I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah (UMKM) di Indonesia mengalami pertumbuhan yang menggembirakan. Keberadaan UMKM di Indonesia pada tahun 2010 sangat besar jumlahnya yaitu 53.823.732 atau 99,9% dari total seluruh unit usaha di Indonesia. UMKM di Indonesia juga telah banyak menyerap tenaga kerja Indonesia. Sebanyak 99.401.775 tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor UMKM pada tahun 2010. UMKM sendiri telah menyumbang pemasukan untuk PDB Indonesia sebesar Rp3.466.393,3 Milyar atau sekitar 57,12% dari total PDB Indonesia. Tabel 1. Perkembangan UMKM di Indonesia tahun 2010 UMKM Usaha Besar Total Jumlah 53,823,732.00 4,838.00 53,828,570.00 Pangsa 99.99% 0.01% 100% Penyerapan Tenaga Kerja Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Sumbangan kepada PDB Persentase Sumbangan
99,401,775.00 2,839,711.00 102,241,486.00
97.22%
2.78%
100.00%
3,466,393.30 2,602,369.50
6,068,762.80
57.12%
42.88%
100%
Sumber: Departemen Koperasi Indonesia, 2011
Pertumbuhan UMKM harus mendapat dukungan dari semua pihak agar tetap konsisten tumbuh. Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah bantuan pembiayaan. Perbedaan pembiayaan dengan kredit adalah pada kredit, bank telah menetapkan bunga yang harus dilunasi, sedangkan pada pembiayaan, bank dan mitra sama-sama menyepakati bagi hasil atau margin yang akan diberikan peminajam. Oleh sebab itu, pembiayaan lebih adil dibanding kerdit. UMKM sangat membutuhkan Lembaga Keuangan seperti Perbankan. Banyak Perbankan di Indonesia baik asing maupun lokal yang sangat tertarik dalam pemberian kredit atau pembiayaan kepada para pengusaha UMKM karena
2
besarnya pangsa pasar yang dimiliki UMKM. Namun, ada berbagai kendala dalam pemberian kredit atau pembiayaan yang dilakukan oleh Perbankan, diantaranya wilayah jangkauan bank, jumlah pinjaman UMKM kecil, ketidakmampuan UMKM dalam pemenuhan persyaratan yang ditetapkan bank (bankable) hingga permasalahan dalam pengembalian kredit tersebut. Oleh karena itu, Lembaga Keuangan yang cocok untuk mengahadapi hambatan pembiayaan UMKM adalah Lembaga Keuangan Mikro. Di Indonesia sendiri terdapat Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) yaitu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal wat-Tamwil (BMT). Skim pembiayaan syariah di Indonesia masih tergolong baru. Walaupun demikian jika dilihat dari pertumbuhannya, perkembangan pembiayaan syariah selama beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang pesat. Keberadaan Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) diharapkan dapat membantu UMKM yang selama ini menghadapi permasalahan pembiayaan (Ma’turidi dan Syukur 2008). BMT diharapkan dapat menjadi Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dalam membantu pembiayaan UMKM yang relatif kecil namun berisiko tinggi. BMT Al-Fath IKMI (Ikatan Masjid Indonesia) merupakan salah satu Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang telah memberikan pembiayaan kepada UMKM. Sejak tahun 2005 hingga 2009, BMT Al-Fath IKMI secara konsisten meningkatkan jumlah pembiayaannya. Produk yang ditawarkan juga bertambah. Pada 2005 hanya produk pembiayaan yang ditawarkan hanya Murabahah dan Mudharabah, namun sejak 2007 BMT Al-Fath IKMI menambah produknya menjadi Murabahah, Ijarah, Mudharabah, dan Musyarakah. Tabel 2. Pembiayaan BMT Al-Fath IKMI 2005-2009 Tahun
Murabahah
Ijarah
Mudharabah
Musyarakah
total pembiayaan
2005
1.428.361.370,31
0
15.264.974
0
1.443.626.344,31
2006
1.906.771.597,30
0
12.396.837
0
1.919.168.434,30
2007
2.056.941.750,29
260.164.331
14.237.437
5.000.000
2.336.343.518,29
2008
3.178.111.934,00
683.897.497
42.354.337
5.000.000
3.909.363.768,00
5.400.000
5.074.393.134,00
2009 4.110.332.580,00 924.356.116 34.304.437 Sumber: Laporan Keuangan BMT Al-Fath IKMI, 2005-2009
3
BMT Al-Fath IKMI telah melakukan fungsi penyaluran dana kepada para debitur. Debitur yang sudah menerima penyaluran dana pada bulan Januari 2012 berjumlah 1053 untuk produk Murabahah dan Ijarah. Debitur BMT AlFath IKMI bersifat heterogen dan berasal dari berbagai latar belakang, namun pada umumnya debitur berasal dari pengusaha UMKM (usaha mikro kecil dan menengah). Rendahnya kemampuan debitur dalam memenuhi persyaratan dan penggunaan dana menimbulkan risiko yang besar bagi BMT Al-Fath IKMI. Penilaian keberhasilan sebuah Lembaga Keuangan Mikro Syariah tidak hanya dari peningkatan jumlah pembiayaan atau pertambahan produk, namun juga harus dilihat dari kemampuan lembaga keuangan tersebut dalam mengatasi
risiko
pembiayaan.
Peningkatan
jumlah
pembiayaan
dan
pertambahan produk juga harus didukung dengan tata kelola yang baik pada BMT terutama dalam segi manajemen risiko pembiayaan. Salah satu alat ukur manajemen risiko pada pembaiayaan adalah NPF (Non Performing Financing). Seiring peningkatan jumlah pembiayaan yang diberikan BMT Al-Fath IKMI sejak tahun 2005 hingga 2009, NPF BMT Al-Fath IKMI pun ikut berubah. Penyebab perubahan NPF adalah bertambahnya produk baru, peningkatan jumlah pembiayaan, dan kelemahan BMT Al-Fath IKMI dalam melakukan penilaian terhadap calon debitur yang semakin beragam. Pada tahun 2007 BMT Al-Fath IKMI menambah dua produk baru yaitu Ijarah dan Musyarakah seperti pada tabel 2 dan pada tahun 2007 juga NPF BMT Al-Fath IKMI meningkat. Tabel 3. Non Performing Financing (NPF) BMT Al-Fath IKMI 2005-2009 tahun 2005 2006 2007 2008 NPF Bruto
5,50%
7,00%
11,27%
8,88%
2009 11,14%
Sumber: Laporan Keuangan BMT Al-Fath IKMI, 2005-2009
BMT Al-Fath IKMI telah menerapkan manajemen risiko yang masih sederhana. Penerapan manajemen risiko pada BMT akan memberikan manfaat dalam memperbaiki indeks NPF. Pencegahan pada kemungkinan terjadinya kerugian di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen risiko. Manajemen risiko juga dapat meningkatkan metode dan
4
proses pengambilan keputusan yang sistematis berdasarkan atas ketersediaan informasi, sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja BMT yang pada akhirnya menuju pada peningkatan daya saing BMT. 1.2 Rumusan Masalah BMT Al-Fath IKMI sendiri telah menerapkan manajemen risiko untuk mengurangi kerugian akibat gagal bayar. Manajemen risiko yang diterapkan BMT Al-Fath IKMI berupa analisis pembiayaan, pengikuran indeks NPF, dan tindakan mitigasi risiko. BMT Al-Fath IKMI melakukan tindakan mitigasi risiko setelah terjadi pembiayaan bermasalah pada debitur. Penerapan Manajemen risiko sebenarnya sudah dapat dilakukan sebelum terjadinya masalah gagal bayar. Manajemen risiko diawali dengan pencarian informasi yang akurat mengenai debitur. Informasi debitur digunakan untuk mengelompokkan debitur sehingga BMT Al-Fath IKMI dapat melakukan tindakan mitigasi risiko yang tepat berdasarkan kelompok debitur. Berdasarkan penjelasan di atas, rumusan masalah yang akan diteliti adalah: 1. Apa saja faktor-faktor yang dapat memprediksi kolektabilitas debitur? 2. Berapa potensi kerugian yang akan dihadapi BMT Al-Fath IKMI akibat gagal bayar? 3. Bagaimana tindakan mitigasi risiko pembiayaan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerugian? 1.3 Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan penelitian di atas, maka tujuan penelitan ini antara lain: 1. Mengetahui faktor-faktor yang dapat memprediksi kolektabilitas debitur BMT Al-Fath IKMI 2. Menghitung pencadangan yang harus disediakan akibat gagal bayar 3. Menganalisis tindakan mitigasi risiko pembiayaan untuk mengurangi kerugian
5
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah BMT Al-Fath IKMI dapat memprediksi kolektabilitas debitur dengan menggunakan faktor-faktor yang diperoleh dari hasil analisis diskriminan. Selain itu, penelitian ini berguna sebagai masukan bagi BMT Al-Fath IKMI dalam menentukan jumlah pencadangan yang harus disediakan akibat gagal bayar. Manfaat ketiga adalah memberikan masukan mengenai strategi mitigasi risiko yang dapat dilakukan oleh BMT Al-Fath IKMI. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan membahas risiko kredit pada pembiayaan syariah, sedangkan risiko yang lain seperti risiko operasional, pasar, dan strategis tidak dibahas dalam penelitian ini. BMT Al-Fath IKMI memiliki berbagai macam produk pembiayaan akan tetapi jenis pembiayaan yang akan diteliti hanya pada pembiayaan UMKM untuk produk Murabahah dan Ijarah. Pemilihan produk Murabahah dan Ijarah dilakukan atas dasar kemiripan karakteristik kedua produk tersebut dan besarnya proporsi pembiayaan pada kedua produk tersebut. Data dan informasi yang diperoleh adalah berdasarkan sudut pandang pihak BMT Al-Fath IKMI. Data yang digunakan untuk mengukur potensi kerugian adalah data saldo akhir harga pokok, kolektabilitas, dan probability of default. Saldo akhir harga pokok dan kolektabilitas debitur berasal dari dokumentasi BMT Al-Fath IKMI pada bulan Januari 2012. Hal ini dikarenakan potensi kerugian yang diukur adalah untuk tahun 2012 dan data yang disediakan oleh BMT Al-Fath IKMI baru sampai bulan Januari 2012. Probability of default yang digunakan hanya berdasarkan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM karena BMT AlFath IKMI berbentuk Koperasi.