I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya otonomi daerah (Otoda), telah memberikan peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini membawa konsekuensi logis kepada Pemda, untuk membiayai seluruh kegiatan pembangunan daerahnya dengan dana sendiri. Karena itu Pemda berupaya seoptimal mungkin untuk menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Salah satu sumber PAD yang potensial adalah dari sektor kehutanan. Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 jo.No.32 tahun 2002, Pemda diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat yang berkembang di lapangan. Pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah di Kabupaten Donggala telah memunculkan kekawatiran pada masyarakat. Bahwa daerah cenderung untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan secara berlebihan, melalui penerbitan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) dan Ijin Sah Lainnya (ISL). Hal ini dalam rangka mendapatkan sumber dana guna mendukung penyelenggaraan pembangunan daerah. Kebijakan penerbitan IPK dan ISL ini, di salah satu sisi mempunyai maksud untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Industri Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan kebutuhan pasar lokal, namun di sisi yang lain telah menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Laju kerusakan hutan di Kabupaten Donggala yang melebihi 50% dari luas kawasan hutan telah mengakibatkan turunnya produksi kayu dari hutan alam (Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng 2006). Otonomi daerah telah menjadikan hutan sebagai salah satu sumber PAD sehingga laju kerusakan hutan sampai saat ini telah mencapai tingkat yang memprihatinkan dan sulit untuk dikendalikan (Ohorella 2003). Produksi kayu dari hutan alam yang terus menurun berimplikasi pada terbatasnya pemenuhan bahan baku bagi industri kayu. Peran industri perkayuan yang sangat penting bagi perolehan devisa dan pembangunan ekonomi, serta perkembangannya yang pesat selama ini, telah menimbulkan persoalan-persoalan yang kompleks bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Berkurangnya pasokan
2
bahan baku kayu dari hutan alam, rendahnya realisasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), serta inefisiensi produksi telah menyebabkan produksi hasil hutan menurun. Hal ini berakibat pada banyak perusahaan pengelolaan kayu yang mengalami kerugian dan terlilit hutang (Ditjen BPK 2006). Hal ini selaras dengan Manurung (2006) bahwa pemanfaatan kapasitas terpasang dan produksi hasil hutan dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang menurun. Pada tingkat nasional industri perkayuan kini tak lagi menggantungkan sepenuhnya pada pasokan bahan baku yang berasal dari hutan negara. Kendatipun kualitas kayu rakyat dinilai masih sangat terbatas, faktanya dari waktu ke waktu semakin diperhitungkan. Potensi kayu rakyat inilah yang diharapkan ke depan bisa mengurangi tingkat kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan kayu. Total produksi kayu dari hutan negara pada tahun 2004 adalah 13.4 juta m³ (berasal dari hutan alam, hutan tanaman industri, hutan tanaman perhutani dan areal konservasi). Sementara itu kebutuhan bahan baku kayu diperkirakan mencapai 53 juta m³ per tahun. Terdapat angka kesenjangan kira-kira sebesar 39.55 juta m³. Sejauh ini angka kesenjangan ini diatasi terutama oleh pasokan kayu-kayu ilegal. Pasokan kayu rakyat tidak lebih dari 6 juta m³ per tahun (Santosa 2006). Berangkat dari fakta ini, sebenarnya sejauh ini hutan rakyat sudah memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi keberlangsungan industri perkayuan di Indonesia, terutama untuk industri-industri berskala menengah ke bawah. Kondisi industri kayu di Kabupaten Donggala yang beroperasi jumlahnya terus menurun dari tahun ke tahun. Ini terjadi sebagai akibat kuranngnya pasokan bahan baku dari hutan alam. Saat ini jumlah industri yang terdaftar dan memiliki Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) sebanyak 15 unit. Industriindustri tersebut dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu 1) industri menengah ke atas dengan kapasitas terpasang >2000 m³ per tahun sebanyak 2 unit; dan 2) industri menengah ke bawah dengn kapasitas terpasang <2000 m³ per tahun sebanyak 13 unit. Selanjutnya, total kapasitas produksi untuk keseluruhan industri tersebut yaitu 21.600 m³ per tahun. Dari 15 unit industri yang terdaftar saat ini hanya 7 unit yang beroperasi, sedangkan 8 unit lainnya tidak beroperasi (BP2HP XIV Palu 2009). Walaupun demikian, dari ketujuh industri yang beroperasi itupun harus menurunkan realisasi pemenuhan bahan baku industrinya. Hal ini
3
menunjukkan bahwa adanya kesenjangan dalam pemenuhan bahan baku industri kayu. Oleh sebab itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, masih diperlukan kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan hutan rakyat dari luar Kabupaten Donggala. Pasokan bahan baku dari hutan alam yang terus menurun, dapat dilihat sebagai peluang untuk mendorong upaya pengembangan hutan rakyat di luar kawasan hutan negara. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan potensial dan aktual milik masyarakat yang ada (Hakim et al. 2009). Keberadaan hutan rakyat ke depan diharapkan dapat manjadi penyedia bahan baku untuk industri kayu di Kabupaten Donggala. Potensi pengembangan dan keberhasilan pembangunan hutan rakyat ini, akan sangat bergantung pada kesiapan aparat pemerintah pusat maupun daerah dan masyarakat, yaitu petani dan industri kayu (Sukadaryati 2006). Pengembangan hutan rakyat, memiliki potensi yang cukup untuk pengembalian fungsi lingkungan (ekologis) maupun ekonomis, sehingga perlu didukung oleh aturan-aturan yang jelas. Selanjutnya aturan-aturan tersebut sebagai pegangan bagi para pihak (stakeholders) yang terlibat di dalam pengembangan hutan rakyat. Sebagai landasan yuridis, aturan-aturan dimaksud diharapkan dapat menjadi payung hukum yang efektif dan efisien. Di Kabupaten Donggala keberadaan hutan rakyat belum berkembang sebagaimana jika dibandingkan dengan hutan rakyat di Jawa. Hutan rakyat yang ada saat ini umumnya merupakan hutan rakyat yang tumbuh secara alami di atas lahan milik masyarakat, hutan rakyat hasil program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan hutan rakyat swadaya (BPDAS Palu-Poso 2009). Luas hutan rakyat hasil program Gerhan yang mulai dicanangkan tahun 2003 di Kabupaten Donggala adalah 3.225 ha (Ditjen RLPS 2010). Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini karena masih adanya kendala-kendala pada masyarakat yang belum teratasi. Selain itu peran Pemda sebagai regulator dan motivator dalam mendukung upaya pengembangan hutan rakyat dapat dikatakan masih minim (Aspar 2009).
4
Keterlibatan dari Pemda baru sebatas pada penyediaan bibit dan kegiatan penyuluhan. Kegiatan ini merupakan bagian dari pelaksanaan proyek Gerhan. Di samping itu sampai pada saat ini belum ada peraturan-peraturan daerah (Perda) yang bersifat insentif, untuk mendorong masyarakat dalam mengembangkan hutan rakyat. Sementara itu, semakin berkurangnya bahan baku dari hutan alam, tidak terlepas dari kebijakan penurunan jatah produksi tebangan tahunan (JPT) secara nasional. Hal ini dapat dilihat sebagai peluang yang memungkinkan bagi Pemda untuk berupaya melakukan pengembangan hutan rakyat. Penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan faktor-faktor internal maupun faktor-faktor eksternal, yang berpengaruh dalam upaya pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. Faktor-faktor dimaksud dapat berasal dari petani, pedagang atau pihak-pihak lain, juga dapat berasal dari pemerintah. Kemudian bagaimana peran pemerintah dalam upaya pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. Atas dasar kajian terhadap faktor-faktor yang dimaksud di atas, maka diharapkan hasil penelitian ini dapat merekomendasikan strategistrategi, agar dapat digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. Dengan demikian, hutan rakyat di masa depan diharapkan mampu menjadi salah satu pemasok kebutuhan bahan baku industri kayu yang tangguh, efisien, dan kompetitif. 1.2 Perumusan Masalah Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala selama ini, belum menunjukkan suatu hasil yang signifikan yang dapat dirasakan manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun oleh industri kayu (Aspar 2009). Hutan rakyat dapat dikembangkan untuk mengatasi kesulitan bahan baku industri, yang dalam pelaksanaannya melibatkan banyak pihak, yaitu pemerintah, petani, dan industri kayu. Oleh karena itu, hal yang perlu dikaji saat ini adalah bagaimana usaha pengembangan hutan rakyat ke depan. Upaya-upaya tersebut yang akan dilakukan dengan melibatkan pemerintah, petani, dan industri, sehingga manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh petani dan industri kayu yang saat ini terus mengalami kesulitan dalam pemenuhan bahan baku.
5
Aspar (2009) mengemukakan bahwa lambatnya pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor internal petani maupun faktor eksternal yang saling berkaitan. Faktor-faktor internal petani meliputi: 1) kelembagaan hutan rakyat yang belum terbentuk; 2) produkstivitas hutan rakyat rendah; dan 3) pengembangan usaha hutan rakyat belum menjadi fokus utama atau masih bersifat sampingan. Masalah-masalah tersebut sangat terkait dengan kebijakan pendukung bagi penyediaan bahan baku kayu hutan rakyat bagi industri. Selanjutnya faktor-aktor eksternal meliputi: 1) hambatan dalam peredaran kayu rakyat sehingga menjadi tidak efisien; dan 2) kebijakan pengembangan hutan rakyat yang masih lemah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengembangan hutan rakyat selama ini belum menyentuh permasalahan sesungguhnya di lapangan. Permasalahan lambatnya proses pengembagan hutan rakyat, dapat pula terjadi karena lemahnya kelembagaan di tingkat petani yang berfungsi membantu petani, kurangnya informasi pasar, aplikasi teknologi yang kurang tepat/tidak sesuai dengan kondisi biofisik setempat, atau dapat pula disebabkan oleh persoalan-persoalan sosial lainnya. Maka bagaimana memikirkan pengembangan hutan rakyat ke depan yang dapat menjadi pemasok bahan baku industri kayu. Hasil penelitian Aspar (2009) tentang hutan rakyat di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa adanya keinginan masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat. Namun demikian pengembangan hutan rakyat tersebut belum didukung sepenuhnya dengan suatu strategi pengelolaan yang baik, diantaranya yaitu belum ada perencanaan dan koordinasi antar instansi teknis terkait. Strategi dimaksud diharapkan dapat mendorong upaya pengembangan hutan rakyat ke depan yang meliputi aspek produksi, pemasaran, dan pengolahan yang didukung oleh kelembagaan yang lebih baik pada setiap aspek tersebut di atas. Hal in selaras dengan Hardjanto (2003) bahwa dalam pengembangan usaha kayu rakyat harus memperhatikan empat aspek penting tersebut yang saling terkait satu sama lain. Persoalan mendasar yang dihadapi saat ini adalah adanya gap dalam pemenuhan bahan baku industri kayu di Donggala. Kesenjangan ini terjadi karena penurunan pasokan bahan baku kayu dari hutan alam melalui IPK-HA/IUPHHK-
6
HA, sedangkan tingakat kebutuhan kayu dari tahun ke tahun terus meningkat. Hutan rakyat sebagai sumber bahan baku alternatif belum mampu untuk memenuhi kebutuhan industri kayu. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan untuk menggali permasalahan-permasalahan pada pengembangan hutan rakyat yang meliputi sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran dan kelembagaan. Secara umum permasalahan yang dihadapi pada keempat sub sistem tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) aspek produksi. Produktivitas hutan rakyat tergolong rendah dan belum mampu untuk memasok bahan baku pada seluruh industri yang ada di Donggala. Petani hutan rakyat tergolong petani tradisional yang kemampuannya sangat terbatas. Permasalahan lainnya dalam aspek ini yaitu usaha hutan rakyat yang masih bersifat sampingan (Aspar 2009). Permasalahan yang ada dapat dikaji dengan memperhatikan atribut-atribut, yaitu: struktur dan potensi tegakan, tingkat produktivitas hutan rakyat dan pemanfaatan lahan untuk pengembangan tanaman yang sesuai dengan kondisi agroklimat; 2) aspek pemasaran. Umumnya petani belum mengetahu informasi pasar, banyaknya biaya yang harus dikeluarkan saat mengurus izin. Permasalahan yang ada dapat dikaji dengan memperhatikan atribut-atribut, yaitu: sistem distribusi kayu, struktur pasar dan perilaku pasar; 3) aspek pengolahan. Para petani belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup dalam pengolahan kayu. Selain itu industri kayu yang masih beroperasi umumnya merupakan industi hulu, yang hanya mampu mengolah kayu bulat menjadi barang setengah jadi. Selanjutnya, umumnya industri penggergajian (saw mill) masih menggunakan alat-alat sederhana (band saw) sebagai gergaji utama, sehingga mutu kayu olahan yang dihasilkan masih rendah. Selain itu banyak menghasilkan limbah dan dapat juga menyebabkan tingginya rendemen kayu. Permasalahan yang ada pada aspek pengolahan dapat dikaji dengan memperhatikan atribut-atribut, yaitu: jumlah dan jenis industri kayu, tingkat persediaan bahan baku, dan produk dan konsumen kayu rakyat. Dengan demikian, diharapkan dari hasil analisis pada ketiga sub sistem tersebut di atas dapat ditemukan hubungan antara potensi supply dan potensi demand untuk mengetahui seberapa besar kesenjangan pemenuhan bahan baku industri kayu di Kabupaten Donggala.
7
Permasalahan terakhir yaitu pada aspek kelembagaan. Kelembagaan yang dimaksud disini adalah seluruh aturan main yang ada dan merupakan suatu sistem yang kompleks, yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, hak kepemilikan dan batas yurisdiksi serta kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan pengelolaan hutan rakyat. Kelembagaan yang dikaji meliputi aspek produksi, pemasaran dan pengolahan. Kelembagaan juga sudah mencakup lembaga resmi dari pemerintah, dan lembaga lain yang dibentuk oleh masyarakat secara mandiri yang berperan dalam pengembangan hutan rakyat. Pada tingkat Kabupaten Donggala, instansi pemerintah yang mengurusi hutan rakyat adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Palu–Poso (BPDAS Palu-Poso). Keterlibatan BPDAS Palu-Poso secara teknis yaitu melalui kegiatan Gerhan, sedangkan pihak Dishutbun terlibat sebagai instansi pelaksana di lapangan. Namun demikian keterlibatan kedua instansi tersebut di atas baru pada tahap penyediaan bibit dan penyebaran informasi dan pengetahuan melalui kegiatan penyuluhan. Selain itu, secara kelembagaan belum dibentuk lembaga (usaha dan ekonomi) di tingkat petani yang bersifat permanen (Aspar 2009). Atas dasar informasi tersebut maka dapat dipastikan bahwa usaha pengembangan hutan rakyat oleh para petani sampai saat ini praktis dilakukan secara mandiri. Jadi pola pengembangan yang dilakukan bersifat individual tanpa didukung dengan kemampuan teknis maupun manajemen yang memadai. Oleh sebab itu progres pengembangan hutan rakyat oleh para petani menjadi sangat lambat atau dapat dikatakan terhambat. Menurut Hardjanto (2003), bahwa dalam pengembangan usaha hutan rakyat diperlukan adanya penataan kelembagaan, agar usaha hutan rakyat dapat berkesinambungan melalui inovasi-inovasi maupun intervensi kelembagaan. Dari permasalahan yang ada jelas bahwa usaha hutan rakyat di Kabupaten Donggala belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan kajian-kajian mendalam terhadap upaya-upaya pengembangan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani saat ini yang meliputi aspek produksi, pemasaran, pengolahan, dan kelembagaan. Selanjutnya, perlu pula dikaji bagaimana peran pemerintah terkait dengan upaya-upaya tersebut di atas.
8
Dengan demikian, diharapkan dari hasil kajian tersebut akan diperoleh strategi-strategi khusus yang sesuai dengan kondisi setempat (local specific), dan dapat diimplementasikan di lapangan. Pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala merupakan sesuatu yang penting dan mendesak untuk dilakukan dengan tujuan: a) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; b) untuk memanfaatkan lahan kosong; c) untuk mendukung industri dalam penyediaan bahan baku; dan d) menciptakan lapangan kerja. Berdasarkan uaraian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berkut: 1. Faktor-faktor strategis apa saja yang berpengaruh pada pengembangan usaha hutan rakyat di Kabupaten Donggala. 2. Bagaimana peran pemerintah dalam upaya pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. 3. Strategi yang bagaimana yang dapat diterapkan dalam pengembangan hutan rakyat yang dapat meningkatkan pendapatan petani pemilik hutan rakyat dan mendukung pemenuhan bahan baku industri kayu. 1.3 Tujuan Tujuan Penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi
faktor-faktor
strategis
yang
berpengaruh
terhadap
pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. 2. Menganalisis peran pemerintah daerah (Pemda) dalam upaya pengembangan hutan rakyat. 3. Merumuskan strategi pengembangan hutan rakyat yang mendukung pasokan bahan baku kayu bagi industri pengelolaan hasil hutan kayu. 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan: 1. Dapat bermanfaat sebagai acuan dan sumber informasi bagi para pihak terkait dengan pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat ke depan di Kabupaten Donggala.
9
2. Sebagai masukkan bagi pemerintah daerah dalam menyusun strategi pengembangan hutan rakyat untuk mendukung supply bahan baku industri kayu di Kabupaten Donggala. 1.5 Kerangka Pikir Penelitian Pasokan bahan baku dari hutan alam untuk kebutuhan industri kayu yang berada di Kabupaten Donggala terus menurun dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat sebagai peluang untuk mendorong upaya pengembangan hutan rakyat, sehingga ke depan diharapkan hutan rakyat dapat diandalkan sebagai penyedia bahan baku untuk kebutuhan industri kayu. Proses pengembangan dan keberhasilan pembangunan hutan rakyat ini, sangat bergantung kepada keterlibatan aparat pemerintah pusat maupun daerah, dan masyarakat baik petani dan pihak industri kayu. Karena itu, keterlibatan para pihak tersebut di atas sangat penting dalam rangka menyikapi semakin berkurangnya bahan baku kayu dari hutan alam. Permasalahan hutan rakyat yang muncul pada umumnya meliputi empat aspek yaitu: a) produksi, b) pemasaran, c) pengolahan dan d) kelembagaan. Pada aspek produksi variabel-variabelnya adalah struktur tegakan, potensi produksi, dan upaya pengembanan hutan rakyat. Pada aspek pemasaran meliputi beberapa hal antara lain, yaitu: sistem distribusi, struktur pasar, dan perilaku pasar. Selanjutnya aspek pengolahan yang dimaksud disini adalah semua jenis tindakan/perlakuan yang dapat mengubah bahan baku (kayu bulat) menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Masalah terbesar pada aspek pengolahan saat ini adalah jumlah dan kontiunitas sediaan bahan baku (Hartono 2006). Di samping itu, permasalahan kelembagaan yang mendukung pada setiap aspek juga perlu disempurnakan, agar kinerja usaha hutan rakyat secara keseluruhan menjadi lebih baik. Pada penelitian ini, kajian kebijakan pengembangan hutan rakyat dan industri menjadi kebutuhan mendesak untuk
mengetahui permasalahan-
permasalahan yang ada dalam ke empat aspek tersebut di atas. Selanjutnya dapat dirumuskan strategi-strategi yang dapat digunakan sebagai upaya pengembangan hutan rakyat.
10
Kondisi hutan rakyat di Kabupaten Donggala berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan kecenderungan perkembangan yang belum signifikan. Peran pemerintah malalui Dishutbun Kabupaten Donggala dan BPDAS Palu-Poso masih berbasis proyek. Selanjutnya belum dibentuknya lembaga sosial lainnya oleh petani hutan rakyat dapat menjadi salah satu penyebab lambatnya perkembangan hutan rakyat. Berdasarkan kondisi hutan rakyat tersebut di atas, maka analisis yang pertama dilakukan adalah analisis terhadap aspek produksi yang meliputi: struktur tegakan, potensi tegakan dan upaya pengembangan hutan rakyat. Khusus untuk aspek pemasaran kayu maka akan dilakukan analisis yang meliputi sistem tataniaga kayu rakyat dari petani sampai ke industri kayu, sistem distribusi, struktur pasar dan perilaku pasar. Hasil analisis tersebut di atas diharapkan dapat melengkapi dan sekaligus untuk menjawab tujuan pertama dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif berdasarkan hasil wawancara, kajian pustaka, dan informasi lainnya yang dapat melengkapi dan memperkaya analisis ini. Selanjutnya dilakukan analisis tehadap aspek pengolahan yang meliputi jumlah industri industri kayu, tingkat persediaan bahan baku, produk dan permintaan kayu. Kemudian dilakukan kajian terhadap peran pemerintah pusat dan daerah dalam upaya pengembangan hutan rakyat di Donggala. Hal ini dilakukan untuk mengkaji kebijakan-kebijakan pemerintah dalam upaya pengembangan hutan rakyat, sekaligus mengetahui persepsi masyarakat mengenai peran Pemda dalam upaya pengembangan hutan rakyat. Dalam kajian ini digunakan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan wawancara, kajian pustaka, dan data-data lainnya yang diperoleh di lapangan. Atas dasar informasi yang diperoleh dari hasil analisis terhadap keempat aspek tersebut, kemudain dilakukan analisis strategis dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis ini dilakukan untuk menemukan peubah-peubah strategis internal dan eksternal serta pengaruhnya terhadap sistem pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis tersebut maka dilakukan penyusunan startegi-strategi dengan mengkombinasikan unsusr-
11
unsur internal dan eksternal yang telah ditetapkan. Penyusunan alternatif strategi dilakukan dengan menggunakan diagram dan matriks SWOT, untuk merumuskan arahan strategi pengembangan hutan rakyat untuk menjawab tujuan ketiga penelitian ini. Kerangka pikir yang dibangun dalam rangka penelitian strategi pengembangan hutan rakyat untuk menunjang pasokan bahan baku di Kabupaten Donggala tersebut, secara diagramatis seperti pada Gambar 1. Kerangka pikir penelitian yang secara diagramatis seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Diagram alur pikir penelitian