I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perubahan iklim sudah dirasakan oleh kebanyakan orang di dunia, termasuk di Indonesia sebagai akibat banyaknya penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih-guna lahan yang menyebabkan banyaknya produksi gas: karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O).
Gas-gas tersebut dinamakan gas rumah
kaca (GRK) yang meneruskan radisasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfir bumi makin a
meningkat (Murdiyarso, 2003 ). Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebelum pra industri relatif konstan, yaitu berkisar 280 ppmv, tetapi pada sekitar tahun 2000 konsentrasinya sebesar 360 ppmv (Gambar 1). Kenaikannya hampir 28,6% bila dibandingkan dengan era pra industri (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT Persero Sucofindo, 2002). Lebih lanjut dinyatakan bahwa sekitar tahun 1900 konsentrasi gas nitrous oksida (N2O) relatif konstan sekitar 290 ppmv, akan tetapi pada tahun 2000 dengan bertambah pesatnya industri, konsentrasi gas N2O meningkat menjadi 310 ppmv atau meningkat 6,9% bila dibandingkan dengan tahun 1900 (Gambar 1) Lebih lanjut a
Murdiyarso (2003 ) menyatakan bahwa bila pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, maka diperkirakan 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra industri yang akibatnya suhu rata-rata bumi akan meningkat o
o
sebanyak 4,5 C dari kondisi sekarang. Dengan suhu sekarang misalkan 35 C, maka o
o
peningkatan 4,5 C menjadi 39,5 C akan berdampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa, seperti: menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, serta menyebarnya hama dan penyakit tanaman. Untuk itu dilakukan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) yang dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil bulan Juni tahun 1992. Pada konferensi tersebut para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United
Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan Protokol Kyoto tahun 1997. Protokol Kyoto tahun 1997 merupakan dasar bagi negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang tahun 2008 -2012, tetapi Amerika Serikat Serikat yang merupakan negara penyumbang gas emisi rumak kaca terbesar dunia(36,1%) b
(Murdiyarso, 2003 ).
yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto tersebut Indonesia mera- tifikasi Clean Development Mechanism =
CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih = MPB sebagai implementasi dari Protokol Kyoto tersebut.
Gambar 1. Konsentrasi Gas Karbon Dioksida (CO2), Metan (CH4) dan Nitrous Oksida (N2O) dari Industri sampai Tahun 2000
Sumber : Kantor Meteri Negara Lingkungan Hidup dan PT. Persero Sucofindo (2002)
Gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) sebagai sumber gas-gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global tersebut sangatlah sulit dikurangi mengingat negara Amerika Serikat yang menyumbangkan 36,1% keberadaan gas-gas tersebut di atmosfir menolak meratifikasi Protokol Kyoto dan disisi lain sebagian gas-gas tersebut diantaranya gas karbon dioksida (CO2) dan nitrous oksida (N2O) merupakan sebagian gas-gas pembentuk hujan asam bersamasama dengan gas-gas SOx dan gas hidrogen sulfida (H2S). Hujan asam terbentuk
karena adanya asam nitrit, asam nitrat, asam sulfit, asam sulfat, dan asam karbonat. Asam-asam tersebut terbentuk dari gas-gas N2O, SOx, CO2, dan H2S yang berikatan dengan air. Proses pembentukan hujan sebenarnya sama dengan proses penyulingan air yang berawal dari pemanasan air, sehingga air menguap membentuk uap air dan dengan kondensasi karena adanya pendinginan, maka uap air jatuh membentuk air suling, yaitu air murni yang mempunyai pH mendekati netral (pH = 7). Hal ini sama dengan proses hujan, sehingga harusnya pH air hujan mendekati pH netral juga, akan tetapi karena di atmosfir terdapat gas sulfur oksida seperti misalnya sulfur trioksida (SO3) yang bila bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfat seperti reaksi berikut: SO3 + H2O
H2SO4
Asam sulfat yang terbentuk bersama-sama dengan air dalam bentuk hujan mempengaruhi pH air hujan, karena asam sulfat akan terurai seperti reaksi berikut: H2SO4
H+ + HSO4-
Terbentuknya H+ akan menyebabkan pH hujan lebih rendah dari 7,0 (penyebab suasana asam), maka dalam kondisi normal hujan yang jatuh ke permukaan bumi mempunyai kurang dari pH 7,0. Hujan asam terjadi bila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 (Saeni, 1995), dan hal ini bisa terjadi bila terdapat gasgas lain yang menyebabkan pembentukan asam-asam dan bila konsentrasi gas-gas pembentuk asam lebih tinggi dari normal.
Gas-gas lain yang menyebabkan
terbentuk asam adalah gas NOx (berupa gas nitrogen monoksida = NO dan nitrogen dioksida = NO2), gas SOx (berupa sulfur dioksida = SO2 dan sulfur trioksida = SO3) dan gas hidrogen sulfida (H2S).
Gas-gas NO, NO2, SO2, SO3, dan gas H2S
dihasilkan dari: 1) Tingkah laku manusia (antropogenik) yang membakar bahan bakar fosil (seperti batu-bara, minyak dan gas bumi) sebagai akibat dari meningkatnya perkembangan industri dan transportasi, juga akibat dari pembakaran hutan yang menyebabkan tanaman mati dan tidak dapat lagi memanfaatkan gas CO2 2) Letusan gunung berapi.
Nitrogen monoksida berikatan dengan uap air membentuk asam nitrit (HNO2) dan gas nitrogen dioksida bereaksi dengan uap air membentuk asam nitrat (HNO3). Begitu pula gas sulfur dioksida bila bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfit (H2SO3) dan gas sulfur trioksida bila berikatan dengan uap air membentuk asam sulfat (H2SO4). Baik asam nitrit, asam nitrat, asam sulfit, asam sulfat dan hidrogen sulfida akan menurunkan pH air hujan. Hujan asam terjadi baik secara kering (dry deposition), maupun secara basah (wet deposition). Dry deposition merupakan hujan asam yang terjadi bila gas-gas pembentuk hujan asam tertiup angin, badai dan jatuh ke bumi kemudian bereaksi dengan air hujan.
Wet deposition terjadi bila gas-gas pembentuk hujan asam
bereaksi dengan uap air membentuk hujan asam, hanya terjadinya di atmosfir. Penurunan pH air hujan akan memungkinkan terjadinya kondisi asam dalam tanah dan terjadinya pencemaran logam berat. Menurut Darmono (1995) tanah yang bersifat asam akan menaikkan daya larut logam, termasuk logam berat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa asam-asam mudah mengikat logam-logam berat seperti: timah hitam = plumbum (Pb), kadmium (Cd) dan merkuri (Hg). Logam-logam berat yang larut seperti misalnya As, Pb, Cd dan Hg (Saeni, 1989) memungkinkan diserap oleh tanaman. Hal ini diperkuat dengan penelitian Harahap (2004) yang menyatakan bahwa kandungan timbal pada akar dan daun tanaman teh lebih tinggi di Perkebunan Teh Sidamanik, Pematangsiantar, Sumatera Utara dari pada kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal pada akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Sidamanik disebabkan karena pH tanah di Perkebunan Teh Sidamanik lebih rendah daripada di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh pada pH tanah yang lebih rendah menunjukkan bahwa penurunan pH tanah akan meningkatkan kandungan timbal tanah yang larut atau timbal yang mudah diserap tanaman dan timbal tanah yang larut dengan konsentrasi tinggi akan meningkatkan kandungan timbal pada tanaman. Madyiwa et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan Pb dalam pot tanaman rumput star grass akan menyebabkan penambahan kandungan Pb di tanaman dan menurunkan produksi rumput star grass pada waktu panen.
Kejadian tersebut tak terkecuali akan terjadi pada hijauan makanan ternak. Dengan tingginya kandungan Pb tanah yang larut akibat tanah yang masam akan meningkatkan kandungan timbal pada hijauan makanan ternak dan akan menyebabkan terganggunya proses metabolisme ternak dan memungkinkan meningkatnya kandungan timbal dalam urat daging ternak dan penurunan produksi daging ternak. Disisi lain permintaan akan daging di Indonesia semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (2000) Jumlah populasi penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,5% per tahun. Dengan meningkatnya penduduk Indonesia, permintaan daging di Indonesia semakin meningkat yang ditunjukkan dengan banyaknya import daging sebesar 70.626 ton pada tahun 2006 dari penyediaan daging sebanyak 1.457.560 ton (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007).
Import
daging yang paling banyak berupa daging sapi sebesar 25.949 ton atau lebih dari sepertiga import daging Indonesia, disisi lain, produksi dan konsumsi daging sapi merupakan urutan kedua di Indonesia setelah daging ayam (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Hal ini terjadi karena jumlah perusahaan peternakan ayam di Indonesia relatif lebih banyak dibanding dengan jumlah perusahaan peternakan sapi. Disamping itu harga daging ayam relatif lebih murah dibanding harga daging sapi, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah kebawah. Untuk mengurangi kekurangan daging sapi (daging ternak ruminansia) tersebut sekaligus membantu mengurangi kekurangan konsumsi protein hewani, maka alternatif lain dari ternak ruminansia adalah daging domba yang perlu diupayakan melalui skala usaha indutri, karena masih sedikitnya jumlah pengusaha industri peternakan domba di Indonesia. Disamping itu domba bersifat prolific (beranak banyak), karena dalam 1 tahun bisa beranak dua kali, dan sekali melahirkan (litter size) bisa lebih dari satu ekor. Hal ini ditunjukkan dari hasil data penelitian Romjali et al. (1996) bahwa litter size domba lokal sumatera sebesar 1,54 + 0,65. Berbeda dengan sapi yang hanya beranak satu ekor per sekali kelahiran (litter size = 1) dan hanya bisa beranak dua kali dalam 3 tahun. Produksi peternakan secara umum, tak terkecuali termasuk peternakan domba, sangat tergantung pada faktor dalam dan faktor luar ternak itu sendiri. Faktor dalam yang dimaksudkan adalah faktor genetika ternak atau faktor pengembangannya dalam bentuk pemuliaan ternak (breeding), sedang faktor luar
yang dimaksudkan adalah faktor yang mempengaruhi ternak dari luar ternak yang disebut dengan lingkungan (environment), baik berupa cara pemberian pakan (feeding), manajemen atau pemeliharaan ternak maupun lingkungan alamnya. Upaya peningkatan produksi ternak melalui breeding membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang relatif mahal, sebaliknya upaya peningkatan produksi ternak melalui feeding, maupun manajemen pemeliharaan ternak tidak terlalu mahal dan relatif murah. Masalah lingkungan alam (environment) merupakan masalah yang sulit diantisipasi terutama adanya fenomena alam.
Seperti yang telah
diutarakan sebelumnya bahwa pemanasan global sudah terjadi karena tingginya konsentrasi gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O) dan sebagian gas tersebut bersama-sama dengan gas-gas SOx dan gas hidrogen sulfida (H2S) akan membentuk hujan asam yang memungkinkan pH tanah menjadi asam. Keasaman tanah yang tinggi akan memungkinkan meningkatnya kandungan Pb di tanaman yang menyebabkan terganggunya proses metabolisme ternak dan penurunan produksi daging ternak. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 terjadi banyak sekali ikan yang mati karena adanya pencemaran logam berat di Teluk Jakarta khususnya pencemaran merkuri (Hg). Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada hewan lain seperti ternak domba, karena adanya masalah seperti hujan asam (acid deposition), peningkatan jumlah industri dan jumlah kendaraan bermotor serta pembakaran hutan. Hal lain yang menurunkan pH air hujan disamping dihasilkannya gas-gas pembentuk asam adalah peningkatan yang tidak normal (peningkatan secara drastis) gas-gas pembentuk asam. Disamping hujan asam pencemaran logam berat juga disebabkan oleh berkembangnya industri dan kendaraan bermotor. Laporan dari Kantor Statistik Kabupaten Bogor (1989) bahwa pada tahun 1988 jumlah mobil angkutan penumpang umum di Kabupaten Bogor yang dimiliki oleh swasta sebanyak 91 buah, dan perusahaan industri sebanyak 425 buah, sedang laporan dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2007) pada tahun 2006 jumlah mobil angkutan penumpang berjumlah 1.762 buah dan jumlah industri menjadi 31.349 buah. Peningkatan jumlah mobil angkutan penumpang sebanyak lebih kurang 18 kali lipatnya dan peningkatan jumlah industri sebanyak lebih kurang 73 kali lipatnya memungkinkan di Kabupaten Bogor terjadi hujan asam dan menyebabkan
pencemaran logam berat sepertii As, Pb, Cd dan Hg. Untuk itu penelitian tentang pencemaran logam berat khususnya timbal (Pb) terhadap produksi ternak domba perlu diteliti. 1.2. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui terjadinya hujan asam di Kabupaten Bogor dan untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) di tanah-tanah Kabupaten Bogor dan dalam hijauan makanan ternak yang biasa dipergunakan oleh peternak di Kabupaten Bogor. b. Untuk mengkaji korelasi kandungan timbal (Pb) antara Pb dalam air hujan dan tanah; tanah dan hijauan makanan ternak. c. Untuk mengkaji dampak timbal (Pb) dalam ransum ternak domba lokal jantan terhadap produksinya dan mengkaji akumulasi timbal (Pb) di feses, darah, hati, ginjal dan daging domba lokal jantan. 1.3. Kerangka Pemikiran Perubahan iklim dunia juga menentukan terhadap perubahan cuaca setempat. Perubahan iklim dan cuaca sangat tergantung pada kondisi setempat seperti: peningkatan transportasi, perkembangan industri, kemajuan pertanian, pembakaran hutan atau penebangan pepohonan. Peningkatan transportasi, perkembangan industri, kemajuan pertanian, pembakaran hutan atau penebangan pepohonan yang banyak akan meningkatkan akumulasi gas-gas di udara seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4), nitrous oksida (N2O), sulfur oksida (SOx) dan hidrogen sulfida (H2S). Peningkatan gas-gas seperti (CO2), metan (CH4), nitrous oksida (N2O) akan menyebabkan efek rumah kaca dan mengakibatkan pemanasan global. Gas karbon dioksida (CO2), nitrous oksida (N2O), sulfur oksida (SOx) dan hidrogen sulfida (H2S) bila berikatan dengan uap air akan membentuk asam dan menyebabkan hujan asam. Hujan asam yang ditandai dengan rendahnya pH akan mudah melarutkan logam-logam berat, termasuk logam-logam berat di tanah. Baik logam berat asal air hujan maupun logam berat asal tanah yang sama-sama mudah larut memungkinkan diserap tanaman tidak terkecuali tanaman makanan ternak yang pada akhirnya bila dikonsumsi oleh ternak akan meengganggu metabolisme dan menurunkan produksi ternak.
Produksi ternak dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar ternak. Faktor dalam ternak berupa genetika ternak atau dalam pengembangan genetika ternaknya diistilahkan dengan pemuliaan ternak (breeding), melalui perbaikan genetika bangsa-bangsa ternak dengan cara inseminasi buatan (IB), transfer embrio, kloning atau mutasi gen. Faktor luar ternak diistilahkan dengan lingkungan (environment) bisa berupa feeding atau pemberian pakan pada ternak, manajemen atau cara pemeliharan ternak dan lingkungan alam ternak atau lingkungan tempat ternak dipelihara.
Lingkungan alam yang banyak mempengaruhi produksi ternak
diantaranya: banyaknya industri dan transportasi di sekitar tempat ternak dipelihara, pengaruh iklim setempat baik suhu dan kelembaban, disamping kondisi hujan asam yang diperkirakan banyak berpengaruh pada produksi ternak. Produksi ternak khususnya produksi daging domba ditunjukkan oleh pertambahan bobot badan domba, atau semakin tinggi pertambahan bobot badan domba akan semakin tinggi pula produksi daging domba. Pertambahan bobot badan domba dipengaruhi oleh proses metabolisme di dalam saluran pencernaan dan dalam tubuh. Proses tersebut dipengaruhi oleh konsumsinya. Selanjutnya konsumsi ternak dipengaruhi oleh cara pemberian pakannya, baik pemberian bahan makanan tambahan (feed additif), pemberian zat perangsang tumbuh (growth promotor) yang berupa hormon, enzim dan antibiotik serta manipulasi pakan. Konsumsi ternak dipengaruhi oleh iklim atau cuaca, pencemaran pakan termasuk pula adanya hujan asam.
Untuk lebih jelasnya alur kerangka pemikiran faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi ternak disajikan dalam Gambar 2. 1.4. Perumusan Masalah Fenomena-fenomena alam sudah mulai banyak terjadi, diantaranya: a. Pada tahun 1980-an, Bogor merupakan kota sejuk yang hampir tiap hari hujan dan masih terlihat sebagian minyak sayur yang ada dalam botol membeku. Pada kenyataannya saat sekarang ini di Bogor sudah relatif panas dan kejadian hujanpun tidak tiap hari. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa pemanasan global sudah terjadi akibat efek rumah kaca yang ditandai dengan. Peningkatan produksi gas-gas: karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O), seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Gas rumah kaca tersebut meneruskan radisasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga terjadi Global Warming atau
pemanasan global seperti yang dinyatakan oleh
a
Murdiyarso (2003 ). b. Awal bulan Mei 2004 di Teluk Jakarta ditemukan banyak ikan yang mati akibat fenomena alam yang salah satunya disebabkan karena pencemaran logam berat, yaitu logam merkuri (Hg). Hal ini dimungkinkan mengingat hasil penelitian Rahman (2006) yang menyatakan bahwa udang dan rajungan/kepiting yang ada di perairan Pantai Batakan dan Pantai Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan mempunyai kandungan logam berat berupa timbal (Pb) yang tinggi, yaitu berkisar 66,995 – 96,250 ppm untuk udang dan berkisar 75,630 – 90,515 ppm untuk rajungan/kepiting. Nilai tersebut jauh lebih tinggi dari batas ambang yang ditentukan oleh FAO yaitu harus kurang dari 2 ppm. Tingginya kandungan Pb di udang dan rajungan/kepiting disebabkan karena tingginya pencemaran Pb baik di udara maupun di laut yang terkontaminasi air hujan yang asam yang mudah mengikat logam berat termasuk Pb. c. Hasil penelitian Harahap (2004) yang menyatakan bahwa keasaman akan mengikat lebih banyak timbal.
Hal itu ditunjukkan dengan tingginya
kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Sidamanik, Pematangsiantar, Sumatera Utara daripada kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh yang ada di Perkebunan Teh Sidamanik karena pH tanah di Perkebunan Teh Sidamanik mempunyai pH lebih rendah daripada pH tanah di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung.
Dari hasil penelitian
tersebut bisa saja terjadi pada logam berat lain termasuk air raksa yang ada di Teluk Jakarta. Mengingat sifat dari air raksa yang sangat berbahaya dan langsung dapat menyebabkan kematian pada makhluk hidup termasuk ikan, maka di Teluk Jakarta ditemukan banyak ikan yang mati pada tahun 2004.
Teluk Jakarta banyak menampung limbah dari beberapa industri, termasuk limbah perairan yang tercemar limbah industri, sehingga kejadian keracunan air raksa di Teluk Jakarta bisa terjadi. d. Pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) yang dikenal dengan nama United Nations Conference on
Environment and
Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil bulan Juni tahun 1992, para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC), kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan Protokol Kyoto tahun 1997 yang merupakan dasar bagi negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang tahun 2008 -2012. Seharusnya pada tahun 2008 pemanasan global tidak terjadi, akan tetapi pemanasan global sudah terjadi yang salah satu penyebabnya adalah Amerika Serikat penyumbang sebanyak 36,1% gas emisi rumak kaca terbesar dunia menolak b
meratifikasi Protokol Kyoto tersebut (Murdiyarso. 2003 ) dan dari data laporan pada tahun 2000 konsentrasi gas CO2 meningkat menjadi 360 ppmv atau meningkat 28,6 % dari tahun 1900 dan konsentrasi gas nitrogen oksida meningkat mencapai 6,9% dari pra industri, seperti terlihat pada Gambar 1 (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT Persero Sucofindo, 2002). Dari keempat contoh kasus tersebut adalah suatu hal yang mungkin apabila kasus dampak perubahan iklim khususnya hujan asam (acid deposition) dan pencemaran logam berat akan dan sudah terjadi terutama di Kabupaten Bogor, karena wilayah industri lebih banyak terdapat di Kabupaten Bogor daripada di Kota Bogor. Dari hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan di Kecamatan Ciawi pada tanggal 11 agustus 2005, tepatnya pada lebih kurang pukul 1600 waktu Indonesia bagian barat, air hujan yang ditampung mempunyai pH sebesar 4,4 dan sebagai perbandingan pada tanggal yang sama, tepatnya pada lebih kurang pukul 1700 waktu Indonesia bagian barat, di Kota Depok dilakukan penampungan air hujan dan mempunyai pH sebesar 4,5. Dengan demikian dari data tersebut memungkinkan Kabupaten Bogor dan Kota Depok sudah terjadi hujan asam. Menurut Darmono (1995) kondisi asam
mudah mengikat logam-logam berat seperti: timah hitam = plumbum (Pb), kadmium (Cd) dan merkuri (Hg). Mengingat Kabupaten Bogor memungkinkan terjadi hujan asam dan menurut Darmono (1995) kondisi asam akan mengikat logam-logam berat, seperti halnya yang dinyatakan oleh Saeni (1995), maka Kabupaten Bogor memungkinkan terjadinya pencemaran logam berat. Pencemaran logam berat di tanah dan air tanah akan berakumulasi di hijauan makanan ternak. Timbal yang terakumulasi dalam hijauan makanan ternak memungkinkan akan terakumulasi di tubuh ternak yang pada akhirnya juga akan terakumulasi di tubuh manusia, sehingga permasalahannya: a. Apakah hujan asam sudah terjadi di Kabupaten Bogor baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau?. b. Apakah Air hujan baik pada musim hujan maupun kemarau mengikat timbal (Pb)?. c. Apakah keasaman air hujan mempengaruhi keasaman tanah dan memungkinkan terjadi pencemaran timbal (Pb) di tanah. d. Apakah kandungan timbal (Pb) di tanah mempengaruhi kandungan timbal (Pb) di hijauan makanan ternak di Kabupaten Bogor. e. Apakah pencemaran timbal (Pb) di hijauan makanan ternak, akan mempengaruhi kandungan timbal (Pb) di feses, darah, hati, ginjal dan daging ternak domba. f. Apakah pencemaran timbal (Pb) mempengaruhi produksi ternak domba, khususnya terhadap pertambahan bobot badan ternak domba?. 1.5. Hipotesis a. Hujan asam sudah terjadi di Kabupaten Bogor baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. b. Air hujan yang asam akan meningkatkan kandungan timbal (Pb) air hujan. c. Keasaman
air
hujan
akan
menyebabkan
keasaman
tanah
dan
menyebabkan pencemaran timbal (Pb) dalam tanah. d. Tanah yang mengandung timbal (Pb) lebih banyak akan terakumulasi dalam hijauan makanan ternak.
e. Ransum
ternak
yang
tinggi
kandungan
timbalnya
tidak
akan
meningkatkan kandungan timbal (Pb) dalam feses, tetapi akan terakumulasi pada darah, hati, ginjal dan daging ternak domba lokal jantan. f. Kandungan timbal (Pb) dalam ransum ternak yang tinggi akan menurunkan produksi ternak khususnya mengurangi pertambahan bobot badan ternak domba lokal jantan. 1.6. Manfaat Penelitian a. Sebagai informasi awal pengaruh pencemaran logam berat terhadap metabolisme dan pertambahan bobot badan domba, sehingga penelitian lanjutan dapat dilaksanakan tentang upaya meminimalkan dampak pencemaran logam berat terhadap pertambahan bobot badan dan mengurangi akumulasi logam berat dalam tubuh ternak. b. Untuk mengantisipasi terjadinya pencemaran logam berat dalam rangka upaya peningkatan produksi ternak khususnya, dan umumnya untuk pengembangan peternakan. c. Sebagai informasi tentang pencemaran logam berat sehubungan dengan kesehatan penduduk di Bogor khususnya dan umumnya untuk kehidupan manusia. d. Sebagai masukan bagi instansi-instansi terkait termasuk dalam hal ini bagi Dinas Pertanian, sub Dinas Peternakan dan Perikanan Laut di Bogor dan secara umum Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan. 1.7. Novelty (Kebaruan) Penelitian tentang hujan asam termasuk juga penelitian tentang pencemaran timbal (Pb) terhadap tanaman sudah dilakukan, akan tetapi penelitian pencemaran timbal sebagai akibat dari adanya hujan asam dan kaitannya dengan pencemaran timbal dalam ransum ternak, dan akumulasinya dalam tubuh ternak serta bagaimana pencemaran timbal mempengaruhi proses metabolisme dan pertambahan bobot badan ternak domba belum dilakukan. Untuk itu penelitian tentang pencemaran timbal dalam ransum ternak terhadap produksi ternak domba perlu untuk diteliti.