I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi isu global. Perubahan terjadi sejalan dengan pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security) menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan produksi (production centered development) menjadi pendekatan kemanusiaan (people centered development) dalam suasana yang lebih demokratis dan terbuka. Masalah
gender
pada
dasarnya
adalah
prinsip
kemitraan
dan
keharmonisan, meskipun pada kenyataannya sering terjadi perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, sub ordinasi, beban ganda, dan tindak kekerasan dari satu pihak pada pihak lain baik di dalam maupun di luar kehidupan keluarga. Perlakuan yang merupakan hasil akumulasi dan ekses dari nilai sosio-kultural suatu masyarakat tanpa ada klarifikasi yang rasional akan mengakibatkan seluruh kesalahan ditimpakan pada satu jenis kelamin yang lebih mendominasi dan memarjinalkan jenis kelamin yang lain, tanpa ada kejelasan mengapa budaya tersebut terjadi.
Untuk itu informasi tentang perjuangan kaum perempuan
menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki menjadi isu yang cukup relevan. World
Conference
International
Year
of
Women-PBB
yang
diselenggarakan di Mexico City pada tahun 1975 menghasilkan deklarasi kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal: a. pendidikan dan pekerjaan, b. prioritas pembangunan bagi kaum perempuan, c. perluasan partisipasi perempuan dalam pembangunan, d. ketersediaan data dan informasi partisipasi perempuan, dan e. pelaksanaan analisis perbedaan peran berdasarkan jenis kelamin. Berbagai program untuk pemberdayaan perempuan (Women Empowerment Program) dirancang guna mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan yang dikenal sebagai Women in Development-WID
World Conference UN Mid Decade Of Women di Kopenhagen tahun 1980 dan World Conference on Result on Ten Years Women Movement di Nairobi tahun 1985 mengubah seluruh konsep-konsep pembangunan dan penelitian yang lebih menekankan pada kesetaraan perempuan dan laki-laki. Selanjutnya pada tahun 1984,
Pemerintah
Republik
Indonesia
meratifikasi
Konvensi
CEDAW
(Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women – konvensi tentang peniadaan seluruh bentuk diskriminasi terhadap perempuan) menjadi UU Nomor 7 tahun 1984. Pemberdayaan perempuan tanpa melibatkan laki-laki ternyata kurang membawa hasil yang diharapkan. Tanpa kerjasama dan keterlibatan kaum lakilaki, program pemberdayaan perempuan tidak akan tercapai. Konsep ini dikenal dengan istilah pendekatan gender yang kemudian dikenal dengan istilah Gender and Development (GAD). Pandangan ini berkembang dalam The fourth World Conference on Women, di Beijing tahun 1995 yang menyepakati 12 bidang kritis permasalahan perempuan meliputi: kemiskinan, pendidikan dan pelatihan, kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, konflik militer dan kerusuhan, akses sumberdaya ekonomi, pengambilan keputusan dan politik, lembaga yang dapat memperjuangkan perempuan, hak azasi perempuan, akses media informasi, pencemaran lingkungan, dan kekerasan terhadap anak dan anak perempuan. Pemerintah
Republik
Indonesia
telah
menandatangani
Millenium
Declaration pada bulan September tahun 2000. Promoting Gender Equality and Empowering Women merupakan salah satu dari 8 tujuan yang ditetapkan. MDG’s 2015 (Millenium Development Goals in 2015) menjadi referensi utama dalam penyusunan kebijakan di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota berupa dokumen-dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) dan daerah (RPJMD) dan tahunannya. Beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia di masa depan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah penghapusan kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan investasi, revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan, pembangunan perdesaan, meningkatkan akses pada pendidikan dasar dan kesehatan, memantapkan jaminan 2
sosial dan pembangunan infrastruktur. Permasalahan gender menjadi isu penting dalam penyelesaian seluruh permasalahan pencapaian MDG’s. Komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam World Food Summit Declaration
yang
diselenggarakan
oleh
FAO
pada
November
1996
mengemukakan bahwa kesetaraan dalam akses, kontrol dan partisipasi perempuan dan laki-laki merupakan variabel penting untuk mencapai keberlanjutan ketahanan pangan. Lapangan usaha yang paling banyak menyerap pekerja adalah pertanian, perdagangan, dan industri (44,47%). Hal ini mencerminkan bahwa struktur dan potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja didukung oleh sektor tersebut. Untuk sektor pertanian, tidak ada perbedaan antara pekerja laki-laki (44,40%) dan perempuan (44,59%). Sebanyak 30 propinsi di Indonesia (90,9%) masih mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan usaha utama kecuali Provinsi DKI, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung (KPP, 2005a). Di tingkat nasional, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia pada sektor pertanian yang dituangkan dalam Rencana Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2008 bahwa akses pangan rumah tangga dan peningkatan produktivitas pertanian dalam arti luas menjadi salah satu target penting untuk peningkatan kesejahteraan keluarga. Sasaran utama yang ingin dicapai pada tahun 2008 adalah pertumbuhan PDB pertanian sebesar 3,7 persen, yang terdiri dari pertumbuhan bahan makanan, perkebunan,
peternakan
dan
perikanan
serta
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat perdesaan (Perpres, 2007). Hal tersebut akan dicapai melalui: (1) peningkatan pangan dan akses pangan bagi rumah tangga, (2) peningkatan produksi perikanan sebesar 6,5 persen, (3) peningkatan industri kayu dan hasil hutan sebesar 5,0 persen, (4) perluasan kesempatan kerja dan meningkatnya keragaman/diversifikasi usaha ekonomi di perdesaan agar kemiskinan di perdesaan semakin berkurang, (5) penataan kembali ketimpangan penguasaan dan penggunaan tanah yang lebih adil. Landasan operasional pelaksanaan seluruh kebijakan dan program tersebut di tingkat nasional dan daerah adalah melalui pengarusutamaan berkelanjutan,
partisipasi
masyarakat,
pengarusutamaan
gender,
pengarusutamaan
pembangunan
pengarusutamaan
pengurangan 3
kesenjangan, pengarusutamaan good governance, dan pengarusutamaan otonomi daerah (Bappenas, 2007). Luas lahan kering di Indonesia mencapai 51,4 juta hektar atau 86,2 persen dari total luas lahan pertanian seluas 59,6 juta hektar karena itu permasalahan lahan kering relatif strategis. Tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada lahan ini relatif banyak. Masih rendahnya produksi aktual lahan kering dibandingkan produksi potensial menjadikan keberhasilan pengembangan lahan kering akan berimplikasi luas dan signifikan terhadap pembangunan nasional. Sementara itu, investasi pemerintah dalam penyediaan infrastruktur dan penanganan pascapanen serta pemasaran hasil untuk mendukung pengembangan lahan kering relatif terbatas dibandingkan dengan lahan sawah yang selama ini telah menikmati fasilitas pengadaan saluran irigasi, subsidi pupuk dan pestisida, kredit,
dan
sarana
transportasi.
pengembangan lahan kering pendapatan usahatani
Kurangnya
peran
pemerintah
dalam
menyebabkan perkembangan perekonomian dan
lahan kering terbatas, sehingga berimplikasi terhadap
akselerasi marginalisasi perempuan. Indikatornya antara lain akses, kontrol dan partisipasi sumberdaya perempuan terhadap lahan kering sangat terbatas, sehingga memicu terjadinya marginalisasi perempuan (Irianto et al., 2003). Pengelolaan lahan kering yang tidak berkelanjutan karena keterbatasan air dan resiko gagal panen yang tinggi serta penurunan produktivitas lahan akan menyebabkan hilangnya sumber mata pencaharian petani dan terjadi proses pemiskinan dan penurunan mutu lingkungan hidup karena dikelola oleh petani miskin. Kehidupan petani miskin akan berimplikasi secara signifikan terhadap penurunan kualitas hidup keluarga petani dalam jangka panjang.
Rendahnya
kualitas hidup dan konstruksi sosial budaya patriakhi akan berdampak pada ketimpangan pola relasi laki-laki dan perempuan. Hak atas sumberdaya alam terkait dengan akses dan keadilan dalam pemanfaatannya tanpa membedakan peran gender dan status sosial ekonominya. Kurang optimalnya peran gender dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering akan berdampak pada perekonomian rumah tangga petani yang akan semakin sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Petani yang miskin tidak dapat 4
melakukan investasi terhadap lahannya sehingga berakibat terjadinya degradasi kualitas tanah yang terus menerus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa petani perempuan karena kepanjangan fungsi domestiknya sangat berperan pada kegiatan-kegiatan pemeliharaan, pasca panen dan pemasaran hasil.
Kegiatan
tersebut memberikan andil yang nyata pada peningkatan pendapatan keluarga dan kondisi rumah tempat tinggal (LDUI, 2003).
Partisipasi aktif wanita dalam
kegiatan keluarga petani sangat dipengaruhi oleh (1) Status pendapatan: pada umumnya lebih miskin keluarga petani maka lebih besar keterlibatan perempuan tani dalam proses produksi, kegiatan pasca panen, dan buruh tani atau buruh lainnya, (2) Kondisi sosial budaya terutama tingkat pendidikan, kesehatan, posisi dalam proses pengambilan keputusan, dan mobilitas yang sangat dipengaruhi norma tradisional, (3) Status perkawinan dan umur yang sangat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan keluarga (Jiggins, 1996). Kontribusi perempuan petani lahan kering terhadap pendapatan keluarga mencapai 43,3 persen dari total pendapatan keluarga.
Selain itu, perempuan
mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penentuan modal (62,2% responden), meskipun untuk pembelanjaan selanjutnya ternyata laki-laki atau suami lebih dominan (78,4% responden).
Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan dan
keterampilan perempuan dalam kegiatan produktif akan berpengaruh positif terhadap upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga, serta sekaligus mengangkat status perempuan di lahan kering yang umumnya terbatas dalam pendidikan dan modal. Salah satu karakteristik biofisik lahan kering adalah ketersediaan air yang terbatas karena lebih dari sembilan bulan mengalami defisit air, produktivitas rendah, resiko usahatani tinggi dengan tingkat kegagalan dua kali panen per lima tahun, dan pendapatan usahatani rendah. Dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk yang masih relatif tinggi (1.6% per tahun) maka kompetisi penggunaan air antar sektor pertanian, industri, domestik, munisipal dan antar wilayah semakin tinggi, sehingga memicu terjadinya kelangkaan air (BPS, 2005a).
5
Permasalahan keterbatasan air pada lahan kering umumnya adalah ketidaksesuaian antara kebutuhan dan pasokan pada suatu waktu tertentu. Air merupakan faktor produksi yang tidak dapat disubtitusi dan memegang peranan penting untuk mendukung keberhasilan sistem produksi pertanian lahan kering, sehingga air dapat dikatagorikan sebagai faktor pembatas produksi pertanian lahan kering. Pada wilayah yang rawan kekeringan maka kelebihan air pada musim hujan perlu dikelola dengan cara disimpan dan dapat dimanfaatkan pada musim kemarau. Pengelolaan air untuk pertanian dapat dilakukan dengan penampungan dalam waduk, bendung, embung maupun sumur resapan. Embung atau tandon air adalah waduk berukuran mikro di lahan pertanian yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim kemarau. Teknik pemanenan air (water harvesting) dengan embung sangat cocok bagi ekosistem tadah hujan dengan intensitas dan distribusi curah hujan tidak pasti (Sjamsiah et al., 2004). Sumberdaya lahan kering di Indonesia relatif luas, potensi sumberdaya airnya
bervariasi
menurut
ruang
dan
waktu.
Kegiatan
usahatani
dan
pendapatannya beragam, sehingga diperlukan karakterisasi dan pemetaan untuk menyusun kebijakan dan strategi pengelolaan dan pemanfaatannya. Lahan kering dengan produktivitas dan pendapatan usahatani rendah akan mendorong terjadinya marginalisasi perempuan, karena akan menurunkan kemampuan akses, kontrol, dan partisipasi perempuan terhadap sumberdaya, sehingga manfaat yang diperoleh perempuan akan terus menurun. Sebaliknya, lahan kering yang produktif dan akan memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya. Sampai saat ini, penelitian ataupun kajian tentang pengelolaan lahan kering yang secara spesifik memperhatikan aspek gender masih sangat terbatas. Penelitian disain sistem pengelolaan lahan kering berkelanjutan dengan cara merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan yang berbasis gender diperlukan agar dapat diperoleh manfaat yang optimal dari sumberdaya lahan kering.
6
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui tujuan antara sebagai berikut: 1. mengidentifikasi atribut pengelolaan lahan kering berkelanjutan, 2. menentukan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan lahan kering, 3. mengidentifikasi pola relasi gender pada pengelolaan lahan kering berkelanjutan, 4. membangun model pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender,dan 5. merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender. 1.3. Kerangka Pemikiran Secara potensial, lahan kering mempunyai kemampuan produksi dan diversifikasi komoditas yang lebih menjanjikan dibandingkan dengan lahan sawah apabila masalah pasokan dan kelangkaan air dapat diatasi serta adanya penerapan kesetaraan dan keadilan gender. Kendala pendayagunaan lahan kering sudah lama diidentifikasi, namun demikian, pola, strategi dan metode pengelolaan
lahan
kering selama ini belum sepenuhnya memperhatikan aspek keberlanjutan sehingga terjadi ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender (bias gender). Akibatnya, manfaat yang diperoleh dari sumberdaya lahan kering belum optimal. Pengarusutamaan gender dalam pengelolaan lahan kering akan meningkatkan partisipasi, fungsi kontrol, distribusi sumberdaya, dan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan lahan kering. Untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan lahan kering maka langkah pertama yang perlu mendapat perhatian adalah ketersediaan sumberdaya air dengan cara menentukan teknologi yang paling tepat untuk diintroduksi sesuai dengan karakteristik wilayah dan peran gender. Pada saat ini sumber air yang digunakan oleh petani dalam pengelolaan lahan kering digolongkan dalam empat kategori yaitu air hujan, sumur ladang, embung, dan mesin pompa air.
7
Upaya pengelolaan lahan kering dengan pola usahatani yang diidentifikasi pada lokasi penelitian diarahkan pada pengembangan komoditas unggulan yang memiliki kriteria dapat meningkatkan pendapatan masyarakat (feasible), tidak menyebabkan erosi tanah yang merusak tanah, dan dapat meningkatkan kualitas peran gender. Pengembangan komoditas unggulan tersebut harus didukung oleh pemanfaatan teknologi tepat guna dan pro perempuan, kelembagaan petani, dan informasi pasar. Secara skematis kerangka pikir penelitian dalam pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender dapat dilihat pada Gambar 1.
Lahan Kering
Curah Hujan
MDS (Rapid Appraisal)
Sumur Ladang
Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Lahan Kering
Embung
Mesin Pompa Air
Pola Relasi Gender pada Akses, Kontrol Perempuan dan LakiLaki
Model Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Gender Propinsi DI Yogyakarta
Analisis Gender
Analisis Prospektif
Simulasi Prediksi Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Gender Propinsi DI Yogyakarta
Kebijakan Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan berbasis gender Prop DI Yogyakarta
Gambar 1. Kerangka pemikiran sistem pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender.
8
1.4. Perumusan Masalah Komitmen Internasional dan Nasional yang dituangkan dalam MDG’s dan Rencana Kerja Pemerintah tahun 2008 mengemukakan bahwa kesetaraan gender dalam berbagai bidang pembangunan akan mendorong pencapaian indikator pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Tantangan sektor pertanian ke depan adalah meningkatkan produksi, diversifikasi pola konsumsi, dan memenuhi kebutuhan konsumsi pangan khususnya bagi keluarga miskin melalui pengembangan potensi lahan yang belum dimanfaatkan. Lahan kering merupakan sumberdaya lahan yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Namun demikian, sumberdaya lahan yang demikian besar tersebut belum dapat memberikan manfaat yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang sumber penghasilannya tergantung pada sumberdaya lahan kering memiliki tingkat penghasilan yang relatif jauh lebih rendah dari pada masyarakat yang penghasilannya bersumber pada lahan sawah. Hal ini dikarenakan produktivitas lahan kering rendah, resiko usahatani tinggi dengan tingkat kegagalan dapat mencapai dua kali gagal panen per lima tahun sebagai akibat keterbatasan ketersediaan air baik dari segi kualitas, kuantitas maupun kontinuitas, serta penggunaan teknologi yang belum optimal. Keterbatasan ketersediaan air dan penggunaan teknologi, memerlukan curahan tenaga kerja laki-laki dan perempuan yang lebih banyak dibanding lahan sawah. Konstruksi sosial budaya masyarakat perdesaan yang menempatkan perempuan pada peran domestik dan posisi yang marginal dibanding laki-laki, menyebabkan
kebijakan
pengelolaan
lahan
kering
selama
ini
tidak
mempertimbangkan peran dan tanggung jawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga manfaat yang diperoleh menjadi tidak optimal. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, pertanyaan penelitian (research question) dalam mendisain sistem pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender adalah: 1. apa yang menjadi atribut pengelolaan lahan kering dikatakan berkelanjutan ?, 2. seberapa besar nilai indeks keberlanjutan pengelolaan lahan kering pada saat ini ?, 3. bagaimana pola relasi gender dalam pengelolaan lahan kering saat ini ?, 9
4. bagaimana model pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender ?, dan 5. bagaimana rumusan kebijakan dan strategi pengelolaan lahan kering berkelanjutan berbasis gender ?. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
memberi
manfaat
terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengelolaan dan pemanfaatan lahan kering secara berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih optimal bagi masyarakat yang penghasilannya bergantung pada sumberdaya lahan kering. Manfaat yang diharapkan tersebut secara lebih rinci adalah sebagai berikut: 1. memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan berbasis gender, 2. merepresentasikan status, potensi dan peluang penerapan kesetaraan dan keadilan gender, pendayagunaan lahan kering dan sumberdaya air untuk optimalisasi produktivitas lahan kering berkelanjutan, dan 3. membantu pengambil keputusan, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah, untuk membuat kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering berkelanjutan dan berbasis gender. 1.6. Novelty (Kebaruan) Kebijakan pengelolaan lahan kering sekarang ini belum sepenuhnya menerapkan konsep keberlanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh masih rendahnya produksi aktual lahan kering dibanding produksi potensial dan peran pemerintah dalam pengembangan lahan kering yang responsif gender juga masih sangat terbatas sehingga cenderung memarjinalisasikan perempuan. Penelitian-penelitian tentang teknik pengelolaan lahan kering yang berkelanjutan sudah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan, sedangkan penelitian gender di sektor pertanian baru sebatas pada pemetaan peran laki-laki dan perempuan di fungsi domestik, publik dan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
10
kesenjangan gender dalam pengelolaan sumberdaya lahan kering belum banyak dibahas dalam berbagai studi. Novelty (kebaruan) dari penelitian kebijakan Desain Sistem dalam Pengelolaan Lahan Kering Berkelanjutan Berbasis Gender di lokasi penelitian adalah: 1.
menghasilkan disain sistem pengelolaan lahan kering yang memperhatikan keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial pada sumber air curah hujan, sumur ladang, embung dan mesin pompa air dengan memperhatikan akses, kontrol, manfaat dan partisipasi laki-laki dan perempuan,
2.
menghasilkan atribut untuk menilai keberlanjutan dan ketidakberlanjutan pengelolaan lahan kering berbasis gender pada sumber air curah hujan, sumur ladang, embung dan mesin pompa air, dan
3.
memberikan alternatif solusi bagi sektor pertanian untuk melaksanakan pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis gender dalam kebijakan dan program pengelolaan lahan kering.
11
11