I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun keterbukaan di sektor finansial (financial openness). Keterbukaan ekonomi menggambarkan semakin hilangnya hambatan dalam melakukan perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif, dan semakin lancarnya mobilitas modal antarnegara. Secara teori keterbukaan ekonomi menjanjikan keuntungan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Keuntungan dari perdagangan internasional di antaranya berupa pembukaan akses pasar yang lebih luas, pencapaian tingkat efisiensi dan daya saing ekonomi yang lebih tinggi, serta peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Sementara itu, keterbukaan di sektor finansial dapat mendorong masuknya modal asing (capital inflow), serta mempercepat terjadinya akumulasi modal dan transfer teknologi (Salvatore, 1997). Namun demikian, manfaat yang diterima oleh setiap negara dari keterbukaan ekonomi tidak menunjukkan pola dan besaran yang sama. Data empiris menunjukkan bahwa globalisasi cenderung memperkaya negara-negara maju, yang mana telah menguasai sumberdaya ekonomi strategis seperti modal, teknologi, dan informasi. Penelitian yang dilakukan oleh Birdsell dalam Halwani (2005) menyatakan bahwa penduduk miskin dunia yang populasinya mencapai 80 persen hanya menikmati 20 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, sebaliknya 20 persen penduduk kaya telah menguasai 80 persen PDB dunia pada tahun 1995. Berbagai perjanjian ekonomi, baik bilateral maupun regional, disepakati untuk meningkatkan kesiapan negara-negara anggotanya dalam menghadapi persaingan global yang semakin nyata. Perkembangan dunia internasional setelah Perang Dunia II, sesuai laporan WTO (World Trade Organization), diwarnai oleh fenomena maraknya perjanjian ekonomi regional di berbagai belahan dunia menuju ke arah globalisasi. Hingga tahun 2006 terdapat sekitar 200 perjanjian
ekonomi regional di seluruh dunia yang berjalan efektif dan masih ada sejumlah lagi dalam taraf negosiasi. Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara di suatu kawasan melakukan kesepakatan untuk membentuk perdagangan bebas regional (WTO, 2010). Pertama, perundingan perdagangan secara multilateral di bawah kerangka GATT/WTO tidak selamanya berjalan lancar dan membutuhkan waktu relatif lama. Kedua, perdagangan bebas regional diharapkan dapat mempercepat proses integrasi ekonomi di suatu kawasan. Ketiga, perdagangan bebas regional dijadikan sebagai batu loncatan menuju liberalisasi perdagangan multilateral dalam kerangka WTO. Keempat, melihat kenyataan bahwa sejak tahun 1990-an liberalisasi perdagangan regional semakin berkembang pesat, terutama di Kawasan Eropa dan Amerika Utara. Dan kelima, pembentukan perdagangan bebas regional sebagai komitmen politik untuk meningkatkan kerjasama regional yang lebih luas. Di Kawasan Asia, beberapa kerjasama tingkat regional yang sudah berlangsung di antaranya adalah ASEAN Free Trade Area (AFTA) sejak tahun 1992 yang beranggotakan sepuluh negara dan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang ditandatangani tahun 2004. Selain itu, telah dirintis pula kerangka kerjasama untuk mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community, AEC) pada tahun 2015 dan Masyarakat Ekonomi Asia Timur (East Asian Economic Community, EAEC) yang dipelopori oleh negara-negara ASEAN, China, Jepang dan Korea Selatan atau dikenal dengan sebutan ASEAN+3. Kerjasama regional ASEAN+3 dimaksudkan untuk menjadikan kawasan ini sebagai kutub baru pertumbuhan dunia, selain European Union (EU) di Benua Eropa dan North American Free Trade Area (NAFTA) di Kawasan Amerika Utara. Tingkat integrasi ekonomi di Kawasan Asia telah mengalami perkembangan yang signifikan pada dekade terakhir, di antaranya ditunjukkan oleh semakin tingginya intensitas perdagangan antarnegara di dalam kawasan (intra-region trade) dibanding perdagangan dengan negara-negara di luar kawasan (inter-region trade). Perdagangan barang (merchandize trade) intra-region di Kawasan Asia pada tahun 2009 telah mencapai 52 persen dari total perdagangan negara-negara
Asia yang mencapai US$ 3.575 miliar. Capaian ini menempatkan Asia sebagai kawasan dengan perdagangan intra-region terbesar kedua setelah Uni Eropa yang mencapai sebesar 72 persen, dan telah melewati capaian NAFTA yakni sebesar 48 persen. Selain itu, nilai perdagangan Asia pada tahun 2009 telah menyumbang sebesar 29,4 persen dari total perdagangan dunia (WTO, 2010).
1.2. Perumusan Masalah Krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara Asia pada tahun 1997-1998 telah menyadarkan negara-negara ASEAN+3 untuk lebih mempererat kerjasama di tingkat regional dan memperkokoh pondasi perekonomiannya. Hal ini terkait dengan adanya hubungan saling ketergantungan yang tinggi di antara negaranegara Asia (Kawai, 2004). Lebih lanjut, adanya volatilitas dalam arus modal jangka pendek telah mengubah pula fokus perhatian negara-negara ASEAN+3 kepada penanaman modal asing (PMA) yang lebih memiliki efek dalam jangka panjang. Dalam dekade terakhir, tingkat keterbukaan ekonomi dan kinerja perdagangan di negara-negara ASEAN+3 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pangsa perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2008 telah mencapai rata-rata sebesar 142,09 persen. Hal ini menggambarkan aktifnya kawasan ini dalam perdagangan internasional, serta semakin lancarnya arus pertukaran barang dan jasa antarnegara. Kinerja perdagangan yang kian membaik terlihat dari perkembangan nilai ekspor yang semakin mendominasi dibandingkan dengan nilai impornya. Nilai ekspor neto ASEAN+3 pada tahun 1999 hanya sebesar US$ 180,02 miliar, kemudian meningkat menjadi US$ 489,95 miliar pada tahun 2008 atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 14,35 persen per tahun selama periode tersebut (World Bank, 2010). Selama kurun waktu 1999-2008, kenaikan ekspor neto China merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN+3 lainnya, yakni dari sebesar US$ 30,64 miliar pada tahun 1999 menjadi US$ 348,87 miliar pada tahun 2008. China selanjutnya merupakan pengekspor terbesar di kawasan ini sejak tahun 2004 menggantikan posisi Jepang. Sebaliknya, Philipina cenderung mengalami
defisit perdagangan dari tahun ke tahun. Perkembangan keterbukaan perdagangan, ekspor neto dan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Keterbukaan perdagangan, ekspor neto, dan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 tahun 1999 dan 2008
Negara Indonesia Malaysia Philipina Singapura Thailand China Jepang Korea Selatan ASEAN+3
Keterbukaan Perdagangan (%PDB) 1999 2008 62,94 58,42 231,6 217,57 0 102,78 75,56 423,1 273,12 1 150,4 104,02 9 37,97 62,09 18,97 32,48 107,2 71,44 0 142,0 111,10 9
Ekspor Neto (miliar US$)
Pertumbuhan Ekonomi (%)
1999 11,32
2008 5,82
1999 0,79
2008 6,01
19,83
31,30
6,14
4,63
0,12
-3,07
3,40
3,84
3,63
18,42
7,20
1,78
15,42
7,56
4,45
2,46
30,64 69,29
348,87 92,03
7,60 -0,14
9,60 -1,20
29,78
-10,97
9,49
2,30
180,02
489,95
4,86
3,68
Sumber: World Development Indicator (WDI) 2010 (diolah)
Peran perdagangan luar negeri (kegiatan ekspor-impor) pada perekonomian di negara-negara ASEAN+3 semakin mendapat perhatian secara intensif, terutama oleh para peneliti dan pengambil kebijakan. Adanya sebaran dan pola interaksi yang berbeda-beda antarnegara menjadi salah satu alasan perlunya penelitian dilakukan di berbagai negara. Lebih lanjut, pemberlakuan liberalisasi perdagangan yang disertai oleh penguatan kerjasama di tingkat regional diharapkan dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan penduduk di setiap negara yang terlibat di dalamnya, di antaranya melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja yang seluas-luasnya. Kendati demikian, besaran manfaat yang diterima oleh masing-masing negara tidak terlepas dari tingkat kesiapan dan kekuatan yang dimiliki oleh setiap negara dalam menghadapi persaingan di tingkat global. Selain itu, dipengaruhi pula oleh kondisi dan karakteristik tiap negara seperti letak geografis, stabilitas politik dan keamanan, struktur perekonomian, etos kerja dan kualitas sumberdaya
manusia. Hasil penelitian Chen dan Gupta (2006) menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan dapat menguatkan dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, yaitu melalui penyerapan ilmu pengetahuan dan limpahan teknologi. Chang et al. (2009) selanjutnya menyatakan bahwa dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi berarti apabila disertai oleh perbaikan-perbaikan pada fasilitas pendukungnya, yakni mencakup sektor finansial (sistem keuangan), infrastruktur publik, kualitas modal manusia, fleksibilitas pasar tenaga kerja, serta stabilitas perekonomian dan harga. Dengan demikian, identifikasi dan pemahaman yang baik mengenai dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi mutlak diperlukan agar kebijakan yang diterapkan dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Pola dan interaksi yang terjadi antara keterbukaan perdagangan dengan faktor-faktor pendukungnya merupakan salah satu simpul yang perlu diurai dan ditelaah lebih lanjut dalam upaya menjelaskan pengaruh keterbukaan terhadap petumbuhan ekonomi di Kawasan ASEAN+3. Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3? 2. Bagaimana interaksi antara keterbukaan perdagangan dengan faktor-faktor pendukungnya dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk: 1. Menganalisis dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3. 2. Menganalisis interaksi antara keterbukaan perdagangan dengan faktor-faktor pendukungnya dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3. 3. Mengkaji implikasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah dan pihak-pihak lain mengenai dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 beserta faktor-faktor lain yang dapat dipacu untuk memaksimalkan keuntungan dari penerapan liberalisasi perdagangan, terutama terkait dengan eskalasi kerjasama di tingkat regional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan dunia pendidikan dan penelitian di masa mendatang.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup delapan negara di Kawasan ASEAN+3 yang meliputi Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand, China, Jepang, dan Korea Selatan dengan menggunakan data tahunan dari 1999 hingga 2008. Periode penelitian dimulai tahun 1999, selain karena alasan ketersediaan data, dimaksudkan pula untuk lebih memfokuskan pada kinerja perdagangan pascakrisis ekonomi tahun 1997-1998. Untuk memenuhi syarat analisis dan upaya menjawab permasalahan penelitian, dari kombinasi data tahunan (time series) di negara-negara ASEAN+3 (cross sectional) maka dibangun menjadi sebuah data panel untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, negara yang dianalisis untuk Kawasan ASEAN hanya mencakup lima negara dan untuk Negara China terbatas pada wilayah daratan (Mainland China), tidak termasuk Hongkong dan Makau. Kedua, indikator keterbukaan ekonomi hanya dilihat dari keterbukaan perdagangan, tidak mencakup keterbukaan di sektor finansial. Ketiga, keterbukaan perdagangan hanya dilihat dari pangsa perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB), tidak memperhitungkan perbedaan tingkat tarif dan nontarif yang masih diberlakukan pada produk dan atau negara tertentu.