I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Posisi usaha kecil dalam perekonomian Indonesia menjadi semakin penting terutama setelah krisis melanda Indonesia. Kelompok usaha kecil pada saat krisis
ekonomi
dipandang
telah
menunjukkan
kekuatan
dan
potensi
sesungguhnya dalam hal daya tahan menghadapi guncangan maupun dalam hal peranannya sebagai salah satu motor penggerak ekonomi yang penting (Widyaningrum, 2003). Terdapat beberapa argumen yang memperkuat dukungan terhadap pentingnya penguatan usaha kecil. Pertama, banyak usaha kecil-mikro terbukti lebih tahan dalam menghadapi krisis daripada banyak usaha besar. Hasil studi monitoring yang dilaksanakan pada tahun 1999 oleh AKATIGA dan The Asia Foundation menunjukkan bahwa dari 800 responden usaha kecil yang diambil di empat propinsi, 33 persen diantaranya menunjukkan penurunan,
28 persen
menunjukkan kenaikan atau 39 persennya turun namun menyimpan potensi naik (AKATIGA dan The Asia Foundation, 1999). Antara tahun 2000–2003 jumlah unit usaha kecil secara nasional mengalami pertumbuhan sebesar 9,46 persen, usaha menengah sebesar 13,46 persen dan usaha besar 13,68 persen ( Kementrian KUKM, 2004). Kedua, unit usaha kecil telah mampu menjadi sarana pemerataan kesejahteraan rakyat. Usaha-usaha kecil menyerap tenaga kerja yang besar dengan jumlahnya yang besar serta sifatnya yang umumnya padat karya. Usaha mikro, kecil dan menengah memberikan lapangan kerja bagi 99,45 persen tenaga kerja di Indonesia, dan masih akan menjadi tumpuan utama penyerapan tenaga kerja pada masa mendatang. Selama periode 2000 – 2003, usaha mikro dan kecil telah mampu memberikan lapangan kerja baru bagi 7,4 juta orang dan usaha menengah mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 1,2 juta orang. Pada sisi lain, usaha besar hanya mampu memberikan lapangan kerja baru sebanyak 55.760 orang selama periode 2000 – 2003 (Kementrian KUKM, 2005). Ketiga, di dalam kondisi krisis usaha dan investasi yang masih berjalan dengan baik adalah investasi pada usaha-usaha yang berskala kecil. Perluasan
2 produk pasar ekspor yang mungkin dilakukan, seperti pada komoditas garmen, agribisnis, serta pengolahan
hasil hutan, merupakan produk-produk yang
pengerjaannya banyak melibatkan dan dilakukan oleh pelaku usaha kecil (Widyaningrum, 2003). Produk Domestik Bruto yang disumbangkan oleh sektor usaha kecil antara tahun 1997–2003 mengalami pertumbuhan sebesar 7,06 persen, sementara usaha menengah mengalami penurunan 3,25 persen dan usaha besar mengalami pertumbuhan 0,91 persen dari pertumbuhan total sebesar 2,59 persen.
Dalam
kurun
waktu
antara
tahun
2001-2004,
usaha
kecil
menyumbangkan PDB non migas rata-rata 46 persen lebih tinggi dibandingkan dengan usaha menengah yang hanya menyumbang 17,27 persen dan usaha besar
sebesar 36,73 persen ( Kementrian KUKM, 2004). Dari pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 4,86 persen di tahun 2004 hanya 0,84 persen saja yang
berasal
dari
Usaha
Menengah.
Sebaliknya
walaupun
akselerasi
pertumbuhan kelompok Usaha Kecil dan Besar tidak secepat Usaha Menengah, namun dengan peranannya yang cukup besar dalam penciptaan nilai tambah nasional, sumbangan kedua kelompok usaha ini menjadi cukup tinggi. Pada tahun 2004 sumbangan Usaha Kecil dan Besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional sama besarnya yaitu 2,01 persen (Kementrian KUKM, 2005). Pada tahun 2004 jumlah usaha kecil di kabupaten Pemalang adalah 6.723 unit atau 99,72 persen dari keseluruhan unit usaha yang ada. Jumlah tenaga kerja yang diserap oleh usaha kecil 39.557 orang atau 92,8 persen. Persentase investasi usaha kecil sebesar 96,05 persen dan persentase produksi 83,67 persen (BPS Kabupaten Pemalang, 2004). Secara rinci Industri kecil di Kabupaten Pemalang sektor Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan berjumlah 3.831 unit dengan menyerap tenaga kerja 10.488 orang. Sektor Industri Elektronika, Tekstil dan Aneka berjumlah 2.284 unit dengan menyerap tenaga kerja 15.352 orang. Sektor Industri Logam dan perekayasaan berjumlah 608 unit dan menyerap tenaga kerja 1.176 orang. Sehingga secara keseluruhan berjumlah 6.723 unit usaha dengan menyerap tenaga kerja 27.940 orang (Diperindagkop Kab Pemalang, 2004). Kontribusi industri mikro dalam hal penyerapan tenaga kerja tersebut merupakan suatu hal yang sangat berarti di tengah kondisi perekonomian nasional dewasa ini yang telah mengakibatkan PHK yang tidak sedikit. Pada industri besar di Kabupaten Pemalang, antara
3 tahun 2002 – 2004 telah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 770 orang karyawan. Pemberlakuan otonomi daerah yang bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi nasional dan global telah menambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan program otonomi daerah, pendekatan pembangunan ekonomi lokal (local economic development) selayaknya diarahkan pada peningkatan dan pemanfaatan unsurunsur lokal (indigenous) yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sosio kultural, dan lokasi strategis pembangunan daerah. Dengan pendekatan ini diharapkan daerah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara mandiri didasarkan pada keuntungan kompetitif dan keuntungan komparatif (Syaukat, 2006). Kabupaten Pemalang menaruh perhatian serius terhadap usaha mikrokecil
yang berada di wilayahnya. Hal tersebut tercermin dalam salah satu
misinya untuk : Memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi daerah, terutama pengusaha mikro, menengah dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan yang berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kabupaten Pemalang mempunyai sentra industri mikro konveksi di wilayah kecamatan Ulujami dan kecamatan Comal. Kelurahan Purwoharjo yang terletak di Kecamatan Comal merupakan salah satu lokasi sentra usaha mikro konveksi tersebut. Berdasarkan hasil pemetaan sosial di wilayah Kelurahan Purwoharjo, di lokasi ini terdapat beberapa aktivitas usaha ekonomi produktif. Aktivitas tersebut antara lain : industri mikro pakaian jadi (konveksi) di wilayah RW 9 (dusun Serdadi) berjumlah 154 unit, industri mikro
kue semprong
sejumlah 20 unit di RT 05 RW 03 (dusun Posongan) yang sudah berlangsung secara turun temurun dan di RW 04 dan RW 06 (dusun Balutan) dulu terkenal dengan kerajinan kurungan ayam dari bambu namun sekarang tinggal 3 orang pengusaha yang masih menekuni karena harga jual rendah dan pemasarannya semakin susah. Dari ketiga jenis usaha kecil
tersebut yang sudah pernah
mendapatkan pembinaan dan bantuan Diperindagkop Kabupaten Pemalang
4 adalah industri mikro kue semprong
dan konveksi (Waluyo, 2005).
dibandingkan dengan 2 jenis usaha kecil lainnya,
Apabila
industri mikro konveksi
mempunyai populasi ter banyak dan lebih prospektif. Pembinaan kepada
industri mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo
sudah dimulai sebelum otonomi daerah melalui KIK, KUK, KMKP dan program Bapak Angkat-mitra usaha BUMN. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, pembinaan dari Diperindagkop Kabupaten Pemalang,
antara lain adalah
sosialisasi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan bantuan pendaftaran hak merk industri mikro pada tahun anggaran 2002 – 2004
serta sosialisasi
Peraturan Daerah No 18 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri pada tahun 2003. Hasil pendataan industri oleh Diperindagkop Kabupaten Pemalang pada Tahun Anggaran 2004 menunjukkan bahwa di Kelurahan Purwoharjo terdapat 88 unit industri mikro yang sudah memiliki TDI dengan tenaga kerja 1053 Orang dan 66 unit industri mikro yang tidak memiliki TDI dengan tenaga kerja 443 Orang. Jadi secara keseluruhan berjumlah 154 industri mikro (Diperindagkop Kab. Pemalang, 2004). Usaha kecil di Kabupaten Pemalang tidak jauh berbeda kondisinya dengan ditempat lain pada umumnya, sebagaimana hasil berbagai studi dalam pengembangan usaha kecil di Indonesia yang menunjukkan bahwa usaha kecil mengalami kelemahan hampir di seluruh aspek, seperti pengadaan bahan baku, teknik produksi, manajemen, permodalan, pemasaran dan sumber daya manusia (Usman,1997).
1.2 Rumusan Masalah Usaha mikro konveksi dapat berjalan baik dan berkembang bila didukung oleh kepemilikan modal yang memadai untuk pengadaan bahan baku dan biaya produksi yang cukup dan kontinyu. Liedholm dalam Haryadi dkk (1998) menyampaikan
bahwa
perbedaan
dalam
tahap
perkembangan
usaha
berimplikasi terhadap kebutuhan permodalan. Usaha-usaha yang berada dalam tahap rintisan memiliki kebutuhan modal untuk investasi. Pada tahap perkembangan selanjutnya, kebutuhan modal berkembang menjadi kebutuhan akan modal
kerja. Tahap akumulasi modal membutuhkan tambahan modal
untuk pengembangan skala usaha. Berdasarkan hasil observasi, industri mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo berada dalam tahap rintisan dan berkembang.
5 Artinya pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo membutuhkan modal untuk investasi (pembelian alat produksi) dan modal kerja. Usaha mikro konveksi merupakan industri pengolahan yaitu mengolah bahan baku berupa kain menjadi barang jadi (celana pendek, celana kolor dan seragam sekolah). Salah satu permasalahan dalam usaha ini adalah masalah pengadaan bahan baku. Bahan baku kain perlu segera diproses menggunakan alat produksi yang dimiliki. Teknologi / alat produksi berupa mesin jahit, mesin obras dan peralatan lain yang dimiliki mempengaruhi kapasitas produksi usaha mikro konveksi. Peralatan tersebut harus
dioperasikan oleh sumberdaya
manusia (tenaga kerja) yang terampil dalam jumlah yang cukup untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan jumlah yang cukup guna memenuhi permintaan pasar. Produk yang dihasilkan perlu segera dipasarkan untuk memperoleh keuntungan melalui jaringan pemasaran dan sistem pemasaran yang berlaku. Hampir menjadi ciri umum bahwa produk usaha kecil diproduksi terutama untuk mengisi pasar lokal domestik. Istilah pasar domestik merujuk pada pasar lokal, pasar regional (di luar provinsi tempat usaha kecil berada) dan pasar nasional (Haryadi, 1998). Pemasaran produk yang baik memerlukan informasi pasar yang tepat. Untuk dapat mengembangkan usaha mikro diperlukan perluasan jaringan pemasaran.
Selain jaringan pemasaran juga diperlukan jaringan kerja sama
dalam hal pengadaan bahan baku,
permodalan dan informasi pasar yang
meliputi informasi mode dan harga. Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam kajian ini mencoba mencari jawaban atas masalah-masalah berikut : 1. Seberapa jauh pengusaha mikro
konveksi
di Kelurahan Purwoharjo
dihadapkan pada permasalahan permodalan, akses bahan baku, akses teknologi, jaringan kerja sama dan
pemasaran serta sumberdaya
manusia? 2. Bagaimana upaya yang diperlukan untuk mengembangkan usaha mikro konveksi tersebut ?
6 1.3 Tujuan Kajian Kajian ini bertujuan untuk : 1.
Mengidentifikasi
permasalahan
usaha
mikro
konveksi
dalam
hal
permodalan, akses bahan baku, akses teknologi, jaringan kerja sama dan pemasaran serta sumberdaya manusia. 2.
Menyusun rancangan program pengembangan usaha mikro
konveksi
secara partisipatif
1.4 Kegunaan Kajian Kajian ini berguna untuk memahami fenomena yang ada dalam kegiatan usaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo dan menganalisisnya dalam upaya merumuskan konsep pengembangan usaha
mikro tersebut secara
partisipatif. Kegunaan bagi pengguna, dalam hal ini bagi pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo adalah untuk memberi alternatif rancangan pengembangan usaha mereka secara partisipatif. Bagi Pemda Kabupaten Pemalang khususnya Diperindagkop Kabupaten Pemalang adalah memberikan alternatif pendekatan dan strategi dalam intervensi pengembangan mikro
Industri
konveksi di Kelurahan Purwoharjo maupun pembinaan industri mikro
yang lain.