I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut Indonesia sangat berperan penting bagi
sebagian besar masyarakatnya karena dari sumberdaya perikanan tersebut masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat mencari keuntungan dengan menjual kembali hasil tangkapannya. Banyaknya kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan oleh masyarakat harus dikontrol dengan kebijakan dan pengelolaan sumberdaya perikanan yang baik agar populasi keanekaragaman perikanan laut tetap terjaga dan lestari. Keanekaragaman jenis perikanan laut yang dimiliki Indonesia sangat banyak, mulai dari berbagai jenis ikan, udang, kerang, hingga hewan laut berkulit keras lainnya seperti kepiting dan rajungan. Rajungan (blue swimming crab) merupakan salah satu potensi sumberdaya laut yang memiliki protein dan manfaat tinggi. Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BBPMHP)pada tahun 1995, menyatakan hasil penelitiannya bahwa dalam daging rajungan jantan terkandung 16,85 persen protein dan rajungan betina terkandung 16,17 persen protein. Rajungan banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan manusia dan salah satu sumber protein hewani. Rajungan biasanya tersedia dalam bentuk segar, beku, dan bentuk olahan daging rajungan dalam kemasan/kaleng yang kaya akan protein. Rajungan disisi ekonomi merupakan komoditas perikanan yang sangat menjanjikan. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2007, permintaan rajungan dan kepiting dari pengusaha restoran seafoodAmerika Serikat mencapai 450 ton tiap bulannya. KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) mencatat, nilai ekspor kepiting dan rajungan selama Januari-Agustus 2011 ini sudah mencapai US$ 172 juta. Ekspor kepiting dan rajungan itu terbagi dalam tiga jenis, yaitu kalengan, beku, dan segar. Sepanjang periode tahun 2011, ekspor kepiting dan rajungan kalengan mencapai 7.164 ton senilai US$ 119,4 juta. Sedangkan ekspor kepiting dan rajungan beku mencapai 2.425 ton senilai US$
1
31,3 juta, dan kepiting segar sebanyak enam ribu ton senilai US$ 21,2 juta1. Namun, Permintaan rajungan dari pengusaha restoran seafoodmaupun pengolah daging rajungan domestik juga tidak kalah besarnya. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya permintaan rajungan tiap tahunnya. Indonesia merupakan negara pengekspor rajungan terbesarke berbagai negara khususnya Amerika. Setiap tahunnya produksi daging rajungan Indonesia yang masuk ke pasaran Amerika mencapai empat juta ton. Tak kurang dari 90 persen rajungan Indonesia masuk ke Amerika Serikat. Umumnya diekspor dalam produk pasteurized crab meat, frozen crab meat, dan crab cake2. Selain ekspor ke Amerika, Indonesia juga mengekspor rajungan ke Singapura, Malaysia, China, Jepang, dan beberapa negara di Eropa. Rajungan yang diekspor merupakan rajungan yang sudah dikuliti ataupun sudah diolah. Kualitas daging rajungan yang diekspor merupakan kualitas terbaik agar mampu bersaing dengan negara pengekspor rajungan lainnya, seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam. Terdapat banyak perusahaan pengelolaan rajungan di Indonesia, bahkan beberapa perusahaan besar di bidang pengelolaan rajungan membentuk asosiasi yang bernama Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI). Perusahaanpendiri APRI diantaranyaPT. Phillips Seafoods Indonesia, PT. Mina Global Mandiri, PT. Kemila Bintang Timur, PT. Windika Utama, PT. Kelola Mina Laut, PT. Tonga Tiur Putra. Disisi lain, permintaan daging rajungan di pasar domestik juga terus meningkat. Walaupun rajungan yang diperdagangkan untuk kebutuhan domestik bukan merupakan daging rajungan dengan kualitas terbaik, namun peminat daging hewan laut ini terus meningkat. Permintaan rajungan domestik berasal dari perusahaanpengolahan rajungan skalamini plant, restoran seafood, dan konsumen rumah tangga yang memiliki kriteria khusus untuk memenuhi kebutuhannya. Pengolahan rajungan skalamini plantmerupakan sebuah usaha skala kecilmenengah yang memanfaatkan rajungan sebagai input produksi utamanya. Input rajungan darimini plant sendiri didapat langsung dari nelayan seluruh Indonesia 1.HandoyoAW. 2011. diakses dari http://industri.kontan.co.id/v2/read/industri/82576/ Kepitingdan-Rajungan-semakin-diminati-di-pasar-internasional-. pada tanggal 2 Desember 2011. 2.Yulianto T. 2008. Ketika Si Capit Biru Terjepit Krisis. diakses dari http://www.agrinaonline.com/redesign2.php?rid=10&aid=1569. pada tanggal 30 November 2011.
2
karena jumlah rajungan yang dibutuhkan sangat banyak dan tentunya dengan harga yang murah untuk mengurangi biaya produksi. Pengolahan rajungan skala mini plant memilikibeberapa tahap pengolahan.Tahapan pengolahan rajungan skala mini plant yaitu penerimaan rajungan mentah dari nelayan, pencucian, pengukusan, hingga pengupasan. Semua tahapan tersebut memerlukan pekerja, apalagi untuk tahapan pengupasan. Pengupasan rajungan memerlukan teknik khusus yang hanya bisa dilakukan pekerja-pekerja terampil dan terlatih. Para pemasok umumnya memiliki sentra pengupasan dengan para pekerja yang mereka gaji. Diperkirakan industri pengolahan daging rajungan skala mini plantdi Indonesia menyerap ribuan tenaga kerja dan nelayan. Hasil produksi mini plant ini kemudian digunakan untuk menyuplai kebutuhandaging rajunganrestoran sea food danperusahaan pengolahandaging rajungan skala besar (plant). Restoran sea food memanfaatkan hasil produksi mini plant ini sebagai bahan baku untuk produk jadi, yaitu membuat makanan laut yang akan dihidangkan untuk pelanggannya. Sedangkan perusahaan pengolahan rajungan skala besar menerima hasil produksi mini plant yang sudah dikupas untuk diolah kembali menjadi produk setengah jadi seperti daging rajungan kemasan kaleng atau bahan olahan makanan yang akan diekspor untuk memenuhi kebutuhan rajungan dari negara lain. Nelayan menjual rajungan hasil tangkapan mereka ke penampung atau pedagang yang sudah menjadi langganan mereka dengan harga yang bervariasi. Harga rajungan terbilang cukup mahal, kini satu kilogram kepiting laut ini dijual dengan harga Rp 18.000 - Rp 21.000 untuk rajungan yang berukuran kecil,sedangkan rajungan berukuran besar harganya bisa mencapai Rp 30.000 sampai Rp 33.000 per kilogram3.Namun, tingginya harga tidak mengurangi jumlah permintaan akan rajungan karena rasa rajungan yang lezat dan banyak mengandung protein. Hal ini membuat nelayan terus mengeksploitasi rajungan sebagai kekayaan alam tanpa melihat keseimbangan ketersediannya di alam demi mendapatkan keuntungan pribadi yang lebih banyak. Melihat adanya peluang mendapatkan untung besar dari penangkapan rajungan, banyak nelayan menambah waktu melaut (effort) merekadan bahkan 3.Ediyusmanto. 2011. Rajungan Andalan Desa Kandis. diakses dari http://bangka.tribunnews.com/ 2011/07/18/rajungan-andalan-desa-kandis. Padatanggal 29 November 2011.
3
menggunakan jaring dengan ukuran celah/pori yang lebih kecil demi mendapatkan rajungan yang lebih banyak, walaupun ukuran hasil tangkapan lebih kecil. Kondisi ini sangat membahayakan stok rajungan karena penangkapan yang berlebihan tanpa melihat ukuran produktif optimal rajungan dapatmemicu terjadinya penangkapan yang berlebihan padapopulasi rajungan. Akibatnya, degradasi kualitas dan kuantitas rajungan di laut terus terjadi. Kondisi tersebut dapat dilihat dari potensi rajungan di Pantai Utara Jawa yang terus menurun baik dari ukuran rajungan yang semakin mengecil maupun dari jumlahnya yang semakin sedikit. Selain itu, untukmenangkap rajungankini membutuhkan waktu yang lebih lama karena telah terjadi penurunan jumlah rajungan di tengah laut. Dampak dari degradasi sumberdaya rajungan tersebut mengakibatkan penurunan pada produksi rajungan yang bergerak kearah kelangkaan pada rajungan. Kecenderungan peningkatan penangkapan rajungan yang melebihi tangkapan lestarinya dapat diantisipasi dengan kebijakan yang membatasi penangkapan rajungan berdasarkan ukuran optimumnya. Kebijakan ini mengatur batasan ukuran minimal rajungan yang boleh ditangkap oleh nelayan sehingga rajungan yang masih produktif dapat terus berkembang biak untuk menjaga kelestariannya. Namun, penerapan kebijakan masih belum optimal. Semua itu dapat dilihat dari masih banyaknya nelayan yang menangkap rajungan kecil untuk dijual. Penangkapan rajungan kecil oleh nelayan dikarenakan masih banyaknya permintaan rajungan yang tak terkendali oleh pengusaha pengolahan rajungan skala rumah tangga ataumini plant. Sehingga untuk mengoptimalisasikan kebijakan tersebut, perlu dibuatnya kebijakan pembatasan ukuran rajungan pada pengolahanrajungan di tingkat mini plant. Kebijakan minimum legal sizeinput production di tingkat pengolahan rajungan skala mini plantmerupakan suatu cara untuk mengontrol permintaan sumberdaya perikanan rajungan yang berkelanjutan. Kebijakan ini berupa pembatasan ukuran pemanfaatan rajungan yang lestari. Dimana perusahaan pengolahan rajungan skala mini planttidak boleh menggunakan rajungan dengan ukuran kurang dari delapan sentimetersebagai input produksinyakarena pada ukuran delapan sentimeter, sekurang-kurangnya rajungan telah bertelur minimal
4
satu kali sehingga kesinambungan (sustainability) sumberdaya rajungan dapat terjaga. Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi suplai rajungan dengan ukuran kurang dari delapan sentimeter dari nelayan sehingga nelayan akan menangkap rajungan dengan ukuran lebih dari delapan sentimeter dan stok rajungan akan mengarah pada kestabilan stok.
1.2
Perumusan Masalah Rajungan merupakan komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi
dan merupakan komoditas yang permintaanya semakin meningkat tiap tahunnya. Namun, saat ini kebutuhan terhadap rajungan masih mengandalkan dari hasil penangkapan di laut sehingga akan mempengaruhi jumlah populasinya di alam. Oleh karena itu pemanfaatan dari sumberdaya laut ini harus seimbang dengan produktifitasnya atau lestari. Peningkatan permintaan rajungan akan berdampak pada penangkapan rajungan secara berlebihan dan tidak lestari yang membuat stok hewan laut ini terus mengalami degradasi. Hal tersebut terlihat dari upaya nelayan dalam menangkap rajungan yang sebelumnya hanya membutuhkan lima menit untuk mendapatkan rajungan di laut, sekarang membutuhkan lebih dari sepuluh sampai dua puluh menit. Kedalaman laut untuk mencari rajungan juga semakin sulit yaitu dari lima menjadi dua puluh meter. Hasil yang didapat nelayan pun semakin sedikit jumlahnya dan kecil ukurannya. Permintaan daging rajungan terbesar berasal dari luar Indonesia atau ekspor. Negara pengimpor daging rajungan Indonesia membutuhkan daging rajungan olahan dalam jumlah yang sangat besar. Daging rajungan olahan yang diekspor merupakan hasil produksi dari perusahaan pengolahan daging rajungan skala besar di Indonesia. Namun, daging rajungan yang sudah dikupas sebelum diolah, dipasok dulu oleh perusahan pengupasan daging rajungan skala mini plant yang rajungan mentahnya disuplai langsung dari para nelayan ataupun pedagang (bakul). Permintaan rajungan mentah dalam skala besaroleh mini plant tersebut membuat
nelayan
mengeksplotasi
rajungan
secara
berlebihan
tanpa
memperhatikan ukuran dan tidak melestarikan rajungan, Seharusnya rajungan
5
kecil atau yang bertelur dilepas kembai ke laut jika tertangkap untuk menjaga kelestariannya. Namun, nelayan tetap menangkapnya untuk memenuhi kebutuhan mini plant dalam memproduksi daging rajungan kupasan. Perusahaan pengolahan rajungan skala mini plant merupakan konsumen domestik yang memiliki jumlah permintaan rajungan mentah terbesar. Penurunan stok rajungan yang menyebabkan sulitnya mendapatkan rajungan besar membuat perusahaan pengolahan rajungan mini plant menerima rajungan kecil sebagai input produksi agar tidak terjadi penurunan produksi pada usahanya. Selain itu, untuk mempertahankan produksi, mini plant juga harus menambah jumlah input rajungan karena semakin mengecilnya ukuran rajungan yang diperoleh nelayan. Siklus proses pengolahan daging rajungan tersebut membuat produktifitas populasi rajungan terganggu karena semakin sedikitnya rajungan yang produktif hidup bebas di laut. Secara biologi, telah terjadi degradasi populasi rajungan dimana seharusnya rajungan kecil diberi kesempatan untuk berkembang biak, tetapi pada kenyataannya masih terjadi penangkapan rajungan kecil. Kesempatan rajungan untuk regenerasi semakin menurun. Padahal, menurut pelatih budidaya rajungan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Bangka, Sujono, mengatakan, umumnya untuk ukuran induk 250 gram mempunyai jumlah telur mencapai 800.000 butir dengan potensi menetas relatif kecil yaitu hanya sepuluh persen4. Selain itu rajungan juga bisa bertelur dalam beberapa kali, tetapi bila rajungan telah berukuran minimal delapan sentimeter rajungan tersebut bisa bertelurminimal satu kali. Berdasarkan uraian tersebut perlu dibuat kebijakan untuk membatasi ukuran minimumrajungan pada produksi pengolahan rajungan di tingkat mini plantagar terciptanya kestabilan stok rajungan di masa yang akan datang. Stok rajungan yang terjaga akan membuat input produksi pengolahan rajunganyang stabil dan juga akan menaikan keuntungan bagi mini plant. Melihat permasalahan diatas maka disusun pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana ukuran rajungan yang diolah oleh mini plant di Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi ? 4.Harian Umum PELITA. 2012. LIPI Teliti Budidaya Rajungan di Bangka. diakses dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=96523. Pada tanggal 27 Februari 2012.
6
2. Bagaimana tingkat efisiensi rajungan yang diolah pada mini plant pengolahan rajungan? 3. Bagaimana
tingkat
profitabilitymini
plant
pengolahan
rajungan
jika
pengolahan
rajungan
jika
menggunakan input produksi rajungan all size? 4. Bagaimana
tingkat
profitabilitymini
plant
menggunakan input produksi rajungan dengan ukuran lebih dari delapan sentimeter (penerapan kebijakan minimum legal size input production) ?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
1. Mengetahui ukuran rajungan yang diolah oleh mini plant di Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. 2. Menganalisis tingkat efisiensi rajungan yang diolah. 3. Menganalisistingkat
profitabilitymini
plant
pengolahan
rajungan
jika
menggunakan input produksi rajungan all size. 4. Menganalisis tingkat profitabilitymini plantbila diterapkannya kebijakan minimum legal size input productionpada mini plant pengolahan rajungan tersebut.
1.4
Ruang Lingkup Mengingat begitu luasnya ruang lingkup penelitian ini, maka penulis
membatasi permasalahan tersebut pada : 1. Penelitian ini menggunakan Cost Benefit Analysis (CBA) dengan instrument NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), dan PP (Payback Period). 2. Mengingat begitu banyaknya jumlah pengolahan rajungan skala mini plant di Indonesia, maka penulis dalam peneltian ini hanya memfokuskan pada mini plantdi Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. 3. Peneliti membandingkan tingkat profitabilitymini plantpengolahan rajungan sebelum diberlakukan kebijakan pembatasan ukuran minimal rajunganpada
7
input produksinya dan sesudah diberlakukannya kebijakan tersebut dengan menggunakan pendekatan CBA. 4. Data yang digunakan merupakan data primer dan sekunder. Data primer didapat denganmewawancarai pihak perusahaan pengolahan rajunganmini plant, pengukuran sampel, dan beberapa percobaan. Sedangkan data sekunder didapat dari buku, catatan produksi mini plant, maupun internet. 5. Peneliti menggunakan alat bantu software excel untuk mengolah data statistik agar dapat dianalisa sehingga dapat menyajikan suatu informasi pada penelitian ini. 6. Harga yang digunakan merupakan harga pasar domestik atau wilayah Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi.
1.5
Kegunaan Penelitian
1. Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari sehingga bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan penulis.
2. Bagi Konsumen Rajungan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau informasi mengenai pemanfaatan rajungan secara lestari sehingga rajungan dapat terus dimanfaatkan tanpa terjadinya kelangkaan di masa yang akan datang.
3. Bagi Pengusaha Pengolahan Rajungan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif terbaik dalam pemanfaatan rajungan secara optimal sehingga keuntungan yang didapat pengusaha pengolahan rajungan pun menjadi optimal.
4. Bagi Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada pemerintah tentang bagaimana pemanfaatan rajungan secara lestari untuk menyusun kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan khususnya rajungan secara lestari.
8
5. Bagi Penelitian Berikutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan atau informasi bagi penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Perikanan
9