I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu dari beberapa tanaman holtikultura yang potensial untuk dikembangkan. Buah cabai rawit berubah warnanya dari hijau menjadi merah saat matang (Cahyono, 2003). Cabai rawit memiliki ukuran lebih kecil dari pada varietas cabai lainnya, cabai rawit dianggap cukup pedas karena kepedasannya mencapai 50.000-100.000 pada skala scoville. Cabai rawit biasa dijual di pasar-pasar bersama dengan varietas cabai lainnya. Kebutuhan akan cabai rawit terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai rawit seperti pembuatan saos kemasan. Kebutuhan cabai rawit cukup tinggi yaitu sekitar 4 kg/kapita/tahun (Warisno, 2010). Menurut berita Badan Pusat Statistik No.54/08/Th.XVI, tanggal 1 Agustus 2013, produksi cabai rawit di Indonesia tahun 2011 sebanyak 594,22 ribu ton dan pada tahun 2012 sebanyak 702,25 ribu ton terjadi kenaikan sebanyak 108,03 ribu ton (18,18 persen). Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan produktivitas sebanyak 0,74 ton per hektar (14,77 persen) dan penambahan luas panen sebesar 3,38 ribu hektar (2,85 persen). Akan tetapi untuk Provinsi Bali, terjadi penurunan produktivitas cabai rawit. Pada tahun 2011 produksi cabai rawit di Provinsi Bali sebanyak 17.055 ton dan pada tahun 2012 sebanyak 16.041 ton mengalami penurunan sebanyak 1.014 ton. Hal tersebut disebabkan karena berkurangnya luas lahan petani akibat alih fungsi lahan pertanaman cabai dan serangan hama serta terjangkit penyakit yang belum bisa diatasi oleh para petani sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah produksi cabai rawit di Provinsi Bali (Badan Pusat Statistik, 2013) Fluktuasi harga cabai rawit yang terjadi seringkali tidak menentu namun permintaan pasar terhadap cabai rawit masih meningkat, akan tetapi sektor budidaya tanaman cabai rawit masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu kendala yang
1
2
sangat mempengaruhi produksi tanaman cabai rawit adalah penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. capsici . Kerugian akibat penyakit ini terus meningkat sehingga menyebabkan kerugian bagi petani tanaman cabai rawit. Menurut Rostini (2011), penyakit ini dapat menyebabkan kerugian dan gagal panen hingga 50%. Salah satu wilayah di Bali yang membudidayakan tanaman cabai rawit adalah Desa Bumbungan yang terletak di Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung. Daerah tersebut merupakan salah satu sentral penghasil tanaman cabai rawit yang memenuhi kebutuhan cabai rawit di Bali secara umum. Namun berdasarkan penelitian Sudarma dan Puspawati (2013) persentase rata-rata penyakit layu pada tanaman cabai rawit di Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung sebesar 58.6%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa daerah budidaya tanaman cabai rawit tersebut rawan terhadap penyakit layu Fusarium. Pada saat ini upaya pengendalian terhadap hama dan penyakit tanaman cabai rawit masih mengandalkan penggunaan pestisida sebagai upaya pengendalian utama. Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa upaya pengendalian dengan menggunakan senyawa kimia bukan merupakan alternatif yang terbaik, karena sifat racun yang terdapat dalam senyawa tersebut dapat meracuni manusia, ternak peliharaan, serangga penyerbuk, musuh alami, tanaman, serta merusak lingkungan. Aplikasi pestisida sintetik yang tidak bijaksana dapat memicu timbulnya patogen yang resisten terhadap pestisida sintetik yang digunakan (Haggag dan Muhamed, 2007). Berdasarkan hal tersebut maka perlu diambil alternatif pengendalian yang efektif terhadap penyakit tanaman cabai rawit khususnya penyakit layu Fusarium. Salah satu pengendalian yang ramah lingkungan dan merupakan komponen yang sangat penting dalam pengendalian secara terpadu adalah pengendalian biologi. Pengendalian biologi dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan agensia hayati seperti jamur antagonis. Agensia hayati memiliki berbagai cara dalam menghambat perkembangan patogen yaitu: antibiosis, kompetisi dan hiperparasit. Selain itu, jamur antagonis mampu mencegah infeksi patogen terhadap tanaman melalui aktivitas Induce Sistemic Resistance (Sylvia et al., 2005).
3
Menurut Istikorini (2002), pengendalian hayati adalah pengendalian dengan cara memanfaatkan musuh alami untuk mengendalikan OPT termasuk memanipulasi inang, lingkungan atau musuh alami itu sendiri. Pengendalian hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien dengan sedikit mungkin menimbulkan efek samping negatif bagi lingkungan hidup. Sedangkan berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan menjaga upaya agar tidak merosot atau menjaga agar suatu upaya terus berlangsung Pengendalian
hayati
khususnya
pada
penyakit
tumbuhan
dengan
menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu. Sejumlah mikroba telah dilaporkan dalam berbagai penelitian efektif sebagai agen pengendalian hayati hama dan penyakit tumbuhan. Mikroorganisme yang banyak berperan dalam pengendalian hayati banyak terdapat di dalam tanah disekitar akar tumbuhan (rizosfer) atau di atas daun, batang, bunga, dan buah atau fillosfir (Hasanudin, 2003). Pemanfaatan jamur antagonis sebagai upaya dalam mengendalikan penyakit pada tanaman khususnya tanaman cabai rawit sudah mulai dikembangkan, akan tetapi banyak kendala yang ditemukan dalam pengaplikasiannya, mulai dari ketidaktahuan petani akan teknik pengendalian ini sampai belum banyaknya peneliti yang melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang potensi jamur antagonis yang dipakai untuk mengendalikan penyakit pada tanaman cabai rawit. Oleh karena itu, dilakukan upaya penelitian tentang potensi jamur asal rizosfer tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) sehat dari Desa Bumbungan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung dalam upaya mengendalikan penyakit layu Fusarium oxysporum f.sp. capsici secara In Vitro.
4
1.2 Rumusan Masalah Masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana potensi jamur asal rizosfer tanaman cabai rawit sehat dapat mengendalikan penyebab penyakit layu Fusarium pada tanaman cabai rawit secara In Vitro?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi jamur asal rizosfer tanaman cabai rawit sehat dalam mengendalikan penyebab penyakit layu Fusarium pada tanaman cabai rawit secara In Vitro.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Secara akademik, dapat mengetahui potensi dari jamur asal rizosfer tanaman cabai rawit sehat untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium. 2. Secara praktis, dapat memberikan informasi kepada masyarakat maupun petani dalam upaya mengendalikan penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. capsici.
1.5 Hipotesis Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Rizosfer tanaman cabai sehat memiliki jamur antagonis terhadap patogen penyebab penyakit layu Fusarium. 2. Salah satu jamur rizosfer memiliki prevalensi tinggi yang mendominasi dalam mengantagonis patogen.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis jamur tanah yang terdapat pada rizosfer pertanaman cabai sehat di Desa Bumbungan, Kecamatan Banjarangkan, Kabupaten Klungkung dan mengetahui potensi jamur tanah dalam upaya mengendalikan
5
penyakit layu Fusarium melalui uji daya hambat jamur tanah terhadap pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. capsici.