kakao dalam penelitian ini melingkupi subsistem penyediaan bahan baku (usahatani kakao), subsistem pengolahan kakao, subsistem perdagangan kakao dan subsistem konsumsi produk kakao olahan.
12
2. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan agroindustri kakao yang dianalisis adalah kebijakan gerakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao (Gernas kakao) dan penerapan bea ekspor kakao. Kebijakan Gernas kakao juga tidak dirinci menjadi instrumen-instrumen yang lebih detil seperti subsidi input (pupuk dan benih), pembinaan kelembagaan dan lain-lain. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan lain yang terkait dengan sistem agribisnis kakao baik langsung maupun tidak langsung tidak dilibatkan dalam model. 3. Dalam submodel pengolahan kakao, bahan baku yang dilibatkan dalam memproduksi kakao olahan hanya biji kakao, baik fermentasi dan non fermentasi, sehingga bahan baku lain yang digunakan tidak dianalisis. 4. Produk industri hilir yang digunakan dalam model dinamika sistem adalah produk kakao olahan secara keseluruhan dan tidak menganalisis secara detil bentuk-bentuk kakao olahan seperti kakao butter, kakao pasta, kakao powder, dan produk makanan dari coklat/kakao. Dengan demikian, data yang digunakan juga merupakan data agregat produk kakao olahan secara nasional.