I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada wilayah segitiga terumbu karang (coral reef triangle) dunia. Posisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara dengan penutupan terumbu karang terluas di dunia. Menurut Burke (2002) dalam lingkup regional Asia Tenggara, Indonesia memiliki persentase kepemilikan terumbu karang sebesar 51%, sedangkan dalam tingkatan dunia sebesar 18% dengan catatan estimasi akurat. Dalam kawasan segitiga terumbu karang, ribuan jenis ikan hidup dan tinggal beserta organisme laut lainnya (marine living organism). Dengan demikian terumbu karang memiliki potensi Sumber Daya Ikan (SDI) yang sangat tinggi. Sementara itu terumbu karang juga bernilai ekonomis tinggi (high economic values) dan bernilai konservasi tinggi (high conservation values). Lebih dari itu, kawasan terumbu karang juga memiliki fungsi ekologis tinggi bagi keberlangsungan kehidupan dan menjaga keseimbangan alam demi masa depan yang berkelanjutan (sustainable future). Dilihat dari perspektif ekonomi, terumbu karang adalah sumber devisa negara yang sangat potensial melalui ekspor ikan konsumsi, ikan hias, kulit kerang, rumput laut, obyek wisata bahari, dan bahan obat-obatan. Beragam jenis ikan hias tersebar di berbagai perairan terutama menghuni habitat sekitar terumbu karang. Terdapat sekitar 650 species, 480 species diantaranya sudah teridentifikasi dan sekitar 200 species diantaranya telah diperdagangkan (Poernomo, 2008). Nilai ekonomi total terumbu karang Indonesia mencapai US $ 466 juta. Khusus untuk ikan hias yang dihasilkan dari ekosistem terumbu karang Indonesia, nilainya mencapai US $ 32 juta pertahun (Reefbase, 2001). Nilai ekspor ikan hias laut di Indonesia seperti yang tergambar pada Gambar 1 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki nilai ekspor ikan hias laut yang signifikan di sekitar 10 negara tujuan ekspor di dunia, yaitu USA, Jepang, Malaysia, Singapura, UK, Jerman, Italy, Perancis, Kanada dan Belanda. Nilai ekspor tertinggi adalah ekspor yang dilakukan ke USA, mencapai lebih dari US $
1,8 juta. Lampiran 1 menyajikan data tentang volume ekspor ikan hias laut Indonesia di berbagai negara di dunia dalam 5 tahun terakhir.
Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia - Ekspor - 2007 (BPS Jakarta, Indonesia) – setelah diolah.
Gambar 1. Nilai Ekspor Ikan Hias Laut Indonesia tahun 2007 Peluang pasar di dunia masih terbuka luas untuk ikan hias laut Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menyatakan bahwa ikan hias asal Indonesia masih berpotensi besar untuk mengisi pasar ekspor ikan hias dunia, mengingat Indonesia baru mengisi 14,6 juta dollar AS dari 500 juta dollar AS pangsa pasar ikan hias di pasar global 1. Namun demikian, pangsa pasar ekspor ikan hias laut Indonesia masih kalah dengan negara lain. Di Amerika Serikat, Singapura mendominasi pangsa pasar sebesar 30%, sedangkan Indonesia hanya 6%. Ironinya adalah Indonesia sebagai pemilik terumbu karang justru kalah dengan dalam merebut pangsa pasar (lihat Tabel 1). Ekspor ikan hias Indonesia didominasi perusahaan eksportir ikan hias yang juga memiliki usaha budidaya ikan hias sendiri. Usaha budidaya merupakan upaya solutif dalam rangka pemanfaatan lestari dan menjauhkan dari pola ketergantungan dari alam, meskipun potensi ikan hias sangat melimpah di alam (terumbu karang Indonesia). Dengan begitu perusahaan eksportir ikan hias tidak sepenuhnya masuk dalam ranah industri ekstraktif. Kondisi demikian mendorong kerja keras perusahaan untuk memenuhi kuota permintaan pasar akan ikan hias dengan kualitas ekspor. 1
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0501/31/ekonomi/ , Peluang Ekspor Ikan Hias Indonesia Besar. 31 Januari 2005.
2
Tabel 1. Posisi Indonesia sebagai negara pengekspor ikan hias di dunia, 2004 No.
Negara Pengekspor Nilai (1000 US$) Negara Pengimpor Ikan Hias Ikan Hias 1. Singapore 41.460 USA 2. Malaysia 17.559 Japan 3. Czech Republik 13.353 Germany 4. Indonesia 12.648 United Kingdom 5. Hongkng 9.477 France 6. USA 8.381 Singapore 7. Japan 8.332 Italy 8. Peru 6.439 Belgium 9. Philipine 6.439 Netherlands 10. Israel 5.603 Hongkong 11. Sri Langka 5.527 Canada 12. Thailand 5.245 Spain 13. Belgium 4.322 Malaysia 14. Colombia 4.284 Mexico 15. Spain 3.570 Australia 16. Ireland 3.322 Switzerland 17. Brazil 3.250 Norway 18. France 3.046 Sweden 19. Germany 2.744 Korea 20. China 2.166 Denmark Sumber : Ornamental Fish International website, 2004
Nilai (1000 US$) 39.686 25.618 24.373 23.646 20.859 11.274 10.300 10.163 9.954 9.430 6.520 5.224 4.916 2.819 2.790 2.702 2.334 2.295 2.283 2.025
Keberlanjutan usaha (sustainable business) sangat dipengaruhi oleh kesediaan (supply) bahan baku usahanya. Dalam hal ini kaitannya dengan ekspor ikan hias, banyak perusahaan belum sepenuhnya mampu memenuhi stok dan permintaan pasar luar negeri secara optimal. Kebutuhan pasokan ikan hias perusahaan memerlukan sumber bahan baku yang bukan hanya disuplai dari manajemen perusahaan sendiri. Harus ada sumber lain sehingga kuota pasar ekspor dapat terserap secara baik. Ketersediaan bahan baku merupakan hal yang esensial untuk menjamin sebuah keberlanjutan usaha. Gejolak meningkatnya permintaan pasar menyebabkan banyaknya nelayan beralih profesi menjadi nelayan ikan hias. Meskipun budidaya ikan hias untuk kebutuhan ekspor telah banyak dilakukan oleh banyak perusahan, namun kuota ikan hias masih juga belum terpenuhi secara optimal. Sentimen positif pasar yang ditandai dengan tingginya permintaan pasar terhadap ikan hias telah mendorong nelayan untuk mempraktekkan usaha perikanan merusak (destructive fishing) atau tidak ramah lingkungan. Banyak diantaranya nelayan ikan hias menggunakan
3
potassium sianida 2 dan atau/ bom. Cara ini memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan hias dengan cara relatif cepat dan mudah. Namun di lain pihak, pasar luar negeri menghendaki ikan hias yang bebas sianida. Mereka tidak sadar bahwa praktek perikanan tersebut dapat mengancam keberlanjutan usaha dan tentu saja berdampak langsung bagi kehidupan dan kesejahteraan hidup mereka sendiri kedepannya. Oleh karena itu perlu kiranya perusahaan mencoba membangun kemitraan partisipatif dengan cara pelibatan (engagement) nelayan dan pengepul dalam usaha ekspor ikan hias non sianida dengan tujuan untuk memenuhi kuota ekspor ikan hias. Dalam menjalankan sebuah usaha, perusahaan biasanya membangun kemitraan usaha dengan nelayan dan pengepul untuk memenuhi rantai pasok (supply chain) ikan hias guna keberlanjutan usahanya. Keterlibatan nelayan dan pengepul dalam pemenuhan stok ikan hias perusahaan dimungkinkan memiliki multiplayer effect yang tidak hanya sebatas pada keberlanjutan usaha bagi pihak yang bermitra tetapi juga bisa mendukung upaya pelestarian sumberdaya hayati laut (marine living resources) khususnya ikan hias air laut. Melalui penelitian ini akan coba ditemu-kenali dasar-dasar relasi yang menyebabkan nelayan dan pengepul bersedia untuk berpartisipasi dalam pemenuhan pasokan ikan hias di wilayah Kepulauan Seribu. Hal ini berkenaan dengan aliran distribusi ikan hias laut mulai dari nelayan, pengepul, perusahaan sebagai eksportir, sampai pada importirnya (lihat Gambar 2).
Nelayan (supplier)
Perusahaan (farm dan eksportir)
Pengepul (collector)
Importir (buyer)
Keterangan : : Aliran informasi : Aliran produk
Gambar 2. Ilustrasi Saluran Distribusi Ikan Hias Laut
2
Sianida atau potasium merupakan senyawa kimia NaCN dan KCN yang apabila berikatan dengan air akan menjadi senyawa HCN. Satu semprotan sianida sebanyak 20 cc dapat mematikan terumbu karang seluas 5 x 5 m2 dalam waktu 3-6 bulan.
4
1.2. Rumusan Masalah Di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya terdapat beberapa perusahaan eksportir ikan hias yang telah memiliki jaringan pemasok dari pengepul hingga nelayan yang berada di Kepulauan Seribu. Hal ini membuat Kepulauan Seribu menjadi salah satu mata rantai penting dalam perdagangan ikan hias laut di Indonesia sejak 30 tahun lalu. Pemanfaatan ikan hias ini terkonsentrasi di Pulau Panggang. Dari pulau ini dapat disuplai sekitar 107 jenis ikan hias laut untuk diperdagangkan di pasar internasional. Namun demikian, pengelolaan ikan hias laut di Kepulauan Seribu ini masih sangat terbatas. Kurangnya peran pemerintah dan pihak yang terkait membuat pengelolaan ini mengarah pada pengelolaan yang tidak bertanggung jawab. Penggunaan alat tangkap yang merusak, penggunaan potassium/ sianida merupakan hal-hal yang menyebabkan menurunnya kualitas ikan hias dan terjadinya degradasi terumbu karang. Dari sisi konservasi, ada beberapa pihak yang peduli dengan hal ini kemudian mempromosikan cara tangkap dengan menggunakan cara yang lebih ramah terhadap lingkungan, yang tidak merusak terumbu karang. Untuk kasus di wilayah Kepulauan Seribu ini, LSM TERANGI (Terumbu Karang Indonesia) bekerjasama dengan lembaga sertifikasi ikan hias laut non sianida, MAC (Marine Aquarium Council) mencoba untuk masuk ke masyarakat nelayan di Pulau Panggang dan menawarkan solusi pengelolaan ikan hias yang lebih ramah lingkungan, yaitu dengan menggunakan jaring. Saat ini, masyarakat nelayan di Pulau Panggang telah dapat membuktikan bahwa mereka adalah nelayan yang ramah lingkungan. Hal yang paling mendasar yang perlu dianalisis untuk dapat mewujudkan suatu rantai pasok yang kohesif adalah mengenai kesediaan dari masing-masing pihak untuk bisa bekerjasama dengan baik. Untuk itu dasar-dasar relasi yang bisa mempertemukan antara nelayan, pengepul, dan perusahaan eksportir serta importir agar dapat bermitra dalam manajemen rantai pasok ikan hias dikaji dalam penelitian ini. Adanya kesadaran bahwa mereka saling memerlukan satu sama lain semestinya bisa membawa mereka pada suatu kesepakatan atau kesepahaman yang berakhir pada perjanjian jangka panjang baik secara tertulis maupun tidak
5
tertulis untuk saling memenuhi kepentingan masing masing pihak demi satu tujuan utama, yaitu kepuasan pelanggan. Untuk itu perlu dibangunnya sebuah skema mekanisme kemitraan dan kerjasama yang mampu mendorong terciptanya sebuah sistem manajemen rantai pasok ikan hias yang efektif dengan prinsip fair trade antara perusahaan, nelayan dan pengepul. Beberapa uraian di atas menjadi dasar untuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimanakah gambaran mekanisme rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu? b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida? c. Skema manajemen rantai pasok yang seperti apa yang ideal, yang dapat diaplikasikan di lapang sebagai sebuah skema manajemen rantai pasok yang adil bagi semua pihak yang terlibat (fair trade)? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk: a. Menggambarkan mekanisme rantai pasok ikan hias non sianida di Kepulauan Seribu. b. Menganalisis hal-hal yang mempengaruhi kesediaan nelayan untuk berpartisipasi dalam manajemen rantai pasok ikan hias non sianida. c. Memberikan altenatif skema manajemen rantai pasok ikan hias non sianida yang efektif dan sesuai dengan prinsip fair trade bagi nelayan, pengepul, dan perusahaan. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan/saran bagi suatu sistem manajemen rantai pasok khususnya bagi nelayan, pengepul, dan perusahaan dalam menjalankan kegiatan yang mendorong industri ekspor ikan hias laut non sianida, terkait dengan pengembangan strategi pemasaran suatu sistem secara menyeluruh melalui pendekatan manajemen rantai pasok yang lebih baik. Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang serupa.
6