1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir atau pantai merupakan wilayah yang mempunyai ciri ekologis khas, yang berbeda dengan wilayah ekologis daratan pada umumnya. Wilayah pesisir merupakan tempat peralihan antara daratan dan lautan, yang ditandai oleh perubahan ekologis yang tajam. Wilayah pesisir, terutama daerah muara sungai, juga merupakan wilayah yang sangat subur atau kawasan dengan tingkat produktivitas hayati yang tinggi. Namun demikian, di sisi lain, daerah pesisir dan muara sungai juga merupakan kawasan yang paling rentan terhadap gangguan yang terkait dengan aktivitas manusia. Gangguan tersebut sering menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, termasuk dalam bentuk kerusakan ekosistem atau penurunan kualitas lingkungan pantai. Jika dilihat dari sumber kejadian kerusakan ekosistem pantai/pesisir, menurut Dahuri dkk (1996) jenis-jenis kerusakan lingkungan tersebut sebagian disebabkan oleh faktor luar sistem wilayah pesisir dan sebagian lagi disebabkan oleh faktor-faktor di dalam wilayah pesisir itu sendiri. Proses perubahan ekosistem ini mengakibatkan dampak dalam bentuk perubahan sosial ekonomi suatu kawasan dan pola kehidupan penduduk yang berada pada kawasan tersebut. Hal inilah yang dialami oleh masyarakat di Kawasan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, yang merupakan objek dari penelitian ini. Di antara kawasan-kawasan pesisir lain, Segara Anakan mempunyai ciriciri biogeofisik yang lebih unik. Kawasan tersebut memiliki kemampuan alamiah yang besar untuk menjamin keberlangsungan hubungan timbal balik antara ekosistem daratan, ekosistem estuari dan ekosistem lautan secara serasi, selaras dan seimbang sebagai habitat flora dan fauna langka. Kawasan tersebut merupakan daerah migrasi berbagai jenis satwa yang dilindungi dan daerah asuhan berbagai jenis udang dan ikan bernilai ekonomi tinggi. Selanjutnya, kawasan tersebut juga merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat luas. Karena itu, sangat dapat dipahami bahwa oleh pemerintah, Segara Anakan diposisikan sebagai sumberdaya alam yang merupakan menjadi modal dasar bagi pembangunan daerah, regional dan nasional sehingga perlu dilestarikan kondisi lingkungannya.
2
Selain itu, Segara Anakan ditetapkan sebagai salah satu kawasan konservasi yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 ayat 3 huruf d dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil: ”Ekosistem pesisir yang unik misalnya gumuk pasir di pantai selatan Yogyakarta, Laguna Segara Anakan, ekosistem pesisir Kepulauan Derawan sebagai habitat peneluran penyu laut”. Dan PP. Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN bahwa “Kawasan Kawasan
Ekosistem Strategis
Laguna
Segara
Anakan merupakan salah
satu
Nasional yang perlu mendapat perhatian khusus” dari
pemerintah dan pemerintah daerah. Namun demikian, Segara Anakan menghadapi banyak permasalahan pada berbagai aspek. Permasalahan yang menjadi penyebab utama kerusakan Segara Anakan ini yaitu akibat kerusakan lahan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama DAS Citanduy dan DAS Cimeneng (Purnamaji, 2006) yang salah satunya adalah deforestasi dan degradasi lahan (Prasetyo, 2004). Menurut Asdak (2004), DAS merupakan satuan hidrologi memiliki keterkaitan biofisik antara daerah hulu hingga hilirnya dimana pemanfaatan sumberdaya di hulu akan berdampak pada kualitas DAS bagian tengah dan hilir. Berbagai permasalahan dalam aspek-aspek sosial ekonomi penduduk di sekitar Segara Anakan telah terjadi akibat proses ekologis yang terjadi di Segara Anakan. Konflik lahan, kompetisi ekonomi, penebangan liar, dilema alih fungsi lahan adalah beberapa di antara masalah sosial ekonomi tersebut. Perubahan ekosistem laut menjadi ekosistem darat menyebabkan perubahan pada pola mata pencaharian dari aktivitas penangkapan ikan tradisional (nelayan) menjadi aktivitas di bidang pertanian ataupun industri. Karena relevansi dan urgensinya, berbagai permasalahan tersebut harus segera ditangani dan diselesaikan. Relevansi dan urgensi tersebut terutama terkait dengan keberadaan Segara Anakan sebagai muara beberapa sungai besar dan kecil yang mengalami proses sedimentasi, yang berakibat pada terjadinya pendangkalan laguna di Segara Anakan secara sangat cepat, yang berimplikasi pada timbulnya berbagai permasalahan sosial ekonomi seperti tersebut di atas. Sedimen dihasilkan dari erosi yang diduga akibat intensifnya penggunaan tanah di daerah hulu yang tanpa konservasi. White et al. (1989) melaporkan bahwa kecepatan pengangkutan sedimen dari Sungai Citanduy mencapai 5 juta m3/tahun sedangkan dari sungai Cikonde serta sungai kecil lainnya mencapai
3
7 770.000 m3/tahun. / Dengan kecepa atan angkuta an sedimen dari Cikond de sebesar 7 770.000 m3/tahun, terja adi laju pen ngendapan sebesar 26 60.000 m3/ta ahun. Dari p proses sediimentasi dari sungai-su ungai terseb but, diperkirrakan jumlah h sedimen y yang menge endap di pe erairan Sega ara Anakan adalah seb besar 1 juta a m3/tahun ( (ECI, 1997 dalam d Susanti, 2006). O Oleh karena itu, luas pe erairan Sega ara Anakan t terus menga alami penyusutan denga an laju yang g sangat ting ggi dari tahun ke tahun ( (Gambar 1). Dengan tingginya laju u pengendapan tersebu ut, Atmawidjjaja (1995) b bahkan mem mperkirakan n bahwa pad da tahun 20 015 Laguna Segara Anakan akan b berubah ben ntuknya men njadi daratan n yang ditum mbuhi berbag gai tumbuha an bakau. 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0 1890 1903 1 1944 1959 19 971 1984 1986 199 92 1993 1994 1995 5 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002* 2 2007* 2008*
G Gambar 1.
Pengurang gan Luas Lag guna Segara a Anakan
S Sumber
: Proyyek induk penge embangan wilaya ah Sungai Citan nduy, Cibulan, Ditjen D Pengairan n, Departemen Kimp praswil * *Sumber : Bada an Pengelola Ka awasan Konsenttrasi Segara Ana akan berdasarka an data Landsat type TM hasil interrpretasi citra sate elit * **Sumber : Bada an Pengelola Kawasan Konsentrrasi Segara Anakkan berdasarkan n data SPOT 5 ha asil interpretasi citra satelit
Di dala am konteks sudut panda ang sosial, permasalaha p an-permasallahan yang t terjadi telah h berkemba ang sedemikian komple eks dan be ertautan satu dengan l lainnya. Ma asalah konfflik lahan, misalnya, terjadi t karena akibat perbedaan p pandang m mengenai pe emanfaatan tanah timbul yang terbentuk dari proses s sedimentasi . Masyaraka at pertanian memandan ng bahwa tanah timbul merupakan m l lahan pertanian, yang selayaknya a dapat dike embangkan untuk lahan garapan m melalui eksttensifikasi pe ertanian. Se ementara itu u, nelayan, terutama t yang terkena d dampak sed dimentasi me enganggap bahwa mere eka memiliki hak tradisi atas lokasi t tanah timbu ul, karena lo okasi terseb but adalah lokasi dima ana pada masa-masa m s sebelumnya a mereka melakukan m ke egiatan eko onomi. Deng gan dasar ittu, mereka
4
beranggapan meletakkan klaim atas lahan-lahan tersebut, untuk membuka peluang alih profesi menjadi petani maupun untuk pengembangan ekonomi yang terkait dengan perikanan, misalnya pertambakan. Lebih lanjut, berkembang masalah lain, dimana ekstensifikasi lahan pertanian tersebut ternyata juga berpengaruh terhadap ekosistem kehidupan sumberdaya hayati ikan, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan secara drastis. Masalah konflik lahan juga diperparah oleh keterbatasan ekonomi alternatif. Akibat meluasnya areal tanah timbul di Kawasan Segara Anakan, sejumlah besar nelayan yang kehilangan sumber penghidupan berupaya beralih mata pencaharian, dari yang semula berbasis kelautan menjadi berbasis darat. Namun, keterbatasan ekonomi alternatif di wilayah tersebut membuat pilihan alih pencaharian menjadi terbatas. Sebagian dari mereka berhasil menguasai petak tanah timbul dan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian. Sebagian dari mereka tidak berkesempatan untuk mendapatkan penguasaan atas timbul maupun kesempatan di sektor perekonomian lain; akibatnya, seperti yang dilaporkan oleh Sastranegara et al (2007) hutan mangrove mereka konversi menjadi lahan pertanian. Perubahan kondisi sosial ekonomi tersebut berlangsung sangat cepat, seiring dengan kecepatan kerusakan lingkungan yang terjadi. Sumberdaya perikanan di laguna misalnya, telah mengalami penurunan sebesar 50% dari produksi 10 tahun yang lalu. Lebih menghawatirkan, perubahan drastis ini ternyata tidak hanya berdampak pada penduduk Kampung Laut yang berada pada wilayah utama laguna Segara Anakan, yang masih menggantungkan hidupnya sebagai nelayan, melainkan juga pada sejumlah besar nelayan pantai selatan di wilayah lain di Pulau Jawa. Produksi perikanan tangkap air payau dan perairan umum (sungai) di Kabupaten Cilacap pada tahun 2000-2009 dapat dilihat pada Gambar 2. Produksi perikanan tangkap air payau dari Kampung Laut menyumbang sebesar 28,24% dan produksi perikanan tangkap perairan umum (sungai) dari Kampung Laut menyumbang sebesar 41,10% pada tahun 2009. Produksi perikanan ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2006 yang menyumbang 39,85% dari perikanan air payau dan 77,61% dari perikanan perairan umum sungai. Perbandingan produksi terhadap nilai volume ikan dan udang di Kabupaten Cilacap dari tahun 1998-2009 dapat dilihat pada Gambar 3.
5
g) Produksi (Kg 1.400.000 1.200.000 1.000.000 800.000
Air Payau Sungai
600.000 400.000 200.000 2001
2003
2004
2005
200 06
2007
20 008
2009
Tahun
Produksi Perikanan P Ta angkap Air Payau P dan P Perairan Umu um (Sungai) dii Kabupaten Cilacap, 20 001-2009 (Su umber: BPS S 2010)
60
12
50
10
40
8
30
6
20
4
10
2
-
98 199
1999
2000 0
Produksi Ikan
G Gambar 3.
2001
2002
2003
Produksi Uda ang
2004
2005
2006
Nilai Produksi P Ikan
2 2007
2008
20 009
Nilai Produk ksi Udang
Perbanding gan Produkssi terhadap Nilai N Volume e Ikan dan Udang U di Kabupaten n Cilacap, 19 998-2009 (Sumber: BPS S, 2010)
Volume Produksi (Juta Ton)
Nilai Produksi (Milyar Rupiah)
G Gambar 2.
2002 2
6
Selain karena terbatasnya mata pencaharian alternatif, alih profesi bagi masyarakat nelayan juga tidak mudah karena berbagai alasan, misalnya masalah budaya, keterbatasan keahlian, dan pola perilaku. Sebagaimana hasil pengamatan
Mubyarto
(1984),
nelayan
pada
umumnya
tidak
mudah
membayangkan untuk memiliki pekerjaan lain, yang dimungkinkan oleh kemampuan yang mereka miliki. Keterampilan nelayan bersifat amat sederhana dan hampir sepenuhnya dapat dipelajari dari orangtua mereka sejak kecil, sedangkan bisang pekerjaan lain pada umumnya memerlukan keterampilan yang lebih sulit untuk dipelajari. Nelayan di bagian utara laguna, yang kehilangan sumber penghidupan sebagai nelayan akibat makin meluasnya tanah timbul pada umumnya kemudian memanfatkan tanah tersebut sebagai lahan pertanian. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan perambahan hutan mangrove oleh petani untuk mencukupi kebutuhan akan lahan pertanian mereka. Hal ini menyebabkan masalah lain, yaitu kerusakan mangrove yang merupakan tempat perlindungan bagi beberapa hewan darat dan burung serta tempat memijahnya biota laut. Hasil penelitian Dudley (2000) menyatakan bahwa sebanyak 8% ikan dan 34% udang yang tertangkap oleh nelayan di perairan sekitar Pesisir Selatan Jawa menetas dan dibesarkan di laguna Segara Anakan, jumlah tersebut senilai US$ 8,3 juta per tahun. Kondisi internal masyarakat Segara Anakan diperparah dengan adanya faktor luar yang ikut mempengaruhinya. Saat ini, telah banyak petambak dari luar daerah yang memulai usaha budidaya di wilayah Segara Anakan. Sebagian masyarakat lokal mendapatkan kesempatan untuk mempelajari teknologi dari luar tersebut dan kemudian terdorong untuk membuka lahan mangrove dan mengkonversinya menjadi areal-areal pertambakan. Jelas bahwa permasalahan sosial ekonomi yang disebabkan oleh persoalan ekologis ini pada gilirannya telah berdampak kembali pada ancaman ekologis yang lebih besar. Hutan mangrove Segara Anakan yang merupakan detritus penting bagi kelangsungan food web di perairan selatan Pulau Jawa menjadi makin terdegradasi. Dan, dapat dipastikan bahwa siklus kerusakan yang terjadi secara interaktif antara aspek-aspek sosial dan aspek-aspek ekologis akan terus bergulir kecuali dilakukan tindakan yang cepat dan tepat. Berikut adalah gambaran ilustratif yang diberikan oleh Al Amin (2002) terkait siklus kerusakan tersebut (Gambar 4).
7
Sedimentasi dari hulu DAS
Penurunan/degradasi: - Ekosistem mangrove - Ekosistem perairan
Degradasi food web dan ekosistem di SA
Ekosistem Pemukiman (Daratan)
Ekosistem Daratan meningkat
Penduduk pendatang dan luar Kampung Laut
Produksi perikanan laut SA menurun
Gambar 4.
Ekosistem Tambak
Ekosistem Pertanian
Petani bertambah
Petambak bertambah
Alih mata pencaharian nelayan di SA
Siklus Kerusakan Lingkungan di Segara Anakan (Al Amin, 2002)
Permasalahan dan berbagai penyebabnya saling terkait, mencakup aspek ekologis dan aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat, yang terintegrasi dalam sebuah sistem. Integrasi seperti itu dikenal sebagai Social-Ecological Systems (SES) (Adrianto dan Aziz, 2006). Mengacu pada gejala yang ditunjukkan oleh berbagai permasalahan di Segara Anakan sebagaimana dipaparkan di atas, paradigma yang membicarakan unit ekosistem yang dihubungkan dengan dan dipengaruhi oleh sistem sosial yang ada dimana ada keterkaitan antara aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia, jelas merupakan suatu hal yang sangat relevan. Pemahaman terhadap potensi dinamika sosial-ekologi telah menyadarkan perlunya pengembangan pendekatan untuk beradaptasi terhadap potensi tersebut. Dalam konteks ini, adaptasi dimaksudkan sebagai kemampuan sistem sosial dan ekologi yang terkait sangat erat, kemampuan tersebut diperlukan untuk menghadapi situasi-situasi baru tanpa mengurangi kesempatan untuk mendapatkan pilihan-pilihan di masa depan, yang menurut Folke et al. (2002) kata kuncinya adalah resiliensi. Dengan adanya resiliensi, sistem ekologi dan sosial akan mampu untuk menyerap kejutan dan pada saat yang sama mempertahankan fungsinya. Dalam peristilahan Gunderson and Holling, 2002; Berkes et al., 2002), resiliensi menyediakan komponen-komponen yang
8
dibutuhkan untuk pembaruan dan pengorganisasian kembali pada saat terjadinya perubahan. Mengacu pada konsep tersebut dan mempertimbangkan latar belakang permasalahan sebagaimana dipaparkan diatas, maka upaya identifikasi resiliensi berdasarkan penggambaran sistem sosial-ekologis di Segara Anakan adalah relevan dan urgen. Atas dasar itu pula, penelitian ini dirancang untuk difokuskan pada penyusunan model resiliensi masyarakat di Laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah.
1.2. Perumusan Masalah Perairan Laguna Segara Anakan yang menghubungkan kota Cilacap dan Pangandaran merupakan sebuah sistem ekologis yang memerankan fungsi sosial penting bagi komunitas padat penduduk di wilayah itu. Namun demikian, fungsi tersebut terganggu akibat berbagai tekanan yang terjadi pada sistem ekologis yang ada. Laguna Segara Anakan yang selama ini diandalkan oleh penduduk untuk menopang berbagai aktivitas ekonomi sosial, merupakan tempat bermuaranya berbagai sungai yang saat ini sedang mengalami percepatan pendangkalan dan pertumbuhan daratan baru (dalam bentuk mud flat). Ekonomi lokal yang sejak semula tergantung pada keberadaan laguna, yaitu perikanan, menjadi sangat terganggu; sementara itu, daratan baru yang terbentuk oleh proses sedimentasi berkembang menjadi lahan sengketa. Konflik sumberdaya di sekitar laguna kemudian terjadi di antara penduduk lokal maupun dengan pelaku ekonomi dari luar wilayah itu dalam hal akses terhadap lahan garapan dan sumber air, mangrove dan wilayah penangkapan. Rencana intervensi kebijakan dalam bentuk pengalihan alur Sungai Citanduy, yang diperkirakan dalam meredam konflik-konflik tersebut untuk sementara ini belum dapat dilaksanakan karena diperkirakan akan menyebabkan konflik-konflik dalam bentuk lain. Sungai Citanduy, yang berada di sebelah barat dari laguna merupakan sumber sedimentasi di wilayah ini sehingga apabila alur sungai tersebut dialihkan, diperkirakan pendangkalan akan dapat diperlambat dan sumbersumber konflik dapat ditekan. Potensi konflik baru tersebut adalah misalnya terkait dengan kepentingan masyarakat di wilayah lain, dimana alur sungai akan diarahkan,
yaitu
wilayah
Pangandaran.
Sejumlah
besar
masyarakat
Pangandaran selama ini mengandalkan ekonomi rumah tangganya pada pesisir
9
wilayah tersebut sebagai area wisata; dengan demikian, pengalihan alur sungai ke Pangandaran besar kemungkinan akan mengancam keberlanjutan aktivitas ekonomi masyarakat di sekitarnya. Untuk kondisi sosial dan ekologis yang terjadi pada saat ini, intervensi kebijakan dengan cakupan spasial yang lebih rendah, misalnya pengerukan muara sungai, pun belum mampu untuk menurunkan tingkat permasalahan sosial ekonomi di Segara Anakan secara signifikan. Untuk kondisi sosial saat ini, pengerukan reguler muara sungai oleh sebagian pengamat diperkirakan berpotensi memunculkan ketidakadilan distribusi dan merupakan sumber konflik baru. Hal ini terutama karena sedimentasi yang terus berlanjut, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5 sebenarnya merupakan hal yang positif bagi petani, meskipun nelayan memandangnya sebagai sesuatu yang negatif, karena menyebabkan penurunan hasil tangkapan.
Gambar 5.
Sedimentasi di Kawasan Laguna Segara Anakan
Permasalahan berlanjut dan semakin pelik dengan semakin merosotnya kondisi sosial ekonomi maupun ekologis di kawasan Segara Anakan. Kemiskinan penduduk yang meningkat, ketidakpastian status hukum mengenai kepemilikan lahan, tingginya perambahan hutan mangrove, serta merebaknya penggunaan jaring apong, meluasnya wilayah banjir (Purnamaji, 2006) adalah beberapa contoh di antaranya.
10
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa permasalahan sosial ekonomi yang terjadi di Segara Anakan mengaitkan banyak aspek, baik internal maupun eksternal. Gambar 6 merangkum dalam bentuk diagram, saling keterkaitan antar permasalahan tersebut di atas, termasuk keterkaitannya dengan permasalahan yang terjadi di bagian hulu dari sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan dengan model DPSIR (Driving-Force-Pressure-State-Impact-Respon). TEKANAN LINGKUNGAN/ ENVIRONMENTAL PRESSURES (P)
FAKTOR PENGGERAK/ DRIVERS (D)
• Pemicu di hulu: alih fungsi lahan, illegal logging, letusan gunung • Pemicu di hilir: populasi penduduk, eskalasi eksploitasi sumberdaya
PERUBAHAN KONDISI LINGKUNGAN/ ENVIRONMENTAL STATES CHANGES (S)
Sedimentasi, pendangkalan laguna, penurunan produktivitas ikan, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, penebangan bakau, perambahan hutan
Penurunan pendapatan, kemiskinan nelayan, peningkatan kebutuhan lahan pertanian, penurunan lahan produksi
DAMPAK/ IMPACTS (I)
RESPON/ RESPONSES (R)
Peningkatan masalah sosial ekonomi, konflik lahan, penurunan resiliensi masyarakat
• Kebijakan ekonomi: alih mata pencaharian, • Kelembagaan: BPKSA • Teknologi: pengerukan laguna, sudetan sungai Gambar 6.
Kerangka Permasalahan di Laguna Segara Anakan dengan Pendekatan DPSIR
Berdasarkan uraian permasalahan pokok tersebut di atas maka pertanyaan penelitian (research question) adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur sistem sosial-ekologi yang ada di Segara Anakan? 2. Sejauh mana tingkat resiliensi masyarakat di Segara Anakan sehubungan dengan berbagai permasalahan di atas?
3. Bagaimana
model
peningkatan
resiliensi
masyarakat
yang
dapat
diaplikasikan untuk kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekosistem Segara Anakan yang lestari?
11
1.3. Tujuan Penelitian Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan diatas, maka tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan terhadap perubahan lingkungan terkait dengan sistem sosialekologis yang melingkunginya. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi struktur sistem sosial-ekologis Segara Anakan saat ini. 2. Mengidentifikasi tingkat resiliensi masyarakat Segara Anakan. 3. Menyusun model peningkatan resiliensi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekologis.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat : 1. Menghasilkan informasi ilmiah mengenai struktur sistem sosial-ekologis di laguna Segara Anakan saat ini. 2. Menghasilkan informasi ilmiah mengenai resiliensi masyarakat pesisir dalam beradaptasi dengan perubahan berupa ancaman/gangguan, baik yang bersifat cepat ataupun lambat, di Segara Anakan, untuk diaplikasikan di wilayah lain. 3. Menyediakan masukan bagi pemerintah dalam merancang intervensi kebijakan terkait resiliensi masyarakat Segara Anakan maupun di tempat lain.
1.5. Kerangka Pemikiran Konsep pembangunan berkelanjutan telah diadopsi di berbagai negara untuk diimplementasikan dalam kegiatan pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan dan kegiatan ekonomi. Dalam kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus menyeimbangkan interaksi antara ketiga aspek sekaligus yakni pertumbuhan ekonomi (economic viability), kesesuaian ekologis (ecologically compatibility) dan penerimaan secara sosial (social acceptability).
12
Dalam kaitan dengan pembangunan wilayah pesisir, terdapat karakteristik dan dinamika masyarakat pantai serta faktor-faktor ekonomi, ekologi dan sosial yang berlaku pada masyarakat yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan. Wilayah pesisir memiliki karakteristik khusus yang lebih kompleks dibanding daratan atau lautan. Hal ini karena terdapat interaksi antar ekosistem di wilayah pesisir dan juga interaksi masyarakat wilayah pesisir yang sangat dinamis, baik antar masyarakat sendiri maupun interaksi antara masyarakat dengan ekosistem pesisir. Interaksi ini disebut sistem sosial-ekologis atau SES. Dinamika sistem sosial-ekologis di Segara Anakan ditunjukkan dengan adanya interaksi antara sistem alam (laguna) dan sistem sosial (manusia) dalam memanfaatkan ekosistem laguna. Interaksi ini mengakibatkan ekosistem laguna saat ini mengalami degradasi yang diakibatkan baik oleh fenomena alam maupun akibat aktivitas manusia. Sehingga dengan menggunakan pendekatan SES diharapkan mampu meningkatkan ketahanan (resilience) terkait dengan kerentanan pemanfaatan sumberdaya ekosistem laguna. Adapun kerangka pemikiran model resiliensi masyarakat di laguna Segara Anakan tertera pada Gambar 7.
Gambar 7.
Kerangka Pemikiran Model Resiliensi Masyarakat di Segara Anakan (diadaptasi dari Turner et al., 2003)
Gambar 7 menunjukkan bahwa tekanan/gangguan baik pada sisi lingkungan maupun sosial-ekonomi akan berdampak pada dinamika sistem sosial-ekologis di Segara Anakan. Pemahaman terhadap potensi dinamika
13
sosial-ekologi telah menyadarkan perlunya pengembangan pendekatan untuk beradaptasi terhadap potensi tersebut. Dalam konteks ini, adaptasi dimaksudkan sebagai kemampuan sistem sosial dan sistem ekologi yang terkait sangat erat, kemampuan tersebut diperlukan untuk menghadapi situasi-situasi baru tanpa mengurangi kesempatan untuk mendapatkan pilihan-pilihan di masa depan, hal ini disebut resiliensi. Sebagaimana sistem sosial-ekologis mengalami perubahan secara
konstan,
resiliensi
adalah
unsur
pusat
untuk
mempertahankan
berlanjutnya kehidupan yang dapat menggeser tujuan utama kebijakan dari mengontrol sistem yang stabil menjadi kemampuan sistem untuk bertahan dan beradaptasi terhadap resiko dan perubahan. Atas pemikiran tersebut maka perlu dilakukan penilaian bagaimana peningkatan resiliensi masyarakat menghadapi perubahan baik yang bersifat mendadak ataupun gradual pada laguna Segara Anakan.
1.6.
Novelty Kebaruan dari penelitian ini adalah:
1. Lokasi penelitian dilakukan di laguna Segara Anakan
yang merupakan
suatu ekosistem yang unik dengan karakteristik spesifik.
2. Pendekatan praktis dan teoritis selama ini baik di Segara Anakan maupun dalam penanganan permasalahan sosial dan lingkungan pada umumnya menggunakan pendekatan yang cenderung memisahkan aspek sosial dan aspek ekologis. Kalaupun ada pendekatan yang mengakomodasikan kedua aspek, hampir tidak pernah akomodasi tersebut dilakukan dalam format terintegrasi sebagaimana dalam pendekatan SES.
3. Interaksi antara sistem ekologi dan sistem sosial di laguna Segara Anakan sangat kuat, karena terdapat ketergantungan sistem sosial terhadap sistem ekologi. Sistem sosial sangat sensitif terhadap perubahan sistem ekologi. Perubahan
sistem
ekologi
yang
terjadi
merupakan
akumulasi
dari
perubahan-perubahan sistem ekologi dan sosial dari wilayah hulu dan hilir DAS, serta dinamika perairan laut.
4. Pendekatan yang digunakan dalam riset ini lebih memandang penting aspek hilir atau adaptasi, karena upaya-upaya mitigasi termasukan pengerukan laguna salah satunya telah terbukti tidak efektif.
14