I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sumberdaya air merupakan Common Pool Resources (CPRs) yang bersifat alami dan tradisional. CPRs tradisional lainnya adalah sumberdaya hutan dan udara. Orstrom (1990) menjelaskan dua karakteristik utama CPRs, yaitu: (1) memiliki sifat substractibility atau rivalness didalam pemanfaatannya, dalam arti setiap konsumsi seseorang atau pemanenan atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya; (2) adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya untuk pihak-pihak lain yang menjadi pemanfaat (beneficiaries). Sumberdaya air di masa lalu terutama di daerah-daerah yang berlimpah,
seakan
tersedia
secara
tidak
terbatas;
sumberdaya
air
sebenarnya tersedia secara terbatas, hal ini dapat terjadi karena adanya penurunan kualitas lingkungan yang diindikasikan oleh perubahan debit sungai, berkurangnya debit dan kapasitas mata air, dan penurunan kualitas air akibat pencemaran.
Namun, karena pada kondisi-kondisi tertentu air
tersebut tersedia cukup banyak sehingga tidak begitu dirasakan adanya keterbatasan ketersediaannya. Menurut Rustiadi 2006, kecenderungan pemanfaatan berlebihan atau overuse merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdayasumberdaya
CPRs,
untuk
itu
diperlukan
mekanisme
dan
sistem
kelembagaan yang dapat menghindarinya. Hal ini sejalan dengan gagasan Orstrom (1990) menyatakan: (1) privatisasi sumberdaya alam bukanlah cara yang tepat termasuk untuk menghambat kerusakan lingkungan, (2) pemerintah tak selalu sebagai pengatur terbaik bagi alokasi sumberdaya milik publik, dan (3) masyarakat bisa diberdayakan bagi komunitasnya sendiri, untuk mengatur sumberdaya alam.
Namun, mereka agar diberi
2 kepercayaan
untuk
memimpin
sendiri
pengelolaannya,
sebagaimana
dijumpai pada cara masyarakat tradisional mengelola lingkungannya, sebagai hak ulayat. Dalam pemahaman Sarosa (2002) bahwa pembangunan yang melibatkan masyarakat lokal dan memperhatikan ekosistem alami telah mencapai tahapan atau phase tiga yang didalamnya terdapat lima visi, meliputi produktivitas ekonomi (economic productivity), keberlanjutan secara ekologi (ecological sustainability), keadilan sosial (social justice), partisipasi politik (political participation) dan adanya semangat atau getaran kultural (cultural vibrancy) yang ada pada masyarakat. Menurut Schlager dan Orstrom (1992) hak atas kepemilikan sumberdaya air
dicirikan oleh: (1) Access, adalah hak untuk masuk ke
suatu sumberdaya air, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat sumberdaya air berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di sekitar sumberdaya air berada akan memiliki hak ini. (2) Withdrawal, adalah hak untuk mengambil unit air dari sumberdaya air untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan masyarakat. (3)
Management,
adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana sumberdaya air itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan collective. Dalam hal demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya air yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. (4) Exclusion, adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya air tertentu dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumberdaya air berada, namun lebih baik jika disini diperlukan otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna air. (5) Transfers, adalah hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan sumberdaya air kepada pihak lain yang memerlukannya.
Otoritas ini juga biasanya dimiliki oleh
masyarakat komunal lokal dan pemerintah.
3 Kedua hak pertama digolongkan pada hak tingkat operasional (operational level), sedangkan ketiga hak terakhir digolongkan pada tingkat pilihan bersama (collective-choice level). Kelima hak tersebut, lebih lanjut dinyatakan, bila kelima hak tersebut dimiliki oleh masyarakat atau seseorang atau badan usaha, berarti sumberdaya air tersebut property right-nya bersifat private property right, tetapi jika hanya sebagian, misalnya hanya memiliki hak akses dan pengambilan, maka property right atas sumberdaya air bersifat common property right; demikian pula bila masyarakat lokal memiliki hak exclusion, maka masyarakat lokal langsung memiliki hak akses, hak pengambilan, dan hak manajemen atas sumberdaya air yang ada. Kelima hak kepemilikan atas sumberdaya air tersebut, secara umum dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu: (1) pemilik (owner), (2) penggarap (propriator), (3) pengkalim (claimant), (4) pengguna yang diberi otoritas (authorized user). Dengan demikian pemilik atas sumberdaya air seharusnya memiliki otoritas dari semua hak di atas, sedangkan pengguna (user) diberi otoritas hanya memiliki salah satu dari kelima hak yang ada, misalnya hak akses dan hak pengambilan, sedangkan hak manajemen, exclusion dan transfer tidak dimiliki oleh user, namun berada di tangan pihak lain, bisa pemerintah atau masyarakat komunal, dimana hak exclusion dan transfer pengaturannya harus melalui pemerintah. Air merupakan sumberdaya alam yang berfungsi sebagai unsur paling esensial dan penentu terpenting dalam kehidupan setiap makhluk hidup serta pada beberapa keadaan dapat merupakan faktor yang menentukan terhadap tingkat kemakmuran suatu masyarakat bangsa. Dengan demikian air merupakan sumberdaya alam yang sangat strategis dan vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan serta keberadaannya tidak digantikan oleh materi lainnya. Dalam hal ini, air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan baik dalam lingkungan atmosfir, litosfir dan biosfir; sehingga pasokan air yang mendukung berjalannya
4 pembangunan
dan
berbagai
kebutuhan
manusia
perlu
dijamin
kesinambungannya terutama kuantitas dan kualitasnya. Meningkatnya jumlah penduduk, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi maka ketersediaan dan pemanfaatan air bersih (fresh water) untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat manusia dan peningkatan kinerja ekonomi mengalami perubahan dan cenderung terdapat arah yang menimbulkan sifat kelangkaan akan air bersih. Terlebih karena air bersifat barang publik yang telah menjadi barang ekonomis yang semakin strategis, maka pemanfaatan sumberdaya
air
(baku)
bersih
menimbulkan
tiga
jenis
persaingan
(competitions), yaitu: (1) persaingan antara individual atau kelompok pengguna (antara pihak-pihak kelompok kaya dan miskin atau kelompok berdaya dan tidak berdaya) dalam satu generasi, (2) kompetisi spasial seperti antara desa dan kota, antara hulu dan hilir, ataupun (3) persaingan temporal antara generasi saat ini dan generasi mendatang bagi keperluan kehidupan.
Sehubungan
dengan
kompetisi
tersebut
maka
dalam
pengalokasian sumberdaya air haruslah ditangani dengan baik, kearah perbaikan efisiensi dan keadilan (equity) agar tidak terjadi kemubaziran dan tidak mengarah kepada ketidakberlanjutan atau kelangkaan. Pemanfaatan air baku dalam pengelolaan pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM) dan pengelolaan air (bersih) minum diharapkan dapat terintegrasi dalam tiga pilar pembangunan berkelanjutan, yaitu lingkungan atau ekologi atau ekosistem, ekonomi, dan sosial (Munasinghe
1993).
Pertama,
memasukkan
pertimbangan
ekologi
(lingkungan) dalam setiap kebijakan ekonomi dan sektoral, artinya menciptakan pembangunan berwawasan lingkungan. Kedua, menyarankan strategi preventif atau antisipasi dalam setiap proyek atau kegiatan pembangunan karena mencegah lebih baik dan lebih murah dibandingkan dengan memperbaiki yang telah terlanjur rusak. Ketiga, memperluas gerakan peduli lingkungan yang akan menghasilkan pembangunan ekonomi
5 yang baik dan berkelanjutan untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik di masa mendatang. Seragaldin 1994 menjelaskan dalam pembangunan berkelanjutan perlu adanya tiga tujuan pembangunan, yaitu: pertama, tujuan ekosistem dan tujuan ekonomi, bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam untuk tujuan pembangunan ekonomi harus didahului oleh evaluasi dampak lingkungan sebagai langkah pencegahan terhadap resiko-resiko lingkungan yang dapat terjadi. Kecenderungan untuk mengabaikan nilai-nilai yang tidak memiliki harga (instrinsic value) ataupun atas beban sosial masyarakat sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya alam harus dihindari. Bila tidak, hal itu akan menimbulkan eksternalitas negatif yang akan merugikan masyarakat secara keseluruhan karena akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas kehidupan dan lingkungannya, sehingga upaya-upaya internalisasi atas eksternalitas negatif harus dilakukan, misalnya dengan program kompensasi kepada masyarakat. Kedua, tujuan ekosistem dan tujuan sosial, dalam upaya konservasi sumberdaya alam, seperti hutan, harus mempertimbangkan masyarakat yang berdomisili di sekitar sumberdaya tersebut. Kalau tidak maka akan berakibat pada terjadinya kemiskinan dan program perlindungan lingkungan menjadi suatu kegagalan. Selain itu karena tekanan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat maka program konservasi menjadi sangat penting dan berarti, sehingga diperlukan adanya pengukuhan atas hak-hak kepemilikan dan hak-hak ulayat masyarakat lokal. Konsultasi publik sebelum perumusan dan implementasi suatu program perlu dilakukan guna merangsang dan menggali potensi dan kearifan lokal yang ada dalam masyarakat. Ketiga, tujuan sosial dan tujuan ekonomi, unsur-unsur yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan sosial dan tujuan ekonomi secara bersamaan, yaitu: distribusi pendapatan, lapangan kerja, dan bantuan sosial. Misalnya, pemberian kesempatan berusaha dan pengembangan usaha bagi masyarakat kecil perlu dibarengi dengan program pemberian fasilitas kredit,
6 insentif, kompensasi dan penyediaan berbagai fasilitas untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya
manusia
seperti
pedampingan
dan
pelatihan,
pendidikan dan penyuluhan. Ketiga domain tersebut satu dengan yang lainnya saling berikatan, namun mempunyai kepentingan yang berbeda pada saat memanfaatkan sumberdaya air (Sanim 2003). Pada domain ekosistem dimana masyarakat lokal (inhibitant) yang berdomisili di dalam dan di sekitar sumberdaya air dapat
mempunyai
dua
pandangan
filosofis.
Jika
masyarakat
lokal
berlandaskan pada filosofis atau paradigma antropocentrisme, maka air sebagai barang publik dan Common Pool Resources (CPRs) dapat dimanfaatkan secara boros (tidak efisien) dan tanpa dilandasi keberlanjutan.
Sebaliknya
bila
ecocentrisme
yang
perlunya
melandasi
cara
pandangnya, maka efisiensi dan keberlanjutan sumberdaya air menjadi satu hal yang sangat penting dalam kehidupannya. Gambaran
integrasi
antara
pilar
dan
tujuan
pembangunan
berkelanjutan, kemudian digabungkan dengan kerangka pendekatan filosofis dalam kebijakan pemanfaatan sumberdaya air yang dibedakan dalam tiga domain (ruang), meliputi: ecosystem atau ecological sector domain, private sector domain, dan public sector domain yang satu dengan lainnya mempunyai kepentingan berbeda namun terintegrasi dan komprehensif (Gambar 1.1). Domain sektor publik, menyerahkan rekonstruksi atau perbaikan dalam pengelolaan air baku untuk air (bersih) minum diserahkan pada rekayasa kebijakan publik melalui desentralisasi kekuasaan dan manajemen dengan menyerahkan tanggung jawab kepada Pemerintah Daerah atau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) secara regionalisasi atau dikordinasikan oleh Pemerintah
Propinsi (seperti Perusahaan Jasa
Tirta), hal ini sejalan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 16 tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM dengan
7 tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kecenderungannya yang lebih dominan menganut paradigma ecocentrisme daripada antropocentrisme. Domain Ekosistem (Ekologi) Ecosystem sector domain
Penguatan Ecocentrisme
Partisipasi Konsultasi Pluralisme
Paradigma Antropocentrisme
Tujuan Ekosistem: Daya Dukung, Isu Global, dan Integrasi lingkungan Evaluasi dan Internalisasi Dampak, Penilaian Sumberdaya
atau Ecocentrisme? Tujuan Sosial: Pemberdayaan, Partisipasi, Mobilitas, Kelembagaan
Domain Publik (sosial-umum) Public sector domain
Domain Pasar (Ekonomi) Private sector domain
Tujuan Ekonomi: Pertumbuhan, Efisiensi, Pemerataan
Distribusi Pendapatan, Lapangan Kerja, Perbantuan
Rekontruksi Pengelolaan Sumberdaya Air melalui Rekayasa Kebijakan Publik (Regionalisasi dan Desentralisasi pada PemerintahDaerah)
Rekontruksi Pengelolaan Sumberdaya Air melalui Rekayasa Kebijakan Privat (Privatisasi dan Desentralisasi)
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Peraturan Lainnya Penguatan Paradigma Ecocentrisme (domain ekosistem)
Gambar 1.1 Pemanfaatan Sumberdaya Air Berbasis Penguatan Ekologi (Modifikasi dari: Munasinghe 1993; Seragaldin 1994; Putri 2003; Sanim 2003; ) Domain sektor privat dalam pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui mekanisme kebijakan di sektor privat,
dimana desentralisasi
kekuasaan dan manajemen dilakukan melalui privatisasi. Dalam UU No. 7
8 Tahun 2004 tentang Sumberdaya air peran privat atau swasta dimungkinkan untuk terlibat dalam pengelolaan air (bersih) minum, sehingga dimungkinkan adanya
komersialisasi
atas
sumberdaya
air
dengan
tetap
mempertimbangkan kerangka filosofis antropocentrisme atau ecocentrisme. Namun, karena domainnya bersifat privat, kecenderungannya akan lebih dominan menganut paradigma antropocentrisme daripada ecocentrisme. Berdasarkan
latar
belakang
pentingnya
tiga
pilar
dalam
pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan sumberdaya air selain perlu memliki ketiga tujuan pembangunan berkelanjutan, maka harus dilandasi pula oleh paradigma ecocentrisme sebagai umpan balik pembangunan untuk menjamin kelestarian sumberdaya air di masa depan untuk generasi mendatang. Oleh karenanya diperlukan adanya sistem insentif sebagai kompensasi atas jasa lingkungan air terutama bagi pengaturan perilaku antara masyarakat yang berada di hulu dengan masyarakat yang memanfaatkan air di hilir dalam kerangka untuk menstabilisasikan dan keberlanjutan
kehidupan
manusia
di
masa
depan
dengan
tetap
mendapatkan manfaat penting atas keberadaan sumberdaya air tersebut secara bijaksana dan ramah lingkungan (green product) pada saat sekarang. Kondisi demikian yang menghubungkan adanya peningkatan yang tinggi atas pengambilan dan pemanfaatan air dengan kompensasi dalam skema jasa lingkungan berupa Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) atau Payment for Environmental Services (PES). Dalam kontek demikian, perlu adanya pemikiran tentang adanya insentif terhadap penyedia jasa lingkungan yang oleh para pemanfaat air minum (benefeciaries) disesuaikan dengan nilai pembayaran jasa lingkungannya sebagai biaya konservasi di hulu menjadi sesuatu yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat penyedia jasa lingkungan berupa PJL sebagai kompensasi atas penggunaan jasa lingkungan air (bersih) minum. Pembayaran jasa lingkungan memberikan arti penting dalam hal keberlanjutan pengelolaan air minum, mengapa? Pertama, karena masih
9 banyak orang yang belum mendapatkan jasa lingkungan yang layak atas pengusahaan air minum. Kedua, potensi perkembangan pemasaran jasa air pada saat sekarang cukup menjanjikan. Kertiga, pentingnya peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan yang bergerak dan terkait dalam usaha jasa air yang ramah lingkungan, antara lain: (a) pemerintah (pusat dan daerah, lintas sektoral, regional dan/atau wilayah), (b) masyarakat, (c) swasta atau badan usaha, (d) lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan (e) lembaga donor. Penelitian ini mencoba menguraikan pentingnya analisis kebijakan atas pengelolaan sumberdaya air baku yang dimanfaatkan untuk air minum yang secara kompleksitas kebijakan diperlihatkan pada Lampiran Tabel 6.1; selain itu pentingnya analisis terhadap pembayaran jasa lingkungan (PJL) bagi kelestariaan lingkungan yang mampu menghasilkan: (a)
nilai
pembayaran jasa lingkungan dan prinsip-prinsip kebijakan yang berkaitan dengan mekanisme PJL; dan (b) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan lingkungan atas pengelolaan air (bersih) minum.
1.2
Perumusan Masalah
Masalah adanya sifat keterbatasan atas sumberdaya air timbul karena adanya kecenderungan overuse atau penggunaan yang berlebih sehingga sangat mengganggu potensi orang lain untuk memanfaatkannya. Kecenderungan overuse dapat menyebabkan congestion, hal ini terjadi karena ketidakseimbangan antara supply dan demand pada waktu tertentu. Kecenderungan overuse akan mengarah pada degradasi dan deplesi sumberdaya air. Dengan perkataan lain, penyediaan (supply) sumberdaya air dapat menjadi semakin kritis, sementara permintaannya menjadi terus meningkat sehingga akan mengalami banyak kejadian periode defisit air. Selain itu dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat
telah
mengakibatkan
peningkatan
terhadap
permintaan
(demand) air bersih, apabila standar kehidupan masyarakat menjadi meningkat terutama di wilayah perkotaan, sehingga konsumsi air perkapita
10 juga akan menjadi meningkat.
Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat
ketersediaan air sudah berkaitan dengan kemajuan ekonomi;
maka
diperlukan adanya sistem insentif yang kuat untuk menghemat air berupa harga air yang tepat (the right price) berdasarkan nilai keekonomiannya dengan memperhatikan perlindungannya di hulu dan didukung oleh sistem kelembagaan yang benar (the right institution).
Masalah adanya biaya
(cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya untuk pihak-pihak lain yang menjadi pemanfaat, seperti halnya barang publik (public goods) atau CPRs memiliki permasalahan yang sama yaitu kehadiran pihak-pihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan dimaksud. Kecenderungan overuse yang melampaui batas akan mengancam pada keberlanjutan sistem produksi dalam pengelolaan air minum. Permasalahan lingkungan dalam pengelolaan air minum disebabkan antara lain karena adanya interaksi yang tidak harmonis antara aktivitas ekonomi dengan eksistensi dan terbatasnya kapasitas air baku dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia dan daya dukung lingkungan yang menurun. Peningkatan
jumlah
penduduk
dan
pendapatan
masyarakat
telah
mengakibatkan peningkatan terhadap permintaan (demand) air (bersih) minum terutama bila standar kehidupan masyarakat menjadi meningkat di wilayah perkotaan, sehingga konsumsi air per kapita meningkat pula. Data BPDAS 2007 menyatakan bahwa debit rata-rata per bulan di DAS Cisadane adalah 17 335 l/detik, tertinggi pada Desember 38 275 l/detik dan terendah pada bulan Agustus 1 107 l/detik. Mata air di Kabupaten dan Kota Bogor berjumlah 105 dan 58 diantaranya berada di wilayah DAS Cisadane, telah dieksploitasi sekitar 55 mata air dan 13 mata air diantaranya perlu mendapat perhatian. Satu mata air tingkat kekritisannya masuk dalam kategori sangat prioritas dalam hal penanganannya yaitu mata air Curuggalong (Caringin); ada mata air yang masuk kategori prioritas ada 10 mata air dan 2 mata air agak prioritas yang secara administratif tersebar di Kecamatan-kecamatan
11 Cijeruk, Cigombong, Caringin, dan Ciawi, Kabupaten Bogor. Selain itu di DAS Cisadane hulu, ada 4 mata air yang terletak di Kabupaten Bogor tetapi keempat mata air tersebut (Tangkil, Bantar Kambing, Palasari, dan Kota Batu) digunakan untuk kepentingan PDAM Kota Bogor, sedangkan PDAM Kabupaten Bogor adalah mata air Cibedug, Citiis, Cijeruk dan Ciburial. Menurut BPSDA (2009), pemanfatan air permukaan sepanjang DAS Cisadane untuk penggunaan air bersih, terdapat 15 titik diantaranya: PDAM Kota Bogor di Cipaku dengan pengambilan air 777 600 m3/bulan dan di Intake Ciherang Pondok 2 073 600 m3/bulan. Daerah aliran sungai (DAS) dipandang sebagai suatu sistem dimana semua komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain khususnya hubungan antara hulu dengan hilir; dimana keberlangsungan pengelolaan DAS dan konservasi tanah dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh keseimbangan tercapainya manfaat sosial ekonomi dan terpeliharanya fungsi lingkungan. Terjadinya gangguan atau kerusakan salah satu
komponen
ekosistem
tersebut
menyebabkan
gangguan
pada
keseluruhan sistem yang ada. Permasalahan di DAS Cisadane hulu terbagi dalam tiga aspek. Pertama, aspek biofisik, meliputi: (1) tingkat erosi, (2) sedimentasi sungai (3) penggunaan, penggarapan, dan konservasi lahan (4) penanaman pohon. Kedua, aspek kelembagaan, yaitu: (1) peraturan perundang-undangan, (2) mekanisme insentif, (3) kelembagaan masyarakat setempat. Ketiga, aspek sosial, budaya dan ekonomi, meliputi: (1) tingginya tekanan penduduk, (2) ketergantungan penduduk terhadap lahan, (3) respon penduduk terhadap sistem penggarapan dan konservasi lahan, (5) pengusahaan sumber air baku untuk air minum, (6) konflik kepentingan antar stakeholders, (7) pengelolaan
kebijakan
sumberdaya
air,
dan
(8)
kompensasi
penggunaan jasa lingkungan, sebagaimana disajikan pada Gambar 1.2.
atas
12 DAS CISADANE HULU
Masalah Biofisik: Pengendali Erosi, Sedimentasi, Reboisasi, Pertanian Konservasi
Masalah Kelembagaan: Peraturan, Perundangundangan, Mekanisme Insentif, Kelembagaan Lokal
Masalah Sosial, Budaya, Ekonomi: Jumlah Penduduk, Konflik, Ketergantungan terhadap Lahan, Pemanfaatan Air, Nilai Kompensasi
KESEIMBANGAN EKOSISTEM ALAMI: (1) Pengelolaan tanah; (2) Pengelolaan Sumberdaya Air; (3) Pengelolaan hutan; (4) Pembinaan Manusia (penerangan; penyuluhan; diklat; dan pendampingan)
Deplesi SDA (Hutan, Lahan, Air)
Pengusahaan SD Air
Ketersediaan SD Air Berkurang
SISI PENAWARAN SD AIR Penentuan Bioregion Sumber Air
Identifikasi Potensi Sumber Air
Potensi Kuantitas dan Kualitas Sumber Air
Kebijakan Perlindungan Resapan Air dan Petani di Hulu Perlunya Analisis Kebijakan PJL dalam Pengelolaan SPAM
Pertambahan Penduduk
Supply Demand Air
Jaminan Kontinuitas Pasokan Air
SISI PERMINTAAN SD AIR Kebutuhan Air Lokal
Nilai Ekonomi Air
Komitmen Stakeholders Dana Kompensasi Air
Dana Konservasi Sumber Air
Kebutuhan Air antar Wilayah
Mekanisme Transfer
Proses Negosiasi
MoU Kontribusi
BAGAIMANA KEBIJAKAN PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR MINUM? Penyedia Sumberdaya Air (Seller) di Hulu
Proses Transfer dan Transaksi ?
Pemanfaat Sumberdaya Air (Pengelola)
BAGAIMANA PEMERINTAH MENGATUR PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR ?
Gambar 1.2 Perumusan Masalah DAS Cisadane Hulu dalam Kebijakan PJL
13 Hubungan hulu (penyedia) dan hilir (pemanfaat) dalam pengelolaan air minum menjelaskan bahwa antara aktor, ruang dan waktu saling terkait (interconnected),
terjadi
saling
ketergantungan
(interdependent)
dan
membentuk suatu sistem ekologis, sehingga ketersediaan sumberdaya air di wilayah hilir (perkotaan) tergantung kepada upaya konservasi lingkungan (lahan hutan di daerah aliran sungai atau DAS) di wilayah hulu.
Menurut
Acreman (2004); Johnson et al. (2001) menyatakan bahwa bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan air ke daerah hilir, sehingga keterkaitan antara hulu dan hilir sangat kuat; artinya wilayah hilir tidak mungkin mendapatkan pasokan air (minum) berkelanjutan secara kuantitas dan kualitas yang memadai bila kondisi ekosistem wilayah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu. Komponen antar pemanfaat air minum dan penyedia jasa air dapat menyeimbangkan ekosistem sehingga dapat berlangsung dan berfungsi dengan baik dan berkelanjutan, sehingga diperlukan adanya aliran feedback atas penggunaan bahan dan energi berupa pembebanan biaya kompensasi atas penggunaan jasa lingkungan berupa pembayaran dengan sejumlah uang tertentu dari pengguna (users pay principle) kepada penghasil jasa lingkungan sesuai dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PJL), hal ini dikarenakan pengguna di hilir merupakan beneficiaries dan penyedia jasa di hulu sebagai supplier. Hal ini dapat dipahami bila terjadi gangguan di hulu, maka daya dukung lingkungan untuk melakukan peresapan air akan menjadi terganggu dan masyarakat di hilir akan kekurangan pasokan air; atau para pemanfaat air minum telah melakukan pemanfaatan berlebihan atau overuse dimana pihak-pihak yang mendapatkan manfaat tersebut tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan serta perbaikan atau pemulihan kawasan konservasi sebagai daerah resapan air. Untuk itu pentingnya pembayaran jasa lingkungan (transfer of payment environmental services) tersebut dari pemanfaat dapat digunakan sebagai dana konservasi dan rehabilitasi atau pemulihan kerusakan atas
sumberdaya alam dan
14 lingkungan di wiliyah hulu. Dengan adanya dana konservasi tersebut maka penyedia jasa di hulu dapat melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas lingkungan terutama di kawasan resapan air di hulu yang berlangsung secara berkelanjutan. Hubungan demikian telah lama menjadi perhatian para ekonom, ekolog dan hidrolog dalam bingkai penilaian ekonomi air (economic valuation of water), terutama semenjak meningkatnya pertumbuhan kelangkaan air bersih dan terjadinya peningkatan persaingan diantara sektor yang menggunakan air, sehingga isu-isu pengalokasian air menjadi semakin meningkat pula, khususnya di DAS Cisadane hulu yang terdapat persaingan diantara konsumen air baik di hulu (up stream) ataupun di hilir (down stream) ataupun alokasi air antar wilayah seperti penggunaan air oleh masyarakat perkotaan baik digunakan oleh rumah tangga, komersial ataupun industri dan wisata air dengan penggunan air oleh masyarakat perdesaan (pertanian) oleh petani. Penetapan nilai besaran kompensasi yang diberikan pengguna kepada penyedia jasa lingkungan dalam ekonomi lingkungan, nilai keuntungan yang diperoleh tidak mempunyai nilai pasar (non marketable); hal ini dikarenakan bersifat eksternalitas, dimana keuntungan atau manfaat pengelolaan lingkungan atau kerugian dan biaya kerusakan lingkungan berada di luar sistem pasar. Aplikasi ekonomi lingkungan dalam kebijakan perlindungan
dan
perbaikan
lingkungan
menghadapi
beberapa
permasalahan, misalnya sulitnya mengidentifikasi dan mengkuantifikasi jasa lingkungan, sulitnya valuasi keuntungan dan tingginya biaya serta adanya faktor waktu (diskonto), termasuk penilaian jasa lingkungan berdasarkan pada kesediaan orang untuk membayar jasa lingkungan yang lebih baik (variasi kompensasi) atau kesediaan menerima pembayaran bila diperoleh jasa yang lebih inferior (variasi ekuivalen). Pembiayaan atas pengambilan dan pemanfaatan jasa lingkungan air minum yang menganut dasar filosofis users pay principle dan ecocentrism
15 adalah dengan menerapkan pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan
(PJL)
air
ini
merupakan
suatu
konsep
sebagai
wujud
penghargaan dan upaya pelestarian terhadap sumber daya alam yang diharapkan dapat menjaga ekosistem daerah tangkapan air (water cathment area) yang ada di hulu dan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat hulu yang turut andil dan berperan dalam upaya konservasi alam di kawasan tersebut secara berkelanjutan. PJL memberikan arti penting dalam hal keberlanjutan sumberdaya air, mengapa? Pertama, karena masih banyak orang yang belum mendapatkan jasa lingkungan yang layak atas pengambilan dan pemanfaatan air minum. Kedua, potensi perkembangan pemasaran jasa air minum pada saat sekarang cukup menjanjikan dan mempunyai nilai ekonomis. Ketiga, bahwa konsep PJl air minum ini dibangun dengan kerangka pikir hubungan hulu dan hilir sebagai hubungan sistem keterkaitan terintegrasi. Keberadaan air (bersih) minum di dataran rendah atau oleh para pemanfaat air minum dalam hal ini hilir sangat bergantung pada ketersediaan air yang ada di kawasan hulu, sehingga menciptakan reward atau penghargaan yang diberikan oleh para pemanfaat air yang diwujudkan dalam kerangka pembayaran jasa lingkungan untuk tujuan perbaikan dan pemeliharaan kawasan resapan air dengan melakukan konservasi dan/atau restorasi hutan di kawasan hulu daerah aliran sungai. Berdasarkan
keadaan
sebagaimana
telah
diuraikan,
maka
permasalahan yang ingin ditelaah dalam penelitian (pertanyaan penelitian) ini adalah sebagai berikut: 1)
Apakah masyarakat dan pemanfaat air minum di DAS Cisadane hulu telah memperhatikan pembayaran jasa lingkungan?
2)
Bagaimana partisipasi dan pola perilaku masyarakat dalam melakukan konservasi di DAS Cisadane Hulu?
3)
Apakah pengelolaan air minum atau pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM) di DAS Cisadane hulu telah memperhatikan nilai ekonomi yang berbasis pada ekologi atau paradigma ekosentrisme?
16 4)
Bagaimana implikasi kebijakan dalam pengelolaan air minum (air bersih) melalui instrumen ekonomi berbasis ekologi bagi para pengelola pengembangan SPAM atau pemanfaat air minum? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian keterkaitan antara wilayah hulu dengan wilayah hilir
sebagai suatu ekosistem terpadu dalam pengelolaan sistem penyediaan air minum (SPAM) di DAS Cisadane hulu secara umum bertujuan untuk: “Mengidentifikasi, menganalisis dan mengevaluasi pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum di DAS Cisadane hulu”. Selain tujuan umum di atas, penelitian tentang pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan (PJL) pada pengelolaan SPAM di DAS Cisadane hulu mempunyai tujuan khusus, yaitu: 1)
Untuk mengkaji pengetahuan, apresiasi masyarakat dan pengelola air minum di DAS Cisadane hulu dalam hubungannya dengan pembayaran jasa lingkungan.
2)
Untuk menganalisis perilaku masyarakat dalam melakukan konservasi lahan dan air serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3)
Menganalisis nilai kemauan membayar (WTP) dan kesediaan menerima pembayaran (WTA) atas jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
4)
Melakukan sintesa kebijakan sebagai implikasi penelitian dalam pengembangan
kebijakan
pembayaran
jasa
lingkungan
dalam
pengelolaan air minum di DAS Cisadane hulu. 1.4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan, dan berguna bagi referensi dan atau rekomendasi dalam menata kebijakan sistem penyediaan dan pengelolaa air minum yang berbasis lingkungan guna mengantisipasi pengelolaan air minum di era millennium development goals
17 (MDGs), khususnya guna penguatan kebijakan kelembagaan yang ramah lingkungan baik oleh lembaga PDAM, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Swasta, masyarakat di wilayah hulu dan wilayah hilir maupun stakeholders lainnya di era otonomi daerah.
Adanya MDGs melalui deklarasi PBB
tersebut merupakan momentum yang tepat untuk mulai memprioritaskan pemenuhan kebutuhan air minum dan sanitasi bagi masyarakat, sehingga para stakeholders menerima manfaat ketika memperoleh air yang siap minum, yang secara kimia, fisika dan bakteriologis layak minum. 1.5
Kebaruan Penelitian
Kebaruan (novelty) penelitian ini meliputi: 1)
Kajian studi pengelolaan air minum bersifat terpadu (hulu hilir) atau integrated water management mencakup aspek manfaat ekologi, manfaat ekonomi, dan manfaat sosial yang bersifat komprehensif, komplek dan partisipatif dari berbagai pemangku kepentingan.
2)
Kajian studi tentang pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum bersifat multi stakeholders meliputi kelompok: pengelola usaha air minum, masyarakat penyedia jasa lingkungan, dan masyarakat yang bersedia melakukan konservasi untuk keberlanjutan dalam pengelolaan air minum.
3)
Implikasi pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan (PJL) dalam Pengelolaan Air Minum di DAS Cisadane hulu yang belum memasukan instrumen (biaya) ekonomi lingkungan.
1.6
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan suatu bentuk kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum yang berupa sistem kebijakan pengelolaan air minum yang adil dan mampu menghasilkan insentif pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan usaha air minum secara proporsional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, termasuk kemauan membayar atau willingness to pay (WTP) dan kesediaan
18 masyarakat menerima atau willingness to accept (WTA) atas jasa perbaikan lingkungan.
Dalam hal pengkajian terhadap instrumen ekonomi tersebut
berdasarkan basis pengguna jasa lingkungan pada kelompok pengelola usaha air minum dan basis penyedia jasa yang bersedia menerima jasa lingkungan serta untuk menganalisis perilaku masyarakat dalam melakukan konservasi lahan atau willingness to conserve (WTC). Ruang lingkup kajian berbasis DAS Cisadane hulu baik yang berada di kabupaten Bogor maupun di Kota Bogor. Dalam hal ini mengamati ketersediaan air baku baik secara kuantitas maupun kualitas.
Air yang
dimaksudkan merupakan air baku yang bersumber dari aliran permukaan sungai Cisadane yang pendistribusiannya antara lain melalui PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor (Intake Ciherang Pondok dan intake Cipaku, elevasi 373,2 meter), air permukaan lainnya, air tanah, dan mata air yang dikelola oleh PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor, atau perorangan dan Swasta. DAS Cisadane hulu, sungai utamanya adalah Sungai Cisadane, selain sungai utama cakupan lingkup studi meliputi anak-anak sungai Cisadane, yaitu yang bersifat ordo-1 antara lain: anak sungai Cikereteg, anak sungai Cijeruk, anak sungai Cigenteng yang melintasi wilayah Kabupaten Bogor bagian Selatan, anak sungai Cipaku atau anak sungai Cilulumpang di Bogor Selatan, anak sungai Cipinang Gading, anak sungai Cipakancilan, anak sungai Cikaret, anak sungai Cisindangbarang di wilayah Bogor Barat. Adapun anak sungai yang termasuk ordo-2, antara lain: anak sungai Cipatayangan di Bogor Selatan, anak sungai Cibeureum, anak sungai Cileungsi, anak sungai Ciapus, dan anak sungai Ciomas di Bogor Barat; kemudian masuk dalam ordo-3 dan ordo seterusnya, termasuk anak sungaianak sungainya akan dikembangkan sebagai hasil kajian atas penelitian ini, khususnya dalam batas DAS Cisadane hulu yang secara batas wilayah adiministratif studi mencakup 6 kecamatan di Kabupaten Bogor, meliputi kecamatan-kecamatan Ciawi, Caringin, Cijeruk, Cigombong, Tamanssari, dan Ciomas; dan 3 kecamatan di Kota Bogor, meliputi kecamatankecamatan Bogor Selatan, Bogor Tengah, dan Bogor Barat.