I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pengesahan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara pada tanggal 12 Juni 2009 oleh Presiden Republik Indonesia berikut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tujuannya antara lain untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan di zaman orde baru yang telah banyak menimbulkan polemik karena motif kebijakan politik ekonomi. Hal ini disebabkan karena pada ketentuan pelaksanaan pertambangan Undang-Undang Pokok Pertambangan jaman orde baru bersifat liberal dan kapitalis. Bagi investor asing Undang-Undang ini cukup memberikan angin segar untuk melakukan investasi dalam bentuk kontrak karya, sedangkan bagi pemerintah merupakan sektor yang cukup signifikan dalam memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan penerimaan negara, dan bagi para-pihak hal ini menjadi sensitif bahkan telah menimbulkan isu-isu negatif bagi lingkungan dan menimbulkan kemiskinan serta ketimpangan wilayah. Undang-Undang Mineral dan Batubara yang baru sangat diharapkan berfungsi sebagai pilar dan lokomotif baru yang memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada pemerintah. Undang-Undang ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan dalam mengelola sumberdaya mineral, namun hal ini merupakan tantangan sekaligus kesempatan untuk mewujudkan desentralisasi politik dan bukan hanya sekadar desentralisasi manajemen. Hal ini merupakan babak baru dalam penataan kelembagaan pemerintahan daerah. Kebijakan dan program yang sentralistis tidak dapat ditempatkan lagi sebagai pendekatan pembangunan, yang pada akhirnya memunculkan persoalan-persoalan baru dan mengganggu kinerja pemerintah daerah. Eksistensi Undang-Undang Minerba dan turunannya belum sepenuhnya dapat menyelesaikan persoalan pembangunan ekonomi di sektor pertambangan yang berwawasan lingkungan bahkan terkesan tidak memberikan dampak positif
2 terhadap pembangunan wilayah karena masih menyisahkan beberapa persoalan mendasar yang belum terakomodir di dalamnya, antara lain mengenai tidak jelasnya
aspek
kelembagaan
yang
menjadi
wadah
para
pihak
untuk
memanifestasikan amanat Undang-Undang Minerba yaitu tidak lepas dari amanat pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 sebagai dasar penguasaan dan pengelolaan sumberdaya berdasarkan demokrasi ekonomi. Saat ini salah satu daerah Kabupaten di Indonesia yang sedang giat membangun adalah Kabupaten Bone Bolango yang dibentuk atas dasar UndangUndang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Pohuwato (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4269). Kabupaten Bone Bolango memiliki luas 188.006,43 hektar dimana 142.664,38 hektar atau 75,88 persen adalah kawasan hutan (kawasan Lindung TN) sedangkan kawasan pemanfaatan (budidaya) 45.326,5 hektar atau 24.22 persen. Luasnya kawasan hutan ini akan mempersulit pemerintah Kabupaten Bone Bolango dalam merencanakan dan menyusun tata ruang. Hal ini nampak pada Gambar 1 berikut menunjukkan peta pola ruang Kabupaten Bone Bolango.
Sumber: BAPPEDA 2011
Gambar 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Bone Bolango
3 Berdasarkan aspek geologis Kabupaten Bone Bolango merupakan bagian aktivitas perbenturan lempengan Australia/Papua dengan lempengan Asia yang terjadi 15-25 juta tahun yang lalu. Kegiatan vulkanis dan tektonis mengakibatkan terbentuknya rangkaian pegunungan yang timbul dari dasar laut terangkat oleh lempengan Australia dan retakan dasar kristal lempengan Asia menimbulkan batuan yang berbeda antara bagian yang timbul dan tenggelam. Formasi vulkanis tertua dengan batuan vulkanis dasar terdapat di sebelah Timur dan Selatan lembah Dumoga dan membentuk rangkaian pegunungan ke pantai Utara Labuan Uki. Pada bagian Selatan Gunung Mogogonipa terdapat gunung-gunung kecil yang terdiri dari batuan lava, konglomerat, dan breccia. Gambar 2 menggambarkan aspek geologi di Pulau Sulawesi termasuk Kabupaten Bone Bolango.
Sumber: BAPPEDA 2011
Gambar 2. Peta Aktivitas Geologi di Pulau Sulawesi Formasi geologi di wilayah ini (pulau Sulawesi) mengandung deposit mineral dengan nilai ekonomi yang tinggi yaitu batuan instrusi yang mengandung biji timah dan emas. Kabupaten Bone Bolango merupakan bagian dari proses rangkaian potensi tumbukan yang menyebabkan wilayah ini umumnya berbukitbukit. Selain tumbukan yang berasal dari utara (Laut Sulawesi) juga terdapat tumbukan yang berasal dari sebelah timur pulau sulawesi. Adanya proses geologi seperti itu, menyebabkan di daerah ini terjadi mineralisasi sehingga menjadi salah
4 satu daerah potensial untuk pengembangan usaha pertambangan terutama di Kabupaten Bone Bolango. Pada awalnya pengembangan kawasan diarahkan sebagai penggerak perekonomian wilayah (prime mover) yang memiliki kriteria sebagai daerah cepat tumbuh dibandingkan daerah lainnya. Kabupaten Bone Bolango memiliki sektor pertambangan cukup potensial untuk dijadikan unggulan dan memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah sekitar (hinterland). Hal ini nampak pada peta potensi sumberdaya mineral pada (Gambar 3).
Cu-Au
Cu-Au-Ag Cu-Au-Ag Sumber: Dept. ESDM 2008
Cu-Au-Ag (lokasi penelitian)
Gambar 3. Peta Potensi Cu-Au-Ag di Provinsi Gorontalo Hasil eksplorasi potensi tambang di kawasan ini telah dilakukan sebelum adanya Surat Keputusan Penetapan kawasan ini menjadi Taman Nasional pada tahun 1991. Eksplorasi dimulai sejak tahun 1982 dan dari hasil eksplorasi pemerintah telah mengeluarkan data melalui Kementerian Pertambangan dan Energi RI bahwa kawasan tersebut termasuk dalam daftar cadangan nasional. Sejak tahun 2006 kawasan tersebut dapat dimanfaatkan dengan tanpa mengurangi fungsi ekologi yang terdapat di sekitar kawasan. Pembangunan daerah yang dilakukan pemerintah maupun swasta dan masyarakat dewasa ini nampaknya tidak terjalin suatu keterpaduan dalam hal pemanfaatan ruang. Hal tersebut menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan
5 seperti meluasnya pemukiman kumuh, tidak efisiennya penggunaan lahan, rendahnya tingkat pelayanan umum dan kebersihan lingkungan. Dampak yang muncul adalah makin menyulitkan terjangkaunya pelayanan prasarana dan sarana dasar bagi masyarakat karena tidak adanya paduserasian antar kawasan. Tabel 1 menunjukkan potensi sumber daya mineral di Kabupaten Bone Bolango yang memiliki nilai ekonomi yang cukup prospektif untuk dimanfaatkan meskipun hasil penelitian eksplorasi ini masih perlu diperkuat lagi akurasinya. Dengan asumsi perhitungan cadangan Au dan Cu pada tahun 2006, maka total jumlah sumberdaya mineral yang ada dalam kawasan tersebut sebesar $ 10,5 miliyar atau sama dengan nilai dalam Rupiah 100 Triliyun. Perhitungan ini dilakukan dengan asumsi produksi rata-rata (flat production) dengan nilai kontrak karya selama 30 tahun. Sesuai informasi yang diperoleh dan dalam kegiatan pertambangan jarang ditemui asumsi produksi rata-rata, biasanya produksi dalam kegiatan pertambangan selalu mengalami peningkatan (Ekawan, 2010 ). Tabel 1. Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral dan Tambang ($ miliyar) di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2006 Daerah Bijih (juta ton)
Cabang Sungai Kayu Kiri East Mak Bulan 139,6 82
Kadar (%) Cu
Kand. Logam (ton) Nilai (103 US$) Kand. Logam (ton) Nilai (103 US$)
Ag
75
3,5
0,43
0,77
0,62
1,63
600,28
631,4
465
5,705
1.702.385
2.701.260 2.841.300 2.092.500
25,672
7.660.732
Kadar (g/t) Au
Tulabolo jumlah
0,58
0,39
0,53
4,8
80,97
31,98
24,75
16,8
154,5
1.431.807
565.508
437.659
297.077
2.732.051
Kadar (g/t)
-
-
-
94,5
Kand. Logam (ton)
-
-
-
330
330
Nilai (103 US$)
-
-
-
100.794
100.794
Total Nilai (103 US$) Nilai
4.133.067 3.406.808 2.530.159
Sumber: Departemen ESDM 2006 (dalam Feasibility Study/FS)
297.103 10.392.783
6 Pada tahun 2008, Departemen Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) melakukan perhitungan ulang tentang cadangan sumberdaya mineral yang ada di kawasan tersebut dan hasilnya telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan seiring dengan harga logam mulia dan ikutannya mengalami kenaikan. Hasil perhitungan tersebut meningkat hampir 2 kali lipat dengan nilai cadanga sebelumnya yaitu sekitar $ 18,9 milyar atau setara dengan nilai rupiah Rp 190 trilyun. Data terperinci terdapat pada Tabel 2 berikut. Perhitungan ini akan terus meningkat seiring dengan harga logam mulia dan ikutannya di pasar dunia, karena harga di pasar dunia pada tahun 2008 berkisar $103,4/troy/once dan pada tahun 2010 harga emas di pasar dunia telah meningkat berkisar $ 1130,3 /troy/once.
Tabel 2. Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral Tahun 2008 Daerah
Cu
Au
Cabang Kiri Sungai Mak Kayu Bulan Tulabolo jumlah East Bijih (juta ton) 139,6 82 75 3,5 Kadar (%) 0,43 0,77 0,62 1,63 Kand. Logam 600,28 631,4 465 5,705 1.702.385 (ton) Nilai (103 US$) Kadar (g/t) Kand. Logam (ton)
4.970.318
5.227.992
3.850.200
47,236
14.095.746
0,58 80,97
0,39 31,98
0,53 24,75
4,8 16,8
154,5
Nilai (103 US$) (g/t) Kadar
2.419.753 -
955,708 -
739,643 -
502,06 94,5 330
4.617.164
4.133.067
3.406.808
2.530.159
100.794 423,543
100.794 18.903.410
Kand. Logam (ton) Nilai (103 US$) Nilai (103 Total Nilai US$) Ag
330
Sumber: Dep.ESDM. RI 2008
Sementara itu pada kawasan tumpang tindih, Departemen Energi Sumber Daya Mineral mengeluarkan alokasi pemanfaatan sumberdaya emas berupa kontrak Karya Generasi II tahun 1971 berpayung pada Undang-Undang Pertambangan No 11 tahun 1967 kepada PT. Tropic Endeavour Indonesia. Wilayah kelola kontrak karya tersebut berada di blok 2 Tombulilato dengan luas lebih dari 26.000 hektar, dimana 14.000 hektar masuk dalam kawasan Taman
7 Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBWN). Namun demikian kawasan ini belum sempat dieksploitasi, jangka waktu kontrak karya tersebut berakhir dan diperbarui kembali melalui Kontrak Karya Generasi VII pada tahun 1998 (Gambar 4). Konsesi pertambangan tersebut dikuasasi oleh PT Gorontalo Mineral yang merupakan perusahaan patungan antara Internasional Minerals Company (80 persen) dan PT. Aneka Tambang (20 persen).
Gambar 4. Peta Blok 1 dan 2 Kontrak Karya PT.Gorontalo Mineral
Kawasan konservasi, termasuk Taman Nasional merupakan salah satu bentuk alokasi pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat sektoral. Penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah (Kemenhut RI), melalui keputusan hukum yang sah. Namun di sisi lain keberadaan kandungan sumberdaya alam di wilayah melalui Kementerian ESDM, juga memberikan ijin kepada pihak-pihak tertentu untuk melakukan kegiatan ekstraksi di kawasan yang sama dengan keputusan hukum yang sah pula. TNBNW merupakan kawasan konservasi yang terletak di dua Provinsi, yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara, seperti yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No.731/Kpts-II/91 jo SK Menteri Kehutanan No. 1068/Kpts-II/1992 jo SK Menteri Kehutanan No. 1127/Kpts-II/92. Kawasan ini memiliki luas 287.115 hektar. Kawasan TNBNW yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo meliputi luas kurang lebih 110.000 hektar, yang sebelumnya berupa Suaka Margasatwa Bone dengan
8 luas yang sama melalui SK Menteri Pertanian No. 746/Kpts/Um/12/1979, yang ditunjukkan pada (Gambar 5).
Gambar 5. Peta Penunjukan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Berdasarkan data di atas, maka wajarlah cadangan sumberdaya mineral ini menjadi target para pihak karena jumlah cadangan tersebut sangat menjanjikan kemaslahatan ekonomi yang apabila tidak diatur dengan baik potensi konflik terbuka sangat memungkinkan akan terjadi. Berdasarkan pengamatan di atas maka sangatlah mendesak untuk melakukan langkah pro-aktif dan antisipatif dalam rangka menyiapkan perumusan dan penetapan kebijakan penanganan konflik alokasi
pemanfaatan
sumberdaya
alam
yang sekaligus
memberdayakan
masyarakat lokal. Melalui kegiatan ini, pemerintah Kabupaten Bone Bolango berinisiatif untuk mencari bentuk-bentuk alternatif pemanfaatan sumberdaya alam yang mampu menyelaraskan kepentingan berbagai pihak menuju tiga tujuan utama: 1) merupakan pembelaan terhadap eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan, 2) derajat kesejahteraan sosial masyarakat, dan 3) pertumbuhan ekonomi yang mampu menjamin daya hidup generasi mendatang. Namun demikian harapan tak akan terwujud tanpa dukungan konstruktif semua pihak berkepentingan. Hal ini nampak pada peta (Gambar 6) berikut yang
9 menggambarkan aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah konsesi kontrak karya PT Gorontalo minerals di Desa Bangio Kecamata Suwawa Timur.
Gambar 6. Peta Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin di Lokasi Kontrak Karya Situasi ini pada gilirannya telah melahirkan hubungan persaingan antara negara dan masyarakat sekitar yang juga menjurus pada terjadi konflik , terutama ketika terjadi “kekosongan” kelembagaan formal baik TN sebagai pengelola kawasan
konservasi
maupun
perusahaan
sebagai
pemegang
konsesi
pertambangan. Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) kemudian muncul sebagai kelembagaan informal atau ekonomi bayangan mengisi ketidakpastian status penguasaan SDA negara. Tindakan eksploitasi tersebut juga dimungkinkan sebagai bentuk kompensasi dan menjadi instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan SDA. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa potensi pertambangan emas yang berada di kawasan TNBNW ini sebagai sumberdaya alam penting bagi daerah, yang jika memungkinkan untuk dimanfaatkan, dapat menjadi sumber pendapatan daerah untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Persoalan dinamika pembangunan yang begitu tinggi yang berkaitan dengan pola pemanfaatan dan peruntukan ruang dan tuntutan Undang Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka untuk penataan kawasan lindung, pemerintah daerah berinisiasi untuk mencari solusi yang berdasarkan Undang-
10 Undang dan Peraturan Pemerintah melakukan kajian dan mengusulkan perubahan kawasan konservasi ini melalui Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo melalui proses di tingkat kabupaten agar menyampaikan peta usulan perubaha kawasan untuk ditandatangani oleh para Bupati dan Gubernur Gorontalo untuk diusulkan kepada menteri Kehutanan RI. Peta Rekomendasi Tim Terpadu dapat dilihat pada (Gambar 7).
Wilayah yg diturunkan statusnya
Gambar 7. Overlay Peta Rekomondasi Perubahan Kawasan Hutan dengan Peta Kawasan Hutan yang Dimutakhirkan dalam RTRWP Gorontalo Melalui mekanisme persetujuan DPR RI dan sesuai amanah UndangUndang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 19 ayat 2, pada tanggal 25 Mei 2010 Menteri Kehutanan RI menetapkan peta perubahan dan penunjukan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.324 tahun 2010 tentang perubahan kawasan Hutan dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No 325 tahun 2010 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dalam Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo setelah proses dan tahapan kajian Tim Terpadu dalam memberikan pertimbangan rekomendasi ilmiah berdasarkan hasil kajian juga dikonsultasikan dengan komisi IV DPR RI. Hal tersebut nampak pada
11 peta penunjukkan kawasan hutan Kabupaten Bone Bolango (Gambar 8). Perubahan Kawasan Hutan Konservasi di kabupaten Bone Bolango menarik untuk dikaji karena kawasan tersebut merupakan bagian kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Bone Bolango dengan isu pokok yaitu adanya pemukiman, perkebunan, peladangan berpindah, perambahan hutan, penambangan tanpa izin, penurunan kualitas air, adanya izin kontrak karya sebelum terbentuknya kawasan TN.
Wilayah setelah diturunkan statusnya
Gambar 8. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Kabupaten Bone Bolango 2010
Mencermati persoalan diatas dihasilkan beberapa rumusan pemikiran yaitu: 1.
Pembentukan Taman Nasional pada era tahun 80-an, pada dasarnya dilakukan melalui suatu proses yang lebih menekankan efektivitas pembentukan fisik kawasan. Proses ini dibangun dalam kondisi keterbatasan data dan kurang mempertimbangkan kondisi dan proyeksi aspek sosial ekonomi daerah yang berkembang secara dinamis. Partisipasi para pihak di daerah dalam pembentukan dan perencanaan pengelolaan Taman Nasional kurang mendapatkan ruang termasuk pengesahan Taman Nasional BNW di Kabupaten Bone Bolango Tahun 1991, sehingga terkesan mengabaikan prinsip paduserasi antara kawasan.
12 2.
Dalam perkembangannya, keberadaan Taman Nasional di suatu wilayah tidak terlepas dari dinamika interaksi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitarnya. Dinamika tersebut antara lain berwujud adanya konflik kepentingan, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berdampak pada terjadinya kerusakan lingkungan. Keberadaan kontrak karya pertambangan dan aktivitas 6.000 orang penambang tanpa izin (PETI) di zona rimba TNBNW dan enclave penduduk dalam kawasan TNBNW merupakan fakta dari konflik kepentingan tersebut.
3.
Dalam kondisi status quo, dalam arti tidak dilakukan tindakan pengelolaan dan resolusi konflik, maka yang terjadi adalah keberlanjutan trend negatif status lingkungan. Kerusakan lingkungan akan semakin parah, karena berlangsung terus menerus dan semakin tidak terkendali.
4.
Kawasan konservasi TNBNW yang secara legal merupakan kewenangan pemerintah pusat, secara faktual tidak dapat dipisahkan dengan peran daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian kawasan konservasi banyak bersumber dari luar kawasan, yang banyak terkait dengan kewenangan daerah. Oleh karena itu, pemecahan masalah pengelolaan TNBNW perlu pendekatan resolusi konflik yang diselenggarakan secara partisipatif multipihak, dan tidak cukup didekati secara parsial/sektoral berbasis kewenangan dan aturan formal semata.
5.
Kepentingan daerah yang dilandasi oleh pasal 33 UUD 45, untuk pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakatnya memerlukan upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat diperoleh secara berkelanjutan. Upaya pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan pada batasbatas kelestarian lingkungan. Keserasian kepentingan ini akan mengurangi potensi konflik pemanfaatan sumberdaya alam, yang mana disatu sisi akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan disisi lain akan memberikan jaminan kemantapan kawasan perlindungan dan konservasi sekaligus menghilangkan stigma ketidakpastian pemanfaatan dan pengelolaan yang telah berjalan selama 40 tahun.
13 1.2
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dapat diformulasi yaitu:
1.
Perubahan pengelolaan kawasan pertambangan di Kabupaten Bone Bolango secara khusus telah membuka permasalahan yang kompleks terkait dengan kewenangan pengelolaan. Oleh karenanya, bagaimana dampak permasalahan-permasalahan masa lalu tersebut terhadap konflik pemanfaatan ruang dilahan konsesi kontrak karya saat ini?
2.
Sejatinya sumberdaya tambang dapat menjadi pendorong kinerja pembangunan wilayah, namun dalam kasus sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango belum dapat dibuktikan. Apakah sumberdaya tambang menjadi faktor pendorong kinerja pembangunan wilayah layak dikelola secara profesional ?
3.
Terdapat perubahan dan perbedaan dalam struktur kelembagaan sosial ekonomi serta sosial budaya dalam pemanfaatan sumberdaya tambang di era otonomi daera saat ini. Bagaimanakah model kelembagaan yang sesuai pada pengelolaan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango?
1.3
Tujuan, Kegunaan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian Atas dasar rumusan masalah, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan :
1.
Mendiskripsikan sejarah perubahan dan pemanfaatan kawasan serta menyusun peta identifikasi dan inventarisasi luasan pemanfaatan lahan di wilayah konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals untuk mendapatkan ganti rugi yang adil dan layak bagi pemukiman, pertanian, perkebunan, hutan, dan pertambangan tanpa izin melalui model persentase luasan klaim lahan masing-masing Kecamatan dan Desa.
2.
Menganalisis kelayakan ekonomi sumberdaya tambang ditinjau dari aspek struktur pasar dan aspek ekstraksi baik ekstraksi terhadap cadangan, harga dan nilai lingkungan dan dampaknya terhadap pembangunan wilayah.
3.
Tersusunnya model kelembagaan pada pengelolaan sumberdaya tambang di daerah dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan wilayah yang berkelanjutan.
14 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai : 1.
Bahan masukan bagi pemerintah untuk dapat membuat suatu komitmen antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam implementasi alih fungsi kawasan konservasi melalui revisi tata ruang wilayah Kabupaten Bone Bolango.
2.
Bahan referensi bagi para pihak pada alih fungsi sebagian kawasan konservasi melalui revisi tata ruang wilayah provinsi Gorontalo dalam rangka mewujudkan tata ruang wilayah yang partisipatif, termasuk pada bagian wilayah provinsi lainnya.
3.
Bahan publikasi bagi masyarakat yang baru ingin berpartisipasi dan mereka yang ingin mengetahui manfaat penataan ruang baik aspek ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan.
1.3.3 Kegunaan Penelitian 1.
Menyajikan informasi peta identifikasi dan inventarisasi tutupan kawasan dan relasi sosial ekonomi yaitu pemukian, pertanian, perkebunan, penambang tanpa izin, kehutanan, semak belukar dan sungai .
2.
Tertatanya arah langkah (road map) solusi konflik pada pemanfaatan potensi sumberdaya mineral dalam perencanaan pembangunan ekonomi di kabupaten Bone Bolango .
3.
Menyajikan kondisi riil kelembagaan sosial ekonomi, sosial budaya, dan daya dukung sarana dan prasarana sertan resolusi konflik sumberdaya tambang yang menjadi bagian dasar dari kebijakan pemerintah pada pemanfaatan potensi sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolago.
15 1.4.
Batasan Penelitian dan Kebaruan (Novelty)
1.4.1 Batasan Penelitian (Ruang Lingkup) Adapun batasan penelitian diformulasi dalam beberapa item yaitu: 1.
Perubahan-perubahan status kawasan yang mengarah pada ketidakpastian dikaji dan dianalisis pada batasan kepemilikan dan penguasaan lahan (land Tenure), dan pada eksisting kawasan baik penggunaan (land use), tutupan (land cover) serta luasan penguasaan dan pemanfaatan lahan.
2.
Kelayakan ekonomi yang diarahkan untuk menjadi salah satu faktor pendorong pembangunan wilayah dianalisis aspek finansial dan asumsi royalti, pajak dan land rent secara makro, artinya proyeksi penerimaan daerah dari sektor pertambangan memiliki tantangan (obstacle) karena Undang-Undang dan peraturan Pemerintah yang mengatur dana bagi hasil ini menggunakan beberapa kriteria diantaranya fakator harga dimana faktor ini cukup dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang berpusat di London Metal Exchange (LME) dan salah satu faktor yang menentukan yaitu pola ekstraksi yang dilakukan perusahaan terhadap cadangan tertambang baik dari aspek diskonto, harga dan nilai lingkungan.
3.
Pandangan
kelembagaan
(institutional
minded)
pada
hakekatnya
merupakan proses transformasi dari masukan yang nantinya dapat menghasilkan output berupa sumberdaya fisik, informasi, teknologi dan cara pengelolaan. Disis lain faktor geografis dan perilaku penambang tanpa izin (PETI) cukup mempengaruhi penelusuran data dalam penelitian ini. Oleh karena itu model kelembagaan dalam penelitian ini berada pada obyek yang masih pada stadia kelayakan ekonomi tambang (belum pada output dan stadia produksi), artinya kelembagaan dalam penelitian ini bermakna umum untuk jenis kasus yang ditimbulkan oleh konflik pemanfaatan dan penguasaan lahan. Tentulah jenis karakter persoalan kelembagaan tidak dapat digeneralisir adanya, tetapi dengan adanya karakteristik tersebut cukup beragam merupakan jalan masuk untuk mengelaborasi unsur-unsur pendekatan ilmiah, sehingga output dari penelitian dapat merekomondasikan unsur keragaman dan kecenderungan karakater persoalan kelembagaan itu secara relatif .
16 1.4.2 Kebaruan (Novelty) Kebaruan (Novelty) penelitian ini adalah: 1.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengintegrasikan aspek sejarah dan aspek ruang (spasial) dalam konteks pemanfaatan dan penguasaan lahan di wilayah kontrak karya PT Gorontalo minerals dengan aspek kelembagaan sosial ekonomi masyarakat.
2.
Penelitian ini juga yang pertama kali yang mengkombinasikan aspek valuasi ekonomi minerals dari analisis kelayakan finansial berdasarkan struktur pasar dengan analisis model Hotelling berdasarkan nilai ekstraksi untuk menghasilkan pengelolaan sumberdaya tambang yang terbaik.
3.
Penelitian ini menghasilkan model kelembagaan pengelolaan sumberdaya tambang yang dapat diadopsi oleh para pihak di daerah untuk meminimalisir isu ketimpangan wilayah dan konflik pemanfaatan ruang.