I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui koperasi bukanlah konsep baru,
banyak
kendala
dan
hambatan
yang harus
diperhatikan
dalam
pengembangan koperasi di pedesaan, diantaranya adalah rendahnya minat masyarakat untuk bergabung dalam kelompok tani/koperasi, hal ini disebabkan karena
kegagalan-kegagalan
dan
stigma
negatif
tentang
kelembagaan
tani/koperasi yang terbentuk di dalam masyarakat. Kegagalan yang dimaksud diantaranya
adalah
ketidakmampuan
kelembagaan
tani/koperasi
dalam
memberikan kebutuhan anggotanya dan ketidakmampuan dalam memasarkan hasil produk pertanian anggotanya. Rendahnya SDM petani di pedesaan menimbulkan pemahaman dan arti penting koperasi terabaikan. Peningkatan posisi tawar petani pada dasarnya adalah untuk dapat meningkatkan akses masyarakat pedesaan dalam kegiatan ekonomi yang adil, sehingga bentuk kesenjangan dan kerugian yang dialami oleh para petani dapat dihindarkan. Pengembangan masyarakat petani melalui kelembagaan pedesaan atau koperasi ataupun kelembagaan pertanian/kelompok tani merupakan suatu upaya pemberdayaan terencana yang dilakukan secara sadar dan sungguhsungguh melalui usaha bersama petani untuk memperbaiki keragaan sistem perekonomian masyarakat pedesaan. Arah pemberdayaan masyarakat desa/petani akan disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama. Dengan partisipasi yang tinggi terhadap koperasi, diharapkan rasa ikut memiliki dari masyarakat atas semua kegiatan yang dilaksanakan koperasi juga akan tinggi. Karena di dalam koperasi terdapat nilai dan prinsip berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong dan merupakan landasan koperasi itu sendiri, sehingga demikian
diperlukan
peran
berbagai
pihak
untuk
menggerakkan
dan
mengembangkan kelembagaan pedesaan/koperasi dengan basis kekuatan yang dimiliki oleh anggota tersebut. Pengembangan kelembagaan dalam bentuk perencanaan yang baik berdasarkan kebutuhan, kekuatan dan kondisi yang ada
1
tentunya akan memberikan panduan bagi pelakunya atau lembaga tersebut untuk mengembangkan diri. Secara umum prinsip operasional koperasi adalah membantu kesejahteraan para anggota dalam bentuk gotong royong dan tentunya prinsip tersebut tidaklah menyimpang dari sudut pandang syariah yaitu prinsip gotong royong (ta’awun alal birri) dan bersifat kolektif (berjamaah) dalam membangun kemandirian hidup. Melalui hal inilah perlu adanya proses internalisasi terhadap pola pemikiran tata cara pengelolaan, produk-produk, dan hukum yang diberlakukan harus sesuai dengan syariah. Dengan kata lain Koperasi Syariah merupakan sebuah konversi dari Koperasi Konvensional melalui pendekatan yang sesuai dengan syariat Islam dan peneladanan ekonomi yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya. Konsep utama operasional Koperasi Syariah adalah menggunakan akad Syirkah Mufawadhoh yakni sebuah usaha yang didirikan secara bersama-sama oleh dua orang atau lebih, masing-masing memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama besar dan berpartisipasi dalam kerja dengan bobot yang sama pula. Masing-masing partner saling menanggung satu sama lain dalam hak dan kewajiban. Selain itu tidak diperkenankan salah seorang memasukkan modal yang lebih besar dan memperoleh keuntungan yang lebih besar pula dibanding dengan partner lainnya.1 Koperasi syariah mulai diperbincangkan banyak orang ketika menyikapi semaraknya pertumbuhan Baitul Maal Wattamwil di Indonesia. Baitul Maal Wattamwil yang dikenal dengan sebutan BMT yang dimotori pertama kalinya oleh BMT Insan Kamil tahun 1992 di Jakarta, ternyata mampu memberi warna bagi perekonomian para pengusaha mikro. Kendati awalnya hanya merupakan KSM (kelompok swadaya masyarakat) Syariah namun memiliki kinerja layaknya sebuah bank. Diklasifikasikannya BMT sebagai KSM pada saat itu adalah untuk menghindari jeratan hukum sebagai bank gelap dan adanya program PHBK Bank Indonesia (Pola Hubungan kerjasama
1
Buchori, Nur S. Koperasi Syariah, 2009, hal 15-16
2
antar Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat) hasil kerjasama Bank Indonesia dengan GTZ sebuah LSM dari Jerman. Seiring dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa segala kegiatan dalam bentuk penghimpunan dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan dalam bentuk kredit harus
berbentuk
Bank.
Maka
munculah
beberapa
LPSM
(Lembaga
Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang memayungi KSM BMT. LPSM tersebut antara lain : P3UK sebagai penggagas awal, PINBUK yang dimotori oleh ICMI dan
FES
Dompet
Dhuafa Republika. Mereka turut
membantu
mengembangkan sistem perekonomian Indonesia melalui perannya dengan cara memfasilitasi bantuan dana pembiayaan oleh BMI yang merupakan satu-satunya Bank Umum Syariah pada saat itu. Disamping itu diberikan pula bantuan peningkatan skill SDM melalui pelatihan katalis BMT termasuk akses jaringan software BMT. Lembaga BMT yang memiliki basis kegiatan ekonomi rakyat dengan falsafah yang sama yaitu “dari anggota oleh anggota untuk anggota” maka berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 1992 tersebut berhak menggunakan badan hukum koperasi, letak perbedaannya dengan koperasi konvensional (non syariah) salah satunya terletak pada teknis operasionalnya yang mengharamkan bunga dan mengusung etika moral dengan melihat kaidah halal dan haram dalam melakukan usahanya. 2 1.2 Rumusan Masalah Pemahaman yang keliru tentang manajemen koperasi menjadi awal terpuruknya daya saing koperasi. Jumlah koperasi Indonesia mencapai 150 ribu unit dengan hampir 30 juta anggota, tetapi volume usaha keseluruhan hanya mencapai Rp 68 trilliun dengan total SHU Rp 5 trilliun. Bandingkan dengan PD Indonesia yang mencapai lebih dari Rp 5000 trilliun maka koperasi hanya menyumbang kurang dari 2%.3 Perkembangan koperasi di Indonesia hingga kini masih memprihatinkan. Dari 140an ribu koperasi yang ada di Indonesia, hanya ±29,5% yang aktif, dan 2 3
Ibid, hal 10-12 www.gudangmateri.com,2010
3
lebih sedikit lagi koperasi yang memiliki manajemen kelembagaan yang baik, partisipasi anggota yang optimal,usaha yang fokus,terlebih lagi skala usaha yang besar.4
Sumber: Diolah dari hasil pengkajian kementerian koperasi
Gambar 1. Jumlah Koperasi Konvensional (non syariah)
Pengembangan koperasi di Indonesia dianggap mengalami kegagalan, karena koperasi pada akhirnya lebih banyak dijadikan alat kebijakan pemerintah. Sehingga koperasi menjadi lembaga top down mulai dari inisiatif pendirian sampai pengelolaan yang bergantung pada aparat pemerintah. Dengan intervensi yang kuat dari pemerintah, terutama di sisi permodalan, koperasi juga kemudian menjadi bersifat capital centered, bukan lagi people centered. Pada akhirnya,banyak koperasi yang kemudian menjadi sangat bergantung pada permodalan dan bantuan dari pemerintah dan segera hilang aktivitasnya ketika bantuan terhenti. Koperasi telah kehilangan jati dirinya yang bottom up, self help, dan self empowering. Dengan kondisi perkoperasian seperti inilah maka kemudian banyak muncul koperasi syariah di Indonesia. Sejak kemunculan pertamanya pada akhir dekade 1990-an, koperasi syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan dan telah memberi kontribusi nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
4
http://kjks-manfaat.blogspot.com/2009/02/dinamika-koperasi-syariah-di-indonesia.html
4
Kini terdapat lebih dari 3.000 koperasi syariah di Indonesia yang dalam waktu relatif singkat telah mampu membantu lebih dari 920.000 usaha mikro di Tanah Air dan telah merambah ke seluruh kabupaten di Tanah Air. Baik dalam bentuk koperasi pondok pesantren (kopontren), koperasi masjid, koperasi perkantoran, hingga koperasi pasar (kopas). Secara konseptual, koperasi sendiri pada hakikatnya sangat selaras dengan budaya dan nilai-nilai Islam, agama mayoritas di negeri ini. Tidak heran bila kemudian koperasi yang beroperasi berdasarkan syariat Islam, dengan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Dalam perspektif Islam, koperasi yang menjunjung asas kebersamaan dan kekeluargaan dapat dipandang sebagai bentuk syirkah ta’awunniyah yang bermakna bekerja sama dan tolong-menolong dalam kebaikan. Ketika koperasi bekerja dalam bingkai syariah Islam, seperti tidak berhubungan dengan aktivitas riba, maysir (judi), dan gharar (spekulasi), maka lengkaplah keselarasan koperasi dengan nilai-nilai Islam.5 Sebagai salah satu lembaga ekonomi rakyat, koperasi perlu menjaga agar dapat beroperasi secara optimal. Terlebih lagi koperasi syariah harus bersaing dengan koperasi konvensional yang dominan dan telah berkembang terlebih dahulu di Indonesia. Persaingan tersebut harus dibarengi dengan manajemen yang baik untuk dapat bertahan. Salah satu faktor yang harus diperhatikan oleh koperasi untuk bisa terus bertahan hidup adalah kinerja dari koperasi itu sendiri baik dari kinerja keuangan maupun kinerja manajemen organisasi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Perbandingan Kinerja Manajemen Koperasi Syariah dan Koperasi Konvensional. Studi Kasus KJKS BMT Bina Ummat Sejahtera dan Koperasi Pegawai Departemen Koperasi.” Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Apa yang membedakan Koperasi Syariah dengan Koperasi Konvensional (non syariah) dari sisi manajemen perusahaan? 2. Apakah KJKS BMT BUS memiliki potensi untuk berkembang?
5
Ibid
5
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam kegiatan penelitian ini antara lain : 1. Menganalisis perbandingan kinerja manajemen antara Koperasi Syariah dengan Koperasi Konvensional. 2. Menganalisis kesempatan/kemungkinan KJKS BMT BUS untuk mampu bersaing dan berkembang di masa yang akan datang. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis, dengan melakukan penelitian ini penulis memperoleh pengalaman dan ilmu pengetahuan baru mengenai koperasi syariah. 2. Bagi Koperasi Syariah, dapat dijadikan sebagai catatan atau koreksi untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya serta memperbaiki apabila ada kelemahan dan kekurangan. 3. Bagi Koperasi Konvensional, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan atau pertimbangan untuk menambah unit usaha syariah atau menambah pengetahuannya mengenai lembaga ekonomi rakyat dengan basis syariah. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Batasan Masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Koperasi konvensional yang dipilih dalam penelitian ini adalah Koperasi Pegawai Departemen Koperasi dan UKM yang telah berdiri sejak 1952. b. Koperasi Syariah yang dipilih dalam penelitian ini adalah BMT Bina Ummat Sejahtera yang berdiri sejak tahun 1996, namun berubah menjadi lembaga keungan berupa Koperasi Jasa Keuangan Syariah mulai di tahun 2006. c. Waktu penelitian yang dipilih oleh penulis adalah tahun 2011.
6