I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor dengan penyerapan tenaga kerja paling banyak di Indonesia dibandingkan dengan sektor lainnya. Badan Pusat Statistik (2009) melaporkan bahwa sampai dengan Agustus 2009 kurang lebih 41,61 juta (39,67 persen) dari total penduduk Indonesia yang bekerja dengan jumlah 104,87 juta penduduk Indonesia menyatakan bahwa mereka bekerja di sektor pertanian dalam arti luas (pertanian, kehutanan, perburuan, perikanan, dan peternakan). Peranan sektor pertanian dalam hal penyerapan tenaga kerja yang besar belum mampu mengantarkan Indonesia mencapai kesejahteraan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007 menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin tercatat 37,2 juta jiwa. Sekitar 63,4 persen dari jumlah tersebut berada di perdesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian dan 80 persen berada pada skala usaha mikro yang memiliki luas lahan lebih kecil dari 0,3 hektar. Kemiskinan di perdesaan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu pembangunan ekonomi nasional berbasis pertanian dan perdesaan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengurangan penduduk miskin. Pemerintah Indonesia sejak lama telah mengambil banyak langkah positif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sektor Pertanian seperti kredit Bimbingan Massal (BIMAS), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Ketahanan Pangan (KKP), dan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Program-program tersebut diselenggarakan guna meningkatkan produksi pertanian (padi dan palawija) serta sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Menurut Apriyantono (2004) memperjelas mengenai masalah yang ada dalam pertanian Indonesia yaitu permasalahan pengembangan pasar dan tataniaga, kepemilikan lahan, birokrasi di pemerintahan, keterampilan, teknologi, mentalitas, organisasi tani, kebijakan tani, informasi dan modal pertanian. Dalam upaya untuk mengatasi permasalahan pertanian yang mencakup berbagai aspek, kemudian pemerintah membentuk suatu program terobosan yang fokus pada pembangunan pertanian perdesaan yaitu 1
program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan yang lebih dikenal dengan PUAP. PUAP dilaksanakan secara terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M). PUAP ditujukan bagi 10.000 desa miskin di Indonesia yang dianggap masih memiliki potensi untuk dikembangkan dari sektor agribisnisnya.
Untuk pelaksanaan PUAP di
Departemen Pertanian, Menteri Pertanian membentuk Tim Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan melalui Keputusan Menteri Pertanian (KEPMENTAN) Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007.2. PUAP merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani. PUAP mulai direalisasikan sejak tahun 2008 dengan jumlah target Gapoktan yang menerima dana PUAP pada tahun 2008 setelah mendapat usulan dari komisi IV DPR menjadi 11.000 desa. Realisasi desa penerima PUAP tahun 2008 sebanyak 10.542 (Lampiran 1) dengan jumlah penyerapan terbanyak berdasarkan kelompok pulau terdapat di Pulau Jawa dan Bali (Tabel 1). Adapun penyebaran desa penerima PUAP tahun 2008 di Pulau Jawa dan Bali ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 1. Realisasi Desa Penerima Dana BLM-PUAP Berdasarkan Kelompok Pulau di Indonesia Tahun 2008 No. 1 2 3 4 5 6 7
Kelompok Pulau
Jumlah Kab/ Kota
Sumatera Jawa dan Bali Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara Maluku Papua Total
111 107 46 58 27 13 27 389
Jumlah Kecamatan 812 1.050 267 430 197 130 179 3.065
Jumlah Desa/ Kelurahan 2.798 3.484 983 1.550 704 332 691 10.542
Sumber : Puslitbang Sosial Ekonomi (2009), diolah
2
Tabel 2. Realisasi Desa Penerima Dana BLM-PUAP Berdasarkan Provinsi di Pulau Jawa dan Bali Tahun 2008 No. 1 2 3 4 5 6 7
Jumlah Kab/ Kota
Provinsi Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur D.I. Yogyakarta D.K.I. Jakarta Bali Total
Jumlah Kecamatan
7 21 31 30 4 5 9 107
79 225 303 328 50 12 53 1.050
Jumlah Desa/ Kelurahan 298 621 1.092 1.083 127 15 248 3.484
Sumber : Puslitbang Sosial Ekonomi (2009), diolah
Pelaksanaan PUAP di tingkat desa dijalankan oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Dana PUAP secara khusus diharapkan dikelola oleh unit usaha otonom yang merupakan bagian dari Gapoktan itu sendiri yang dapat meliputi unit simpan pinjam, unit usaha saprodi, unit usaha pengolahan dan pemasaran. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pelaksanaan PUAP, Gapoktan didampingi oleh tenaga Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani. Gapoktan diharapkan dapat menjadi kelembagaan ekonomi yang dimiliki dan dikelola petani. Tujuan dari program PUAP adalah mengurangi kemiskinan dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan kegiatan usaha agribisnis di perdesaan sesuai dengan potensi wilayah; meningkatkan kemampuan pelaku usaha agribisnis, Pengurus Gapoktan, Penyuluh dan Penyelia Mitra Tani; memberdayakan
kelembagaan
petani
dan
ekonomi
perdesaan
untuk
pengembangan kegiatan usaha agribisnis; serta meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses ke permodalan. Indikator keberhasilan Outcome PUAP yaitu meningkatnya kemampuan Gapoktan dalam memfasilitasi penyaluran dana BLM untuk petani anggota baik pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani, meningkatnya jumlah petani, buruh tani dan rumah tangga tani yang mendapatkan bantuan modal usaha, meningkatnya aktivitas kegiatan agribisnis (budidaya dan hilir) di perdesaan, dan
meningkatnya pendapatan petani (pemilik dan atau
3
penggarap), buruh tani dan rumah tangga tani dalam berusaha tani sesuai dengan potensi daerah. Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sektor pertanian, menjadi menarik untuk meneliti program PUAP yang merupakan program terobosan terbaru dari pemerintah. Hal ini didasari atas adanya kemungkinan kegagalan yang ditemui disebabkan oleh faktor kegagalan yang terjadi pada program terdahulu. Kegagalan KUT ditunjukkan dengan jumlah tunggakan sebesar Rp. 5,71 Trilyun. Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan KUT adalah rendahnya kesadaran petani dalam pengembalian pinjaman dimana persepsi petani terhadap dana yang diterima merupakan pemberian pemerintah yang tidak wajib untuk dikembalikan, kurangnya pembinaan terhadap petani anggota dan kurangnya ketersediaan SDM yang mengelola dana baik secara kuantitas maupun kualitas (Andriani, 1996). Program penyediaan modal atau pembiayaan pertanian tidak dapat menuntaskan permasalahan pertanian yang ada apabila tidak bersamaan dengan pembinaan terhadap kelompok yang mengelola dan petani yang tergabung di dalamnya diperhatikan. Selain itu adanya beberapa persamaan dalam prosedur yang berlaku berupa penyusunan rancangan kebutuhan petani yang pada program KUT dikenal dengan Rancangan Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) sedangkan pada PUAP dikenal dengan Rancangan Usaha Bersama (RUB). Terjadi banyak penyimpangan dalam penyusunan RDKK dimana terdapat banyak temuan luasan lahan fiktif. Hal ini didorong karena pada KUT terdapat aturan semakin luas lahan maka semakin besar pinjaman kredit yang diterima. Oleh karena itu, dalam penyusunan PUAP didampingi oleh banyak perangkat yaitu penyuluh pertanian, PMT, dan pengurus Gapoktan itu sendiri. Persamaan lainnya adalah dana kemudian dikelola oleh kelompok tani atau Koperasi yang masih belum memiliki kemampuan manajerial yang baik dalam pengelolaan dana sehingga diperlukan pembinaan dari pihak terkait PUAP seperti PMT. Adanya perbedaan status pembiayaan yang diberikan dimana KUT yang merupakan kredit sedangkan PUAP merupakan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dapat mendorong dana PUAP tidak digunakan secara produktif dan memungkinkan beberapa penyimpangan terjadi. Akan tetapi, perbedaaan status
4
pembiayaan pertanian dari dana PUAP dapat dilihat secara positif bahwa dengan adanya BLM-PUAP dapat menjadikan penerima dana PUAP tidak terbebani dalam menggunakan dana yang didapatkan dan berani dalam mengambil risiko dari usaha yang dijalankan. Perbedaan ini diperjelas dalam penelitian yang ada bahwa keengenanan sebagian petani meminjam KUT apabila program tersebut kembali dilaksanakan adalah beban bunga yang dibebankan kepada petani. Halhal yang telah dipaparkan mendorong untuk mengetahui lebih mendalam mengenai PUAP itu sendiri dalam mengatasi permasalahan pertanian di Indonesia. Dengan adanya dana PUAP dilahirkan sebuah kelembagaan non-formal baru dalam Gapoktan itu sendiri yang berperan dalam pengelolaan dana PUAP dimana dalam petunjuk teknis PUAP disebut dengan unit usaha otonom. Dalam juknis disebutkan bahwa unit usaha yang dijalankan oleh unit usaha otonom ini memiliki ruang lingkup yang sama dengan yang ada pada koperasi. Hal lain yang menarik untuk diteliti adalah aspek apa yang menjadi perbedaan mendasar dari unit usaha otonom dengan koperasi dan alasan apa melatarbelakangi pembentukkan lembaga baru ketika dalam suatu desa yang mendapat dana PUAP terdapat Koperasi. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih mendalam mengenai keragaan PUAP dengan adanya peranan kelembagaan yang lahir setelah adanya PUAP (unit usaha otonom). Hasil penelitian mengenai keragaan ini dapat menjadi salah satu evaluasi dan masukan bagi stakeholder PUAP baik itu Gapoktan sebagai pelaksana PUAP maupun pihak pemerintah dari tingkat kabupaten hingga nasional. Unit usaha otonom yang diteliti adalah unit usaha otonom pada Gapoktan Subur Rejeki. Unit usaha otonom dalam Gapoktan Subur Rejeki diberi nama Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis Syariah Subur Rejeki (LKMA-S Subur Rejeki). Pemilihan Gapoktan ini berdasarkan hasil evaluasi yang dilaksanakan oleh pihak Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi dengan penilaian yang dijalankan oleh Penyelia Mitra Tani (PMT) yang menunjukkan kinerja pengelolaan dana PUAP oleh Gapoktan Subur Rejeki termasuk ke dalam kelas baik (Tabel 3). Penelitian yang dilakukan terhadap Gapoktan dengan kinerja pengelolaan dana baik diharapkan dapat
5
menjadi pembelajaraan bagi Gapoktan lainnya dalam mengelola dana bantuan pemerintah yang sampai sejauh ini banyak yang tidak berkembang dan belum bisa menjadi dana stimulan untuk meningkatkan produktivitas Gapoktan. Adapun kriteria yang digunakan dalam evaluasi PUAP Kabupaten Sukabumi ke dalam kelas Gapoktan dengan kinerja baik, sedang, dan kurang baik, dilihat dari profil umum dan keanggotan Gapoktan, kepengurusan Gapoktan, kualitas SDM pengurus Gapoktan, fasilitas organisasi Gapoktan, kinerja Gapoktan, serta mekanisme pengusulan dan penyaluran dana BLM-PUAP. Tabel 3. Kelas Gapoktan dengan Kinerja Baik Kabupaten Sukabumi Tahun 2008 No. Nama Gapoktan 1. Subur Rejeki 2. Makmur Jaya 3. Makmur Jaya
Desa Sukaresmi Kebon Manggu Klp. Rea
Kecamatan Cisaat Gunung Guruh Nagrak
Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kab. Sukabumi (2009)
Selain itu, penerapan pola pembiayaan syariah dalam pengelolaan dana PUAP oleh LKMA-S Subur Rejeki menjadi faktor lain yang menjadikan LKMAS Subur Rejaki menarik. Hal ini didasari atas banyaknya penelitian yang menunjukkan bahwa penerapan pola pembiayaan syariah sesuai untuk usaha kecil dan mikro termasuk salah satunya sektor pertanian. Ashari dan Saptana (2005) menyatakan bahwa pengembangan lembaga pembiayaan sistem syariah dengan prinsip mudharabah dan musyarakah sebagai lembaga alternatif dalam pembiayaan sektor agribisnis merupakan alternatif yang strategis karena secara konseptual relevan dengan sektor agribisnis. Pola pembiayaan syariah yang kemudian oleh LKMA-S diterapkan dalam pengelolaan dana PUAP. 1.2. Perumusan Masalah LKMA-S Subur Rejeki merupakan bagian dari Gapoktan Subur Rejeki yang berperan sebagai unit usaha otonom Gapoktan. Sumber dana yang dikelola oleh LKMA-S diperoleh dari dana PUAP dan simpanan anggota. Pada saat ini LKMA-S berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Poktan, Gapoktan, BP3K, PMT, dan BP4K. Adapun unit usaha yang dijalankan oleh LKMA-S Subur Rejeki saat ini meliputi unit usaha simpan pinjam, unit pemasaran dan unit
6
penyediaan saprodi. Dalam menjalankan unit usahanya, LKMA-S Subur Rejeki menggunakan prinsip syariah. Unit usaha simpan pinjam memungkinkan petani yang tergabung dalam Gapoktan Subur Rejeki untuk menyimpan uang baik itu simpanan wajib, dan simpanan sukarela. Uang simpanan yang dihimpun oleh LKMA-S kemudian digunakan untuk mendanai kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM) di Desa Sukaresmi yang berbasis non-pertanian. Keuntungan yang didapatkan dari pemberian pinjaman bagi usaha non-pertanian tersebut kemudian ditambahkan pada kas Gapoktan. Unit usaha lainnya yang dijalankan oleh LKMA-S Subur Rejeki adalah unit usaha pemasaran dimana LKMA-S berperan dalam sub-sistem hilir berupa pembelian hasil produksi dari petani anggota Gapoktan Subur Rejeki. Uang yang digunakan untuk membeli hasil produksi pertanian sampai sejauh ini berasal dari uang simpanan anggota yang telah dipastikan oleh LKMA-S tidak akan diambil dalam waktu cepat serta keuntungan yang didapatkan dari pengelolaan dana PUAP selama satu tahun ke belakang. Pada saat ini hasil produksi yang dibeli oleh pihak LKMA-S adalah sebagian hasil produksi pertanian tanaman pangan yaitu padi. Hasil produksi hortikultura belum mendapatkan penanganan dari pihak LKMA-S Subur Rejeki karena petani di desa Sukaresmi belum bisa memenuhi standar yang diinginkan oleh pihak pembeli. Dalam hal ini pihak pembeli yang dimaksud adalah perusahaan yang memiliki jalinan kerja sama dengan pihak Gapoktan dimana perusahaan tersebut bergerak dalam produksi pupuk untuk hortikultura organik. Adapun bentuk akad yang diterapkan dalam jalinan kerja sama ini adalah mudharabah. Sampai saat ini telah diupayakan peningkatan kualitas produk hortikultura dari desa Sukaresmi. Secara khusus pengelolaan dana PUAP dikelola dengan memberikan pinjaman secara tunai dan penyediaan saprodi kepada petani berdasarkan pengajuan kebutuhan yang diberikan oleh petani kepada pihak LKMA-S dengan menggunakan akad murabahah. Sebagian besar dari penyaluran dana PUAP bagi petani anggota diberikan dalam bentuk uang tunai dengan menjadikan petani anggota sebagai wakalah (wakil). Mulai dari Januari 2010, LKMA-S mengupayakan akad murabahah yang dilaksanakan adalah dengan menyediakan
7
secara langsung kebutuhan sarana produksi petani (seperti benih, pupuk kandang, dan pupuk cair). Hal ini telah diterapkan pada dua poktan yaitu Subur Rejeki 1 dan Subur Rejeki 2. Akan tetapi, terdapat pengecualian pada biaya tenaga kerja yang dibutuhkan oleh petani dimana pinjaman tetap diberikan secara tunai. Hal ini didasari agar tidak terjadi penyalahgunaan dana oleh petani untuk kegiatan yang tidak produktif bagi usahatani yang dijalankan. Prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh LKMA-S Subur Rejeki akan dilihat apakah keragaan pembiayaan yang dijalankan oleh LKMA-S dalam penyaluran dana PUAP kepada petani mendukung terhadap pencapaian tujuan PUAP. Setelah melihat keragaan penyaluran dana PUAP kepada petani kemudian dilihat apakah penyaluran dana PUAP memiliki pengaruh terhadap petani anggota Gapoktan yang menerima PUAP. Keragaan dari penyaluran dana PUAP yang dilakukan oleh LKMA-S kepada petani diharapkan dapat mendukung pencapaian tujuan PUAP. Adapun salah satu indikator dari keberhasilan pencapaian tujuan PUAP adalah peningkatan pendapatan petani. Peningkatan pendapatan petani dapat disebabkan oleh adanya perubahan dalam penggunaan faktor produksi yang nantinya akan berpengaruh terhadap produktivitas petani. Sanim (1998) menyatakan upaya pemberian kredit yang dimaksudkan untuk meningkatkan penggunaan saprodi memang tepat untuk meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, dalam melihat pengaruh dari adanya PUAP pada petani maka akan diteliti mengenai bagaimana penggunaan faktor produksi yang digunakan oleh petani anggota penerima PUAP dengan petani anggota non penerima PUAP. Langkah selanjutnya setelah mengetahui bagaimana penggunaan faktor produksi pada petani penerima PUAP adalah dengan melihat faktor produksi apa saja yang berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi petani. Selain itu, hal yang akan dianalisis adalah apakah PUAP memiliki pengaruh positif atau negatif terhadap pendapatan petani.
8
1.3. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis keragaan penyaluran dana PUAP kepada petani dengan prosedur dan mekanisme yang ditetapkan oleh LKMA-S Subur Rejeki berbasis syariah. 2) Menganalisis pengaruh PUAP bagi petani anggota Gapoktan penerima PUAP dilihat dari fungsi produksi dan pendapatan petani penerima PUAP. 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin didapatkan dari penelitian ini adalah: 1) Bagi LKMA-S Subur Rejeki dapat mengetahui keragaan dan pengaruh dari penyaluran dana PUAP kepada petani. Hal ini dapat menjadi salah satu evaluasi dan masukan bagi pihak LKMA-S Subur Rejeki dari penerapan pola pembiayaan yang diterapkan. 2) Bagi pemerintah dan Gapoktan lainnya bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam pengelolaan dana PUAP berdasarkan penerapan pola pembiayaan yang dijalankan oleh LKMA-S Subur Rejeki yang berbasis syariah. 3) Bagi penulis dapat menerapkan ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan serta memberikan gambaran terhadap khalayak mengenai keragaan dari penerapan pola pembiayaan pertanian dalam pengelolaan dana PUAP oleh LKMA-S yang berbasis syariah. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah penelitian dilakukan dengan mengkaji lebih dalam mengenai kegiatan usaha dalam pengelolaan dana PUAP yang dijalankan oleh LKMA-S Subur Rejeki dengan pengelolaan dana berbasis syariah. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui keragaan dari penyaluran dana PUAP dan pengaruhnya terhadap petani dengan penerapan prosedur yang diterapkan oleh LKMA-S. Prosedur yang ditetapkan oleh LKMA-S diharapkan dapat mendukung dalam pencapaian tujuan dari PUAP. Indikator keberhasilan PUAP juga dijadikan sebagai tolok ukur dalam melihat indikasi terhadap pencapaian tujuan PUAP.
9
Pada penelitian ini dilakukan pembatasan mengenai tujuan PUAP yaitu pada peningkatan produksi dan pendapatan. Dengan melihat terjadinya perubahan dalam produksi dan pendapatan dapat diketahui mengenai PUAP memberikan pengaruh positif atau negatif terhadap produksi dan pendapatan petani. Pemenuhan tujuan ini ditunjukkan dengan membandingkan hasil produksi dan pendapatan pada petani anggota penerima PUAP dengan petani anggota non penerima PUAP. Adapun data didapatkan melalui data internal LKMA-S Subur Rejeki dan berdasarkan informasi yang diberikan oleh petani secara langsung.
10