I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sasaran
pembangunan
pertanian
diarahkan
kepada
peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pemberdayaan masyarakat tani. Dalam pencapaian sasaran pembangunan tersebut, maka kebijakan dan strategi pembangunan pertanian dilakukan melalui pengembangan dan sistem usaha-usaha agribisnis secara utuh dan terpadu. Dalam upaya reorientasi peran strategis sektor pertanian kini dan mendatang perlu perubahan mendasar dalam memandang sektor pertanian yaitu melalui pendekatan sistem agribisnis. Menurut Buwono X (2001), agribisnis yang dimaksud bukan hanya pertanian, tetapi mencakup industri-industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian serta industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) termasuk perdagangannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa melalui pengembangan agribisnis, segala upaya yang dimasa lalu tertuju hanya pada ekonomi on-farm (produksi dan pengumpulan) kini harus mengembangkan onfarm dan off-farm (penyimpanan, distribusi, pengolahan dan pemasaran) secara seimbang, simultan serta terkoordinasi dalam satu sistem yang terintegrasi. Agroindustri
adalah
suatu
subsistem
yang
bersama-sama
dengan
subsistem yang lain membentuk sistem agribisnis menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) yang besar yaitu nilai tambah. Selain itu adanya kegiatan agroindustri dapat meningkatkan pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan membantu mengatasi melimpahnya bahan baku terutama pada musim panen. Untuk itu kegiatan agroindustri skala rumah tangga dan skala kecil yang bisa bertahan dengan memanfaatkan kelebihan tenaga kerja yang ada (Budiningsih, 2004). Menurut Santoso (2013), peran strategis agroindustri yang bertumpu pada peningkatan nilai tambah potensi sumber daya alam domestik di yakini mampu menopang peningkatan daya saing bangsa. Berkembangnya sektor agroindustri yang berkelanjutan merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi nasional. Ada lima alasan yang mendasari agroindustri menjadi lokomotif pengembangan ekonomi nasional di masa depan,yaitu: 1. Industri pengolahan mampu mentraformasikan keunggulan komparatif menjadi keunggulan bersaing (kompetitif), yang pada akhirnya akan memperkuat daya saing produk agribisnis Indonesia;
1
2. Produknya memiliki nilai tambah dan pangsa pasar yang besar sehingga kemajuan yang dicapai dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan; 3. Memiliki keterkaitan besar baik ke hulu maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sektor-sektor lainnya; 4. Memiliki basis bahan baku lokal (keunggulan komparatif) yang dapat diperbaharui sehingga terjamin sustainabilitasnya; 5. Memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industri dengan agroindustri sebagai motor penggeraknya. Selanjutnya Setyono et al. dalam Budiningsih (2004) mengatakan pengembangan agroindustri di pedesaan ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian, memperluas lapangan kerja, meningkatkan volume ekspor dan mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan. Salah satu tanaman perkebunan yang perlu mendapat perhatian dalam kegiatan agroindustri ini berupa tanaman aren. Agroindustri gula aren di Indonesia telah mencapai pasaran nasional maupun internasional.
Daerah-daerah
yang
pengrajin
gula
arennya
telah
berhasil
mengekspor gula aren antara lain Banten, Purwokerto, Kediri, dan Massarang. Pada umumnya, produksi gula aren belum cukup dapat memenuhi kebutuhan ekspor maupun kebutuhan dalam negeri, terutama gula semut yang permintaan ekspornya tinggi, selain itu masih terdapatnya model industri yang cenderung bersifat sederhana yaitu pengolahan gula cetak. Permintaan ekspor gula aren tinggi karena bahan baku dan input tambahannya yang dianggap dari bahan-bahan organik. Namun, untuk mengekspor gula aren pengrajin perlu melakukan sertifikasi organik. Gula merupakan salah satu komoditas agroindustri Indonesia yang menghadapi permasalahan struktural sejak zaman pemerintahan Belanda, zaman tradisi demokrasi dan sampai sekarang era reformasi. Dominasi birokrasi telah banyak mewarnai kebijakan produksi dan perdagangan gula nasional, bukan prinsip-prinsip mekanisme pasar yang menujung tinggi asas keadilan bagi segenp pelakunya. Akibatnya, hasil akhir dari kebijakan-kebijakan tersebut, menjadi kurang efektif (tidak mantap), membingungkan, menyimpang dari prinsip keadilan dan efisiensi, dan terlalu mudah diombang-ambingkan oleh protes-protes sesaat. Dampak paling menonjol dari struktur industri gula yang diproteksi adalah inefisiensi dalam proses produksi dan rendahnya produksi gula nasional. Laju konsumsi gula
2
dalam negeri tidak mampu diimbangi oleh laju produksi gula dalam negeri sehingga Indonesia menjadi tergantung pada impor gula dunia. Ketergantungan terhadap gula impor merupakan ironi bagi suatu negara besar dengan sumber daya alam melimpah dan potensial. Peningkatan volume impor gula juga merupakan konsekuensi logis dari permasalahan struktural serius yang sangat mempengaruhi kemampuan dan kinerja industri gula dalam negeri (Kuswaedi, 2011). Kebutuhan dan ketergantungan konsumsi gula nasional khususnya terhadap gula pasir (tebu) semakin meningkat dari tahun ke tahun. Selama ini kebutuhan gula pasir tidak bisa dipenuhi oleh kapasitas produksi pabrik gula nasional yang semakin menurun. Tahun 2009 diperkirakan kebutuhan konsumsi gula (tebu) nasional mencapai angka 4,85 juta ton, terdiri atas 2,7 juta ton untuk konsumsi rumah tangga dan 2,15 juta ton untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. Besarnya konsumsi gula nasional, untuk industri pengolahan makanan dan domestik rumah tangga, tidak bisa dipenuhi oleh produksi pabrik dalam negeri. Pabrik gula di Indonesia kini jumlahnya tinggal 60-an. Mayoritas berada di pulau jawa dan hanya mampu memproduksi gula (tebu) secara massif 2,8 juta ton permusim giling (Mustaufik, 2010). Berdasarkan hal tersebut, maka sudah saatnya dilakukan program revitalisasi dan diversifikasi industri gula nasional. Revitalisasi gula nasional dapat dilakukan melalui empat (4) cara strategis, yaitu : (1) meredesain program pembangunan infrastruktur industri gula (tebu) nasional dengan konsep “kemitraan” bukan “paksaan” dengan komunitas petani tebu, (2) melakukan peremajaan pabrik gula (baik mesin maupun manajemen) yang dikelola pemerintah dan swasta melalui BUMN secara profesional, (3) melakukan efisiensi dalam pengelolaan produksi tebu melalui penyediaan bibit unggul, sistem tebang angkut dan giling sehingga diperoleh rendemen tebu yang tinggi (15%), (4) penyediaan ketercukupan lahan pertanian untuk dikonversi menjadi perkebunan tebu dengan melibatkan peran serta petani sebagai “mitra korporat” pabrik-pabrik gula yang ada diberbagai daerah (Siagian, 2004). Sedangkan untuk program diversifikasi industri gula nasional dapat dilakukan dengan cara mencari alternatif sumber sumber gula alami non tebu, salah satunya adalah gula dari palmae (palm suiker). Program diversifikasi industri gula nasional yang berbasis palmae seperti gula aren dan gula kelapa sangat strategis peranannya sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pemerintah dan masyarakat terhadap gula pasir (tebu)
3
dan gula sintetis yang sebagian besar masih impor. Konsumsi gula merah di Indonesia pada tahun 2013 perlahan-lahan mulai meningkat. Hal ini dapat menunjukkan bahwa masyarakat mulai kembali menyadari akan kebaikan atau manfaat dari mengonsumsi gula merah, dan juga daya beli masyarakat yang kembali membaik karena sebagian besar bahan makanan yang lain juga menunjukkan penurunan selama tahun 2009 sampai dengan 2012 kemudian meningkat kembali pada tahun 2013. Tabel 1.1 Konsumsi Rata-rata per Kapita Seminggu Beberapa Bahan Makanan di Indonesia, 2009 -2013. No. 1 2 3 4 5
Bahan Makanan Bawang Merah Cabe Merah Minyak Goreng Gula Merah Teh
Satuan 2009 0,484 0,292 0,157 0,152 0,123
ons ons liter ons ons
2010 0,485 0,293 0,154 0,142 0,132
Tahun 2011 0,453 0,287 0,158 0,139 0,126
2012 0,530 0,317 0,179 0,102 0,099
2013 0,396 0,273 0,171 0,105 0,118
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional
Gula merah adalah gula yang terbuat dari bahan baku utama nira aren atau kelapa adalah merupakan salah bahan yang memberikan rasa manis dan gurih pada makanan atau minuman, yang tidak dimiliki oleh gula yang terbuat dari bahan baku tebu, sehingga gula merah sebagai produk agroindustri, memiliki ciri khusus baik rasa, aroma dan bentuknya, yang sangat berbeda dengan gula putih, hal ini membuat gula merah mempunyai peran penting yang tidak dapat digantikan oleh bahan lain dalam pemakaiannya, sekalipun oleh gula tebu/gula pasir atau dengan pemanis buatan. Dari jenis industri kecil gula merah ini adalah salah satu bentuk peningkatan pendapatan penduduk dan bisa meningkatkan pendapatan asli daerah bertumpu pada ekonomi kerakyatan. Usaha pengolahan gula aren merupakan upaya diversifikasi gula serta meningkatkan
pemanfaatan
nira
aren
secara
ekonomis
dan
merangsang
masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi aktif dalam pengolahannya dalam skala industri kecil maupun usaha keluarga yang sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan dan untuk memperoleh atau menambah pendapatan keluarga meskipun dalam proses pengolahan masih menggunakan peralatan yang sederhana atau dikerjakan secara tradisional, dengan sumber daya manusia yang terbatas. Selama ini Sulawesi Tenggara gula merah telah diproduksi pada beberapa kabupaten yaitu, Bombana, Kolaka, Konawe Selatan dan Muna. Oleh karena itu,
4
gula merah di Sultra memiliki berbagai ragam jenis. Hal ini dapat mendukung program diversifikasi gula, karena di Sultra tidak ada hasil perkebunan tebu apalagi pabrik gula tebu, jadi pengembangan gula merah adalah satu-satunya cara untuk mengurangi ketergantungan impor terhadap gula tebu. Permintaan akan gula merah di Sultra sebenarnya cukup tinggi, karena sebagian besar panganan daerah Sultra menggunakan gula merah sebagai bahan campurannya. Gula yang paling diminati di Kota Kendari (Ibu Kota Sultra) adalah gula Kolaka (Rianse dkk., 2013). Gula Kolaka ini merupakan gula yang dibuat dari nira aren. Hal tersebut didukung dengan produksi gula aren di Sultra yang mulai meningkat pada tahun 2008 sebanyak 3.403 ton, tetapi sedikit menurun tahun 2010 dan kemudian cenderung meningkat kembali pada tahun 2011. Kecenderungan keadaan produksi gula aren Sultra yang cukup meningkat menunjukkan bahwa produk tersebut memerlukan kondisi pasar yang mendukung perkembangan produksi gula merah tersebut. Produksi agroindustri harus ditunjang dengan kegiatan pemasaran, dimana produksi dan pemasaran mempunyai kaitan erat. Dalam hubungan ini pengrajin sebagai produsen dan lembaga pemasaran dengan segala fungsi pemasaran yang dilakukan mempunyai kontribusi menentukan dan saling mempengaruhi. Tabel 1.2 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Produksi Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman (ton), Sulawesi Tenggara 2007 – 2011
Jenis Tanaman Kelapa Dalam Kopi Kapuk Lada Cengkeh Jambu Mete Kemiri Coklat Enau/Aren
2007 41.461 4.348 647 4.166 2.205 34.969 1.577 134.757 1.951
2008 37.752 4.127 422 3.663 2.174 37.981 1.723 115.898 3.403
Tahun 2009 38.284 3.952 310 5.103 4.789 30.934 1.353 131.830 3.376
2010 38.224 3.940 230 4.991 6.046 15.952 1.173 145.818 3.332
2011 37.662 2.960 154 3.634 6.838 14.310 1.374 161.064 3.370
Sumber: Badan Pusat Statistik
Selain kondisi pasar yang mendukung, peningkatan produksi juga perlu didukung dengan adanya ketersediaan bahan baku nira yang selalu mendukung keberlanjutan usaha gula, hal ini dapat dilihat dari keadaan populasi aren yang terdapat di daerah Sultra. Populasi aren di Sultra jika dilihat dari luas areal tanamnya menunjukkan penurunan sekitar 2 ha pada tahun 2011. Kemudian luas areal tanam yang produktif juga berkurang 34 ha. Namun, ada harapan yang baik
5
karena luas areal tanam yang belum produktif bertambah sekitar 29 ha. Hal ini menunjukkan bahwa populasi aren yang produktif dapat bertambah pada tahuntahun kedepannya. Tabel 1.3
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis Tanaman
Kelapa Dalam Kopi Kapuk Lada Cengkeh Jambu Mete Kemiri Coklat Enau/Aren
Luas Areal Tanaman Perkebunan Menurut Jenis Tanaman di Sulawesi Tenggara (ha), 2010-2011. Produktif
43.009 7.699 1.039 8.655 12.585 90.373 2.268 175.820 2.542
2010 Belum Tidak Produktif Produktif 4.632 1.455 86 2.494 3.721 11.089 787 35.033 1.040
2.683 875 102 1.047 351 17.747 239 27.063 220
Jumlah
50.324 10.029 1.227 12.196 16.657 119.209 3.924 237.916 3.802
Produktif
43.829 7.251 900 7.839 345 89.420 2.182 180.645 2.508
2011 Belum Tidak Produktif Produktif 5.836 1.379 78 2.430 757 10.877 839 41.001 1.069
3646 1169 148 1661 17 19.060 355 27588 232
Sumber: Badan Pusat Statistik
Daya saing juga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam keberlanjutan suatu usaha agroindustri gula aren. Tidak dapat dipungkiri bahwa usaha saat ini harus dapat mewujudkan peningkatan dayasaing nasional. Jika saat ini pada umumnya perusahaan berupaya meningkatkan daya saingnya hanya sekedar berorientasi pada peningkatan output/profitabilitas semata, maka ke depan hal tersebut tidak akan memadai lagi. Daya saing pada masa mendatang harus didasarkan pada aspek yang lebih komperehensif dan terintegrasi. Produk yang unggul secara biaya, misalnya, tidak otomatis dapat menembus pasar internasional jika dalam proses produksinya tidak memperhatikan keselamatan lingkungan dan hak azasi pekerjanya yang merupakan persyaratan yang dituntut oleh konsumen negara maju. Oleh karena itu selain aspek keunggulan biaya yang biasanya dicerminkan oleh komponen profit, perusahaan harus memperhatikan dua aspek lainnya yaitu aspek people (baik karyawan maupun masyarakat sekitar lokasi usahanya dengan Corporate Social Responsibility, misalnya) dan aspek planet atau lingkungan dengan memastikan bahwa proses produksinya telah memenuhi persyaratan lingkungan yang dapat diterima masyarakat dunia. Dengan tiga pilar yang saling mendukung maka para pelaku usaha mempunyai implikasi; (i) produksi harus dilakukan dengan menggunakan sumber alam yang efisien mungkin, (ii) pertumbuhan ekonomi harus
tersebar dan
mempunyai dampak terhadap lingkungan yang terkelola secara seimbang,
6
Jumlah
53.311 9.790 1.126 11.930 17.627 119.357 3.376 249.234 3.800
(iii) konflik kepentingan dalam penggunaan sumber alam harus dikelola secara baik dan adil agar menghasilkan produksi yang memberi kemanfaatan yang maksimal. Memadukan ketiga P ini (profit, people dan planet) tentu saja jauh lebih sulit dibandingkan hanya mempertimbangkan salah satu aspek saja. Namun demikian, tuntutan ini menjadi sesuatu yang krusial jika ingin daya saing yang dibangun tidak saja meningkat tetapi juga berkelanjutan. Aspek lingkungan saat ini telah menjadi isu yang penting dan strategis yang harus disikapi oleh industri dengan baik dan terus ditingkatkan kinerjanya. Agar mampu meningkatkan produktivitas sekaligus menurunkan dampak lingkungan perlu digunakan pendekatan green productivity. Jika produksi layak secara lingkungan, maka akan memungkinkan terjadinya efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam. Kemudian, jika suatu industri efisien dalam produksinya dimungkinkan lebih berdayasaing. Oleh karena itu, dalam upaya diversifikasi gula perlu dikaji keberlanjutan usaha dari industri rumah tangga gula aren. Secara umum, pembangunan berkelanjutan memiliki tiga dimensi: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara spesifik, Widodo (1999) menguraikan tiga persyaratan pertanian berkelanjutan dalam sistem usahatani: produktivitas tanaman dan hewan, kelayakan sosialekonomi,
dan
pemeliharaan
sumberdaya
alam
dalam
jangka
panjang.
Pembangunan berkelanjutan harus dapat mengupayakan pencapaian tujuan ekonomi/efisiensi dalam bentuk peningkatan pendapatan, tujuan sosial/distributif dalam bentuk kemampuan memperkecil jurang antara si kaya dan si miskin, dan tujuan lingkungan dalam bentuk peningkatan, atau paling tidak, mempertahankan daya dukung lingkungan. Keberlanjutan dimaknai sebagai upaya perbaikan kesejahteraan generasi sekarang sambil memelihara atau tanpa merusak lingkungan agar bisa tetap mendukung kesejahteraan generasi yang akan datang. 1.2 Rumusan Masalah Terdapat beberapa permasalahan yang harus dihadapi pengrajin gula aren dalam proses produksi gula. Salah satu masalah utama yang dihadapi pada pengolahan gula aren adalah tingginya konsumsi bahan bakar. Pengolahan nira menjadi gula aren diperlukan pasokan bahan bakar dari luar sistem tersebut. Karena kebutuhan energi untuk pengolahan nira cukup tinggi, hal tersebut menjadi sumber masalah utama yang harus dihadapi setiap pengolah gula aren. Dalibard
7
(1999) menengarai bahwa salah satu penyebab utama penurunan jumlah produksi gula palma pada umumnya di Asia adalah karena makin berkurangnya ketersediaan serta makin mahalnya harga kayu bakar untuk memenuhi tingginya kebutuhan kayu pada pengolahannya, sehingga mengusulkan untuk alternatif penggunaan nira palma untuk makanan ternak yang tidak memerlukan konsumsi kayu bakar untuk pembuatannya. Selanjutnya, budidaya aren relatif sedikit dilakukan oleh masyarakat, karena pada umumnya masyarakat masih menganggap pohon aren dapat tumbuh secara alami, tetapi saat ini eksploitasi pohon aren relatif lebih cepat dibandingkan perkembangbiakan alaminya. Penebangan pohon yang produktif tidak terelakkan lagi, yang bertujuan memenuhi kebutuhan industri tepung aren. Sementara pengambilan buah-buah aren yang masih muda dilakukan secara besar-besaran pada setiap bulan puasa, dengan hanya menyisakan sedikit buah. Praktis, biji-biji aren yang tertinggal untuk fungsi perkembangbiakan selanjutnya sangatlah sedikit. Sebagai tanaman tahunan yang memerlukan waktu 8 hingga 10 tahun untuk mencapai masa produktif, eksploitasi tersebut menyebabkan penurunan populasi aren diberbagai wilayah. Dampak dari penurunan populasi pohon aren dapat menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi gula aren. Selain masalah penurunan populasi aren, kendala lain bagi pengrajin gula aren pada saat ini adalah sulitnya mencari kayu sebagai bahan bakar pada proses pembuatan gula merah. Lahan yang dahulunya menjadi sumber kayu bakar bagi para pembuat gula aren kini telah terkonversi menjadi lahan-lahan komersil. Selain itu kebutuhan kayu bakar terus meningkat dan tidak dapat diimbangi dengan produksi pohon yang menjadi bahan bakar, akibatnya kayu yang tersisa semakin berkurang (Sopiannur dkk. 2011). Beberapa faktor produksi diperlukan untuk memproduksi gula akan tetapi pengrajin kurang memperhatikan penggunaan masing-masing faktor produksi sejumlah nira. Jumlah tenaga kerja dan jumlah bahan bakar belum dihitung secara cermat dan tepat. Penggunaan tenaga kerja masih terbatas pada anggota keluarga yang dihitung berdasarkan jam kerja. Begitu juga penggunaan jumlah nira dan bahan bakar (Indarwati, 2009). Kegiatan produksi gula aren pada umumnya masih dilakukan secara tradisional (Maharani dan Kusumawaty, 2010; Kaunang dkk, 2011). Hal ini terlihat pada kegiatan produksi, produsen masih menggunakan metode pembakaran
8
sederhana, yaitu pembakaran menggunaan satu tungku pembakaran. Penggunaan satu tungku ini memakan waktu yang lama untuk satu kali produksi gula aren, yaitu sekitar 4-5 jam. Belum lagi pengaruh cuaca yang sangat mempengaruhi kualitas serta kuantitas dari air nira yang disadap oleh petani pada tanaman aren. Apabila terjadi musim kemarau, maka kuantitas air nira sedikit namun memiliki kualitas yang baik untuk dimasak menjadi gula aren. Pada musim hujan, air nira yang dihasilkan banyak namun kualitas gula aren yang dihasilkan kurang baik karena air nira tersebut telah tercampur dengan air hujan. Usaha agroindustri gula aren ini banyak mengalami kendala diantaranya kualitas dan kontinuitas produk yang belum terjamin dan jarang melakukan inovasi produk dan inovasi pemasaran, termasuk kemasan produk yang kurang menarik, dan pemasaran yang terbatas, serta rantai pemasaran yang panjang sehingga harga yang ditawarkan tergantung pada pedagang pengumpul (Maharani dan Kusumawaty, 2010; Kaunang dkk, 2011). Selain itu dalam pengolahan agroindustri, umumnya pengrajin masih berorientasi pada kebutuhan keluarga (subsistem) dan belum berorientasi pada pasar (market oriented). Keberlanjutan usaha gula aren ini perlu dilihat dari aspek on-farm input (keberlanjutan ketersediaan nira aren, ketersediaan bahan bakar, ketersediaan modal, dan tenaga kerja), maupun aspek off-farm yakni nilai tambah dari proses pengolahan nira aren menjadi gula aren, kelayakan finansial, ekonomi dan lingkungan usaha pengrajin gula aren, tingkat efisiensi untuk meningkatkan produksi gula aren, daya saing dari gula aren, dan sistem pemasaran gula aren kolaka. Kemudian, keberlanjutan usaha juga harus dilihat sebagai upaya perbaikan kesejahteraan generasi sekarang sambil memelihara atau tanpa merusak lingkungan agar bisa tetap mendukung kesejahteraan generasi yang akan datang. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan maka permasalahan penelitian yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut. 1.
Apakah eksistensi usaha dari sisi ketersediaan input sudah memenuhi keberlanjutan usaha?
2.
Apakah secara finansial, ekonomi dan lingkungan industri rumah tangga gula aren layak untuk dikembangkan?
3.
Bagaimana daya saing gula aren di Kabupaten Kolaka?
4.
Bagaimana tingkat efisiensi industri rumah tangga gula aren?
5.
Berapa besar nilai tambah pengolahan nira aren menjadi gula aren?
9
6.
Berapa besar pendapatan pengrajin gula aren di Kabupaten Kolaka?
7.
Bagaimana sistem pemasaran gula aren Kolaka?
8.
Berapa besar kontribusi industri rumah tangga gula aren ini pada pendapatan rumah tangga petani pengrajin gula aren?
9.
Bagaimana distribusi pendapatan petani pengrajin gula aren dan apakah dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani pengrajin gula aren?
1.3 Tujuan Penelitian Mengacu pada latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut. 1.
Mengetahui ketersediaan input untuk industri gula aren.
2.
Mengetahui kelayakan industri rumah tangga gula aren secara finansial, ekonomi dan lingkungan.
3.
Mengetahui daya saing gula aren di Kabupaten Kolaka.
4.
Mengetahui tingkat efisiensi relatif industri rumah tangga gula aren.
5.
Mengetahui besar nilai tambah pengolahan nira aren menjadi gula aren
6.
Mengetahui besar pendapatan pengrajin gula aren di Kabupaten Kolaka
7.
Mengetahui sistem pemasaran gula aren Kolaka.
8.
Mengetahui besar kontribusi industri rumah tangga gula aren terhadap pendapatan petani pengrajin gula.
9.
Mengetahui distribusi pendapatan petani pengrajin gula aren dan peranan industri rumah tangga gula aren dalam peningkatan kesejahteraan rumah tangga petani pengrajin gula aren.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1.
Pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan diversifikasi gula dan keberlanjutan industri gula berbasis palma, khususnya di daerah Sulawesi Tenggara.
2.
Peneliti lain, sebagai sumbangan pengetahuan khususnya informasi dalam penentuan internalisasi dan beberapa indikator keberlanjutan usaha. Hasil ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi topik-topik penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pengembangan industri gula berbasis palma.
10
1.5 Keaslian dan Hal Baru Dalam Penelitian Penelitian tentang gula berbasis palma telah banyak dilakukan diantaranya Suparwati (2011) yang menganalisis usahatani gula aren di Kabupaten Lebak, Lukuhay (2009) yang meneliti tentang usaha pengolahan gula aren dan peningkatan kesejahteraan pengrajin di Desa Tuhana Kecematan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, Muhammad (2004) tentang optimasi industri rumah tangga gula aren pada kelompok usaha bersama (KUB) dan bukan KUB di Desa Pemepek Kecamatan Pringgarata Kabupaten Lombok Tengah, Budiningsih (2004) tentang efisiensi dan faktor internal eksternal agroindustri gula kelapa di Kecamatan Cilongkok Kabupaten Banyumas, Karno (2007) tentang strategi pengembangan industri mikro gula kelapa menggunakan metode disagregasi studi kasus di Desa Pageraji Kecamatan Cilongkok Kabupaten Banyumas, Noer (1986) tentang peranan industri gula kelapa terhadap kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga di Kabupaten daerah tingkat II Banyumas. Dari penelitian-penelitian tersebut belum ada yang meneliti tentang keberlanjutan usaha industri rumah tangga gula aren. Hal yang baru dalam penelitian ini adalah keberlanjutan usaha akan dilihat dari aspek on-farm dan off-farm. Aspek on-farm dalam hal ketersediaan input (nira, bahan bakar, modal, dan tenaga kerja) dan aspek off-farm dalam hal produksi gula aren (nilai tambah, kelayakan ekonomi, finansial dan lingkungan, efisiensi, daya saing, dan sistem pemasaran).
11
Tabel 1.4 Hasil Penelitian Terdahulu tentng Keberlanjutan Usaha, Kelayakan Usaha, Efisiensi dan Pemasaran No. 1.
Penulis dan Judul Penelitian Nama : Sutanto, Adi dan Listiari Hendraningsih (2011) Judul : Analisis Keberlanjutan Usaha Sapi Perah Di Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang
Tujuan Penelitian
Metode Analisis
Hasil Penelitian
Untuk mengetahui gambaran keberlanjutan usaha sapi perah yang dikuasainya, dalam dimensi a) ekologi dan pembibitan b) ekonomi. c) sosial budaya. d) infrastruktur dan teknologi. e) hukum dan kelembagaan.
Model analisis diskriptif digunakan untuk menggambarkan secara diskriptif perkembangan usaha dan anggotanya dalam mengembangkan agribisnis ternak secara berkelanjutan.
Hasil penelitian keberlanjutan usaha sapi perah di daerah penelitian menunjukkan kondisi yang relatif sedang, secara rinci ditunjukkan bahwa:. a. Pada aspek ekologi dan pembibitan, indikator kesesuaian agroklimat, luas lahan untuk tanaman komoditas lain, dan pengelolaan lahan untuk lingkungan dapat dikategorikan tinggi. b. Indikator keberlanjutan dalam dimensi ekonomi secara rata-rata mempunyai kategori sedang yang berarti bahwa usaha sapi perah yang dikembangkan masyarakat peternak tidak terlalu kondusif untuk menciptakan sistem agribisnis yang berdaya saing tinggi c. Ditinjau dalam dimensi sosial budaya yang menyangkut alokasi waktu untuk usaha ternak, akses dan pandangan masyarakat, peran dan pola hubungan masyarakat dalam kegiatan usaha sapi perah terkategori tinggi, hal ini dapat mendorong partisipasi dan terus berlangsungnya usaha peternakan. d. Dimensi infrastruktur dan tekonolgi menunjukkan bahwa dalam usaha pengembangan sapi perah berkategori sedang e. Aspek hukum dan kelembagaan indikator keberlajutan usaha sapi perah relatif rendah.
12
2.
Nama: Novita, E., I.B.Suryaningrat, Idah Andriyani, dan Sukrisno Widyotomo (2012) Judul: Analisis Keberlanjutan Kawasan Usaha Perkebunan Kopi (KUPK3) Rakyat Di Desa Sidomulyo Kabupaten Jember
3.
Nama: Indarwati, Iin (2009) Judul : Efisiensi Produksi Pada Agroindustri Gula Kelapa Di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat keberlanjutan pengembangan Kawasan Usaha Perkebunan Kopi (KUPK) di Desa Sidomulyo, Kabupaten Jember sehingga diharapkan dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi dan alternative kebijakan yang tepat untuk keberlanjutan KUPK terutama dikaitkan dengan proses produksi.
Multi Dimensional Scaling untuk mengetahui gambaran status keberlanjutan dan Leverage Analysis untuk mengetahui pengaruh indikator kinerja terhadap status keberlanjutan pada setiap dimensi.
Fungsi Produksi Frontier a. Untuk mengetahui penggunaan faktor produksi untuk menghasilkan gula kelapa b. Untuk mengidentifikasi efisiensi teknis dari penggunaan faktor poduksi.
13
Dimensi teknologi merupakan salah satu aspek penting untuk meningkatkan mutu kopi rakyat. Berdasarkan simulasi program Rap-Coffee untuk masing-masing dimensi diketahui bahwa dimensi ekonomi tidak berkelanjutan. Berdasarkan gabungan simultan antara keempat dimensi, indeks keberlanjutan KUPK Desa Sidomulyo adalah 59.5 % yang berarti berlanjut. Indeks keberlanjutan ini dapat ditingkatkan apabila dilakukan perbaikan terhadap faktor-faktor yang sensitive untuk masing-masing dimensi. Oleh karena itu di dalam perencanaan kebijakan untuk pengembangan KUPK Desa Sidomulyo sebaiknya memprioritaskan pada peningkatan indikator yang memiliki sensitivitas tinggi di masing-masing dimensi. a. Faktor-faktor produksi yang mempunyai pengaruh nyata terhadap jumlah produk gula kelapa adalah nira sedangkan bahan bakar, tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap produksi gula kelapa. Jadi penggunaan faktor produksi nira belum efisien. b. Nilai tingkat efisiensi teknik rata-rata pada agroindustri gula kelapa sebesar 0,948 c. Efisiensi alokatif pada agroindustri gula kelapa rata-rata. d. Nilai efisiensi ekonomis rata-rata sebesar 0,7429
4.
5.
a. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengrajin yang menggunakan kayu bakar sebesar Rp.1.606.110,06 bln-1 lebih besar dibandingkan dengan pengrajin pengguna Judul : Studi Pendapatan briket batubara yaitu sebesar Rp. 1.444.797,62 Usaha Gula Aren Ditinjau bln-1. dari Jenis Bahan Bakar Di b. Pendapatan yang dihasilkan oleh pengrajin Dusun Girirejo Kelurahan yang menggunakan kayu bakar sebesar Rp. Lempake Kecamatan 1.813.889,40 bln-1, lebih kecil dibandingkan Samarinda Utara dengan pendapatan pengrajin yang menggunakan briket batubara yaitu sebesar Rp. 2.155.202,38 bln-1. a. Mengetahui strategi Analisis deskripsi kualitatif dan a. Strategi produk gula semut telah dilakukan Nama : Maharani, E. dan analisis SWOT melalui atribut yang ditampilkan pada kemasan pemasaran gula semut. Yeni Kusumawaty (2010) yaitu label halal, barcode, nomor izin Depkes, b. Mengetahui faktor-faktor manfaat produk, serta daerah asal pembuatan. eksternal dan internal Judul : Strategi Pemasaran Daya tahan diperkirakan selama satu tahun pemasaran gula semut di Gula Semut Di Kabupaten yang cukup menunjang pemasaran tetapi Kabupaten Rokan Hulu. Rokan Hulu Provinsi Riau belum dicantumkan pada kemasan. c. Merumuskan alternatif b. Strategi harga gula semut sebesar Rp 30.000 startegi pengembangan per kg telah memperhitungkan biaya produksi agroindustri gula semut. tetapi masih belum terjangkau masyarakat sekitar dan masih lebih tinggi dibanding harga pembelian industri pangan lokal (Rp 9000 per kg). c. Strategi promosi yang telah dilakukan adalah masih terbatas pada personal selling terutama dari mulut ke mulut (word of mouth) dan secara insidental melalui berbagai pameran. Nama: Sopiannur, D., Rita Mariati dan Juraemi (2011)
a. Mengetahui biaya Analisis Biaya dan produksi dan pendapatan Pendapatan usaha gula aren ditinjau dari jenis bahan bakar. b. Mengetahui perbedaan tingkat pendapatan usaha gula aren ditinjau dari jenis bahan bakar.
14
6.
7.
a. Menganalisis kelayakan finansial jagung transgenik dibandingkan dengan jagung hibrida. b. Menganalisis kebersediaan petani Judul : Analisis Kelayakan untuk membeli benih Ekonomi, Keberlanjutan jagung transgenik. Usahatani dan Faktor-faktor c. Menganalisis Penentu Adopsi Benih kemampuan adopsi benih Jagung Transgenik di jagung transgenik untuk Indonesia menjamin keberlanjutan usahatani jagung d. Menganalisis faktor-faktor penentu keberhasilan petani mengadopsi benih jagung transgenik. Nama : Azhari, M. H., M.R. a. untuk mengembangkan strategi pemasaran Yantu, dan Dewi Nur Asih produk gula tapo (2013) b. mengidentifikasi faktorfaktor internal dan Judul : Pengembangan ekternal yang Strategi Pemasaran Produk mempengaruhi Gula Tapo (Studi Kasus di pemasaran gula tapo Desa Ambesia Kecamatan c. menganalisis alternatif Tomini Kabupaten Parigi strategi pemasaran Moutong) produk gula tapo asal Desa Ambesia. Nama : Saragih, E.S., Santun R.P. Sitorus, Harianto, dan Sugiono M. (2009)
Pendekatan Valuasi ex ante, a. Analisis ex ante kelayakan finansial adopsi benih jagung transgenik memberikan Analisis input output dan penerimaan rata-rata bagi petani Rp 10,7 -14,4 Contingent valuation method juta lebih tinggi daripada Rp 10,2-12,4 juta (CVM) dan multi-attribute untuk benih hibrida. value theory (MAVT) b. Minat petani mengadopsi benih jagung transgenik tergolong tinggi setelah mendapatkan penjelasan tentang potensi manfaatnya. Petani mau membayar harga lebih tinggi untuk jagung transgenik. c. Keberlanjutan usahatani dengan masukan benih transgenik relatif tetap hingga mempelihatkan kecenderungan lebih baik. d. Faktor yang paling menentukan adopsi benih transgenik adalah aspek kelembagaan.
Analisis deskriptif kualitatif dan analisis SWOT.
15
Hasil analisis pada titik koordinat diperoleh alternatif strategi berada pada kuadran I yang mengindikasikan bahwa strategi yang tepat berada pada strategi SO (Kekuatan-Peluang) yang disebut dengan strategi agresif, yakni : (i) meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui pelatihan usaha sehingga mendorong masyarakat dalam menciptakan lapangan kerja, (ii) memaksimalkan pemanfaatan bahan baku yang cukup memadai, (iii) mempertahankan keaslian cita rasa untuk sasaran pasar nasional dan agrowisata, (iv) meningkatkan diversifikasi rasa produk menjadi produk unggulan agrowisata.
8
Nama : Rawung, Jefny Bernedi Markus (2015) Judul : Analisis Profitbilitas, Efisiensi dan Keberlajutan Usahatani Konservasi Berbasis Tanaman Aren di Sulawesi Utara
a. Mengetahui produkivitas usahatani tanaman aren dan faktor-faktor yang mempengruhinya. b. Mengetahui pengaruh penerapan teknologi konservasi dengan tanaman aren terhadap pendapatan usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. c. Mengetahui tingkat efisiensi usahatani tanaman aren integrasi dengan aneka tanaman d. Mengetahui perilaku petani dalam menerapkan teknik konservasi dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhinya pada pemilihan tanaman aren sebagai tanaman konservasi. e. Mengetahui tingkat keberlanjutan usahatani tanaman aren dan faktorfaktor yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani tanaman aren
Post Hoc Test, Ordinary Least Square, Frontier 4.1, Indeks Kegiatan Konservasi, dan Indeks Keberlanjutan Usahatani
16
Pilihan pola tumpang sari dipengaruhi secara nyata oleh jumlah anggota keluarga, bimbingan penyuluh, umur petani, pengalaman, keberhasilan petani lain dan kemiringan lahan. Keberlanjutan usahatani tanaman aren di wilayah penelitian Provinsi Sulawesi Utara dari aspek sosial ekonomis dan ekologis/biofisik menurut persepsi petani dalam kategori cukup berkelanjutan.
9
a. Menganalisis kelayakan secara finansial dan ekonomi usaha perikanan tambak polikultur pada Judul : Analisis jenis tambak wanamina Keberlanjutan Usaha dan tambak non Perikanan Tambak wanamina; Polikultur Bandeng – Udang b. Menghitung nilai jejak Windu di Sekitar Kawasan ekologis Mangrove Kabupaten c. Menilai indeks dan status Sambas keberlanjutan usaha perikanan tambak polkultur berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan; d. Mengetahui atribut-atribut sensitif pada setiap dimensi yang mempengaruhi keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur
Nama : Dolorosa, Eva (2015)
Analisis Multi Dimensional Scalling Model Rapfishsambas.
17
Hasil penelitian menunjukkan untuk usaha perikanan tambak polikultur wanamina dan non wanamina secara finansial dan ekonomi masih layak untuk diusahakan, yang artinya berkelanjutan secara ekonomi. Berdasarkan analisis jejak ekologi di lokasi penelitian diketahui bahwa usaha perikanan tambak wanamina masih berkelanjutan,tetapi untuk perikanan tambak non wanamina secara ekologi tidak berkelanjutan. Hasil penelitian pada tambak wanamina menunjukkan secara multidimensi nilai indeks keberlanjutan usaha perikanan tambak polikultur wanamina, sebesar 44,33 dan termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan.. Hasil analisis leverage menunjukkan dari 73 atribut terdapat 17 atribut sensitif yang harus dikelola segera untuk meningkatkan nilai index keberlanjutan.