I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Luas hutan Indonesia sebesar 137.090.468 hektar. Hutan terluas berada di Kalimantan (36 juta hektar), Papua (32 juta hektar), Sulawesi (10 juta hektar) Sumatera (22 juta hektar) dan sisanya tersebar di berbagai pulau lainnya (Departemen Kehutanan, 2008). Secara ekonomi hutan bermanfaat sebagai bahan baku industri kayu, penyediaan lapangan kerja, sebagai tempat wisata, dan salah satu sumber pendapatan nasional. Hutan juga bermanfaat sebagai penyangga kehidupan, pengaturan tata air dan sumber mata air, menjaga kesuburan tanah, keseimbangan iklim dan kualitas udara, biodiversity (flora dan fauna). Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi Indonesia, yang memanfaatkan sumber daya alam termasuk hutan, cenderung dilakukan secara eksploitatif yang berdampak pada kerusakan hutan dan lahan. Data kerusakan hutan nasional diperkirakan mencapai angka 2,83 juta hektar/tahun (Departemen Kehutanan, 2005). Sedangkan WALHI (2008) mencatat bahwa dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, Indonesia adalah negara dengan laju degradasi hutan tercepat di dunia, rata-rata sekitar 1,9 juta hektar hutan mengalami kerusakan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005. Artinya, setiap harinya rata-rata sekitar 51 kilometer persegi hutan di Indonesia rusak. Lebih dari 90% kerusakan hutan disebabkan aktivitas korporasi yang tidak diimbangi upaya reforestasi memadai padahal dengan cakupan luas hutan hujan tropis nomor tiga di dunia setelah Brasil dan Zaire (Kongo), hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi ini (WALHI, 2008 ). WALHI (2008) mencatat angka degradasi hutan di Indonesia sebesar dua persen per tahun merupakan yang tertinggi dari 43 negara lain, disusul Zimbabwe setiap tahun sebesar 1,7% dari luas hutan tersisa, Myanmar 1,4%, dan Brasil hanya 0,6%. Kerusakan hutan Indonesia tersebut sebaliknya telah menyelamatkan hutan China sebagai negara tujuan ekspor produk kayu terbesar dari Indonesia.
2
Luas hutan China setiap tahun malah bertambah sebesar 2,2%. Sebaliknya, Indonesia saat ini hanya menyisakan 28% hutan primernya. Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, sebagian besar kawasan Indonesia menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana ekologis (ecological disaster), seperti bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Menurut data dari Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 bencana di Indonesia akibat kerusakan hutan dengan 2.022 korban jiwa dan kerugian miliaran rupiah, dengan 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Provinsi Papua memiliki luas kawasan hutan sebesar ± 42.224.840 hektar atau 95% dari total luas daratan. Hutan Papua terdiri dari hutan lindung sebesar 10.619.090 hektar, hutan suaka alam dan pelestarian alam 8.025.820 hektar, hutan produksi tetap sebesar 2.054.110 hektar, hutan produksi terbatas 10.585.210 hektar, hutan produksi konversi sebesar 9.262.130 hektar dan kawasan perairan sebesar 1.678.480 hektar (Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, 2008). Luas kawasan hutan di Kabupaten Jayapura 1.353.407 hektar, yang terdiri dari 644.387 hektar hutan lindung, hutan konversi sebesar 31.210 hektar. sedangkan hutan produksi sebesar 279.478 hektar, hutan produksi terbatas sebesar 304.553 hektar, kawasan konservasi/kawasan pelestarian sebesar 84.840 hektar, dan areal penggunaan lain sebesar 8.939 hektar. Dari 1,3 juta hektar hutan di Kabupaten Jayapura 236.459 hektar diantaranya telah mengalami kerusakan (Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, 2008). Luas lahan kritis di kawasan Cagar Alam Pegunungan Cycloops mencapai 9.374 hektar yang terdiri dari 2.703 hektar (12,01%) berada di dalam kawasan inti cagar alam, sedangkan sebesar 6.671 hektar (29,65%) berada di daerah kawasan penyangga (Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, 2008) . Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura (2008) terdapat sekitar 5.000 warga atau sekitar 1.000 KK yang bermukim di sekitar lokasi CAPC. Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat adat yang berada di kawasan CAPC berdasarkan kearifan lokal yang sudah diwariskan secara turun-temurun. CAPC secara turun temurun dihuni oleh
3
lima suku besar yang mempunyai kaitan dengan hak ulayat kawasan ini yaitu: suku Ormu dan Tepera di bagian Utara dan Suku Moi, Sentani serta Humbolt atau Numbay di bagian Selatan, serta ditambah suku Wamena, Paniai dan suku dari luar Papua seperti suku Ambon, suku Bugis, Buton, Makassar, Jawa dan Batak. Pertambahan penduduk yang semakin cepat, menyebabkan tekanan terhadap pembangunan ekonomi daerah, sehingga mengakibatkan kebutuhan lahan untuk kegiatan pertanian/perladangan meningkat, penebangan kayu secara ilegal oleh perusahaan dengan memanfaatkan masyarakat, pengambilan bahan galian golongan C dan pembangunan pemukiman serta infrastruktur. Fenomena ini mengakibatkan konversi lahan pada wilayah CAPC menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Akibat dari kegiatan tersebut menyebabkan kerusakan kawasan CAPC sebesar 9.374 hektar dari luas total sebesar 22.500 hektar. Kerusakan hutan Cycloops menyebabkan erosi dan longsor. Dampak erosi dan longsor tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Kerugian tersebut berupa hilangnya sumberdaya hutan,
menurunnya
sistem
penyangga
kehidupan
dengan
berkurangnya
keanekaragaman jenis flora dan fauna, berubahnya fungsi bio-fisik, dan menurunnya penggunaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan air, menurunnya produksi pertanian. Berdasarkan kondisi seperti tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti dampak kerugian yang diakibatkan oleh rusaknya (longsor) kawasan CAPC pada bulan Maret tahun 2007 yang lalu.
1.2. Perumusan Masalah Dalam rangka meningkatkan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka kekayaan sumber daya alam adalah sebagai modal utama pembangunan nasional. Oleh karena itu berbagai kebijakan dan peraturan dibuat oleh pemerintah sebagai dasar dan landasan bagi pihak yang akan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tersebut. Dalam perkembangannya pembangunan itu sendiri belum menciptakan masyarakat yang sejahtera, akan tetapi menimbulkan kesenjangan yang cukup lebar diantara kelompok masyarakat tersebut. Perbedaan tersebut meliputi sarana
4
dan prasarana infrastruktur pendukung kehidupan yang disediakan oleh pemerintah kota dan desa, perbedaan lainnya yakni akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Ketimpangan pembangunan menciptakan masyarakat yang kalah dalam persaingan dan termarginalkan secara sosial dan ekonomi. Masyarakat suku Ormu dan Tepera di bagian Utara dan Suku Moi, Sentani serta Humbolt atau Numbay di bagian Selatan, serta ditambah suku Wamena, Paniai dan suku dari luar Papua seperti suku Ambon, suku Bugis, Buton, Makassar, Jawa dan Batak yang mendiami kawasan CAPC. Akibat pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi maka tekanan terhadap sumber daya alam semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumber daya alam sangat tinggi. Hal ini terlihat dari pembukaan hutan, pertambangan dan eksploitasi sumber daya alam yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan demikian tentunya kawasan-kawasan eksploitasi tersebut kian terancam habis, sementara suksesi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan telah dieksploitas membutuhkan waktu lama untuk dapat diperbaharui lagi. Triono (2007) menyatakan bahwa daerah kawasan CAPC telah mengalami perubahan fungsi lingkungan, yang ditunjukkan dengan kerusakan kawasan hutan sebesar 9.380 hektar, lahan permukiman meningkat dengan luas 35 hektar, ladang/tegalan meningkat dengan luas 42 hektar, tanah terbuka/semak meningkat dengan luas 53 hektar. Perubahan fungsi lingkungan tersebut berpengaruh terhadap penurunan kualitas dan debit mata air, yang menunjukkan konsentrasi parameter coliform meningkat sebesar 190 – 429 MPN/100 ml, sehingga melebihi baku mutu yang ditetapkan, sedangkan debit juga mengalami penurunan, untuk mata air Kujabu sebesar 216 liter/detik, Korem sebesar 8 liter/detik dan Kampwolker mengalami penurunan sebesar 50 liter/detik. Rata-rata penurunan tiap tahun sebesar 9,8% kebutuhan air bersih bagi penduduk di daerah penelitian rata-rata 100 liter/hari/orang. Kerusakan kawasan CAPC dapat dilihat dari semakin berkurangnya kayu di tempat tersebut. Pada waktu-waktu tertentu akibat penggundulan menyebabkan jatuhnya batu-batu besar dari atas gunung yang mengganggu dan mengancam
5
kehidupan masyarakat yang mendiami kawasan CAPC, berkurangnya suplai air untuk Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura sebagaimana disebutkan oleh Kepala PDAM Kabupaten Jayapura menurun hingga 60%, dan pada saat musim kemarau sebagian besar daerah itu kekeringan. Dari 38 sungai yang mengalir sekarang tinggal 14 sungai saja, hal ini menandakan penurunan debit air di kawasan Cycloop. Kerusakan kawasan CAPC sebagai akibat dari pembangunan, sehingga memaksa masyarakat setempat memanfaatkan sumber daya alam (CAPC) sebagai input dalam mendapatkan pendapatan serta aktivitas masyarakat lainnya yakni penebangan pohon secara liar baik untuk membuat rumah, sampan dan dijadikan sebagai arang untuk dijual pada pemilik warung makan. Oleh karena itu berbagai pihak telah mengambil peran dalam menjaga kelestarian CAPC tersebut. Pihak tersebut seperti Pemerintah Kabupaten Jayapura telah berupaya memberikan pemahaman bagi masyarakat sekitar CAPC untuk turut menjaga kelestarian CAPC, memberikan lahan di dalam areal CAPC bagi masyarakat setempat untuk dipakai dan diusahakan sehingga tidak mengganggu kelestarian CAPC, serta rencana terbaru yakni akan merelokasi masyarakat setempat ke daerah dekat kantor Bupati Kabupaten Jayapura. Sedangkan peran yang dimainkan oleh LSM lokal, nasional bahkan internasional yakni dengan melakukan kampanye pada masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian, mengadakan publikasi baik media cetak maupun elektronik. Dari uraian di atas maka penulis mencoba merumuskan permasalahan yang terdapat pada pengelolaan CAPC serta dampak dari longsornya CAPC yang akan menjadi obyek penelitian ini yakni : a. Bagaimanakah kondisi kerusakan hutan CAPC selama ini? b. Berapa besar dampak penebangan liar dan kerusakan hutan CAPC terhadap kerugian negara serta tingkat kesejahteraan (pendapatan, kesehatan, sosial dan budaya) masyarakat? c. Bagaimana upaya mengatasi masalah kerusakan kawasan CAPC oleh stakeholder (Masyarakat Adat, Pemerintah, LSM dan Swasta)?
6
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan kerusakan hutan CAPC yang dirasakan oleh masyarakat. 2. Memperkirakan dampak penebangan liar dan kerusakan hutan kawasan CAPC terhadap kerugian negara serta tingkat kesejahteraan (pendapatan, kesehatan, sosial dan budaya) masyarakat. 3. Merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah kerusakan kawasan CAPC dan merekomendasikan pengembangan kawasan CAPC yang baik agar dapat mengurangi kerusakan kawasan CAPC.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran jumlah kerugian material dan non material akibat longsornya kawasan CAPC, serta dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai kebijakan yang tepat dengan didukung
kelembagaan
masyarakat
yang
kuat
dalam
pengelolaan
dan
pemanfaatan kawasan tersebut. Suatu harapan yang optimis adalah hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada para pengambil kebijakan, secara khusus Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Jayapura, Kantor Badan Perencanaan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) dalam menyusun kebijakan pengembangan dan pemanfaatan kawasan konservasi CAPC yang lestari, dan kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Studi ini melakukan estimasi tentang kerugian negara akibat penebangan liar dan dampak kerusakan hutan kawasan CAPC terhadap tingkat kesejahteraan (pendapatan, kesehatan, sosial dan budaya) masyarakat. Obyek penelitian dalam studi ini adalah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan CAPC yang mengalami bencana dan kerusakan harta benda, selain itu fasilitas sarana dan prasana yang disediakan pemerintah yakni bangunan, infrastruktur jalan dan lain sebagainya. Asumsi yang dipakai pada penelitian ini adalah masyarakat yang
7
mengalami bencana adalah masyarakat yang juga melakukan penebangan liar di kawasan Cycloops. Studi ini juga merumuskan upaya-upaya yang dapat dilaksanakan oleh seluruh stakeholder yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan hutan CAPC termasuk masyarakat yang mendiami kawasan CAPC dan masyarakat yang terkena dampak kerusakan, dalam mengatasi masalah kerusakan kawasan CAPC dan mengembangkan model pengembangan yang baik dan berkelanjutan. Ada beberapa batasan dalam studi ini yakni: pertama, studi ini hanya memperkirakan kerugian negara akibat penebangan liar yang terjadi di kawasan CAPC sampai pada tahun 2007, kedua, studi hanya memperkirakan dampak kerugian akibat banjir dan tanah longsor yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar kawasan CAPC pada tahun 2007. Ketiga, dari jumlah penduduk 5.000 orang atau sekitar 1.000 KK, jumlah sampel yang diambil untuk mengetahui dampak erosi/longsor terhadap kerugian masyarakat dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 KK yang yang berasal dari Distrik Sentani. Keempat, studi ini tidak menganalisis dampak ekonomi kerusakan kawasan CAPC yang dirasakan masyarakat di luar lokasi penelitian dan juga tidak menghitung unit ekonomi yang terkena dampak, tetapi tidak berada dalam kawasan lokasi penelitian. Kelima, masyarakat yang mengalami bencana adalah masyarakat yang melakukan kerusakan (penebangan liar, pembangunan rumah, konversi lahan dan sebagainya).