I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan
bahan industri.
Salah satu
sumberdaya tersebut adalah rajungan (Portunus pelagicus) yang merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting karena permintaannya tinggi dan merupakan komoditas ekspor dengan harga yang tinggi. Tahun 2005 volume ekspor jenis crab mencapai 7 125 982 kg (DKP, 2005). Harga jual daging rajungan (rajungan kupas) dari pengumpul untuk kategori jumbo (daging utuh dari bagian dalam pangkal kaki pendayung) mencapai Rp.200 000/kg (Komunikasi pribadi dengan pengumpul rajungan di Brebes Jawa Tengah pada Maret 2011). Rajungan hasil tangkapan para nelayan dijual pada para pengumpul (bakul). Para pengumpul ini menjual rajungannya kepada para bandar besar yang merupakan agen pembelian dari perusahaan-perusahaan besar (eksportir) rajungan. Oleh karena itu produksi rajungan sering tidak tercatat oleh petugas dari Dinas Perikanan setempat. Tidak adanya data produksi ini mengakibatkan sulitnya mengetahui besar produksi yang dihasilkan. Di lain pihak, pasar yang luas dan harga yang tinggi ini menjadi pemicu berkembangnya perikanan rajungan. Hingga saat ini besarnya tingkat pemanfaatan dan perdagangan rajungan tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang cara melestarikan sumberdaya tersebut. Hal ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan stok sumberdaya rajungan.
Pengetahuan tentang cara melestarikan sumberdaya rajungan dapat
meliputi pengetahuan tentang berapa besar tingkat rekruitmen, berapa besar tingkat mortalitas, kapan waktu yang tepat melakukan penangkapan, berapa ukuran yang layak tangkap, berapa ukuran pertama matang gonad, dan bagaimana karakteristik habitatnya. Melalui pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat disusun suatu pengelolaan perikanan yang tidak hanya berorientasi pada produksi tapi juga pada ekosistem. Di wilayah perairan Kabupaten Brebes, seperti halnya wilayah perairan lain di Laut Jawa, memiliki karakteristik permasalahan yang relatif sama yaitu
2
sumberdaya perikanan terutama rajungan yang terbatas dan jumlah armada yang relatif banyak dibandingkan dengan wilayah pengelolaan perikanan yang lain. Kondisi demikian dapat mengakibatkan terjadinya tangkap lebih (over fishing) tehadap sumberdaya rajungan. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut (2005), menyatakan bahwa sumberdaya perikanan di wilayah perairan Laut Jawa secara umum telah mengalami tangkap lebih (over fishing). Untuk jenis krustase tingkat pemanfaatannya telah mencapai 100 %. Potensi lestari jenis rajungan belum dapat diketahui secara tepat. Komnas Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut menyatakan bahwa terdapat kesulitan dalam mengumpulkan data beberapa komoditas perikanan seperti rajungan dan kepiting karena kesulitan sehingga potensi lestarinya susah diketahui. Salah satu penyebab terjadinya overfishing penangkapan secara terus-menerus oleh nelayan.
adalah dilakukannya
Penangkapan yang terus-
menerus karena ketidaktahuan mengenai fase-fase perkembangan biologis rajungan, mengakibatkan tingkat rekruitmen menjadi menurun. Menurut Widodo dan Suadi (2008) terdapat beberapa ciri yang dapat menjadi indikasi suatu perikanan sedang menuju kondisi overfishing yaitu waktu melaut menjadi lebih lama dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil, produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/CPUE) menurun, dan ukuran organisme target semakin kecil. Pesatnya perkembangan perusahaan eksportir rajungan dengan bahan baku bersumber dari hasil tangkapan nelayan setempat mengakibatkan sangat banyaknya nelayan yang melakukan penangkapan rajungan dengan frekuensi penangkapan yang terus-menerus, sehingga dapat mengurangi stok rajungan di perairan. Sebenarnya bahan baku untuk keperluan ekspor dapat dipasok dari kegiatan budidaya, namun hingga sekarang kegiatan budidaya belum berhasil dengan baik.
Status perkembangan teknologi budidaya masih dalam tahap
pembenihan dan usaha pembesaran skala kecil. Kondisi demikian mengakibatkan pasokan bahan baku hanya mengandalkan hasil tangkapan dari laut yang dapat berakibat penurunan stok. Berkurangnya stok rajungan selain diakibatkan oleh jumlah armada perikanan rajungan yang banyak, juga diduga sebagai akibat pola
3
penangkapan yang tidak memperhatikan fase-fase biologis rajungan serta penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. diantaranya adalah
Penyebab hal tersebut di atas
pengetahuan nelayan tentang cara menjaga kelestarian
sumberdaya rajungan yang masih sangat minim, sehingga mereka tidak mengetahui waktu dan tempat yang tepat untuk melakukan penangkapan dan ukuran yang layak untuk ditangkap.
Selain minimnya pengetahuan nelayan,
tidak adanya regulasi dari pemerintah yang tegas dan mengikat juga mengakibatkan pola perikanan rajungan tidak mengindahkan kelestarian sumberdaya dan dapat menimbulkan berkurangnya stok rajungan akibat over fishing. Untuk mencegah terjadinya over fishing maka pemerintah harus melakukan pengendalian penangkapan dengan menetapkan daerah, waktu atau musim penangkapan dan ukuran minimum biota yang boleh ditangkap. Hal ini sesuai dengan tuntutan UU No. 31 Tahun 2004 dan UU No 45 tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 7 ayat 1 huruf (h) dan (p), dan ayat 2.
Pada UU tersebut
dinyatakan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan (Pasal 7 ayat 1 huruf h, ayat 2 huruf c) dan ukuran atau berat minimum ikan yang boleh ditangkap (Pasal 7 ayat 1 huruf p, ayat 2 huruf j). Undang-undang ini belum efektif berjalan karena belum ada produk hukum turunannya seperti peraturan pemerintah atau keputusan menteri yang mengatur tentang hal-hal tersebut. Namun untuk menetapkan musim dan ukuran layak tangkap serta daerah penangkapan suatu komoditas perikanan (seperti halnya rajungan), diperlukan bukti-bukti ilmiah (scientific evidents) yang dapat menjadi rujukan (konsideran) dikeluarkannya suatu ketetapan.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang
karakteristik bioekologi rajungan secara komprehensif. Daerah penangkapan menurut Clark (1974) adalah daerah yang diperbolehkan melakukan aktivitas
pemanfaatan dengan pengawasan normal.
Selain daerah pemanfaatan juga terdapat daerah konservasi yang merupakan daerah sensitif dan pengembangan atau pemanfaatannya harus diawasi secara hati-hati untuk melindungi ekosistem tersebut. Daerah konservasi dalam konteks keberlanjutan ekosistem, biasanya merupakan daerah yang dilindungi karena
4
beberapa sebab antara lain daerah tesebut merupakan daerah pemijahan atau daerah asuhan yang dalam hal ini dimanfaatkan atau
ditangkap.
ukuran organismenya belum layak untuk
Perlindungan
terhadap
daerah pemijahan
merupakan aktivitas penting yang dapat mencegah menurunnya stok sumberdaya dengan menjamin terjadinya keberlanjutan rekruitmen. Penambahan populasi suatu biota dipengaruhi oleh besarnya tingkat rekruitmen. Rekruitmen rajungan sangat diperlukan dalam peningkatan maupun kelestarian stoknya. Tingkat rekruitmen sangat dipengaruhi oleh keberhasilan suatu organisme dalam melakukan pemijahan. Kondisi lingkungan yang cocok akan mempengaruhi keberhasilan proses pemijahan dan perkembangan larva yang dihasilkannya. Habitat rajungan yang baik juga akan menentukan karakteristik daerah penangkapannya. Melalui pengetahuan tentang karakteristik daerah penangkapan dan daerah pemijahan, maka dapat dilakukan pengelolaan dengan membatasi atau membagi perairan menjadi beberapa kawasan seperti zona inti pada kawasan konservasi yang merupakan daerah pemijahan, zona pemanfaatan terbatas dan kawasan pemanfaatan atau penangkapan yang merupakan habitat rajungan dewasa. Dengan pembatasan wilayah dan ukuran ini maka diharapkan tingkat rekruitmen akan meningkat. Tiap organisme memiliki preferensi yang berbeda terhadap lingkungan hidupnya. Rajungan umumnya menempati perairan paparan benua yang relatif landai, pada daerah litoral dengan substrat pasir berlumpur. hidupnya rajungan mengalami beberapa fase.
Dalam siklus
Bukti empiris berdasarkan
keterangan nelayan di Kabupaten Brebes menunjukkan bahwa kedalaman perairan menentukan ukuran rajungan. Ada indikasi bahwa semakin dalam perairan atau semakin jauh dari pantai, ukuran dominan rajungan lebih besar dibandingkan pada perairan yang lebih dangkal. Akan tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah faktor kimia, fisika dan biologi habitat ikut menentukan distribusi rajungan, baik berdasarkan ukuran maupun fase-fase hidupnya. Rajungan memiliki kebiasaan hidup di perairan yang relatif dangkal, dengan substrat lumpur berpasir (Nontji, 1987). Karakteristik perairan seperti ini dapat ditemui di Laut Jawa, terutama perairan pantai utara Jawa. Karena letak habitatnya pada perairan yang relatif
5
dangkal di sekitar pantai, umumnya rajungan ditangkap oleh nelayan-nelayan kecil dengan ukuran perahu < 3 Gross Ton (GT) dengan jarak fishing ground < 4 mil. Salah satu lokasi di sekitar pantai utara Jawa yang banyak menghasilkan rajungan adalah di sekitar Kabupaten Brebes. Pengetahuan tentang tingkat kematangan gonad (TKG) rajungan akan memperkuat informasi mengenai kapan rajungan layak ditangkap, kapan rajungan melakukan reproduksi dan ukuran pada saat pertama kali memijah. Selain
hal
tersebut, kajian tentang TKG rajungan yang ditangkap pada suatu lokasi juga akan membantu menentukan letak daerah pemijahan dan daerah penangkapan. Kajian biologis yang juga sangat menunjang pengelolaan sumberdaya rajungan antara lain pengetahuan tentang determinasi jenis, morfologis, pertumbuhan dan distribusi rajungan. Dalam rangka menyelamatkan komoditi rajungan dari alam, maka aspekaspek biologi yang menyangkut hubungan ukuran dan waktu layak tangkap dan tingkat kematangan gonad, dan aspek ekologi yang meliputi karakteristik utama habitat perlu segera diketahui. 1.2 Permasalahan Rendahnya pengetahuan nelayan dan masih lemahnya aturan-aturan pengendalian penangkapan oleh pemerintah berkaitan dengan aspek reproduksi, ukuran layak tangkap dan tingkat pemanfaatan rajungan, mengakibatkan eksploitasi dilakukan tanpa kendali. Nelayan melakukan penangkapan rajungan sepanjang tahun tanpa memperhatikan tempat dan waktu pemijahan serta ukuran rajungan yang ditangkap. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap karakteristik bioekologi rajungan yang meliputi karakteristik substrat dan kualitas air, rasio kelamin, distribusi kematangan, pola dan musim pemijahan, ukuran infinitif, ukuran pertama matang gonad, ukuran layak tangkap, rekrutmen, pertumbuhan, struktur ukuran, distribusi, mortalitas dan laju eksploitasi (Gambar 1). Melalui pengetahuan karakteristik bioekologi rajungan maka dapat diketahui distribusi temporal ukuran dan tingkat kematangan gonad, pola pertumbuhan, waktu pemijahan, serta sifat kimia fisika habitat rajungan. Pola
6
perikanan tangkap yang didasarkan pada pengetahuan tersebut dapat dilakukan melalui pembatasan alat (gear restricted), pembatasan ukuran (size limit), penutupan musim (close season) dan penutupan lokasi penangkapan (close area) yang akan membantu pelaksanaan pemanfaatan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab (sustainable and responsible fisheries).
Stok Rajungan Reproduksi iRajungan
Rekrutmen Mortalitas Rajungan Laju Eksploitas i Stok Rajungan
Pertumbuhan Struktur ukuran
Rasio Kelamin Karakteristik substrat dan kualitas air
Jantan
Penyebaran
Betina TKG
k Pengelolaan Rajungan yang berkelanjutan Distribusi kematangan
Ukuran Layak tangkap
Ukuran infinitif
Ukuran pertama matang gonad
Pola dan musim pemijahan
Potensi Reproduksi Gambar 1 Diagram alir kerangka berpikir.
1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini secara umum adalah menganalisis karakteristik biologi, dan ekologi rajungan sebagai dasar pengelolaan sumber daya rajungan yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka serangkaian penelitian dilakukan dengan tujuan khusus sebagai berikut:
7
1. Menganalisis
peranan karakteristik
habitat
dalam
menentukan
distribusi ukuran rajungan. 2. Mengevaluasi dan mengembangkan teknik determinasi TKG 3. Mengkaji aspek pertumbuhan dan rasio kelamin rajungan. 4. Menganalisis distribusi TKG dan ukuran rajungan untuk mengetahui musim pemijahan rajungan. 5. Menganalisis mortalitas dan tingkat eksploitasi 6. Mengkaji ukuran pertama kali matang gonad (size at first maturity), umur teoritis, ukuran infinitif dan ukuran layak tangkap
1.4 Kegunaan Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar bagi penelitian dan pengembangan baik bagi keperluan budidaya maupun pemanfaatan sumberdaya rajungan. Penelitian ini juga berguna untuk memberikan masukan kepada pemerintah untuk menerapkan peraturan tentang pengendalian stok rajungan di perairan. Hasil analisis karakteristik bioekologi rajungan dapat dijadikan buktibukti ilmiah (scientific evidents) dalam penyusunan suatu pola perikanan yang memperhatikan aspek-aspek biologi dan ekologi sumberdaya dengan menerapkan pembatasan ukuran (size limit), pembatasan alat tangkap (gear restricted), penutupan musim (close season) dan penutupan lokasi penangkapan (close area) sehingga terwujud pola perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries).
1.5
Kebaharuan Hasil penelitian mengandung kebaharuan baik dalam pengembangan ilmu
maupun keperluan praksis. Ditemukan bahwa distribusi ukuran rata-rata panjang karapas tidak dipengaruhi oleh fraksi substrat. Determinasi kematangan gonad rajungan betina dapat dilakukan dengan melihat bentuk dan ukuran morfometrik abdomen. Dihasilkan ukuran layak tangkap dan musim rajungan yang belum pernah di tetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai scientific evident untuk pemberlakuan penetapan ukuran dan waktu penangkapan rajungan sebagai amanat UU No.31 tahun 2004.