I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan
Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, telah membawa implikasi yang luas berupa perubahan sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Sebelum diberlakukannya undangundang tersebut sistem pemerintahan lebih bersifat sentralistik, dimana setiap keputusan yang menyangkut kepentingan daerah lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini mengakibatkan daerah kehilangan inisiatif termasuk pula
tidak
adanya
penghormatan
terhadap
masyarakat
lokal.
Dengan
diberlakukannya undang-undang tersebut, sistem pemerintahan bergeser dari sentralistik yang cenderung non partisipatif dan kurang demokratis menjadi desentralistik yang memberikan ruang bagi pelaksanaan otonomi daerah yang bersifat demokratis. Otonomi daerah muncul karena adanya tuntutan pembagian kewenangan yang lebih besar untuk mengelola pemerintahan di daerah dengan lebih baik. Otonomi daerah juga diharapkan dapat menstimulan kemandirian dan kreativitas dalam mengembangkan wilayah. Dengan diberikannya otonomi kepada daerah berarti pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, kecuali beberapa kewenangan yang memang menjadi urusan pemerintah pusat yang meliputi; urusan politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, fiskal dan moneter serta agama. Dengan adanya perubahan paradigma pemerintahan ini diharapkan mampu mendorong proses demokratisasi dimana rakyat termasuk masyarakat lokal mempunyai kesempatan yang sama dalam proses pengambilan keputusan. Dengan adanya kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri, membawa konsekuensi bahwa seharusnya pemerintah daerah tidak lagi mengandalkan bantuan keuangan dari pemerintah pusat dalam membiayai program-program pembangunannya. Pemerintah daerah dituntut untuk berusaha semaksimal mungkin mengelola kemampuan, kemauan dan sumber daya yang dimiliki. Daerah perlu menginventarisir sumber-sumber kekayaan dan menggali
2
potensi sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan tanpa harus membebani masyarakat. Hal ini perlu digarisbawahi, karena tujuan dari pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam bentuk otonomi daerah dimaksudkan untuk lebih mempercepat peningkatan
kesejahteraan
masyarakat. Hasil pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dalam kenyataannya masih jauh dari harapan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data statistik menunjukkan bahwa meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan, namun persentase jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi dan angka pengangguran di Indonesia tidak mengalami penurunan. Tabel berikut menggambarkan kondisi hasil perekonomian tersebut. Tabel 1 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran di Indonesia Tahun 1996 – 2011 Tahun
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%) 7,8 4,7 -13,1 0,8 4,9 3,3 3,6 4,1 5,1 6,3 5,5 6,3 6,1 4,2 6,1 6,5
Tingkat Kemiskinan (%) 17,7 -* 24,2 23,4 19.1 18.4 18.2 17.4 16.7 16,0 17.7 16,6 15,4 14,2 13,3 12,5
Tingkat Pengangguran (%) 4,9 4,7 5,5 6,4 6,1 8,1 9,1 9,5 9,9 11,2 10,3 9,7 8,4 7,9 7,1 6,6
Sumber: BPS, 2011 Keterangan; * Data tidak tersedia Catatan: - Laju pertumbuhan ekonomi dinyatakan dalam persentase. - Jumlah penduduk miskin dinyatakan dalam persentase jumlah penduduk miskin terhadap total penduduk. - Tingkat pengangguran dinyatakan dalam persentase jumlah penganggur terbuka terhadap jumlah angkatan kerja,
Kegagalan pelaksanaan otonomi darah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat disebabkan oleh dua hal. Pertama, munculnya permasalahan sosial
3
politik sebagai akibat dari diberlakukannya otonomi daerah. Kedua, hampir setiap daerah menghadapi persoalan ekonomi berupa rendahnya skala ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing daerah sehingga setiap daerah menjadi sangat sulit untuk mengembangkan kegiatan perekonomian daerahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua permasalahan tersebut saling terkait karena timbulnya permasalahan sosial politik di daerah akan semakin memperberat penyelesaian persoalan ekonomi bagi daerah tersebut. Persoalan sosial politik muncul akibat dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah. Dalam banyak kasus, otonomi daerah telah dipersepsikan secara beragam oleh beberapa pemerintah daerah. Diantaranya mereka menganggap bahwa otonomi daerah sebagai momentum untuk memenuhi keinginan daerahnya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang lebih luas yaitu kepentingan negara secara keseluruhan dan kepentingan daerah lain yang berdekatan. Akibatnya, muncul beberapa gejala negatif yang meresahkan antara lain berkembangnya sentimen primordial, konflik antar daerah, berkembangnya proses
KKN,
konflik
antar penduduk, eksploitasi sumberdaya alam secara
berlebihan, dan munculnya sikap
“ego daerah” yang berlebihan. Pemerintah
kabupaten/kota cenderung memproteksi seluruh potensinya secara ketat demi kepentingan daerahnya sendiri
dan
menutup diri terhadap kepentingan
kabupaten/kota lainnya. Bahkan dampak negatif kegiatan ekonomi di suatu daerah pada daerah lain, seperti timbulnya eksternalitas t ida k lagi dihiraukan. Rasa sentimen daerah juga mulai
timbul dengan adanya
kecenderungan
umum mengangkat “putra daerah” menjadi pegawai negeri sipil daerah (Keban, 2010). Pemberian kewenangan melalui otonomi dimaknai sebagai upaya mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Dengan asumsi semakin dekat pemerintah pada rakyatnya maka pemerintah akan semakin tahu apa kebutuhan rakyatnya. Di samping itu, semakin dekat pemerintah kepada rakyat maka akan semakin cepat pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Namun demikian, persoalan ekonomi timbul karena pemberian otonomi untuk mengatur rumah tangga sendiri tidak disertai dengan adanya kemampuan keuangan secara mandiri dari tiap daerah untuk membiayai berbagai
4
program pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Rendahnya kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari sisi pembiayaan pembangunan. Proses desentralisasi di Indonesia baru pada tahap desentralisasi dari sisi pengeluaran pemerintah dan belum sampai pada tahap desentralisasi dari sisi penerimaan. Sehingga sebagian besar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunannya yang tercermin dalam besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih mengandalkan subsidi dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan yang ditransfer dari pusat ke daerah dalam beberapa skema (Brodjonegoro, 2008). Untuk mengatasi dua persoalan tersebut, baik masalah sosial politik maupun ekonomi, agar pelaksanaan otonomi daerah mampu menjadi instrumen pemerintah bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat maka kegiatan kerjasama antar daerah dapat dijadikan solusi (Keban, 2010, Brodjonegoro, 2008). Dalam perspektif sosial politik, dikenal batas wilayah administratif (sesuai peraturan perundangan), dan batas wilayah fungsional (sesuai hubungan sosial ekonomi lintas batas wilayah
administratif
administratif).
Setiap
daerah
memiliki
batas
yang ditentukan secara formal melalui peraturan
perundangan, akan tetapi dalam kenyataan berbagai masalah dan kepentingan sering muncul sebagai akibat dari hubungan fungsional di bidang sosial ekonomi yang melewati batas-batas wilayah administratif tersebut.
Dalam
konteks ini, maka alasan utama diperlukan kerjasama antar pemerintah daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif dapat diselesaikan bersama dan sebaliknya agar banyak potensi yang mereka miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama (Keban, 2010). Melalui kerjasama antar daerah, ego daerah yang merugikan masyarakat dalam pelayanan publik dan pembangunan ekonomi bisa diminimalisir. Melalui kerjasama antar daerah inovasi-inovasi dari masing-masing daerah bisa saling dipertularkan dan dikerjakan bersama-sama (Pratikno, 2007). Dari perspektif ekonomi, apabila menginginkan pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik maka proses desentralisasi tidak cukup hanya pada tataran desentralisasi administratif namun harus sampai pada tataran
5
desentralisasi ekonomi. Implementasi desentralisasi ekonomi hanya dapat terjadi apabila pemerintah daerah melaksanakan dengan baik lima kewajiban dasarnya, yaitu; (1) mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya berdasarkan potensi yang dimiliki serta sebanyak mungkin melibatkan peran serta pelaku ekonomi lokal, (2) mengupayakan perbaikan pendapatan masyarakat dengan mengutamakan prinsip keadilan. Kelompok yang mampu diberi kemudahan untuk terus memperbaiki pendapatannya yang tidak mampu diberi subsidi terarah yang mendidik, (3) menciptakan lapangan kerja baru sebanyak mungkin dengan mengundang sebanyak-banyaknya investasi baru di daerah, terutama yang berpotensi menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar, (4) ikut menjaga laju inflasi di daerah dengan memperbaiki jaringan distribusi serta kepastian pasokan bahan pokok, (5) memberikan pelayanan publik dasar kepada masyarakat, terutama pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar dengan standar setara atau di atas standar minimum nasional (Brodjonegoro, 2008). Kelima kewajiban dasar tersebut akan dapat terwujud apabila pemerintah daerah dapat memperkuat skala ekonomi daerahnya. Dengan skala ekonomi daerah yang kuat aktivitas perekonomian akan menjadi meningkat. Meningkatnya aktivitas perekonomian akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan untuk memperkuat skala ekonomi bagi daerah yang perekonomiannya kecil dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan daerah lain (Brodjonegoro, 2008). Dengan demikian, kerjasama antar daerah dapat dipandang sebagai ”perahu penyelamat” pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu, dimasa depan, kerjasama antar daerah haruslah dilihat sebagai suatu kebutuhan penting yang tidak terelakkan sehingga harus ada upaya yang sistimatis dan berkesinambungan dari pihak pemerintah untuk
memperkenalkan, mendorong
dan menginstitusionalisasikan kerjasama antar daerah agar pemerintah daerah terbiasa melakukannya dan dapat mengambil manfaatnya (Keban, 2010). Kerjasama antar daerah dapat terbentuk dan berjalan dengan baik diperlukan suatu prasarat tertentu, yaitu; Pertama, kerjasama antar daerah harus dilandasi adanya suatu kebutuhan bersama diantara para anggota. Dianggap sebagai kebutuhan bersama apabila masing-masing pemerintah daerah tidak mampu menyelesaikan permasalahan pembangunan yang dihadapainya seperti
6
pengentasan kemiskinan, efisiensi pelayanan publik, konflik antar penduduk, dan lain-lainnya, kalau mereka tidak bekerjasama. Oleh karena itu, identifikasi untuk menemukan kesamaan isu dan permasalahan pembangunan diantara anggota menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan. Kedua, adanya komitmen bersama dari masing-masing pemerintah daerah dalam menangani isu-isu yang telah disepakati, dan lebih mendahulukan kepentingan bersama dibanding kepentingan
masing-masing
menguntungkan
bagi
semua
daerah. fihak
Ketiga, yang
adanya
bekerjasama.
prinsip Prinsip
saling saling
meguntungkan menggambarkan bahwa dalam bekerjasama setiap anggota harus dapat menarik manfaat dari adanya kerjasama tersebut. Namun demikian, tidak berarti bahwa setiap daerah harus mendapatkan bentuk keuntungan yang seragam. Kerjasama tidak dimaksudkan untuk membuat keseragaman antar daerah, melainkan melakukan pengembangan daerah sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah masing-masing. Keempat, adanya dukungan dari pemerintah (baik pusat maupun provinsi) terhadap kerjasama antar daerah yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dukungan dapat berupa bantuan pendanaan maupun penyediaan aturan perundangan sebagai dasar hukum untuk melakukan kerjasama antar daerah. Saat ini telah banyak terbentuk lembaga kerjasama antar daerah dengan berbagai ragam seperti dalam bentuk asosiasi maupun dalam bentuk kerjasama regional. Bermunculannya berbagai lembaga kerjasama antar daerah ini dikarenakan kebijakan desentralisasi di Indonesia telah membuka peluang bagi terbentuknya kerjasama antar daerah. Di samping itu, adanya kebutuhan bagi daerah untuk mengatasi berbagai permasalahan pembangunan karena adanya keterbatasan sumberdaya baik alam maupun manusia, sehingga harus diselesaikan secara bersama dengan daerah lain telah pula mempersubur munculnya berbagai bentuk lembaga kerjasama antar daerah di Indonesia. Banyaknya jumlah lembaga kerjasama antar daerah tersebut dapat dilihat seperti pada tabel berikut.
7
Tabel 2 Nama Lembaga dan Pola Kerjasama Antar Daerah di Indonesia No. 1.
2.
Format Nama Lembaga Kelembagaan Asosiasi 1. APKASI ( Asosiasi Antar Daerah Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonsia) 2. APEKSI (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) 3. ADKASI (Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia) 4. ADEKSI (Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia) 5. APPSI (Asisiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) 6. ADEPSI (Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia) Kerjasama 1. BKSAD Jabodetabek Regional dan Sektoral 2. BARLINGMASCAKEB
3. Kartamantul 4. Subosukawonosraten
5. Sampan
6. Java Promo
7. Gerbangkertosusilo
8. Lake Toba
Lingkup Wilayah dan Keanggotaan Daerah Seluruh Pemerintah Kabupaten di Indonesia Seluruh Pemerintah Kota di Indonesia
Seluruh DPRD Kabupaten di Indonesia
Seluruh DPRD Kota di Indonesia Seluruh Pemerintah Provinsi di Indonesia
Seluruh DPRD Provinsi di Indonesia
Prov. DKI Jakarta; Prov. Jabar meliputi: Kabupaten & Kota Bogor; Kabupaten & Kota Bekasi, Kota Depok; Prov. Banten meliputi: Kabupaten & Kota Tangerang Prov. Jateng meliputi; Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen Prov. DIY meliputi: Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Bantul Prov. Jateng meliputi: Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Sukokarjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten Prov. Jateng meliputi: Kabupaten Brebes, Kota & Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kota & Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Batang Prov. DIY meliputi: Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul; Prov. Jateng meliputi: Kabupaten Klaten, Boyolali, Kota & Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, Wonosobo, Purworejo, dan Kebumen Prov. Jatim meliputi: Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Kota Surabaya & Mojokerto, Kabupaten Sidoarjo, dan Lamongan Prov. Sumut meliputi: Kabupaten Samosir, Tapanuli Utara, Simalungun, Karo, Dairi, Toba Samosir, dan Humbang Hasundutan.
Sumber: Pratikno, (2007), dan Abdurahman, (2009)
8
Tabel 2. Lanjutan No. 2.
Format Kelembagaan Kerjasama Regional dan Sektoral
Nama Lembaga 9.
10.
11.
12. 13.
14.
15.
16. 17.
18.
19.
20.
21.
Lingkup Wilayah dan Keanggotaan Daerah Jonjok Batur Prov. NTB meliputi: Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur Pawonsari Prov. Jatim meliputi Kabupaten Pacitan Prov. Jateng meliputi Kab.Wonogiri Prov. DIY meliputi Kab. Gunung Kidul (Wonosari) Kedungsepur Prov. Jateng meliputi Kabupaten Kendal, Demak, Ungaran (Kab. Semarang), Kota Semarang, dan Purwodadi (Kab. Grobogan) Janhiangbong Prov. Bengkulu meliputi: Kabupaten Kepahiang, Lebong, dan Rejang Lebong Kaukus Setara Kuat Prov. Bengkulu meliputi: Kab. Kaur, Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara; Prov. Sumsel meliputi: Kab.OKU Selatan; Prov. Lampung meliputi: Kabupaten Lampung Barat. Andalan Kawasan Prov. Sulsel meliputi: Kab. Bantaeng, Selatan Sulawesi Bulukumba, Jeneponto, Selayar, dan Selatan Sinjai Wanua Mappatuo Prov. Sulsel meliputi: Kab. Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, Tana Toraja, Toraja Utara, dan Kota Palopo Pulau Sumbawa Prov. NTB meliputi: Kab.& Kota Bima, Kab.Dompu, Sumbawa, Sumbawa Barat Kawasan Terpadu Prov. Sulteng meliputi: Kab.Banggai Teluk Tomini Kepulauan, Banggai, Tojo Una Una, Poso, dan Parigi Moutong; Prov. Gorontalo meliputi: Kab.Phuwato, Boalemo, Bone Bolango, Kab.& Kota Gorontalo; Prov. Sulut meliputi: Kab.Bolang Mangondow dan Minahasa Tenggara. Kawasan Terpadu Prov. Sulsel meliputi: Kabupaten Selayar, Teluk Bone Bulukumba, Sinjai, Bone, Wajo, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo Prov. Sulrameliputi: Kabupaten Kolaka Utara, Kolaka, Bombana, Buton, Muna, dan Kota Bau Bau Kawasan Perbatasan Prov. Kalbar meliputi: Kab.Sintang, Provinsi Kalimantan Kapuas Hulu, Sanggau, Sambas, dan Barat Bengkayang Perbatasan Kawasan Prov. NTT meliputi: Kab.imor Tengah Nusa Tenggara Timur Utara, Timor Tengah Selatan, Belu, dan Rotendau Kawasan Teluk Papua Prov. Papua Barat meliputi: Kab.Fakfak, Barat Sorong Selatan, Kaimana, Teluk Bintuni, dan Teluk Wondama
Sumber: Pratikno, (2007), dan Abdurahman, (2009)
9
Meskipun tidak semua pemerintah kabupaten/kota di Indonesia telah membentuk kerjasama diantara mereka. Namun, fakta menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten/kota yang telah melakukan kerjasama antar daerah jumlahnya cukup banyak dengan sebaran yang hampir merata di setiap provinsi di Indonesia. Namun, dari berbagai studi yang telah dilakukan, meskipun sudah terdapat banyak lembaga kerjasama, tetapi pelaksanaan fungsi dari forum-forum kerjasama antar daerah tersebut masih jauh dari ideal (Sukmajati, Bayu Dardias Kurniadi, dan Arie Ruhyanto, dalam Pratikno, 2007). Hasil kajian yang dilakukan oleh Direktorat Dekonsentrasi dan Kerjasama Kementerian Dalam Negeri (2011) mengungkapkan bahwa kurang optimalnya kinerja lembaga kerjasama antar daerah disebabkan karena beberapa kelemahan yaitu (1) kurangnya dukungan dari pemerintah pusat yaitu tidak adanya koordinasi, komunikasi dan kerjasama lintas sektoral di tingkat pusat, (2) peran pemerintah provinsi dalam mendukung kerjasama antar daerah kabupaten kota masih rendah, (3) banyaknya kesepakatan kerjasama yang tidak ditindaklanjuti atau mengalami stagnasi karena minimnya komitmen pimpinan daerah atau karena tingginya ego daerah, (4) terbatasnya kapasitas personal pengelola kerjasama antar daerah yang berasal dari PNS karena terkendala dengan tupoksi utamanya, (5) partisipasi masyarakat yang rendah, dan (6) tidak jelasnya regulasi keuangan kerjasama antar daerah terkait pos penganggaran dan peraturan pengelolaan keuangan. Berbagai kelemahan tersebut menjadikan kinerja dari lembaga kerjasama antar daerah menjadi tidak optimal. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur ketidakoptimalan tersebut antara lain; Pertama, meskipun kerjasama antar daerah telah dilakukan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi secara bersama seperti terbatasnya sarana infrastruktur
daerah,
namun
dalam
prakteknya
penyelesaiaan
berbagai
permasalahan bersama tersebut mengalami hambatan karena tingginya sikap ego kedaerahan antar kabupaten anggota. Padahal maksud dari dibentuknya lembaga kerjasama antar daerah justru untuk menghilangkan sikap ego kedaerahan tersebut. Kedua, pembentukan lembaga kerjasama antar daerah sebagai wujud konsolidasi antar pemerintah daerah dapat menjadi instrumen untuk menekan pemerintah pusat (relasi vertikal), lembaga ini memiliki kekuatan yang signifikan,
10
tapi untuk mengefektifkan dan meningkatkan kapabilitas penyelenggaraan pemerintahan yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lembaga ini belum menunjukkan prestasinya. Dalam banyak hal lembaga ini tidak mendasarkan pada problem riil yang mereka hadapi kemudian membuat semacam aksi kolektif yang berdampak sosial ekonomi pada masyarakat (Pratikno, 2007) Faozan (2002) mengidentifikasi beberapa faktor penyebab belum optimalnya
kerjasama
antar
pemerintah
daerah
karena
motif
awal
pembentukannya memang sudah menyimpang, diantaranya yaitu yaitu: 1. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah seringkali hanya merupakan media formalitas, bukan karena keinginan untuk mengambil manfaat sebesarbesarnya dari kolaborasi yang dibangun. 2. Kolaborasi antar instansi pemerintah daerah kerapkali dibentuk hanya dikarenakan adanya tekanan dari suatu kebijakan yang biasanya disusun oleh instansi pusat atau yang lebih tinggi, yang pada umumnya validitas dan reliabilitasnya layak dipertanyakan. 3. Kolaborasi
kerap
diperkeruh oleh
oknum-oknum
pimpinan
instansi
pemerintah, perancang atau pengusul kebijakan tersebut sebagai lahan added salary tanpa mempertimbangkan berbagai faktor sensitif yang berkembang. Dalam konteks ini menjadi penting untuk melihat bagaimana prinsipprinsip dasar pengelolaan kerjasama antar daerah, format kelembagaan seperti bentuk kerjasama, pengelolaan kerjasama, struktur organisasi, sumber pendanaan dan kerangka regulasi yang ideal yang memungkinkan sebuah forum atau lembaga kerjasama antar daerah dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Atas dasar hal tersebut, dengan mengambil kasus pada lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB, penelitian ini tertarik untuk mengkaji bagaimana kinerja suatu lembaga kerjasama antar daerah dalam menjalankan aktivitasnya untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.
1.2. Perumusan Masalah BARLINGMASCAKEB sebagai lembaga
kerjasama
antar
daerah
terbentuk pada tahun 2003. Nama tersebut diambil dari akronim nama ke lima kabupaten yang saling bekerjasama yaitu Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga,
11
Banyumas, Cilacap, dan Kebumen. Ke lima kabupaten tersebut berada di Provinsi Jawa Tengah. Pembentukan lembaga kerjasama antar daerah ini lebih dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi berupa kecilnya skala perekonomian daerah. Kecilnya skala perekonomian daerah tercermin dari kecilnya pertumbuhan ekonomi daerah serta kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) yang mampu digali oleh pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan serta seperti terlihat pada tabel dan grafik berikut. Tabel 3 Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen Tahun 1999 – 2003 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 Rata-Rata Pertumbuhan
Banjarnegara 0.17 -0.11 0.95 2.94 0.99
Persentase Pertumbuhan Ekonomi Pubalingga Banyumas Cilacap 1.10 0.53 3.76 2.96 2.22 4.88 3.23 3.27 8.98 4.46 4.78 6.56 2.94
2.70
6.05
Kebumen 3.62 0.94 3.24 3.70 2.88
Sumber: Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen dalam angka 1999 – 2003.
Pertumbuhan ekonomi di kelima kabupaten yang membentuk lembaga kerjasam antar daerah BARLINGMASCAKEB, sebelum lembaga kerjasama tersebut terbentuk rata-rata sangat rendah yaitu kurang dari tiga persen, dan hanya Kabupaten Cilacap yang memiliki tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu mencapai 6,05 persen. Rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah (PAD) yang dapat digali oleh pemerintah daerah masing-masing untuk membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Kondisi ini mencerminkan bahwa skala ekonomi di masing-masing daerah yang bekerjasama memang masih rendah.
12
12,00
Persentase
10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 2000
2001
2002
2003
Tahun Banjarnegara
Purbalingga
Banyumas
Cilacap
Kebumen
Sumber: Data sekunder diolah.
Gambar 1 Perkembangan Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB. Dari gambar di atas terlihat bahwa besaran nilai PAD terhadap APBD di kelima kabupaten sebelum adanya lembaga kerjasama antar daerah rata-rata di bawah 10 persen, kecuali untuk Kabupaten Cilacap pada tahun 2002. Hal ini berarti program pembangunan yang dijalankan di setiap kabupaten lebih mengandalkan alokasi tranfer dana dari pusat ke daerah. Lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dibentuk melalui keputusan bersama Bupati Banjarnegara No. 130.A/2003, Bupati Purbalingga No.4/2003, Bupati Banyumas No. 36/2003, Bupati Cilacap No.48/2003,
dan
Bupati
Kebumen
No.16/2003.
Struktur
Organisasi
BARLINGMASCAKEB terdiri dari; Forum Regional, Dewan Eksekutif, dan Regional Manajer. Forum Regional adalah pemilik kerjasama dan pengambil kebijakan yang bersifat strategis dan memberikan arahan kepada dewan eksekutif. Dewan Eksekutif berfungsi sebagai kelompok pengarah atau steering committee yang menterjemahkan kebijakan forum regional menjadi program strategis BARLINGMASCAKEB. Dewan Eksekutif ini juga bertugas untuk melakukan penguatan internal organisasi agar kerjasama antar daerah bisa berjalan secara efektif dan efisien. Sedangkan Regional Manager merupakan pelaksana harian (operasional) yang melaksanakan program dan kegiatan KSAD BARLINGMASCAKEB yang telah ditentukan oleh forum regional dan dewan eksekutif.
13
Pembentukan lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB dilakukan dengan maksud untuk: (1) Mewujudkan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan antar daerah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumberdaya pembangunan; (2) Sinkronisasi dalam penyusunan peraturan daerah untuk mengurangi hambatan birokrasi dalam kegiatan ekonomi dan investasi; (3) Menghindari persaingan yang tidak sehat antar daerah; (4) Memperkuat posisi tawar dan meningkatkan daya saing daerah agar mampu mengakses pasar nasional dan internasional dalam era globalisasi ekonomi; (5) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas promosi daerah; dan (6) Membangun kemitraan antar daerah dan antara pemerintah kabupaten dengan provinsi. Dalam rangka untuk mewujudkan tujuan di atas lembaga kerjasama antar daerah ini memfokuskan kegiatan kerjasama pada tiga aktivitas, yaitu; (1) melakukan perdagangan (trade) produk pertanian, (2) memfasilitasi masuknya investasi (invesment); dan (3) melakukan pengembangan pariwisata regional (regional tourism).
1. Kegiatan Perdagangan (Trade) Aktivitas perdagangan dilakukan dengan menyelenggarakan pasar lelang komoditi agro. Penyelenggaraan pasar lelang dilakukan dengan sistem forward (penyerahan kemudian), dimana para penjual cukup membawa contoh/sampel yang dilengkapi dengan spesifikasi dari komoditas yang akan dijual. Setelah terjadi transaksi pihak pembeli membayar pada saat penerimaan barang dengan harga yang telah disepakati dalam pasar lelang tersebut. Sejak tahun
2004 hingga tahun 2009 telah diselenggarakan kegiatan pasar lelang
komoditi agro sebanyak 17 kali dengan nilai transaksi sebagai berikut.
14
50,00
Nilai Transaksi (dalam Milyar)
46,47
43,81
45,00
45,44
44,55
40,00 35,00 30,00 25,00
25,27
24,38
20,00 15,00
18,39 12,2
8,76
7,87
10,00 5,00
2,49 2,45
2,49
5,38 0,97 1
1
2
3
4
5
6
0 7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Periode lelang
Sumber: Data sekunder diolah
Gambar 2 Transaksi Pasar Lelang BARLINGMASCAKEB Tahun 2004 – 2009. Kegiatan pasar lelang diselenggarakan pertama kali pada tahun 2004 sebanyak enam kali. Pada tahun 2005 kegiatan pasar lelang diselenggarakan satu kali, tahun 2006 diselenggarakan dua kali, pada tahun 2007 sebanyak dua kali, tahun 2008 diselenggarakan sebanyak tiga kali, dan pada tahun 2009 pasar lelang diselenggarakan sebanyak tiga kali. Dari kegiatan pasar lelang tersebut, secara umum besarnya transaksi yang dihasilkan dapat dikatakan mengalami peningkatan, namun peningkatannya bersifat fluktuatif. Pada kegiatan pasar lelang produk pertanian ini, jika dilihat dari nilai omset transaksi cukup menggembirakan. Namun, arahan bahwa pasar lelang merupakan perdagangan berjangka (forward trading) menjadikan munculnya banyak problem. Terbukti
munculnya ketidakpuasan pelaku transaksi terutama
dari para produsen (penjual). Lemahnya jaminan legalitas transaksi menyebabkan munculnya tawar menawar kedua ketika realisasi pengiriman barang terjadi. Keadaaan ini membuktikan bahwa posisi tawar produsen masih lemah. Tidak tercapainya kondisi ideal dalam lelang juga dimungkinkan karena (1). tidak adanya persyaratan yang pasti terhadap peserta lelang (baik pembeli maupun penjual), (2) tidak ada standar jangka waktu pelaksanaan lelang dengan realisasi transaksi sehingga rentang keduanya bisa cukup panjang, dan (3) masih adanya informasi asimetris (asimetris information) mengenai standarisasi produk.
15
2. Kegiatan Fasilitasi Investasi (Invesment) Kegiatan peningkatan investasi dilakukan dengan memfasilitasi hadirnya para investor dari luar daerah agar bersedia menanamkan modalnya di wilayah BARLINGMASCAKEB. Beberapa investor yang telah dicoba untuk dijajagi agar menanamkan investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB antara lain: Tabel 4 Inisiasi Kegiatan Investasi di BARLINGMASCAKEB No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Kegiatan Penanaman Jagung Jenis Unggul Pabrik Pupuk Organik Pabrik Pengolahan Nanas Pabrik Minyak Atsiri Wisata Agro ”SerangKutabawa” Kawasan Industri ”Sokaraja” Ritel ”Carrefour”
Lokasi Cilacap
Asal Investor Amerika Serikat
Purbalingga Banjarnegara Banyumas Purbalingga
Canada Belanda China Nasional
Banyumas Banyumas
Nasional Nasional
Sumber: RM BARLINGMASCAKEB, 2009.
Dari kegiatan fasilitasi masuknya investor, belum ada satupun realisasi investasi yang masuk. Permasalahan ini muncul karena kurangnya selektivitas calon investor yang digandeng untuk menanamkan investasinya di wilayah BARLINGMASCAKEB.
Diantaranya; (1) beberapa investor yang akan
menanamkan investasi masih diragukan kemampuannya dalam bidang finansial, karena mereka mensyaratkan disediakannya dana pendamping oleh pemerintah kabupaten, (2) beberapa investor dianggap kurang tepat untuk berinvestasi di wilayah BARLINGMASCAKEB, seperti calon investor pada tanaman jagung dan pabrik pengolahan nanas yang membutuhkan lahan lebih dari 100 ribu Ha, sehingga pemerintah daerah menjadi kesulitan untuk menyediakan lahannya.
3. Kegiatan Pengembangan Pariwisata Regional (Regional Tourism) Kegiatan pengembangan pariwisata dilakukan dengan membentuk wadah para
pegiat
wisata
dengan
nama
lembaga
“Paguyuban
Pariwisata
BARLINGMASCAKEB” (PPB). Lembaga ini bertujuan untuk mempromosikan dan memperkenalkan objek wisata unggulan, kerajinan tangan, makanan khas, cindera mata, dan seni budaya wilayah BARLINGMASCAKEB. Kegiatan lain yang telah dilakukan, dengan bekerjasama dengan tour leader dari Yogyakarta dengan tujuan untuk mengenalkan wisata regional kepada wisatawan manca
16
negara dengan mendatangkan wisatawan dari Belanda, Korea, Jepang, dan New Zealand
untuk
mengunjungi
obyek-obyek
wisata
di
kawasan
BARLINGMASCAKEB, seperti; wisata alam Gua Jatijajar dan Pantai Petanahan di Kabupaten Kebumen; wisata alam Pantai Teluk Penyu dan Benteng Pendem di Kabupaten Cilacap; wisata alam Pemandian Air Panas Baturaden di Kabupaten Banyumas; wisata buatan “wisata air Owabong” di Kabupaten Purbalingga; dan wisata alam Arung Jeram di Kabupaten Banjarnegara. Pada kegiatan pengembangan pariwisata regional, kegiatannya baru sebatas mempromosikan obyek wisata di wilayah BARLINGMASCAKEB dengan cara mendatangkan wisatawan. Pada tahap awal kegiatan ini memang cukup baik untuk mengenalkan potensi wisata wilayah, namun kegiatan ini belum bisa memberikan dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Dari berbagai aktivitas yang telah dilakukan oleh lembaga kerjasama BARLINGMASCAKEB di atas, telah cukup memberikan gambaran adanya usaha untuk memanfaatkan secara bersama potensi ekonomi dari masing-masing daerah anggota untuk mengembangkan ekonomi wilayah. Namun demikian, berbagai aktivitas tersebut belum cukup menjadi daya ungkit bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari deskripsi di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Faktor
apa
yang mendorong
terbentuknya
kerjasama
antar
daerah
BARLINGMASCAKEB? 2. Bagaimana kinerja lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB? 3. Apakah pembentukan kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB merupakan pilihan tepat bagi penguatan skala ekonomi daerah? 4. Bagaimana format kelembagaan yang tepat bagi lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal?
17
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terbentuknya kerjasama a n t a r daerah BARLINGMASCAKEB. 2. Mengevaluasi
kinerja
lembaga
kerjasama
antar
daerah
BARLINGMASCAKEB. 3. Menganalisis kebijakan pembentukan kerjasama antar daerah sebagai strategi penguatan skala ekonomi daerah. 4. Merumuskan format kelembagaan yang tepat bagi lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal.
1.4. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Memberikan
masukan
kepada
lembaga
kerjasama
antar
daerah
BARLINGMASCAKEB dalam meningkatkan kinerjanya agar mampu memberikan kontribusi bagi pembangnan daerah 2. Memberikan masukan kepada pemerintah daerah yang tergabung dalam lembaga kerjasama antar daerah BARLINGMASCAKEB untuk lebih memberdayakan lembaga kerjasama tersebut sehingga mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. 3. Memperkaya pengembangan teoritis berkenaan dengan pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam kajian mengenai kerjasama antar daerah.
1.5 Kebaharuan Penelitian (Novelty) Nilai kebaruan (Novelty) dari penelitian mencakup dua hal yaitu berkenaan dengan pemilihan topik dan hasil penelitian. 1. Dari pemilihan topik, penelitian ini mengambil topik kerjasama antar daerah, dan dari pengamatan peneliti masalah ini masih jarang dijadikan sebagai topik kajian penelitian karena memang isu mengenai kerjasama antar daerah di Indonesia masih relatif baru.
18
2. Secara spesifik tujuan penelitian ini mengkaji tentang format kelembagaan lembaga kerjasama antar daerah dengan hasil berupa rumusan format kelembagaan yang tepat bagi lembaga kerjasama antar daerah agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Sepanjang pengamatan peneliti, penelitian yang memfokuskan pada rumusan format kelembagan kerjasama antar daerah juga belum pernah dilakukan. Hal tersebut yang menjadikan nilai kebaruan dari penelitian ini.