I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor
perkebunan
mempunyai
kontribusi
penting
dalam
perekonomian nasional antara lain sebagai sumber pendapatan non migas nasional, sebagai sumber kesempatan kerja bagi jutaan penduduk pedesaan dan sebagai sumber energi terbarukan yaitu biodiesel. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2007 sebesar 10,97%. Sub sektor tanaman bahan makanan memberikan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 6,96%, sub sektor perkebunan sebesar 2,31% dan sub sektor peternakan dengan kontribusi sebesar 1,70% (Sekjen Deptan, 2008). Khusus untuk sub sektor perkebunan, tenaga kerja yang mampu diserap pada proses produksi dan pengolahan pasca panen mencapai 3 264 550 orang (Deptan, 2008). Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan yang menarik perhatian serius pemerintah, pihak investor serta petani terutama sejak dekade 1990-an. Hal ini terlihat dari perkembangan luas areal tanam kelapa sawit pada tahun 2007 mencapai 6,78 juta hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 17,37 juta ton. Perkembangan komoditas ini dilakukan oleh Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) seluas 3,53 juta hektar, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 2,57 juta hektar
dan
Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 0,7 juta hektar (Deptan, 2008). Keluarnya Program Revitalisasi Perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao) pada tahun 2007 juga merupakan bukti keseriusan pemerintah terhadap pengembangan komoditas perkebunan. Untuk komoditas kelapa sawit, luas kebun sasaran sekitar 1 550 000 hektar dengan rincian perluasan areal untuk tanaman baru 1 375 000 hektar, peremajaan tanaman tua 125 000 hektar dan rehabilitasi tanaman seluas 50 000 hektar (Ditjenbun, 2007). Perkebunan kelapa sawit plasma merupakan perkebunan rakyat yang dalam pengembangannya diintegrasikan kepada PBSN maupun PBN karena keterampilan petani belum memadai, sedangkan dana ditalangi oleh pemerintah melalui perbankan dalam bentuk kredit. Program ini dimulai sejak tahun 1977 dengan dikeluarkannya pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang meliputi PIRLokal, PIR-Khusus dan PIR Berbantuan/NESS (Nucleus Estate Smallholder). Tahun 1986, pembangunan sub sektor perkebunan diintegrasikan dengan
2 program transmigrasi dengan direalisasikannya pola PIR-Transmigrasi dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani transmigrasi (Ditjenbun, 1992). Pada tahap awal, operasionalisasi perkebunan kelapa sawit plasma berjalan lancar dimana masing-masing pihak terlibat terutama perusahaan inti dan petani plasma melakukan peranan dan fungsinya sesuai dengan aturan main masing-masing. Ketidak harmonisan meknisme kinerja antara perusahaan inti dengan petani plasma mulai timbul pada saat konversi kebun yaitu ketika kelapa sawit mulai berproduksi (buah pasir). Ketimpangan proses konversi tersebut diikuti dengan perubahan perilaku petani plasma maupun perusahaan inti dalam mengelola perkebunan plasma pada tahap selanjutnya terutama pada saat petani sudah melunasi hutangnya. Petani plasma menjadi kurang respon dengan pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan inti dan berusaha memecahkan masalah mereka dengan solusi sendiri atau mencari kolega baru terutama dalam pengadaan sarana produksi dan menjual TBS kepada pihak lainnya. Akumulasi
jangka
panjang
dari
perilaku
petani
plasma
tersebut
menyebabkan timbulnya masalah yang menyangkut aspek teknis, sosial ekonomi, kelembagaan dan aspek lingkungan (Hasibuan, 2005). Beberapa isu pokok yang berkembang pada lokasi-lokasi PIR-Trans adalah: 1. Rendahnya tingkat pendidikan sehingga adopsi dan motivasi petani untuk mengelola kebun sawit secara mandiri terutama dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi juga rendah. 3
Dalam hal penentuan harga TBS, posisi tawar-menawar (bargaining position) petani masih lemah sehingga tingkat harga yang diterima petani masih di bawah dari tingkat harga wajar.
4
Tingginya tingkat penjualan TBS ke PKS non inti yang memicu ketidak harmonisan mekanisme kinerja dan keterkaitan petani plasma dengan perusahaan Inti.
5
Lemahnya perjanjian kerjasama antara perusahaan inti, KUD dan petani plasma yang berkaitan dengan pembinaan teknis sehingga pemeliharaan kebun petani plasma dibawah standar anjuran.
6
Lemahnya kerjasama antar institusi terkait baik pada tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dalam memberdayakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.
3 7
Peranan KUD sebagai media penampung dan penyalur aspirasi petani terutama dalam hal penyediaan sarana produksi masih belum optimal yang memicu terjadinya kelangkaan sarana produksi terutama pupuk yang tidak tepat waktu dan jenis.
8
Terjadi degradasi lahan akibat erosi dan aplikasi pemupukan yang belum tepat.
9
Masih ada konflik penguasaan lahan berupa perebutan lahan antara petani plasma dengan masyarakat lokal walaupun dalam intensitas rendah. Memperhatikan pentingnya peranan kelapa sawit dalam perekonomian
nasional, permasalahan pengelolaan kebun kelapa sawit plasma menjadi sangat penting dicarikan solusinya. Semua pihak pengelola perkebunan kelapa sawit saat ini mengacu pada konsep pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan untuk memenuhi kepentingan semua stakeholders yang terlibat dalam permasalahan kelapa sawit mulai dari proses produksi sampai ke pemasaran pasca panen. Definisi perkebunan
berkelanjutan secara umum
masih mengacu pada batasan yang dicetuskan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) 1990, yaitu pertanian yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan daya dukung lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang (Syahyuti, 2006). Di sub sektor perkebunan, definisi berkelanjutan yang paling akhir yang merupakan hasil dari The 3rd Rountable on Sustainable Palm Oil Meeting (RSPO, 2005) di Singapura menyebutkan bahwa perkebunan berkelanjutan merupakan usaha yang mampu memenuhi pertumbuhan ekonomi (profit), perlindungan terhadap lingkungan (planet) dan kesetaraan sosial (people). Konsep perkebunan berkelanjutan tersebut terdiri dari 8 prinsip dan 39 kriteria yang harus dipenuhi pihak pengelola agar kondisi berkelanjutan bisa terwujud. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengelolaan perkebunan memerlukan pendekatan yang holistik, multi disiplin, partisipatif dan partnership untuk memperoleh model pengelolaan yang bisa memenuhi tuntutan kondisi berkelanjutan. Dengan permasalahan yang diuraikan tersebut maka dilakukan penelitian lapang untuk mencari model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan yang sesuai dengan kondisi fisik, ekonomi dan sosial setempat sehingga petani plasma mampu mengimplementasikannya secara utuh.
4 1.2. Perumusan Masalah Perkebunan kelapa sawit merupakan usaha yang sudah terbukti memegang peranan penting bagi perekonomian nasional, baik secara makro maupun mikro. Namun demikian, aktivitas dalam proses produksi dan pengolahan pasca panen memunculkan beberapa permasalahan di lapangan. Permasalahan yang dihadapi di lokasi penelitian dapat dikelompokkan kedalam aspek teknis, sosial ekonomi dan aspek lingkungan. Permasalahan dalam aspek teknis meliputi: 1. Pemeliharaan tanaman (pemupukan, pengendalian organisme pengganggu tanaman=OPT dan panen TBS) belum dilaksanakan secara benar. Berkaitan dengan pemupukan pengadaan jenis pupuk yang diperlukan petani jarang tepat waktu. Selain itu, dosis, cara dan frekuensi pemberian pupuk masih di bawah standar yang dianjurkan baik oleh instansi terkait maupun pihak PTPN V. Hal ini berpengaruh langsung terhadap produktivitas lahan dan umur ekonomis kelapa sawit. 2. Rendahnya kuantitas dan kualitas produk komoditas perkebunan yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan penyerapan inovasi teknologi produksi dan pasca panen. 3. Kurang berfungsinya irigasi yang dibangun pada saat pembukaan kebun sehingga kondisi tata air yang ada saat ini tidak bisa berfungsi optimal untuk mengendalikan banjir di musim hujan. Hal ini berdampak terhadap kerusakan infrastruktur yang dibangun seperti jalan antara desa maupun jalan kebun yang meningkatkan upah tenaga kerja terutama untuk panen dan transportasi. Permasalahan di bidang ekonomi meliputi: 1. Tingginya tingkat penjualan TBS ke PKS non inti sehingga menyebabkan rendahnya efisiensi pengembalian kredit petani maupun usaha pemupukan modal untuk peremajaan (IDAPERTABUN). 2. Tingginya penawaran kredit oleh lembaga pelepas uang (Bank lokal dan rentenir) sehingga petani banyak terjebak hutang di luar kredit kebun sawit. Hal ini berujung pada tingginya tunggakan kredit petani dalam melunasi hutang kebun ke bank pelaksana melalui KUD. 3. Dalam hal penentuan harga TBS, posisi tawar-menawar (bargaining position) petani terhadap pihak lainnya (perusahaan inti, instansi terkait dan pihak swasta non inti) masih lemah sehingga selalu tersisihkan dalam penentuan
5 harga produk perkebunan (TBS) sehingga harga TBS masih dibawah harga penawaran PKS non inti. 4. Meningkatnya biaya hidup petani berkaitan dengan perubahan pola hidup petani yang menyebabkan alokasi pendapatan untuk pemeliharaan kebun menurun. Permasalahan yang berkaitan dengan aspek sosial meliputi: 1. Lemahnya kerjasama antar institusi terkait baik pada tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dalam memberdayakan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. 2. Rendahnya motivasi petani untuk mengelola kebun sawit secara mandiri terutama dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. 3. Peranan KUD sebagai media penyedia dan penyalur sarana produksi (pupuk dan obat-obatan) maupun aspirasi petani masih belum optimal. 4. Rendahnya intensitas pembinaan petani oleh perusahaan inti melalui KUD yang menyebabkan pemeliharaan kebun dibawah standar anjuran. Permasalahan lingkungan yang masih terjadi di lapangan adalah: 1. Sebagian besar unsur hara yang diberikan melalui pemupukan hilang terbawa aliran permukaan yang mencemari lingkungan terutama badan air permukaan. 2. Masih terjadi degradasi lahan akibat aplikasi pemupukan yang belum tepat jenis, tepat waktu, tepat dosisi dan tepat cara pemupukan. 3. Pengendalian hama/penyakit dan gulma masih terfokus pada cara kimia sehingga mencemari badan air permukaan. Semua permasalahan ini perlu dicarikan solusinya dalam rangka mengurangi dampaknya terhadap petani dan lingkungannya. Secara ringkas, solusi permasalahan pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana keragaan kesesuaian lahan, faktor pembatas kesesuaian lahan dan produktivitas lahan kebun kelapa sawit plasma di lokasi penelitian? 2. Bagaimana fungsi produksi tandan buah segar (TBS) petani kelapa sawit plasma di masa mendatang dalam merespon harga sarana produksi dan produksi, kebijakan pemerintah, teknologi dan harga komoditas pesaing? 3. Bagaimana kinerja dan keterkaitan kelembagaan yang bisa mendukung pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan dari instansi terkait?
6 4. Bagaimana model alternatif pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan yang diharapkan bisa meningkatkan produktivitas lahan dan disaat yang sama bisa mengurangi pencemaran lingkungan, memperbaiki kondisi sosial ekonomi petani plasma? 5. Skenario strategis bagaimana yang dapat mendukung implementasi model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian
ini
secara
umum
bertujuan
untuk
merancang
model
pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan yang mampu memenuhi aspek-aspek
pertumbuhan
ekonomi
(profit),
mempertahankan
kualitas
lingkungan (planet) serta kesetaraan sosial (people). Secara lebih detil, tujuan penelitian ini dirinci sebagai berikut: 1. Menganalisis tingkat kesesuaian lahan dan produktivitas kebun kelapa sawit plasma. 2. Menganalisis model fungsi produksi kebun kelapa sawit plasma. 3. Mengkaji peranan dan keterkaitan kelembagaan dalam pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan. 4. Merancang model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan dan strategi implementasi dari model yang dibangun. 1.4. Kerangka Pemikiran Dengan pengelolaan yang tepat, komoditas kelapa sawit memegang peranan sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional terutama sebagai sumber pendapatan non migas nasional, sebagai sumber kesempatan kerja bagi jutaan penduduk pedesaan dan sebagai sumber energi. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, kontribusi sub sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2007 sebesar 2,31%. Hal ini mendorong pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pemerintah daerah Provinsi Riau menempuh strategi pembangunan ekonomi pedesaan yang sebagian besar berprofesi sebagai petani melalui pengembangan sub sektor perkebunan terutama komoditas kelapa sawit. Alasan dari pemilihan strategi tersebut
adalah
manfaat
kehadiran
perkebunan
kelapa
sawit
mampu
memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dari tanaman perkebunan lainnya, berkontribusi nyata terhadap peningkatan Pendapatan Asli
7 Daerah (PAD) maupun pendapatan masyarakat di sekitar kebun (Syahza, 2008). Secara ringkas, alur pemikiran dari penelitian disajikan pada Gambar 1.
Manfaat Ekonomi
Kelapa Sawit
Kebun Inti Tepat pengelolaan
Manfaat Sosial Manfaat Ekologi
Pola PIR Kebun plasma pengelolaan kurang tepat: • Produktivitas Sawit Rendah • Pendapatan petani rendah • Kerusakan lingkungan
8 Prinsip dan 39 Kriteria Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan
Ekonomi (profit): - Komitmen jangka panjang terhadap viabilitas ekonomi dan finansial
Biofisik(planet): - Teknologi pengelolaan terbaik, sesuai kondisi lokasi baik aspek produksi maupun pasca panen. - Konservasi sumberdaya alam dan biodiversitas - Bertanggungjawab untuk penanaman sawit baru - Komitmen melakukan perbaikan terus menerus - Kualitas produksi memenuhi standar kesehatan
Sosial(people): - Kegiatan sesuai Undang-Undang dan peraturan berlaku - Bertanggungjawab terhadap pekerja, individu dan komunitas - Transparan dalam informasi dan dokumen pengelolaan
Model Perkebunan kelapa Sawit Berkelanjutan Ekologis: menjaga kualitas lingkungan Ekonomis: menguntungkan petani Sosial: Manusiawi: semua bentuk kehidupan dihargai, terjadi interaksi harmonis, tidak menimbulkan konflik, tidak bertentangan dengan kearifan lokal. Adil: semua stakeholders merasakan manfaat keberadaan kebun sawit Luwes: bisa menyesuaikan dengan perubahan ekonomi, sosial, teknologi.
Gambar 1.
Kerangka Pikir Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan.
8 Manfaat ekonomi merupakan salah satu aspek yang harus dipenuhi dalam membangun model kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan. Secara ekonomi, pengembangan kelapa sawit akan menimbulkan multiplier effects bagi tumbuhnya perekonomian dimana secara langsung adalah meningkatnya pendapatan petani plasma dari penjualan produksi petani berupa tandan buah segar (TBS). Efek kedua berupa timbulnya usaha seperti jasa transportasi dan jasa penyedia sarana serta prasarana perusahaan perkebunan (penyediaan bahan, peralatan dan mesin pertanian). Efek ketiganya adalah berkembangnya pelaku ekonomi yang bergerak disektor informal antara lain: pedagang kecil, tukang ojek, bengkel, tukang las dan lain-lain (Hersuroso, 2005). Berjalannya aktivitas sosial petani dan masyarakat di lingkungan perkebunan kelapa sawit merupakan dampak dari kehadiran perkebunan kelapa sawit. Dengan adanya fasilitas sosial seperti tempat peribadatan, pesantren, sarana kesehatan, sarana pendidikan, infrastruktur desa mendorong terjalinnya keakraban sosial bagi masyarakat. Hal ini penting bagi kelangsungan pengelolaan perkebunan kelapa sawit karena berkaitan dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya manusia. Interaksi sosial yang harmonis dapat juga berfungsi
sebagai
sosialisasi
ataupun
diseminasi
program
pengelolaan
perkebunan terutama melalui aktivitas sosial kelompok tani, arisan ibu tani, pengajian rutin dan lain-lain. Manfaat ekologi yang disumbangkan oleh komoditas kelapa sawit adalah terpeliharanya siklus hidrologi untuk mengurangi tingginya fluktuasi debit air sungai pada musim hujan dan musim kemarau. Dalam kaitan dengan siklus karbon, kelapa sawit di daerah tropis mempunyai kapasitas menyerap karbon melebihi kapasitas hutan. Sesuai dengan yang dilaporkan Lamade dan Setyo (2002) bahwa komunitas kelapa sawit yang sudah dewasa (kisaran umur 8-18 tahun) mampu menyerap karbon ke dalam tanah antara 1198-2014C/m2thn, lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas hutan tropis basah di Kepulauan Hawai sebesar 519C/m2thn atau hutan Pegunungan Merapi di Indonesia sebesar 844C/m2thn. Masih adanya kelemahan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma yang berhadapan dengan masalah yang komplek menyebabkan timbulnya benturan-benturan kepentingan dari stakeholders baik menyangkut konflik sosial, ekonomi maupun lingkungan terutama bagi perkebunan rakyat. Pemberdayaan masyarakat lokal yang belum optimal menimbulkan gejolak
9 sosial antara lain penguasaan lahan, pencurian TBS, penjualan TBS keluar dari pabrik kelapa sawit (PKS) Perusahaan Inti dan kecemburuan sosial masyarakat lokal. Perilaku petani plasma ini merembet ke masalah ekonomi yaitu seretnya pengembalian cicilan hutang petani pada bank pemberi kredit. Pengelolaan kebun kelapa sawit yang kurang memperhatikan masalah lingkungan berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas lingkungan terutama sumberdaya tanah dan air melalui pencemaran. Pencemaran lingkungan pada perkebunan kelapa sawit bersumber dari dua kegiatan besar yaitu proses produksi tanaman (TBS) dari areal tanam dan pengolahan TBS menjadi crude palm oil (CPO) serta hasil lainnya dari kegiatan PKS. Dalam proses produksi TBS, pemeliharaan tanaman menggunakan pupuk anorganik (pupuk buatan) seperti Urea, SP-36, KCl, Dolomit) karena kelapa sawit memerlukan unsur hara dalam jumlah banyak. Aplikasi pemupukan oleh petani dengan cara disebar rata di permukaan tanah menyebabkan efisiensi pemupukan rendah dan sebagian besar hilang melalui erosi, penguapan dan aliran permukaan. Pada tahap selanjutnya, terjadilah degradasi lahan karena unsur hara yang diserap tanaman kelapa sawit lebih besar dari yang diberikan ke dalam tanah.
Sementara itu, unsur hara yang terbawa erosi dan aliran
permukaan tertampung pada badan air permukaan berupa sungai atau danau, terjadi pengkayaan unsur hara di dalam air yang merangsang timbulnya eutrofikasi. Dengan proses ini maka kualitas air menurun yang ditandai dengan tumbuhnya tanaman air jenis algae berlebihan sehingga mengganggu kebutuhan oksigen organisme yang ada di air. Jika dilakukan pengukuran maka
nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) lebih tinggi dibandingkan
dengan kondisi perairan yang tanpa pengkayaan unsur hara. Dari menyebabkan
aspek
produksi,
pertumbuhan
penerapan kelapa
pengelolaan
sawit
produktivitasnya di bawah rata-rata nasional.
menjadi
yang
kurang
dilakukan baik
dan
Selain produksi yang rendah,
pengelolaan yang kurang baik tersebut juga berdampak terhadap usia poduktif tanaman yang lebih pendek dari yang diestimasi yaitu sekitar 25-30 tahun. Perkebunan kelapa sawit yang diusahakan pada lahan kering masam bergelombang dijumpai banyak kasus dimana pada umur tanaman 20 tahun tanaman
sudah
kurang
produktif
dan
perlu
diremajakan.
Pengelolaan
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan berbasis pada 8 prinsip dan 39 kriteria keberlanjutan yang menyangkut aspek biofisik (planet), ekonomi (profit)
10 dan sosial (people) berpotensi untuk membantu mengatasi masalah tersebut (RSPO, 2005). Aspek biofisik (planet) memfokuskan pada: (1) penerapan pengelolaan yang paling cocok dengan kondisi biofisik (spesifik lokasi) baik pada aspek produksi maupun pengolahan pasca panen, (2) konservasi sumberdaya alam dan biodiversitas, (3) mengembangkan penanaman baru, dan (4) komitmen untuk terus melakukan perbaikan pada semua kegiatan di lokasi. Aspek ekonomi (profit) memfokuskan pada komitmen terhadap viabilitas ekonomi dan keuangan jangka panjang. Aspek sosial (people) memfokuskan pada: (1) semua kegiatan dilandasi oleh perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, (2) tanggungjawab terhadap semua pekerja, individu dan komunitas yang terpengaruh oleh kegiatan produksi dan pengolahan pasca panen sawit, dan (3) terciptanya kondisi yang transparan dalam hal arus informasi dan dokumentasi pengelolaan yang dilakukan. Kombinasi pengelolaan dari aspek fisik, ekonomi dan sosial yang sinergis akan berpengaruh positif terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi. Lingkungan terutama meliputi kualitas sumberdaya air dan tanah serta produksi kelapa sawit yang memenuhi kuantitas dan standar kesehatan konsumen. Air yang kualitasnya memenuhi standar untuk aktivitas masyarakat seperti mandi, air minum, mencuci sangat mendukung dalam peningkatan produktivitas tenaga kerja manusia. Peningkatan pendapatan petani akan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap sarana produksi sebagai salah satu komponen utama dalam pengelolaan perkebunan. Aspek sosial yang mendukung pengelolaan kawasan agroindustri meliputi perbaikan perilaku menuju kepedulian terhadap lingkungan, meningkatnya peranan lembaga desa yang ada serta tercukupinya kebutuhan tenaga kerja. Interaksi yang sinergis dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial mampu menciptakan kondisi pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan yang ciri-cirinya dapat dilihat dari tiga aspek.yaitu: (1) ekologis berupa terpeliharanya kualitas lingkungan atau terkendalinya tingkat pencemaran lingkungan sehingga kualitas hidup petani semakin membaik, (2) ekonomi berupa meningkatnya pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup petani yang mengarah pada tingkat kesejahteraan yang lebih baik, (3) sosial yang meliputi (a) manusiawi dimana gejolak sosial seperti tingkat kriminalitas dan konflik menurun, kinerja lembaga sosial desa membaik, produktivitas tenaga kerja meningkat dan lain-lain, (b) berkeadilan dimana semua stakeholders yang
11 terlibat dalam pengelolaan merasakan manfaat dari keberadaan kebun sawit tersebut, dan (c) bersifat fleksibel atau kondisi luwes
yang menggambarkan
bahwa apa yang sudah dicapai tersebut tidak mudah goyah melainkan punya toleransi tinggi dan mampu bertahan terhadap perubahan kondisi, baik kondisi eksternal maupun internal yang dinamis. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi pihakpihak yang terkait dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan antara lain: 1. Manfaat bagi petani dan pengusaha perkebunan: Informasi model pengelolaan kebun sawit yang efektif dan efisien baik pada proses produksi maupun pengolahan pasca panen agar kebun kelapa sawit tetap produktif dan berkelanjutan sehingga petani memperoleh keuntungan yang optimal. 2. Manfaat Bagi Pengambil Keputusan (Policy Maker) Model pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang tepat dan sesuai dengan kondisi biofisik, ekonomi dan sosial sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dan skenario strategis dalam pengelolaan kebun sawit yang efektif dan efisien sehingga petani memperoleh nilai tambah dari kebijakan yang dirumuskan. 3. Manfaat Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian diharapkan bisa melengkapi dan memperkaya kaidah-kaidah pengelolaan kebun sawit yang efektif dan efisien menuju ke arah kondisi perkebunan kelapa sawit yang produktif dan berkelanjutan. 1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian Berkaitan dengan kebaruan dalam pengelolaan perkebunan sawit, ada beberapa hal yang dapat dijadikan bahan pertimbangan. Pertama, penelusuran pustaka melalui hasil penelitian disertasi dan tesis, jurnal penelitian dalam dan luar negeri serta informasi teknologi media internet menunjukkan bahwa penelitian pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan masih sangat sedikit. Selain terbatas, pendekatan yang dipakai masih terkesan parsial, belum mengaitkan faktor-faktor ekonomi, sosial dan lingkungan secara holistik.
12 Beberapa penelitian pengelolaan perkebunan kelapa sawit plasma berkelanjutan dengan pendekatan parsial berfokus aspek fisik telah dilakukan oleh Erningpraja dan Poeloengan (2000) berbasis pada optimalisasi pemupukan, Hasan (2003) berbasis penerapan dinamika iklim, Kurniawan (2004) berbasis pada pengendalian limbah pabrik kelapa sawit, Lord dan Ross (2005) berbasis pada kualitas hasil olahan pabrik kelapa sawit, dan Fairhurst et al. (2006) berbasis pada efektivitas fisik sarana produksi terutama pupuk. Penelitian pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan berfokus aspek ekonomi telah dilakukan oleh Dja’far dan Wahyono (2003) berbasis pada skala usaha ekonomi dan break even point, dan Iswati (2004) berbasis pada analisis kelayakan finansial. Sementara itu, penelitian pengelolaan perkebunan kelapa sawit berfokus pada aspek sosial telah dilakukan oleh Hasbi (2001) berbasis pada kelembagaan dan Wahyono (2003) berbasis pada pengelolaan konflik. Kedua, berkaitan dengan sifat dari model perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang dinamis terutama dipengaruhi oleh perubahan kondisi sumberdaya lahan, air dan udara; kualitas hidup manusia yang terus meningkat; dan baku mutu serta standar kerusakan lingkungan sebagai tolok ukur dalam pengelolaan sumberdaya alam. Seperti disampaikan oleh Dja’far et al. (2005) bahwa untuk membangun perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang memenuhi aspek fisik, sosial dan ekonomi, diperlukan model perkebunan berkelanjutan dengan konsep dan kriteria sesuai dengan isu-isu yang berkembang saat ini yang tertuang dalam The Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Hal senada juga dikemukakan oleh Ardiansyah (2006) bahwa untuk masa mendatang, konsep dan kriteria perkebunan kelapa sawit berkelanjutan seyogyanya mengacu pada RSPO karena sudah mengakumulasi aspek fisik, sosial dan ekonomi secara holistik. Dengan latar belakang tersebut maka penulis melakukan penelitian untuk mencari model pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan dengan pendekatan yang berbeda dengan yang sudah dilakukan terdahulu. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan dengan orientasi tujuan (goal oriented approach) yang menyentuh seluruh aspek yang terlibat dalam pengelolaan kelapa sawit. Pengelolaan sumberdaya lahan dengan pendekatan yang holistik menjadi semakin penting di masa-masa mendatang dengan pertimbangan antara lain (a) eksploitasi sumberdaya lahan akan semakin meningkat dalam upaya memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat, (b) pengelolaan sumberdaya
13 lahan melibatkan banyak pemangku kepentingan dan (c) setiap wilayah memiliki karakteristik berbeda-beda yang memerlukan pendekatan holistik dan terpadu sesuai dengan kondisi setiap daerah (Mitchell et al., 2003). Sesuai dengan tujuan, penelitian menggunakan beberapa metode analisis dan program perangkat lunak sebagai berikut: 1. Tingkat kesesuaian lahan dan produktivitas kebun plasma kelapa sawit diestimasi melalui Metode Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian dengan mengintegrasikan karakteristik tanah dan iklim, persyaratan tumbuh kelapa sawit, hasil potensial bibit dan pengelolaan tanaman. 2. Model fungsi produksi kebun plasma kelapa sawit diestimasi dengan Fungsi Produksi Nerlove. 3. Peranan dan keterkaitan institusi yang terlibat menggunakan Analysis Hierarchy Process (AHP) dengan perangkat lunak Criterium Decision Plus (CDP). 4. Model pengelolaan kebun plasma kelapa sawit berkelanjutan diestimasi dengan pendekatan Sistem Dinamis menggunakan perangkat lunak program Power Sim. 5. Implementasi dari model yang dibangun diestimasi dengan Analisis Prospektif (Prospective Analysis) untuk memperoleh skenario strategis model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan.