I. PENDAHULUAN 11.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, w ddan berkelanjutan. Keberhasilan pembangunan pertanian ditentukan oleh lingkungan tempat tumbuh komoditas pertanian seperti tanaman pangan, lli hhortikultura, perkebunan, dan peternakan. Agroekosistem atau faktor biofisik jenis tanah dan iklim (intensitas cahaya, curah hujan, kelembaban, dan sseperti e dapat menjadi peluang dan/atau masalah dalam pengembangan pertanian, ssuhu) u bbergantung kepada kemampuan petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam menggunakan teknologi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. m Sekitar 45% wilayah Indonesia merupakan perbukitan dan dataran tinggi yyang dicirikan oleh topo-fisiografi yang sangat beragam, sehingga praktek bbudidaya pertanian di lahan dataran tinggi memiliki peran penting dalam ppembangunan pertanian nasional. Selain memberikan manfaat bagi petani, lahan ddataran tinggi juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aaliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya (Dariah, 2007). Budidaya tanaman hortikultura di lahan dataran tinggi dihadapkan kepada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relatif curam, kepekaan tanah fa terhadap longsor dan erosi, curah hujan yang relatif tinggi, dan lain-lain. te Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan di daerah ini K ddapat menimbulkan kerusakan atau cekaman biofisik berupa degradasi kesuburan dan ketersediaan air yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh ttanah a masyarakat di lahan dataran tinggi, tetapi juga di dataran rendah di bawahnya. m Empat hal yang mencerminkan penurunan kualitas pertanian lahan kering dataran E antara lain adalah (1) usaha tani yang semakin tidak menguntungkan bagi ttinggi i ppetani sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, (2) menurunnya daya dukung lingkungan yang ditunjukkan oleh meningkatnya m kkerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas lahan, (3) meningkatnya vvolume hujan akibat anomali iklim yang memicu terjadinya ledakan serangan hhama dan penyakit tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen dan kerugian
2
m materi yang tidak sedikit,
dan (4) hilangnya kemampuan masyarakat untuk
m membangun modal sosial (social capital) sehingga mereka tidak mampu m mengendalikan terjadinya kerusakan lingkungan dan sangat tergantung kepada m modal usaha yang berasal dari luar (Irianto et al., 1999; Anyamba et al., 2006; P Pranadji, 2006). Daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang merupakan salah satu dari tiga ddaerah aliran sungai yang terdapat di Sulawesi Selatan yang termasuk DAS pprioritas. Kondisi lahan di daerah aliran sungai Jeneberang mengalami kerusakan kkarena adanya alih fungsi lahan dan sistem pertanian yang dilakukan oleh m masyarakat yang tidak mengikuti teknik konservasi tanah dan air yang sangat ddiperlukan untuk lahan dengan kemiringan curam. Bagian hulu DAS Jeneberang merupakan daerah tangkapan hujan sungai Jeneberang. Di bagian hilirnya terletak Kota Makassar yang merupakan ibukota JJe Provinsi Sulawesi Selatan dan Kota Sungguminasa yang merupakan ibukota P K Kabupaten Gowa. Selain itu, di bagian hilir sungai terdapat Bendungan Bili-Bili. B Bendungan Bili-Bili merupakan pemasok berbagai kebutuhan air untuk daerah se sekitarnya, baik untuk keperluan irigasi, pembangkit tenaga listrik, keperluan ddomestik, dan industri. Selain itu, bendungan ini juga berfungsi sebagai media ppengendali banjir dan sedimentasi di muara Sungai Jeneberang. Beberapa tahun terakhir ini fungsi hidrologi DAS Jeneberang bagian hulu semakin menurun. Pertambahan luas lahan kritis cenderung lebih besar bila se ddibandingkan dengan luas keberhasilan reboisasi dan rehabilitasi lahan. Erosi yyang meningkat menyebabkan sedimentasi di muara yang juga semakin meningkat. Erosi dan sedimentasi telah menyebabkan dampak lanjut, baik m terhadap sistem hidrologi secara keseluruhan maupun terhadap sistem kehidupan tte ddi muara sungai dan sekitarnya. Berdasarkan penelitian sebelumnya, luas lahan di hulu DAS Jeneberang ddengan kemiringan lereng 35 – 45 % adalah 343.203,5 ha (89,28% dari total luas hhulu DAS Jeneberang), dan erosi yang terjadi berkisar dari 1,07 – 465,47 ton/ha (Makaheming, 2003). Erosi yang terjadi cukup tinggi dan bahkan terjadi longsor ((M M ppada tahun 2004 yang lalu sehingga terjadi sedimentasi di daerah Dam Bili-Bili 2006). Sumber sedimen di Dam Bili-Bili berasal dari erosi tanah ((Suriani, S
3
(7 (71,22%), erosi longsor dan erosi tebing sungai (28,78%) (Zubair dan Djuhartono, 22001). Hasil penelitian Mappa et al. (1987) menunjukkan bahwa Sungai Je Jeneberang yang diharapkan dapat menjadi sumber air irigasi bagi sekitar 31.000 hha sawah di bagian hilir, pada musim kemarau hanya dapat memenuhi kebutuhan aair irigasi sekitar 10% saja. Di samping itu, keperluan air untuk industri dan ddomestik pada musim kemarau juga menjadi kritis. Di lain pihak pada musim hhujan terjadi lonjakan debit sungai yang menyebabkan banjir serta akibat-akibat ssa sampingannya. Numiaty (1995) dan Mustafa et al. (1995) menyatakan adanya ffluktuasi l debit aliran sungai Jaleko (DAS Jeneberang) yang sangat berbeda nyata musim penghujan dan musim kemarau sepanjang tahun (1992 – 1994). aantara n Debit maksimum mencapai sekitar 422 m3/detik dan debit minimum 2,6 m3/detik. D Kondisi hidrologi Sungai Jeneberang sangat tidak menguntungkan sistem drainase K ddi Kota Makassar. Mappa et al. (1987) selanjutnya mengemukakan bahwa luas lla lahan kritis di DAS Jeneberang adalah 65.620 ha, dimana 5.250 ha tererosi berat, 337.400 ha tererosi sedang dan 6.563 ha tererosi ringan. Usahatani hortikultura yang diusahakan oleh petani di hulu DAS Je Jeneberang adalah tanaman sayuran dan buah-buahan. Luas lahan yang ditanami ta tanaman hortikultura sekitar 69.930 ha (18,19% dari total luas hulu DAS Je Jeneberang) dalam bentuk tegalan dan kebun (Makaheming, 2003). Usahatani hhortikultura diusahakan pada lahan datar hingga berbukit (0 – 40%) sehingga lla lahan a sangat potensial mengalami erosi. Tanaman hortikultura sayuran yang bbanyak diusahakan adalah kentang, kubis, bawang prei, wortel, cabe dan tomat. Tanaman hortikultura buah-buahan yang banyak diusahakan adalah avokad, T markisa dan rambutan (Said, 2001). Hasil penelitian Tangkaisari (1987) tentang m tingkat erosi di DAS Jeneberang bagian hulu menunjukkan bahwa total tanah tti i tererosi pada petak pertanaman bawang prei tanpa konservasi sebesar 80 tte e dan petak pertanaman bawang prei yang berteras saluran sebesar 9 tton/ha/tahun o ton/ha/tahun; keduanya melampaui erosi yang dapat diperbolehkan sebesar 8 tto o tton/ha. Pada tahun 1993 – 1994 erosi yang terjadi di hulu DAS Jeneberang adalah to 221,53 ton/ha/tahun, dan tahun 1999 erosi yang terjadi meningkat menjadi 25 tton/ha/tahun o (Arsyad, et al., 2000 dalam Makaheming, 2003).
4
Diduga pola penggunaan lahan di daerah bagian hulu DAS Jeneberang ti tidak sejalan dengan kemampuan lahannya. Usaha pertanian tanaman hortikultura se seperti sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada areal dengan kemiringan le lereng yang besar tanpa memperhatikan upaya konservasi. Pemanfaatan lahan yyang tidak mempertimbangkan atau tidak disesuaikan dengan kemampuan llahannya a akan menyebabkan kerusakan tanah dan lingkungan yang lebih parah llagi. a Karena besarnya ancaman bahaya erosi dan sedimentasi, tanpa adanya rre rencana penataan dan pengaturan penggunaan lahan ke arah yang optimal, kkemungkinan kerusakan tanah dan lingkungan DAS secara keseluruhan akan m menjadi lebih parah di masa yang akan datang dan semakin meluasnya tanah yang produktif. Untuk itu diperlukan penataan dan pengaturan penggunaan lahan ttidak i yyang optimal, sehingga diharapkan kerusakan tanah dan lingkungan dapat ditekan mungkin dan manfaat ekonomi dapat diperoleh secara maksimal. sseminimal e Upaya penerapan kaidah-kaidah konservasi sumberdaya lahan dalam ssi sistem budidaya tanaman hortikultura pada prinsipnya tergantung dari kesadaran ddan kemampuan petani sebagai pelaku yang menentukan dalam pengelolaan uusahataninya. Namun disadari benar bahwa petani pada umumnya masih dalam kkondisi serba kekurangan sehingga pemenuhan kebutuhan jangka pendek lebih ddiprioritaskan dibandingkan persoalan jangka panjang seperti konservasi sumberdaya lahan. Petani dapat dipandang sebagai kelompok primer yang perlu su mendapat informasi, pembinaan dan bimbingan dari pemerintah melalui program m ppemberdayaan dan penyuluhan. Bagi komunitas petani yang mempunyai kkarakteristik demikian, diperlukan pendekatan sistemik baik dari sisi perubahan sikap mental maupun perilaku manusianya. ssi Budidaya pertanian khususnya komoditas hortikultura pada lahan bberlereng atau pegunungan dapat dilakukan tetapi harus memperhatikan teknologi kkonservasi tanah dan air. Selain memberikan manfaat bagi petani, lahan di ppegunungan juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aaliran sungai dan menyangga daerah di bawahnya. Dengan demikian peluang uuntuk budidaya pertanian di lahan berlereng atau pegunungan rentan terhadap longsor dan erosi apabila tidak memperhatikan prinsip-prinsip konservasi tanah llo ddan air. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.
5
447/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada L Lahan Pegunungan. Pengembangan
tanaman
hortikultura
berbasis
agroekologi
dalam
ppengelolaan lahan dataran tinggi yang tepat guna dan tepat sasaran dapat memberi kkeuntungan ekonomi dan melindungi lahan dan lingkungan secara simultan. D Dengan demikian, pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi secara bberkelanjutan dapat terwujud. Lahan dataran tinggi dengan iklim dan jenis tanah yyang berbeda mempunyai karakteristik lingkungan tumbuh tanaman yang hheterogen. Lingkungan tumbuh demikian memenuhi persyaratan fisiologis bagi jjenis-jenis e tanaman tertentu. Kelompok jenis tanaman berdasarkan persyaratan fisiologis harus memenuhi persyaratan agronomis yang diekspresikan dalam ffi kesesuaian tanaman bagi berbagai karakteristik fisik dan kimia tanah. ttingkat i JJenis-jenis tanaman ini yang akan ditanam pada bidang olah lahan berlereng yang telah diteras (Altieri, 2002). Menurut FAO (1989, dalam Susanto 2006) pertanian tte bberkelanjutan merupakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dengan oorientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilakukan sedemikan rupa ssehingga menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara bberkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dimana diharapkan ddari pembangunan sektor pertanian, perikanan dan peternakan mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman, tidak merusak lingkungan dan secara sosial m ddapat diterima. Konsep agroekologi merupakan pengelompokan suatu wilayah bberdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan diharapkan tidak akan berbeda nyata. Komponen utama tta aagroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah (Puslitanak, 11999). Menurut Susanto (2006), pengembangan tanaman hortikultura berbasis aagroekologi perlu ditekankan pada usaha mempertahankan dan meningkatkan produksi yang sudah dicapai. Penjabarannya mencakup empat dimensi ttingkat i yyaitu sosial ekonomi, sumberdaya alam sebagai aset produksi dalam usahatani, ppeningkatan peranan masyarakat, dan implementasi program yang realistis. Dimensi sosial-ekonomi perlu ditekankan kearah usaha mengatasi kemiskinan, D kkeseimbangan produksi dan konsumsi, keseimbangan demografi, kesehatan
6
m masyarakat, penataan hunian yang manusiawi, dan keseimbangan lingkungan dan ppembangunan. Sumberdaya alam sebagai aset produksi perlu difahami bentuk, kkeberadaan dan karakternya sehingga pemanfaatannya mengarah pada prinsip kkesamaan hak antar generasi atas sumber daya, keseimbangan pemanfaatan, ppreservasi dan konservasi, dan peningkatan kemanfaatan untuk generasi yang aakan k datang. Pemberdayaan masyarakat mencakup pemanfaatan pengetahuan dan tteknologi, e kesetaraan akses sumber produksi, dan kebijakan pemerintah antar ssektor e yang berpihak pada sektor pertanian. Implementasi program yang realistis m meliputi adanya pendanaan yang berpihak pada sektor pertanian, peningkatan nnilai tambah teknologi asli (kearifan lokal) untuk dijadikan sebagai bagian dari kkeunggulan kompetitif, transfer teknologi, dukungan keilmuan melalui penelitian yyang terkoordinasi, peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, dan proses ppengambilan keputusan yang transparan. Penerapan
model
pengembangan
tanaman
hortikultura
berbasis
aagroekologi di wilayah dataran tinggi khususnya di hulu DAS Jeneberang ddiharapkan dapat memberikan keuntungan langsung kepada petani di samping m menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya, antara lain sebagai obyek wisata agro, penyedia lapangan kerja, penggalang ketahanan la ppangan, dan penyedia berbagai fungsi lingkungan seperti pengendali erosi dan longsor, penghasil oksigen, dan pengatur tata air daerah aliran sungai. lo 11.2. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendesain model pengembangan hortikultura berbasis agroekologi yang mampu menjaga dan melestarikan ttanaman a sumberdaya lahan dan lingkungan pada lahan berlereng, sehingga lahan dapat ssu u ddimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa menurunkan kualitas lahan dan meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani di daerah hulu llingkungan, i DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan. D Tujuan khususnya meliputi : T a. Mengevaluasi kemampuan dan kesesuaian lahan untuk tanaman hortikultura pada lahan berlereng di daerah hulu DAS Jeneberang.
7
b. Menentukan metode pengelolaan lahan yang sesuai untuk meminimalkan terjadinya erosi pada lahan berlereng di daerah hulu DAS Jeneberang. c. Menentukan keberlanjutan budidaya tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng di daerah hulu DAS Jeneberang. d. Merumuskan disain model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada lahan berlereng di daerah hulu DAS Jeneberang. 11.3. Perumusan Masalah Lahan dengan kemiringan yang cukup curam umumnya ditemui di daerah hhulu suatu DAS. Daerah hulu DAS Jeneberang merupakan lahan yang secara sst status terdiri atas dua kawasan yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Petani memanfaatkan lahan di kawasan lindung sebagai lahan budidaya tanaman P seperti kopi, sehingga terjadi alih fungsi lahan. Sedangkan di kawasan ttahunan a bbudidaya, lahannya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan untuk budidaya ttanaman a hortikultura, tanaman pangan, dan tanaman perkebunan. Di kawasan uusahatani yang ditanami tanaman hortikultura, pengusahaannya dilakukan secara in intensif pada kondisi lahan berlereng dan intensitas curah hujan yang tinggi se sehingga menyebabkan terjadinya erosi dan peluang terjadinya longsor cukup bbesar. Erosi dan longsor tersebut menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Disisi lain, penyebab terjadinya hal tersebut adalah faktor petaninya sendiri. la Pengetahuan dan teknologi yang dimiliki petani masih sangat minim, sementara P kkelembagaan yang ada di tingkat usahatani sangat lemah yang menyebabkan ppengelolaan lahan tidak menggunakan prinsip pengelolaan konservasi. Hal ini memperparah terjadinya degradasi lahan dan lingkungan. Dampak dari ttelah e kkejadian tersebut adalah produktivitas lahan menurun, kualitas dan kuantitas pproduksi menurun, pendapatan petani rendah dan menyebabkan petani miskin dan sejahtera. Secara skematis, perumusan masalah pada penelitian ini disajikan ttidak i ppada Gambar 1. Beberapa pertanyaan penelitian yang merupakan permasalahanppermasalahan yang perlu dicarikan alternatif penanganannya yaitu : a. Bagaimana pengelolaan lahan eksisting untuk tanaman hortikultura di daerah hulu DAS Jeneberang? Apakah sudah menerapkan pengelolaan lahan berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan?
8
b. Apakah metode pengelolaan lahan di daerah hulu DAS Jeneberang telah mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah dan air? c. Bagaimana keberlanjutan potensi pertanian hortikultura di daerah hulu DAS Jeneberang? d. Bagaimana
model
pengembangan
tanaman
hortikultura
berbasis
agroekologi yang sesuai untuk diterapkan di daerah hulu DAS Jeneberang? 11.4. Kerangka Pemikiran Kawasan budidaya di daerah hulu DAS Jeneberang dibagi menjadi dua kkawasan yaitu kawasan usahatani dan kawasan non-usahatani. Kawasan usahatani ddimanfaatkan untuk usahatani tanaman hortikultura, tanaman pangan, tanaman ppalawija, dan perkebunan. Pengelolaan lahan untuk tanaman hortikultura dan pperkebunan memerlukan penanganan yang cukup sulit karena lahannya memiliki kkemiringan yang curam, sehingga diperlukan pengelolaan dengan memperhatikan kkonservasi tanah dan disesuaikan dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya. P Pengembangan tanaman hortikultura di daerah hulu DAS Jeneberang melalui ppendekatan agroekologi akan lebih ramah lingkungan, yaitu dengan membuat zzona agroekologi. Dalam setiap zona agroekologi, pengelolaan lahan yang bberwawasan lingkungan (berkelanjutan) dapat dilakukan melalui pengelolaan bbiofisik lahan dan tanaman, partisipasi dan peningkatan pengetahuan petani melalui penyuluhan, penguatan kelembagaan dan penyediaan lembaga saprodi, m ppemasaran dan modal usahatani (pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi). Untuk membangun hal tersebut maka pendekatannya dapat dilakukan secara holistik m ddengan mengamati keterkaitan dan pengaruh antar satu bagian dengan bagian lainnya. Metode analisis yang dapat dilakukan untuk hal tersebut adalah melalui lla a pemodelan, sehingga apabila diterapkan diharapkan dapat menciptakan kondisi p sumberdaya lahan dan lingkungan yang lestari, pemanfaatan lahan berkelanjutan su tanpa terjadinya kerusakan lahan, meningkatkan produktivitas lahan dan ta ta meningkatkan pendapatan petani. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan m pada Gambar 2. p
9
11.5. Manfaat Penelitian Model
pengembangan
tanaman
hortikultura
berbasis
agroekologi
ddiharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi kepada Pemda setempat uuntuk menyelesaikan permasalahan degradasi lahan dan lingkungan serta pperbaikan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi dan ppenurunan biaya produksi (input) dari usahatani tanaman hortikultura. Dengan ddemikian pemanfaatan lahan di bagian hulu DAS Jeneberang dapat dilakukan ssecara e berkelanjutan. 11.6. Kebaruan (Novelty) Model pengembangan tanaman hortikultura berbasis agroekologi pada berlereng di hulu DAS Jeneberang, melalui perbaikan lahan yang llahan a dan peningkatan produktivitas lahan yang berdampak terhadap tterdegradasi e ppendapatan petani.
10
DAERAH HULU DAS JENEBERANG
KAWASAN LINDUNG K
RTRW
KAWASAN BUDIDAYA
BUDIDAYA TANAMAN HORTIKULTURA DI LAHAN BERLERENG
Kondisi Iklim – Lahan K
Kondisi Sosial Petani
Kondisi Kelembagaan
ZONA AGROEKOLOGI
PENGELOLAAN LAHAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
Kelas Kemampuan dan K Kesesuaian Lahan
Prediksi Erosi
Penyuluhan Peningkatan Pengetahuan Petani
Pengelolaan Lahan
Faktor Iklim, Tanah dan Topografi
Penyuluhan Teknologi Ramah Lingkungan
Jenis Tanaman dan Pola Tanam
Faktor Vegetasi dan Pengelolaan Lahan
Kompetensi Masyarakat Tani
Pemupukan dan Ameliorasi
Tindakan Konservasi Tanah dan Air
Kelembagaan Petani Hortikultura
MODEL PENGEMBANGAN TANAMAN HORTIKULTURA BERBASIS AGROEKOLOGI PADA LAHAN BERLERENG - Menjaga dan Melestarikan Sumberdaya Lahan dan Lingk. - Dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa menurunkan kualitas lahan - Meningkatkan produktivitas lahan - Meningkatkan pendapatan petani Gambar 2. Kerangka pemikiran pengembangan tanaman hortikultura berbasis G agroekologi pada lahan berlereng.
NON PERTANIAN
Pengelolaan lahan berlereng untuk meminimalkan terjadinya erosi
Analisis keberlanjutan pertanian hortikultura di lahan berlereng
KURANGNYA PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Model Pengembangan Tanaman Hortikultura di Lahan Berlereng
Pengelolaan lahan berlereng berdasarkan kesesuaiannya
Gambar Gam mba 1. Perumusan masalah penelitian.
Penngeello Pengelolaan lahan berlereng berdasarkan kemampuannya berd dasa
LEMAHNYA KELEMBAGAAN USAHATANI
PERTANIAN TAN. HORTIKULTURA
KAWASAN BUDIDAYA
- PRODUKTIVITAS LAHAN RENDAH - KUALITAS DAN KUANTITAS PRODUKSI RENDAH - PENDAPATAN PETANI RENDAH - PETANI MISKIN DAN TIDAK SEJAHTERA
LERENG CURAH HUJAN TINGGI LONGSOR DAN EROSI KESUBURAN RENDAH JENIS KOMODITAS
ALIH FUNGSI LAHAN
KAWASAN LINDUNG
DAERAH HULU DAS JENEBERANG
LAHAN BERLERENG
10