I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu masalah pencegahan dan pemberantasan penyakit menular yang sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat adalah penyakit Dengue Haemorhagic Fever atau yang lebih dikenal dengan nama Demam Berdarah Dengue (DBD).
Vektor penyakit DBD ini adalah nyamuk Aedes
aegypti melalui gigitan yang berulang-ulang kepada
orang yang susceptible
(rentan). Malaysia dan Singapura telah berhasil mencanangkan bebas demam berdarah karena adanya perhatian Pemerintah terhadap masalah Kesehatan Lingkungan, dengan melegitimasi persoalan kesehatan lingkungan dalam bentuk peraturan dan sangsi bagi rumah yang terdapat jentik nyamuk. Sementara Indonesia
sejak tahun 1968 penyebaran penyakit
DBD semakin meluas
keseluruh wilayah Indonesia dan beberapa wilayah yang setiap tahunnya selalu ditemukan kasus sebagai daerah endemis. Upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pengendalian kasus belum berjalan secara optimal, karena didalam pemberantasan penyakit DBD tidak hanya memberantas nyamuk Aedes aegypti saja, tetapi juga memberantas virus dengue yang dibawa oleh nyamuk tersebut. Dengan demikian penekanan pemberantasan juga diarahkan pada upaya pengurangan jumlah nyamuk yang dapat membawa virus dengue dengan cara membunuh jentiknya. Sementara itu untuk menghilangkan jentik (larva) kurang mendapat perhatian dari masyarakat karena dianggap merupakan upaya yang tidak jelas hasilnya dibandingkan dengan pengasapan. Pencegahan penyebaran DBD sederhana dan tidak memerlukan teknologi tinggi seperti pada kasus SARS yang memerlukan pemeriksaan laboratorium di Atlanta. Sedangkan untuk memberantas DBD diperlukan langkah jelas dan sederhana dengan menumbuhkan perubahan sikap dan kesadaran semua pihak dan masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Dengan jumlah penduduk yang banyak, masyarakat Indonesia seharusnya dapat menjadi kekuatan tolongmenolong dan bergotong royong dalam membersihkan lingkungan. Langkah sederhana ini melalui kegiatan 3M (menguras, mengubur dan menutup), rantai
2 penularan nyamuk Aedes aegypti sebagai penyebab DBD dapat diputus sehingga tidak sampai menyebar luas. Faktor lingkungan berpengaruh besar pada terjadinya wabah (epidemi). Indikasi ini ditandai dengan peningkatan kejadian kasus yang melebihi dari keadaan biasa. Pada tanggal 16 Februari 2004 Pemerintah Pusat melalui Departemen Kesehatan menyatakan telah terjadi KLB DBD Nasional. Pada skala Nasional sepanjang tahun 2005 telah terjadi empat puncak peningkatan kasus, yaitu pada bulan Januari, Maret, Agustus dan Desember. Tahun 2006 terjadi peningkatan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei. Jumlah kasus sampai dengan Oktober 2006 sebanyak 72.812 kasus, 753 diantaranya meninggal case fatality rate (CFR) sebesar 1,03%. Di Indonesia DBD pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968, jumlah penderita yang dilaporkan pada waktu itu adalah 58 penderita, 24 (41,3%) diantaranya meninggal. Dalam tahun 1988 DBD berjangkit di 156 daerah tingkat II (di 23 propinsi) dengan jumlah penderita 15.340 orang, 549 (3,6%) diantaranya meninggal.
Meskipun angka kematian DBD cenderung menurun, yaitu dari
41,3% (1968) menjadi 3,6% (1988) penyebarannya semakin luas. Sampai tahun 2002, semua propinsi telah melaporkan kasus DBD.
Selama 36 tahun sejak
ditemukannya kasus DBD hingga bulan Maret 2004, sudah 12 propinsi yang dinyatakan sebagai daerah kejadian luar biasa (KLB). Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan semakin lancarnya hubungan transportasi. Di DKI Jakarta kejadian luar biasa tahun 2004 bulan Januari sampai dengan April tercatat incidence rate (IR) DBD sebesar 15,07 per 100.000 penduduk dan CFR 0,04. Tahun 2007 hingga bulan April tercatat IR
14,61 per 100.000
penduduk dan CFR 0,38. Keadaan tersebut telah menyebabkan DKI Jakarta pada status kejadian luar biasa (KLB). Pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di Propinsi DKI Jakarta akan lebih efektif jika dapat menumbuhkan
kesadaran
masyarakat
untuk
terlibat
dalam
pengelolaan
lingkungan serangga penular melalui Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (KBDM), seperti; posyandu, dana sehat, Daerah Percontohan
3 Kesehatan Lingkungan (DPKL), Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), pemanfaatan potensi sumber daya alam dan sumber daya buatan. Salah satu pemanfaatan sumber daya alam adalah dengan memanfaatkan tanaman yang bersifat repellent (penolak) dan attractant (penarik) pada serangga penular. Pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue akan lebih efektif jika dilakukan pada tahap dini dengan memanfaatkan kondisi lingkungan serangga penular melalui tanaman anti nyamuk yang dapat menghalau nyamuk karena aroma yang khas. Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk pencegahan dini terhadap penyebaran penyakit DBD antara lain; 1) Akar wangi (Vertiverzi zonoides), 2) Suren (Toona sureni, Merr), 3) Zodia (Evodia sudveolens, Scheff), (4) Geranium (Geranium homeanum, Turez), 5) Selasih (Ocimum, Sp) dan 6) Lavender (Lavandula latifolia, Chalix). Banyak faktor yang harus dipertimbangkan secara terpadu dan sinergik dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di wilayah propinsi DKI Jakarta antara lain sumber daya alam, sumber daya buatan, lingkungan hidup dan komponen-komponen penunjang untuk keberhasilan pencegahan. Bahkan sumber daya alam dan sumber daya buatan serta lingkungan hidup lainnya juga mempunyai turunan (derivative) komponen yang banyak pula. Oleh karenanya dalam membuat model pencegahan pemberantasan penyakit DBD harus didekati dengan konsep berpikir kesisteman yaitu menyeluruh (holistik) dan integral (saling berkaitan). Berpikir kesisteman diharapkan dapat memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut masalah saling berkaitan dan selalu berkembang serta berubah, yang sebelumnya sulit diselesaikan satu persatu. Pendekatan sistem diperlukan khususnya dalam menetapkan komponen yang dianalisis. Hal ini karena; pertama, pemikiran dengan menggunakan pendekatan sistem berarti ada proses berpikir yang menyeluruh dan terpadu yang dapat memberikan gambaran suatu persoalan keseluruhan yang ingin diselesaikan, maupun menyederhanakan kerumitan keseluruhan persoalan tersebut dengan memilih berbagai komponen dominan saja tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian/kajian. Kedua, metode berpikir sistem untuk menganalisis mekanisme, pola dan kecendrungan sistem berdasarkan
4 analisis terhadap struktur dan perilaku yang rumit, berubah cepat dan yang mengandung ketidakpastian dengan menyederhanakan persoalan memilih komponen yang dominan. Diharapkan Model Pencegahan Berbasis Lingkungan dapat mengurangi penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue di Propinsi DKI Jakarta.
1.2
Kerangka Pemikiran Tujuan pencegahan penyebaran penyakit DBD di wilayah DKI Jakarta
adalah: 1) Penurunan insiden kasus DBD sebesar 90% dari kasus yang tertinggi, (2) Menurunkan angka kematian < 1%, (3) Menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk melakukan pencegahan penyebaran DBD dengan PSN melalui 3 M (menguras, mengubur dan menutup) dan (4) Terwujudnya PHBS untuk menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan hidup sebagai bagian pencapaian pembangunan berkelanjutan. Tujuan tersebut adalah upaya untuk tindak lanjut Perpres No. 6 tahun 2005 tentang Pokok-Pokok Pembangunan Kesehatan yang diantaranya adalah Program Lingkungan Sehat dan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit.
Namun demikian ada masalah dalam tahapan
pelaksanaan kegiatan khususnya pada pencegahan penyakit DBD. Seringkali tindakan pencegahan dilakukan secara fragmental tanpa melakukan keterkaitan secara proporsional dengan empat subsistem yang berpengaruh pada pencegahan penyebaran penyakit DBD. Untuk itu diperlukan alat bantu yang dapat memberikan arahan dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta melalui pengkajian subsistem yang berperan pada penyebaran penyakit DBD seperti pada lingkungan, vektor, manusia dan kasus DBD, seperti yang terdapat pada Gambar 1.
5
Pemerintah
Masyarakat
• Derajat kesehatan masyarakat meningkat • Angka kasus (Incidence rate) & Angka kematian (case fatality rate) penyakit DBD turun. • Adanya kemampuan masyarakat untuk melakukan pencegahan penyebaran penyakit DBD yang berbasis lingkungan • Memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan. • Pemanfaatan sumberdaya lingkungan secara optimal. • Kesejahteraan masyarakat • Lingkungan tidak rusak sehingga aman bagi mahluk hidup lainnya.
• Mendapatkan manfaat dari pengelolaan lingkungan • Dapat mewujudkan PHBS • Terjaganya kondisi kesehatan masyarakat • Kondisi sanitasi lingkungan yang baik • Ketersediaan hunian yang layak
Swasta/LSM • • •
Informasi dini pengelolaan lingkungan Koordinasi Pemberdayaan Masyaarakat Peluang Investasi
Analisis Kebutuhan
Isu Pencegahan Penyebaran DBD • • •
Perubahan Iklim Global Perubahan Kualitas Sanitasi Pemukiman Pencemaran Lingkungan
Formulasi Masalah Evaluasi Pencegahan Penyebaran Penyakit DBD
Aspek Ekonomi
Potensi Ekonomi Lingkungan Analisis valuasi ekonomi
• • •
Potensi Budidaya Tanaman anti nyamuk Potensi konservasi Efisiensi pencegahan penyebaran DBD
Aspek Ekologi
Lingkungan Serangga Penular
Aspek Sosial
Pengelolaan Lingkungan - Indikasi faktor potensial lingkungan SP - Perubahan perilaku potensial pada SP - Kesesuaian pencegahan dengan pengelolaan lingkungan
Partisipasi Masyarakat
• • •
Pemberdayaan masyarakaat secara mandiri Potensi pengelolaan pemukiman Budaya PHBS
Identifikasi Sistem Pemodelan Sistem Dinamik
Pemodelan Sistem Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit DBD
Implementasi Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Verifikasi dan validasi
6 1.3 Perumusan Masalah Penyebab meningkatnya jumlah kasus DBD dan semakin bertambahnya wilayah yang terjangkit antara lain karena; semakin padatnya penduduk dan tingginya mobilitas penduduk. Selain itu semakin baiknya transportasi dari suatu daerah ke daerah lain serta adanya pemukiman baru yang dapat menjadi penyebab meningkatnya kasus DBD. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya KLB adalah penyimpangan pola hujan dan faktor musim (Sintorini, 2006), perilaku masyarakat menyimpan air secara tradisional, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) (Fikri, 2006), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gejala DBD dan keterlambatan membawa ketempat pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan, 2006). Penyebab lain adalah kurangnya koordinasi lintas sektor, tersebarnya vektor nyamuk Aedes aegypti di seluruh wilayah, adanya empat serotype virus yang bersirkulasi sepanjang tahun serta keterlambatan penanggulangan kasus di lapangan turut berperan pada KLB (Suhardiono, 2002). Upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada di propinsi DKI Jakarta. Ada beberapa potensi sumber daya yang dapat dikelola dalam melakukan pencegahan penyebaran penyakit DBD; (1) Potensi memanfaatkan sumber daya alam sebagai upaya budidaya tanaman anti nyamuk. (2) Potensi pemanfaatan program PHBS sebagai perwujudan paradigma sehat dalam membentuk perilaku hidup bersih sehat, dan (3) Pemanfaatan pengelolaan lingkungan yang simetris pada lingkungan seranga penular nyamuk Aedes aegypti dan lingkungan aktivitas manusia sebagai potensi yang dijadikan untuk pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit. Berdasarkan potensi dan permasalahan kondisi sumber daya alam, sosial dan lingkungan, pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta dapat diidentifikasikan pada hal-hal sebagai berikut : a. Terbatasnya lahan pemukiman di wilayah DKI Jakarta dapat dikembangkan secara ekonomis dengan budidaya tanaman anti nyamuk dan dapat memberikan nilai manfaat pada masyarakat. Untuk pengembangannya perlu diperhatikan berbagai faktor pembatas kondisi lahan serta adanya faktor
7 pembatas lingkungan. Untuk pemanfaatan budidaya tanaman anti nyamuk diperlukan kebijakan penanaman tanaman anti nyamuk pada lahan yang terbatas (pot, vas bunga) serta pada lahan yang optimal (cukup luas). b. Peran aktif masyarakat dalam memelihara dan menjaga kesehatannya dapat dilihat melalui upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (KBDM); seperti Posyandu, Dana Sehat, Daerah Percontohan
Kesehatan Lingkungan &
PHBS. Upaya tersebut merupakan fasilitasi agar masyarakat mengenal masalah yang dihadapi, merencanakan dan melakukan upaya pemecahannya dengan memanfaatkan potensi spesifik di wilayah DKI Jakarta sehingga masyarakat dapat mendorong keberhasilan suatu program pencegahan penyakit melalui tiga cara yaitu: 1) menyediakan informasi, 2) menyediakan dukungan politik, dan 3) menyumbangkan sumber daya. c.
Propinsi DKI Jakarta, sebagai megametropolitan mempunyai persoalan yang terkait dengan Urbanisasi dan persoalan yang muncul seperti pemukiman kumuh, ketersediaan air bersih, manajemen pengelolaan kota yang terkait dengan RTRW, manajemen lingkungan yang dilakukan secara parsial. Kondisi tersebut menimbulkan bertambahnya tempat-tempat yang dapat dipakai bersarang dan berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti. Demikian pula dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat tidak disertai dengan pengembangan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan pada pencegahan penyebaran penyakit DBD.
d. Degradasi kualitas lingkungan diantaranya ditandai pertumbuhan wilayah pemukiman yang tidak terencana dengan baik, hal ini akan berpengaruh pada ketersediaan air bersih dan kualitas sanitasi lingkungan pemukiman yang menjadi salah satu Factor Breeding Habit (tempat perkembang biakkan) nyamuk Aedes aegypti, peningkatan jumlah transportasi kendaraan bermotor selain menimbulkan pencemaran udara juga menjadi mediator pergerakan nyamuk Aedes aegypti dari satu wilayah ke wilayah lain. Dari empat subsistem yang saling mempengaruhi penyebaran penyakit DBD yaitu lingkungan, vektor, manusia, penyakit DBD, terdapat beberapa indikasi masalah (gap) yang menunjukkan masih tingginya kasus DBD diwilayah DKI Jakarta sehingga pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit
8 DBD di Propinsi DKI Jakarta masih belum optimal karena ada diantara empat komponen subsistem terkait yang masih belum saling sinergis dalam upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD antara lain: Pertama, Sistem Manajemen Pencegahan Penyakit DBD. Kegagalan pencegahan penyebaran penyakit DBD akibat kesalahan manajemen karena dipengaruhi oleh banyak faktor manajemen antara lain: keterbatasan kemampuan kualitas SDM baik jumlah dan keahlian, dana dan penganggaran, lemahnya koordinasi dan konsistensi pemantauan dan penilaian pencegahan penyebaran penyakit DBD melalui PHBS. Untuk kasus lemahnya manajemen tidak akan dibahas dalam penelitian ini karena berada di luar batas lingkup penelitian. Kedua, terkait dengan aspek teknis dalam pencegahan penyebaran penyakit DBD. Aspek yang kedua ini terkait aspek teknis yang berdasarkan empirikal menunjukkan adanya kesulitan teknis dalam melaksanakan pencegahan penyebaran penyakit DBD. Kesulitan teknis tersebut antara lain: (a) Perubahan kondisi iklim berpengaruh pada bionomik vektor Aedes aegypti dan memberikan perubahan pada aktivitas hinggap serta berkembang biak nyamuk Aedes aegypti seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban. (b) Ketersediaan air bersih dan tempat penampungan sampah yang tidak memadai menyebabkan kualitas lingkungan pemukiman menjadi rendah. Keadaan tersebut menjadi kondusif untuk peningkatan populasi Aedes aegypti (c) Budaya untuk mewujudkan PHBS pada pencegahan penyebaran penyakit DBD sangat berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Aspek yang kedua ini merupakan tema penelitian dengan fokus pada kajian membuat disain atau model pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta. Model berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta diperlukan dan dapat dijadikan acuan bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pencegahan penyebaran penyakit DBD. Untuk dapat merencanakan disain atau model pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta terkait pada masalah-masalah atau gap yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Kegiatan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta adalah tindakan promotif dan preventif akan tetapi implementasinya lebih banyak
9 terjadi tindakan pengendalian kasus. Tindakan preventif masih belum dapat dilakukan secara optimal sebagai kegiatan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta karena adanya kendala dalam mengelola kondisi yang tidak homeostatis (seimbang) pada masing-masing subsistem lingkungan, vektor, manusia dan penyakit DBD. (2) Banyaknya faktor yang berperan dalam subsistem pencegahan penyakit DBD, sehingga sulit dalam mengidentifikasi keterkaitan faktor tersebut secara potensial pada dinamika penyebaran penyakit DBD. (3) Strategi pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD masih belum bisa menurunkan populasi nyamuk Aedes aegypti dan kasus DBD diwilayah DKI Jakarta pada batas yang tidak menimbulkan gangguan masalah pada manusia. (4) Adanya perubahan kualitas lingkungan seperti: iklim, temperatur, kelembaban yang berpengaruh pada lingkungan vektor dan lingkungan manusia. (5) Partisipasi masyarakat secara mandiri dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta masih bersifat kasuistik dan belum menjadi budaya PHBS karena belum dimanfaatkan secara optimal kelembagaan swadaya masyarakat, seperti Posyandu sebagai agen penggerak
kegiatan pencegahan
penyebaran penyakit DBD secara berkelanjutan. Posyandu yang rutin melakukan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyuluhan agar dapat tumbuh kesadaran pada masyarakat untuk berperan aktif dalam pencegahan penyebaran penyakit di lingkungan sekitarnya. Untuk menyusun dan menghasilkan model pencegahan penyebaran penyakit DBD dalam implementasinya diperlukan beberapa analisis kebutuhan (need analysis) atau kajian mendalam agar dapat menjawab permasalahan (gap) pada pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta dan sekaligus mengurai masing-masing subsistem yang terkait pada pencegahan penyakit DBD, unsur-unsur yang dibutuhkan untuk dianalisis adalah: 1. Bagaimana peran faktor potensial dalam pengelolaan lingkungan yang terkait pada empat komponen pencegahan penyebaran penyakit DBD terhadap bionomik vektor Aedes aegypti? Seberapa besar peran faktor SDA yang dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyebaran penyakit DBD? Seberapa besar faktor lingkungan dapat memberikan manfaat ekonomis pada upaya
10 pencegahan penyebaran penyakit DBD? dan sejauh mana upaya peningkatan kualitas sanitasi lingkungan berpengaruh pada pencegahan penyebaran penyakit DBD? 2. Bagaimana keterkaitan fungsional faktor potensial tersebut secara kesisteman dapat meningkatkan upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD? Skenario apa yang terjadi secara dinamis yang bermanfaat pada upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD? 3. Bagaimana menyusun urutan prioritas dalam mendisain model pencegahan penyebaran penyakit DBD yang berbasis lingkungan?
1.4 Tujuan Penelitian Membangun Model Pencegahan Berbasis Lingkungan terhadap Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue di Propinsi DKI Jakarta. Tujuan Antara : 1. Mengidentifikasi pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta berdasarkan faktor-faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit DBD. 2. Menstrukturkan faktor-faktor penting yang potensial dan dapat digunakan untuk menentukan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta. 3. Merumuskan skenario rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk upaya pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta.
1.5
Manfaat Penelitian :
a.
Sebagai masukan kebijakan pemerintah pusat (lintas sektor) terutama Departemen Kesehatan (DEPKES) dalam menyusun kebijakan pencegahan DBD, khususnya dalam menyusun rencana strategi pengendalian terpadu.
b.
Sebagai alat bantu untuk mengatasi peningkatan kasus DBD yang melebihi keadaan biasa dengan usulan kebijakan dan pencegahan terpadu dan sinerjik dengan prinsip dukungan untuk satu tujuan melakukan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta.
11 Model ini dapat direplikasikan di wilayah atau propinsi lainnya dengan penyesuaian variabel-variabel yang sesuai dengan kondisi setempat. c.
Sebagai acuan bersama penyusunan program pemberantasan penyakit DBD di propinsi DKI Jakarta dalam mendisain bentuk pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta.
d.
Sebagai Leverage untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta, khususnya untuk meningkatkan potensi ekonomi masyarakat melalui pengelolaan lingkungan dengan pemanfaatan tanaman anti nyamuk.
e.
Sebagai
acuan
kegiatan
pencegahan
berbasis
lingkungan
terhadap
penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta untuk mengurangi kerusakan lingkungan. f.
Sebagai umpan balik (feed back) untuk peninjauan strategi pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD di Propinsi DKI Jakarta.
1.6 Novelty (Kebaruan) Pada saat ditetapkan KLB pada tahun 2004 jumlah kasus semakin turun, tetapi setiap waktu selalu ditemukan penderita DBD, meskipun angka kematian kasus DBD telah menurun, upaya pencegahan penyebaran penyakit DBD yang berbasis lingkungan sangat diperlukan. Untuk memperoleh hasil yang efektif dari pencegahan pemberantasan penyakit DBD diperlukan suatu model yang dapat mengidentifikasi dan menganalisis penyebaran penyakit DBD berdasarkan strategi pencegahan yang memperhatikan pada pengelolaan lingkungan sebagai suatu potensi secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam kaitan operasional pecegahan penyebaran penyakit DBD, belum pernah ada penelitian ataupun upaya mendisain suatu kebijakan dan strategi dalam pencegahan penyebaran penyakit DBD, khususnya dalam lingkup yang sifatnya komprehensif dan holistik. Nilai kebaruan dari penelitian ini adalah (1) memberikan konsep pemikiran baru bahwa pencegahan penyebaran DBD harus diikuti dengan pengelolaan
12 lingkungan berdasarkan potensi ekonomi, ekologi dan sosial sebagai petunjuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya dalam mewujudkan PHBS, (2) memperkuat pemikiran bahwa strategi pencegahan penyebaran penyakit DBD harus dapat dimplementasikan tanpa harus menunggu adanya kejadian kasus DBD, dan (3) menghasilkan model pencegahan yang berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD.