I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pola pembangunan ekonomi sentralistik yang telah berlangsung selama
lebih dari 32 tahun telah rnernberikan darnpak yang luas bagi pernbangunan ekonomi nasional, khususnya terhadap sistem tata pernerintahan. Dalarn irnplernentasinya, pernerintah
pusat.
segala
kebijakan
harus
Pernerintah daerah
dilaksanakan
seakan-akan
sesuai
hanya
arahan
merupakan
kepanjangan tangan dari pernerintah pusat, tanpa rnerniliki kewenangan rnendasar untuk rnengarnbil kebijakan, padahal kenyataannya pemerintah daerahlah yang rnengetahui permasalahan di daerahnya sendiri. Selarna ini aparat pernerintah daerah cenderung hanya ditugasi untuk rnengarnbil kebijakan pada hal-ha1 yang bersifat teknis dan sebagai pelaksana dari kebijakan pernerintah pusat. Terjadinya krisis ekonomi yang rnelanda Indonesia pada pertengahan 1997, telah rnernbuka jalan bagi rnunculnya reforrnasi total di seluruh aspek kehidupan rnasyarakat. Disarnping itu reforrnasi telah rnernunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistern politik dan kelernbagaan sosial, sehingga rnernperrnudah proses pernbangunan dan rnodernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pernbaharuan paradigrna di berbagai bidang kehidupan. Salah satu perubahan paradigma tersebut yaitu terkait hubungan pernerintah pusat dan daerah yang rnendorong adanya tuntutan peninykatan kewenangan daerah dalarn rnelaksanakan kebijakan ekonorni. Tuntutan ini tentu saja didukung oleh alasan bahwa perrnasalahan yang terjadi di daerah sedernikian kornpleks dan rnultidirnensional sehingga tidak rnungkin diatasi dengan suatu terapi yang bersifat terpusat. Selain itu disadari pula bahwa span of control (rentang kendali) pernerintah pusat sangat terbatas, sehingga kebijakan yang dibuat rnenjadi tidak efektif dan efisien. Keberhasilan kebijakan tersebut tidak lupa pula sangat ditentukan oleh pola pendanaan di tingkat daerah. Akibat dari reforrnasi tersebut pernerintah rnengeluarkan kebijakan desentralisasi dan otonorni daerah yang diatur dalarn UU No. 22 tahun 1999 tentang Pernerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perirnbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kernudian diperbaharui dengan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pernerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pernerintah Pusat dan Daerah. Kebijakan tersebut mendorong pernerintah, baik di tingkat pusat rnaupun daerah, untuk terus rnerencanakan dan mengirnplernentasikan program-program yang terkait dengan pernantapan perwujudan otonorni daerah. Ada beberapa isu sentral yang rnencuat terkait dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonorni daerah. Pertarna, otonorni rnenuntut setiap daerah untuk rneningkatkan kualitas pelayanan publik, terutarna pada bidang-bidang yang rnenjadi kebutuhan dasar rnasyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Hal ini menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pernerintah daerah dalarn meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kedua, otonorni yang diberikan kepada daerah dilaksanakan dengan rnernberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelirnpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pernbagian, dan pernanfaatan surnberdaya nasional yang berkeadilan, serta perirnbangan keuangan pusat dan daerah. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih- rnendekatkan pelayanan pernerintah kepada rnasyarakat, rnernudahkan rnasyarakat untuk rnernantau dan rnengontrol serta rnanajernen anggaran yang bersurnber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalarn rangka menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Dalam konteks ini, APBD rnerniliki peran penting dalam perekonornian daerah, terutarna dari sisi penyusunan dan perencanaan program-program pembangunan. Atas dasar itu, sangat penting untuk rnelakukan analisis secara rnendalarn terhadap struktur APBD guna melihat seberapa besar kernarnpuan keuangan daerah dalam rnelakukan pembiayaan pernbangunan yang sampai saat ini terus menjadi perhatian seluruh pernerintah daerah di Indonesia. Berdasarkan
PP
No.5
Tahun
2000
tentang
pengelolaan
dan
pertanggungjawaban keuangan daerah, APBD disusun berdasarkan pendekatan kinerja (Kuncoro. 2004). Sarnpai sejauh ini dana perirnbangan yang rnerupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah meskipun jurnlahnya relatif rnemadai yakni sekurangkurangnya sebesar 25 persen dari Penerirnaan Dalarn Negeri dalarn APBN, narnun daerah harus lebih kreatif dalarn rneningkatkan PAD nya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalarn pernbelanjaan APBD-nya.
Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah yang memang telah sejak lama menjadi unsur PAD yang utama (Raksakamahi, 2002).
1)APBN Perubahan 2) APBN Berjalan 3) Sebelumnya bernama Subsidi Daerah Otonom (SDO)
Sumber: Budget Statistics, 2005-2006, Departernen Keuangan RI
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa pengeluaran dalarn APBN untuk dana perimbangan (baik dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), maupun dana alokasi khusus (DAK)) selalu mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya penerimaan Pemerintah Pusat. Dari ketiga jenis dana perimbangan tersebut, DAU memberikan kontribusi terbesar. Berdasarkan UU No. 2511999 tentang Perirnbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, besarnya DAU adalah sekurang-kurangnya 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan APBN, dan berdasarkan UU No. 3312004 (sebagai revisi dari UU No. 2511999) ditetapkan minimal sebesar 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri. Pertarnbahan jumlah pernerintahan daerah diduga kuat ikut menyebabkan sernakin besarnya beban Belanja Daerah yang dapat meningkatkan besarnya defisit APBN. Sejalan dengan ha1 tersebut tentunya pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya ditinjau
dari
seberapa besar daerah
akan
memperoleh Dana
Perimbangan, tetapi yang tidak kalah penting adalah ha1 tersebut harus diimbangi dengan instrurnen atau kemampuan daerah saat ini, mampu memberikan nuansa pengelolaan keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif dan akuntabel sebagaimana diamanatkan oleh kedua UU Otonomi Daerah tersebut. Sebelurn pelaksanaan Otonomi Daerah transfer utama dari pernerintah pusat kepada daerah yaitu Dana Rutin Daerah (DRD) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD). Dengan berguiimya otonorni daerah transfer Pemerintah Pusat kepada Daerah digantikan dengan "Dana Alokasi Urnurn (DAU)" dengan rincian 90 persen untuk KabupatenlKota dan 10 persen untuk Propinsi. Dengan perimbangan keuangan tersebut akan rnernberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh surnber-sumber pembiayaan pembangunan. Narnun demikian pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan tersebut harus dilakukan secara cerrnat dengan mempertirnbangkan aspek prioritas khususnya terhadap bidang-bidang yang dianggap strategis dan menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Bagi daerah yang memiliki keterbatasan anggaran ha1 ini perlu dilakukan di tengah besarnya tuntutan masyarakat terhadap peningkatan pelayanan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pelayanan
publik
merupakan salah
satu
indikator
keberhasilan pernbangunan pemerintah daerah saat ini. Pasalnya beberapa jenis pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur selama ini rnasih dirasakan kurang mernadai. Hal ini disebabkan rata-rata proporsi anggaran pernerintah daerah untuk mernbiayai kebutuhan dasar tersebut relatif kecil. Dalarn struktur pengeluaran pemerintah daerah provinsi maupun kabupatenlkota seluruh Indonesia, besarnya proporsi anggaran untuk ketiga bidang tersebut sejak tahun 2001 hingga 2005 hanya sekitar 20 persen. Porsi terbesar pengeluaran rnasih didorninasi untuk pengeluaran rutin sekitar 50 persen. Kecilnya tingkat penerimaan daerah rnenjadi penyebab rendahnya alokasi anggaran untuk pelayanan publik. Kabupaten Lampung Barat merupakan salah satu daerah di Provinsi Lampung yang APBD nya paling kecil. Kondisi ini tentunya berdampak terhadap pembiayaan pembangunan sektor pelayanan publik yang rnenjadi kebutuhan dasar masyarakat. Sejak tahun 2003 - 2007 rata-rata alokasi anggaran pembangunan terhadap total APBD untuk bidang
pendidikan dan kesehatan sekitar 4 - 5 persen dan untuk bidang infrastruktur sekitar 20 persen. Sementara itu, struktur penerirnaan daerah Kabupaten Lampung Earat masih sangat tergantung dari penerimaan dana perirnbangan yaitu hampir 90 persen dari total penerimaan daerah sejak tahun 2004 - 2007. Sedangkan PAD sendiri pada periode yang sama hanya memberikan kontribusi sekitar 2.5 persen. Meskipun kontribusi PAD terhadap penerimaan daerah terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, namun kontribusinya sangat kecil sehingga tingkat kemandirian pembiayaan pembangunan masih sangat rendah. Berdasarkan paparan tersebut di atas terlihat bahwa dalam struktur APED, masih terdapat ketergantungan yang besar sumber penerimaan daerah yang bersumber dari dana perimbangan. Sumber-sumber pembiayaan asli daerah masih relatif kecil. Sementara disisi lain, pemerintah daerah saat ini dituntut untuk lebih meningkatkan pembangunan pelayanan publiknya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, Kabupaten Lampung Barat sebagai salah satu daerah otonom yang tengah berupaya meningkatkan pelayanan publiknya, perlu untuk menata pengelolaan keuangan daerahnya dengan baik melalui pengaturan sistem pengelolaan keuangan daerah yang efektif dan efisien serta mekanisme pelaksanaan yang transparan dan akuntabel disamping menciptakan prinsip keadilan anggaran dalam konteks alokasi anggaran yang lebih proporsional terutama pada bidang-bidang pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Oleh sebab itu, agar pengelolaan keuangan daerah dapat terlaksana secara optimal, dan pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik, perlu adanya strategi khusus dalam manajemen keuangan daerah di Kabupaten Lampung Barat. Strategi dan perancangan program peningkatan kapasitas fiskal diperlukan dalam rangka peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan, khususnya di sektor pelayanan publik. 1.2
Perumusan Masalah
APED memiliki
peran penting dalam perekonomian daerah, terutama
menjadi input dalam penyusunan perencanaan program-program pembangunan. Oleh karena itu, perencanaan anggaran dan pembangunan daerah perlu disusun dengan pendekatan anggaran berbasis kinerja (performance budget), yang rnenekankan pada efisiensi dan efektifitas anggaran. Hal ini dilakukan dalam
rangka mengurangi inefisiensi belanja daerah yang menimbulkan overfinancing atau underfinancing. Bagi
pemerintah
daerah
Kabupaten
Lampung
Barat,
besarnya
ketergantungan pembiayaan yang berasal dari dana perimbangan pusat selama ini, peran APBD tidak hanya menjadi sekedar input dalam proses perencanaan program-program pembangunan, tetapi menjadi kendala seberapa banyak program-program pembangunan prioritas yang dapat direalisasikan karena rendahnya kapasitas fiskal yang dimiliki. Oleh karena itu, muncul pertanyaan dalam kajian ini "Bagaimanakah struktur APBD Kabupaten Lampung Barat dilihat dari sisi penerimaan dan pengeluaran ? ". Keberhasilan program-program
pembangunan
di
daerah
sangat
bergantung pada besar kecilnya kapasitas fiskal yang dimiliki suatu daerah, yang juga mencernlinkan besar keciinya kapasitas APBD. Oleh karena itu, APBD memiliki implikasi terhadap pembiayaan pembangunan. Dengan desentralisasi fiskal, APBD ini diharapkan dapat menjadi stimulus bagi kelancaran pelaksanaan program-program pembangunan, terutama untuk dialokasikan pada sektor atau bidang yang menjadi prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Pembangunan bidang pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator seperti jumlah sekolah, rasio murid dan guru, rasio murid dan sekolah dan angka partisipasi sekolah. Sementara itu pembangunan bidang kesehatan dilihat dari indikator jumlah tenaga medis dan ketersediaan sarana prasarana kesehatan. Kemudian
pembangunan
bidang
infrastruktur
dilihat
dari
ketersediaan
infrastruktur jalan raya dan instalasi air bersih. Namun yang menjadi pertanyaan adalah "Seberapa besar pengaruh APBD terhadap pembangunan daerah Kabupaten Lampung Barat terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur ?" Hasil analisis tersebut dapat dihasilkan gambaran seberapa jauh peningkatan layanan publik tersebut dapat ditingkatkan kualitas maupun kuantitasnya dengan kapasitas anggaran yang ada. Kualitas pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah daerah dalam menciptakan tingkat kesejahteraan penduduknya. Hingga saat ini upaya pemerintah daerah Kabupaten Lampung Barat dalam meningkatkan pelayanan publik tersebut dihadapkan pada banyak kendala, terutama keterbatasan anggaran. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pertanyaannya adalah " Strategi apakah yang tepat untuk dilakukan guna
rneningkatkan kapasitas fiskal daerah dalarn rangka peningkatan kernarnpuan pernbiayaan pernbangunan, khususnya di bidang pelayanan publik seperti Pendidikan, Kesehatan, dan lnfrastruktur ? " 1.3
Tujuan Kajian Berdasarkan latar beiakang dan perurnusan rnasalah, tujuan utarna dari
kajian ini adalah sebagai berikut :
I. Menganalisis APBD Kabupaten Larnpung Barat dari sisi penerirnaan dan pengeluaran.
2. Mengkaji APBD terhadap pernbangunan ekonorni daerah Kabupaten Larnpung Barat terutarna di bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur.
3. Merurnuskan strategi dan perancangan program pernanfaatan APBD dalarn rangka rnelakukan pernbiayaan pernbangunan, khususnya di sektor pelayanan publik di Kabupaten Larnpung Barat.
1.4
Manfaat Kajian Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan inforrnasi dan
rnasukan bagi Pernerintah Daerah Kabupaten Larnpung Barat dalarn rangka rnerurnuskan strategi kebijakan dan perancangan program pernanfaatan APBD dalarn rangka rnelakukan pernbiayaan pernbangunan, khususnya di sektor pelayanan publik di Kabupaten Larnpung Barat. Diharapkan laporan kajian ini dapat rnenjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.