I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan
nasional.Walaupun demikian, sektor pertanian masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, diantaranya adalah kurangnya permodalan bagi petani dan pelaku usaha pertanian (Ashari, 2009) Perbankan nasional, secara teori memiliki potensi besar sebagai pendukung pembiayaan pertanian karena secara legal dan formal merupakan lembaga intermediasi keuangan. Kebutuhan modal diperkirakan akan semakin meningkat dimasa datang, seiring dengan semakin melonjaknya harga input pertanian, baik pupuk, obat-obatan, maupun upah tenaga kerja. Dengan kecenderungan seperti ini, maka peran lembaga keuangan seharusnya akan signifikan. Karena pembiayaan sektor pertanian dari anggaran pemerintah, sangatlah tidak memadai serta bukan pilihan yang bijaksana mengingat semakin besar beban anggaran yang harus ditanggung pemerintah untuk pembiayaan pembangunan keseluruhan sektor. Kontribusi kredit perbankan terhadap sektor pertanian masih sangat rendah meskipun bidang tersebut sebagai penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi.Tingginya persepsi risiko menjadi penyebab rendahnya ekspansi kredit pada sektor pertanian. Kondisi minimnya pembiayaan perbankan untuk sektor pertanian disebabkan oleh 3 (tiga) hal, yaitu : (1) pengalaman dan trauma beberapa bank menghadapi kredit bernasalah sewaktu mengucurkan kredit pertanian. (2) aturan BI yang cukup ketat agar bank prudent (kehati-hatian) dalam penyaluran dana, serta (3) banyak bank khususnya bank besar yang tidak memiliki pengalaman menyalurkan kredit mikro (Indiastuti, 2005). Menurut Kuncoro (2011) dalam penyaluran kredit atau pemberian kredit, harus dilaksanakan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent), dimana prinsip tersebut tercermin dalam kebijakan pokok perkreditan, tata cara dan prosedur penilaian kualitas kredit, profesionalisme dan integritas pejabat perkreditan. Dengan melihat hasil sub sektor pertanian sebagai pemasok utama kebutuhan hidup, maka sub sektor pertanian ini sangat strategis kedudukannya dari pada sub sektor lainnya.Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas areal pertanian yang begitu dominan, sehingga Indonesiapun mempunyai predikat sebagai negara agraris. Maka strategi pembangunan ekonomi 1
pada sektor pertanian dan industri pertanian hendaknya dapat menjadi tonggak pembangunan karena sumber daya alam di Indonesia sangat melimpah, selain itu juga ketersedian sumber daya manusia yang banyak, dan tradisi bertani yang mendarah daging dengan sendirinya mengandung konsekuensi untuk membangun infrastruktur yang memadai, teknologi dan industri yang tepat guna serta pemasaran hasil pertanian yang kompetitif. Makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras, karena sebagian besar penduduk Indonesia belum dapat menggantikan peran beras dengan makanan yang bersumber karbohidrat lainnya, sedangkan kemampuan petani Indonesia dalam menyediakan kebutuhan pokok pangan rakyat selama ini tidak bisa mencukupi sehingga guna menjamin stok cadangan beras secara nasional pemerintah setiap tahun selalu mengimpor beras. Hal ini sangat ironi, karena mengingat begitu luasnya areal pertanian yang dimiliki oleh Indonesia, juga jumlah sumberdaya manusia (petani) yang banyak, maka harusnya swasembada pangan dapat dilakukan dengan optimal bagi Indonesia, sehingga kebijakan untuk impor beras tidak perlu lagi dilaksanakan. Karena pengadaan beras selalu terkait dengan aspek ketahanan pangan yang merupakan konsep multidemensial yang tidak terpaku pada masalah produksi dan distribusi saja tetapi juga terkait dengan harga gabah, kebijakan impor, kebijakan perkreditan, penyelundupan dan lain-lain.Pembangunan pertanian diharapkan dapat memperbaiki pendapatan penduduk secara merata dan berkelanjutan, karena sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian disektor pertanian. Karena hal ini sejalan dengan target utama Kementrian Pertanian 2010-2014 yang meliputi : (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta (4) peningkatan kesejahteraan petani. Untuk keberhasilan peningkatan produksi dalam pencapaian swasembada pangan, tidak terlepas dari peran Pemerintah melalui penyediaan program kredit dengan suku bunga rendah.Pada umumnya, jika ditinjau dari aspek pendanaan kredit, kredit dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu : (a) Kredit bersubsidi (kredit program), yakni kredit yang disediakan pemerintah dalam membiayai berbagai program sektor ekonomi dengan bunga yang rendah dan persyaratan yang ringan dan (b) Kredit komersial, yakni kredit yang di berikan oleh perbankan dengan persyaratan-persyaratan yang berlaku umum atau yang berlaku di pasar.
2
Kredit pertanian termasuk kredit salah satu kredit program, karena yang menghasilkan barang berupa bahan makanan apalagi bahan pokok kebutuhan penduduk, sehingga sangatlah penting jika perbankan dan pemerintah untuk mengutamakan kredit tersebut. Kredit sektor pertanian ini secara teknis perkreditan dan sosial ekonomi memerlukan suatu kajian secara khusus, hal ini tidak terlepas faktor-faktor kehidupan petani, pedesaan, kepadatan penduduk, semakin sempitnya tanah garapan, adat istiadat dan tata kehidupan yang tidak berubah, serta kemampuan SDM petani itu sendiri. Kredit pada sektor pertanian ini pada umumnya adalah kredit program yang merupakan kredit masal dan sering bersifat politis, kredit yang bersifat masal seringkali memberikan beban berat kepada bank BUMN khususnya bank pemerintah yang lebih dominan memberikan kredit pada sektor ini. Kebijakan dibidang perkreditan yang ditempuh pemerintah sebagai bagian integral dari kebijakan pembangunan ekonomi nasional bersifat pragmatis dan senantiasa disesuaikan dengan perkembangan permasalahan pokok yang dihadapi perekonomian nasional.guna meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerintah berupaya memberikan bantuan modal dana murah melalui kredit perbankan yang bersifat masal antara lain dengan mengeluarkan kebijakan kredit di sektor pertanian berupa Kredit Usaha Tani (KUT). KUT inimerupakan kredit program merujuk pada ekonomi kerakyatan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu pertanian sehingga pendapatan dansekaligus meningkatkan taraf hidup petani, yaitu dengan memberikan kredit secara masal pada para petani. Sejak berlakunya UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka Fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), tidak tersedia lagi sumber dana dari LKBI dan Pemerintah bekerjasama dengan perbankan pada tahun 2000 menerbitkan Skim Kredit Ketahan Pangan (KKP), dengan sumber dana kredit berasal dari perbankan dan subsidi bunga bagi petani dan peternak disediakan oleh Pemerintah, hal ini sejalan dengan tujuan perbankan Indonesia yaitu untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat untuk mewujudkan ketahanan pangan. Dari prespekif inilah, pangan dan pertanian harusnya tidak diletakkan pada pasar yang rentan, tetapi ditumpukkan pada kemampuan sendiri. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, peran serta pemerintah sangat diperlukan. Melalui penjaminan akses pada setiap petani atas tanah, air, bibit dan kredit pada sektor pertanian. 3
Pada tahun 2007, dikembangkan lagi dari Kredit Usaha Tani (KUT) menjadi Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang merupakankredit modal kerja dan atau investasi bagi petani/peternak yangdisediakan bank pelaksana, melalui syarat pelunasan kredit usaha tani (KUT) terlebih dahulu dan ditujukan untuk membantu memenuhi permodalan petani/peternak dengan suku bunga yang disubsidi oleh Pemerintah agar petani/peternak dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya yang dianjurkan. Dalam perkembangannya KKP mengalami penyesuaian,mulai Oktober 2007 KKP disempurnakan
menjadi
KKP-E
(Kredit
Ketahanan
Pangan
dan
Energi).
Hal
ini
mengadopsipengembangan energi lain yang berbasis sumber energynabati. Energi alternatif lain dimaksud disini berbasis ubi kayu/singkong dan tebu yang diintegrasikan dengan Skema KKP yang telah ada sehingga berubah menjadi Skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E). Pola penyaluran KKP-E yaitu executing. Untuk kelancaran pelaksanaan KKP-E dalam penyaluran danpengembalian kredit dapat berjalan dengan baik di tingkatlapangan, perlu disusun Pedoman Teknis Skema Kredit Ketahanan Pangan dan Energi yang disempurnakan sesuai perkembangan dan kebutuhan. KKP-E bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana kredit yang disediakan oleh perbankan untuk petani/peternak/pekebun yang memerlukan pembiayaan usahanya secara efektif, efisien dan berkelanjutan serta mendukung peningkatan produksi dalam peningkatan ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi lain melalui pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati. Sasaran KKP-E adalah tersalurnya KKP-E kepada petani dan peternak yang membutuhkan pembiayaan/ kredit secara lancar dalam pengembalian kreditnya, dan peningkatan penerapan teknologi anjuran bagi petani/ peternak yang memanfaatkan pembiayaan/kredit yang akhirnya terjadi peningkatan produktivitas usaha. Realisasi penyaluran KKPE secara nasional pada Bank Umum yang tercatat sampai bulan Maret 2010 (secara komulatif) adalah sebesar Rp 8,77 trilyun, dan yang terbesar adalah dicapai oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) yaitu penyaluran secara komulatif sebesar Rp 4.64 trilyun. (Laporan Akhir Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian, Kementan, 2010) Berikut ini adalah penyaluran KKPE pada tingkat Nasional yang telah disalurkan oleh Bank Umum maupun Bank Pembangunan Daerah dari masing-masing provinsi sampai pada bulan Maret 2010 adalah sebagai berikut :
4
Tabel 1.1 Realisasi Penyaluran KKPE Tingkat Nasional 2010 Realisasi (Rp Juta) Bank Umum 8.774.621 BRI 4.635.056 BNI 455.499 Bank Mandiri 682.769 Bank Bukopin 935.086 BCA 40.508 Bank Agro Niaga 1.540.400 BII 70.875 Bank CIMB Niaga 354.780 Bank Danamon 59.648 Bank Artha Graha 0 Bank Pembangunan Daerah 631.177 BPD Jabar 64.048 BPD Jateng 29.341 BPD DIY 5.699 BPD Jatim 273.686 BPD Sumut 317 BPD Sumbar 2.405 BPD Sumsel 3.086 BPD Bali 236.724 BPD Kalsel 6.013 BPD Sulsel 440 BPD Papua 7.998 BPD Riau 150 9 BPD Ex KKP 2.270 Total 9.405.798 Sumber : Laporan Akhir Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian, Kementan, 2010 Bank Pelaksana
Penyaluran KKPE oleh Bank Umum, lebih banyak disalurkan oleh BRI.Hal ini dikarenkan BRI mempunyai akses yang mudah dijangkau, karena unit-unit BRI sebagian besar ada di daerah pedesaan.Berikut ini, merupakan penyaluran KKPE oleh Bank Umum (BRI) secara Nasional sampai pada bulan September 2014, adalah sebagai berikut :
5
Tabel 1.2 Nilai KKPE Yang di Salurkan Oleh BRI Secara Nasional (dalam trilyun Rp) Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 (September) Sumber : Kompas Edisi 28 November 2014 hal 47
Nilai Yang Disalurkan 1.2 1.6 2.1 2.5 2.9 3
Peran kredit perbankan sangat strategis dalam pengembangan sektor pertanian ini, sedangkan kredit sektor pertanian sampai saat ini perkembangannya terlalu rendah hanya 5,6 % dari portofolio kredit secara nasional. Sehingga hal tersebut sangat kecil bila dibandingkan dengan kredit konsumsi atau investasi pada perbankan, oleh karena itu, pencapaian kedaulatan pangan dan kemandirian pangan di Indonesia belum terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan karena factor persepsi risiko itu sehingga masalah musim yang tidak menentu berpotensi gagal bayar atau pengembalian tinggi. Kalangan perbankan pada umumnya berkilah, pembiayaan sektor pertanian tergolong berisiko tinggi karena banyaknya factor penyebab, diantaranya perbahan cuaca yang ekstrim, kegagalan panen, bencana alam, infrasuktur yang buruk, keterbatasan lahan untuk ekstensifikasi, kelangkaan pupuk, dan teknologi pertanian yang terbatas. Faktor tersebutlah yang menyebabkan perkembangan kredit untuk sektor pertanian masih rendah. Penelitian ini memiliki fokus penelitian di Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Kudus merupakan Kabupaten dengan luas wilayah terkecil di Jawa Tengah, yaitu sebesar 42.515 ha, yang terdiri atas 9 kecamatan, 123 desa,dan 9 kelurahan. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor industri pengolahan, yaitu 41,82%. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya industri pengolahan khususnya rokok, yang ada di Kabupaten Kudus. Sedangkan sektor kedua adalah sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan dengan presentase rata- rata sebesar 16,17%. Diikuti dengan sektor perdagangan dan bangunan (Kudus dalam angka 2012).
6
Sentra komoditas pertanian di Kabupaten Kudus meliputi sentra beras, holtikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Sentra beras di Kabupaten Kudus berada di Kecamatan Undaan merupakan sentra pangan utama yang telah ditetapkan sebagai kawasan lumbung pangan Kudus, dan Kecamatan Mejobo. Program KKP-E di Kabupaten Kudus tergolong masih rendah, karena hanya sekitar 4% dari portopolio kredit yang tercatat dalam perbankan di Kabupaten Kudus. (Sumber dari laporan data realisasi KKP-E Tani BRI KCP Kudus, 2014) Petani di Kabupaten Kudus, cenderung lebih sering mengakses kredit dari pihak informal dengan bunga yang tinggi sebagai modal.Petani sering merasa kesulitan dalam mengakses pinjaman yang dikeluarkan oleh lembaga pembiayaan formal karena persyaratan yang dinilai berbelit, memerlukan agunan, dan membutuhkan waktu yang lama. Selain itu, alokasi kredit untuk sektor pertanian cenderung kecil apabila dibandingkan dengan alokasi kredit untuk sektor perekonomian yang lain. Berdasarkan uraian diatas, maka kajian yang dilakukuan adalah untuk mengetahui pengembalian Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) padi di Kabupaten Kudus. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana macam penggunaan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang diambil oleh petani padi di Kabupaten Kudus dan berapa proporsi yang digunakan petani untuk usahatani padi? 2. Berapa tingkat pengembalian Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang sudah dibayarkan oleh petani padi di Kabupaten Kudus dan bagaimana tingkat kelancaran serta kemampuan pengembalian Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E)? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan pengembalian Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) oleh petani padi di Kabupaten Kudus?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini, adalah : 1. Untuk mengetahui macam penggunaan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) oleh petani di Kabupaten Kudus dan untuk mengetahui proporsi Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang digunakan usahatani padi.
7
2. Untuk mengetahui tingkat pengembalian Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) yang sudah dibayarkan oleh petani padi dan untuk mengetahui tingkat kelancaran serta kemampuan pengembalian Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengembalian Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) oleh petani padi di Kabupaten Kudus. 1.4
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Agribisnis khususnya : a. Dapat menambah kekayaan (perbendaharaan) kepustakaan mengenai analisis keberhasilan program kredit KKP-E b. Sebagai referensi penelitian lanjutan mengenai kredit perbankan khususnya di sektor pertanian (KKP-E). 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi (input) didalam penggunaan kredit perbankankhususnya pada sektor pertanian (KKP-E) dengan tepat sasaran yang diambil oleh petani, sehingga dapat digunakan sebagai refrensi untuk menilai keberhasilan dari program kredit (KKP-E). Selain itu juga dapat digunakan sebagai sumbangan informasi bagi perbankan di Kabupaten Kudus, dan Jawa Tengah pada umumnya serta Pemerintah dalam menetapkan kebijakan perkreditan pada sektor pertanian.
8