I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Koperasi merupakan gerakan ekonomi yang sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Lebih lanjut dalam penjelasan UUD 1945 tersebut dinyatakan bahwa badan usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Dalam pelaksanaannya, koperasi diharapkan tumbuh sebagai organisasi dan badan usaha yang dapat berperan sesuai dengan UU Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 serta diharapkan juga mampu berhasil memajukan unit usaha didalamnya baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Sebagaimana diketahui, koperasi memiliki ciri khas yang berbeda dengan badan usaha lainnya, yaitu memiliki identitas ganda (dual identity), dimana para anggota koperasi di samping sebagai pemilik (owner) juga sebagai pelanggan atau pengguna (user) dari produk atau jasa yang dihasilkan koperasi (UU RI No.25, 1992). Selain bentuk partisipasi anggota, koperasi juga dapat tumbuh dan berkembang melalui manajemen aktiva yang baik, pinjaman dari kreditur, pengelolaan dana yang baik dan pengalokasian dana yang tepat. Selama tahun 2009-2011, pembangunan koperasi nasional mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator seperti jumlah koperasi, jumlah penyerapan tenaga kerja, permodalan, volume usaha dan nilai Sisa Hasil Usaha (SHU). Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tahun 2010 jumlah koperasi mengalami peningkatan sebesar 7.071 unit atau 4,14 persen dan tahun 2011 sebesar 10.699 unit atau 6,02 persen. Seiring dengan adanya peningkatan jumlah koperasi, maka tenaga kerja yang digunakan pada tahun 2011 semakin banyak, yakni mencapai 377.238 orang atau meningkat sebesar 5,57 persen dari tahun 2009. Hal ini menunjukkan koperasi dapat menekan pengangguran di Indonesia. Sedangkan dilihat dari sisi aset, modal sendiri yang dikelola koperasi
2
hingga tahun 2011 mencapai lebih dari Rp 35,79 trilyun atau meningkat sebesar 26,26 persen dari tahun 2009. Lebih dari itu, koperasi juga mengelola modal luar yang mencapai lebih dari Rp 39,68 trilyun, dengan kenaikan dari tahun 2010 mencapai lebih dari Rp 5 trilyun. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keterkaitan koperasi dengan masyarakat tidak sekedar dalam bentuk keanggotaan dan usaha saja, tetapi juga dalam mengelola aset keuangan masyarakat luas. Sementara volume usaha dan Sisa Hasil Usaha (SHU) pun mengalami peningkatan hingga tahun 2011 mencapai lebih dari Rp 95,06 trilyun dan Rp 6,33 trilyun. Tabel 1. Data perkembangan kinerja koperasi di Indonesia tahun 2009-2011 Indikator 2009 2010 Jumlah Koperasi (unit) 170.411 177.482 Koperasi Aktif 120.473 124.855 Koperasi Tidak Aktif 49.938 52.627 Tenaga Kerja (orang) 357.330 358.768 Manager 32.169 32.050 Karyawan 325.161 326.718 Permodalan (Rp-Juta) 59.852.609,95 64.788.726,57 Modal Sendiri 28.348.727,78 30.102.013,90 Modal Luar 31.503.882,17 34.686.712,67 Volume Usaha (Rp-Juta) 82.098.587,19 76.822.082.40 Sisa Hasil Usaha (Rp-Juta) 5.303.813,94 5.622.164,24 Sumber :Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2009-2011 (diolah)
2011 188.181 133.666 54.515 377.238 34.342 342.896 75.484.237,15 35.794.284,64 39.689.952,51 95.062.402,21 6.336.480,97
Pada umumnya, pembangunan koperasi nasional tidak terlepas dari perkembangan koperasi di banyak daerah, salah satunya seperti di Kotamadya Jakarta Selatan. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, pada tahun 2011 kinerja koperasi di wilayah Jakarta Selatan juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 jumlah koperasi meningkat sebanyak 59 unit koperasi atau 2,79 persen, jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan sebanyak 137 orang atau 2,34 persen, dan SHU meningkat sebanyak Rp 16,044,00 atau 12,49 persen. Untuk lebih jelas, data perkembangan koperasi Kotamadya Jakarta Selatan pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 2.
3
Tabel 2. Data perkembangan kinerja koperasi Kotamadya Jakarta Selatan tahun 2010-2011 Indikator Tahun 2010 Tahun 2011 Peningkatan Jumlah Koperasi (unit) 2.109 2.168 59 Koperasi Aktif 1.338 1.407 69 Koperasi Tidak Aktif 771 761 -10 5.833 5.970 137 Tenaga Kerja (orang) 547 558 11 Manager 5.286 5.412 126 Karyawan Permodalan (Rp-Juta) 745.510,00 920.273,00 174.763,00 Modal Sendiri 385.190,00 514.913,00 129.723,00 Modal Luar 360.320,00 405.360,00 45.040,00 Volume Usaha (Rp-Juta) 1.070.089,00 1.204.920,00 134.831,00 Sisa Hasil Usaha (Rp-Juta) 128.410,00 144.454,00 16.044,00 Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2010-2011 (diolah)
Selain itu pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa Kotamadya Jakarta Selatan juga merupakan kota yang memiliki pembangunan koperasi lebih cepat dibandingkan dengan kota-kota lain di wilayah DKI Jakarta. Sebanyak 28,87 persen jumlah koperasi di Kotamadya Jakarta Selatan telah memberikan kontribusi dalam pembangunan koperasi di DKI Jakarta atau sebesar 2.168 unit koperasi. Tabel 3. Data keragaman koperasi berdasarkan Kabupaten/Kota DKI Jakarta per 31 desember 2011 Kota/Kabupaten
Jumlah Koperasi (Unit) 1.557 2.168 895 1.871 981
Tenaga Kerja (orang) 3.184 5.970 2.646 4.323 4.321
Permodalan (Rp-Juta)
Jakarta Pusat 867.648 Jakarta Selatan 920.273 Jakarta Barat 275.149 Jakarta Timur 493.215 Jakarta Utara 221.267 Kab. Administrasi 35 63 15.525 Kepulauan Seribu Total 7.507 20.507 2.793.077 Sumber : Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2011
Volume SHU Usaha (Rp-Juta) (Rp-Juta) 700.353 81.850 1.204.920 144.454 1.311.022 95.331 963.705 108.572 1.451.542 78.812 82.196
19.980
5.713.738
528.999
Akan tetapi, jumlah koperasi yang beroperasi di Kotamadya Jakarta Selatan tidak sebanding dengan jumlah koperasi yang berkualitas. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM (2009) menjelaskan jumlah koperasi berkualitas di Kotamadya Jakarta Selatan sebanyak 5 unit koperasi yang terdiri atas 4 unit koperasi simpan pinjam dan 1 unit koperasi konsumen, padahal jumlah koperasi
4
saat itu sebanyak 127 unit koperasi. Salah satu penyebab rendahnya jumlah koperasi berkualitas tersebut adalah rendahnya keterikatan anggota terhadap anggota lain maupun terhadap organisasi, dalam hal rasa tanggung renteng atau kemauan untuk berbagi resiko (risk sharing) pada pemanfaatan pelayanan koperasi. Akibatnya, partisipasi anggota terhadap kemajuan koperasi semakin tidak tampak. Hal inilah yang menjadikan suatu organisasi koperasi menjadi tidak berkembang. Salah satu koperasi yang terkena dampak dari rendahnya partisipasi anggota adalah Koperasi Guru dan Pegawai (KOGUPE) SMAN 46 Jakarta. Koperasi Guru dan Pegawai (KOGUPE) SMA Negeri 46 Jakarta merupakan salah satu koperasi di kawasan Jakarta Selatan. KOGUPE ini beranggotakan guru dan karyawan sekolah. Dalam menjalankan aktivitasnya, KOGUPE bergerak pada usaha simpan pinjam dan pertokoan. Untuk mengatasi rendahnya partisipasi anggota, KOGUPE telah memberikan layanan simpan pinjam dan kredit barang yang mudah walau dana pinjaman yang disediakan KOGUPE terbatas. Dalam pelayanan simpan pinjam, KOGUPE menyimpan dana tabungan anggota dan meminjamkan dana tersebut kepada anggota kembali dengan pengembalian secara kredit. Pada pelayanan kredit barang, KOGUPE berperan sebagai agen barang sekunder yang diinginkan anggota dengan sistem kredit barang pada usaha pertokoan. Sebagai penghimpun dana anggota walaupun dalam lingkup yang terbatas, layanan simpan pinjam dan kredit barang ini memiliki karakter yang khas, yaitu merupakan usaha yang didasarkan pada kepercayaan dan banyak menanggung resiko. Oleh karena itu pengelolaannya harus dilakukan secara profesional dan ditangani oleh pengelola yang memiliki keahlian dan kemampuan yang baik, dengan dibantu oleh sistem pengawasan internal yang ketat. Untuk meningkatkan pelayanan tersebut, KOGUPE telah menambah jumlah hutang dari pihak sekolah serta memberlakukan peningkatan simpanan wajib sebesar Rp 5.000 per tahun. Berdasarkan atas laporan KOGUPE tahun 2010-2011 menjelaskan jumlah hutang KOGUPE kepada pihak sekolah mengalami penambahan sebanyak Rp 24.975.000 serta terdapat penambahan jumlah simpanan wajib anggota sebanyak Rp 51.204.000. Dana-dana tersebut digunakan KOGUPE untuk menambah dana cadangan pinjaman guna untuk
5
memberikan pelayanan yang optimal. Namun usaha tersebut tidak berkembang seperti yang diharapkan. Terdapat beberapa masalah yang menjadi kendala, antara lain tingkat kepercayaan anggota yang menurun dan angsuran pinjaman anggota yang tidak disiplin. Beberapa indikator turunnya tingkat kepercayaan anggota yaitu pertama, rendahnya daya beli anggota terhadap barang toko sehingga sebagian besar jenis barang toko kurang diminati anggota. Hal ini karena sebagian besar barang toko adalah barang konsumsi siswa seperti perlengkapan seragam sekolah, buku-buku dan LKS siswa serta alat tulis. Kedua, tempat KOGUPE pun terlihat tidak menarik, jika dari kejauhan terlihat seperti garasi gudang. Berbeda jauh jika dibandingkan dengan tempat usaha lainnya seperti kantin sekolah yang lebih tertata rapi. Ketiga, pengelola KOGUPE kurang mampu memberikan penawaran yang kompetitif seperti harga yang lebih murah, barang yang lebih bagus, lokasi yang strategis dan tempat yang lebih nyaman dan bersih. Sebagai contoh sebagian anggota beranggapan dengan memilih barang yang kualitas bagus akan menaikkan citra (image) mereka. Adapun sebagian anggota lainnya kemungkinan memilih lokasi yang strategis agar mudah dijangkau, sedangkan anggota lainnya akan lebih memilih kebersihan dan kenyamanan tempat sehingga membuat mereka merasa nyaman. Permasalahan lainnya adalah angsuran pinjaman anggota tidak disiplin. Menurut pengurus, kebanyakan anggota memerlukan waktu antara satu minggu hingga dua bulan dalam mendapatkan dana pinjaman. Hal ini karena sebagian besar anggota memiliki sisa pinjaman mulai dari Rp 5.000.000 hingga Rp 23.000.000 yakni sebanyak 21 anggota (KOGUPE, 2011). Kedua, persyaratan yang ditetapkan KOGUPE tidak ada batas jumlah pinjamannya sehingga dalam prakternya dapat menciptakan nepotisme antara oknum pengurus dengan anggota yang sudah lama. Ketiga, besarnya permintaan anggota terhadap dana pinjaman dapat mengakibatkan secara internal pengurus kurang mampu menepati janji dalam memberikan pinjaman tepat waktu pada peminjam berikutnya. Maksudnya adalah jumlah pinjaman anggota telah melebihi kemampuan KOGUPE yang seharusnya memberikan pinjaman kepada anggota dengan jumlah maksimal
6
sebesar Rp 5.000.000. Konsekuensinya, peminjam berikutnya harus menunggu antrian. Tentunya, permasalah-permasalahan tersebut menunjukkan bahwa kualitas KOGUPE dalam memberikan pelayanan kepada anggotanya kurang optimal sehingga sebagai konsekuensinya terjadi penurunan SHU KOGUPE pada tahun 2010 sebanyak Rp 27.923.107 dari tahun sebelumnya (KOGUPE, 2011). Menurut Umar (2003) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi suatu pelayanan dikatakan berkualitas terutama jasa yaitu expected service dan perceive service. Apabila jasa yang diterima sesuai yang diharapkan, maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan baik dan memuaskan. Apabila jasa yang diterima melampaui harapan maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya, apabila jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas pelayanan yang dipersepsikan buruk. Dengan demikian, kualitas pelayanan yang sebenarnya dinilai dari kebutuhan anggota dan berakhir pada persepsi anggota kembali. Hal ini berarti citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan atas sudut pandang pengelola KOGUPE melainkan sudut pandang atau persepsi anggotanya. Kualitas pelayanan KOGUPE yang kurang optimal dapat mengakibatkan anggota tidak loyal sehingga menurunkan tingkat kepuasan mereka terhadap pelayanan yang diberikan KOGUPE. Jika anggota KOGUPE tidak puas, maka mereka tidak akan memanfaatkan jasa koperasi, dimana akibatnya KOGUPE akan mengalami kerugian dan mungkin saja dalam jangka waktu tertentu KOGUPE akan bubar. Namun sebaliknya, jika anggota KOGUPE puas, maka mereka akan memanfaatkan jasa koperasi, dimana akibatnya KOGUPE akan berkembang. Sejalan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengukuran kepuasan anggota terhadap kualitas pelayanan KOGUPE SMAN 46 Jakarta. Pengukuran terhadap tingkat kepuasan anggota akan berguna bagi KOGUPE untuk mengetahui pelayanan mana saja yang harus dipertahankan atau diperbaiki oleh pengelola KOGUPE. Hubungan karakteristik anggota dalam pengukuran kepuasan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan anggota. Karakteristik yang dimaksud adalah usia anggota, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan dan penghasilan anggota. Pelayanan yang sama dengan karakteristik yang berbeda akan menimbulkan kepuasan yang berbeda.
7
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa fokus permasalahan dari penelitian ini, yaitu : 1. Bagaimana penilaian anggota koperasi terhadap kualitas pelayanan KOGUPE SMA Negeri 46 Jakarta? 2. Bagaimana tingkat kepuasan anggota koperasi terhadap pelaksanaan pelayanan KOGUPE SMA Negeri 46 Jakarta? 3. Bagaimana hubungan antara karakteristik anggota koperasi dengan tingkat kepuasan anggota koperasi atas pelaksanaan pelayanan KOGUPE SMA Negeri 46 Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui tanggapan/penilaian anggota koperasi terhadap kualitas pelayanan KOGUPE SMA Negeri 46 Jakarta. 2. Mengukur dan menganalisis tingkat kepuasan anggota koperasi terhadap pelaksanaan pelayanan KOGUPE SMA Negeri 46 Jakarta. 3. Mengetahui hubungan antara karakteristik anggota koperasi dengan kepuasan anggota koperasi atas pelaksanaan pelayanan KOGUPE SMA Negeri 46 Jakarta. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini antara lain: 1. Sebagai sumbangan pemikiran kepada koperasi dalam memperbaiki pelayanan yang kurang optimal agar pihak pengelola KOGUPE dapat mengetahui pelayanan mana saja yang harus dipertahankan atau diperbaiki oleh pengelola KOGUPE. 2. Bagi peneliti akan diperoleh pengetahuan ilmiah dan pengalaman praktis dalam memperbaiki pelayanan yang kurang optimal sehingga penurunan laba koperasi dapat teratasi 3. Bagi pendidikan, diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai acuan (benchmark)
dalam
melakukan
pengembangan ilmu pengetahuan.
penelitian-penelitian
selanjutnya
demi
8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berfokus pada kepuasan anggota pengguna jasa koperasi terhadap mutu layanan jasa di KOGUPE. Pengambilan sampel dilakukan kepada responden yang merupakan guru dan pegawai SMA dengan syarat telah satu tahun bergabung dalam organisasi KOGUPE. Hal ini karena anggota tersebut sudah lebih mengetahui tentang pelaksanaan KOGUPE di sekolah tersebut.