I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Sumber
daya
kelautan
berperan
penting
dalam
mendukung
pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk. Sumber daya kelautan tersebut mempunyai keunggulan komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat dimanfaatkan dengan biaya eksploitasi yang relatif murah sehingga mampu menciptakan kapasitas penawaran yang kompetitif. Di sisi lain, kebutuhan pasar sangat besar karena kecenderungan permintaan pasar global yang terus meningkat. Untuk memenuhi hal tersebut maka akselerasi pembangunan kelautan merupakan sebuah jawaban yang tepat. Program pemerintah dalam subsektor perikanan diantaranya upaya untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pantai dan meningkatkan devisa non migas (Ely, 2015). Salah satu komoditas unggulan dalam sektor kelautan adalah rumput laut. Rumput laut menjadi komoditas yang prospektif dalam menyukseskan program pemerintah. Hal ini dikarenakan permintaan rumput laut yang terus meningkat, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan luar negeri. Kebutuhan rumput laut diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk konsumsi langsung maupun kebutuhan industri (Kordi, 2011). Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah 17.504 pulau dan panjang garis pantai mencapai 81.000 km memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan komoditi rumput laut, di mana kegiatan pengembangannya telah dilakukan di seluruh perairan Indonesia mulai dari Aceh sampai dengan Papua (Kemendag, 2013). Letak geostrategis yang diapit oleh Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi sumberdaya kelautan yang sangat prospektif dan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia (Bengen, 2013). Luas indikatif lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya komoditas rumput laut Indonesia mencapai 769.452 ha. Dari jumlah itu, baru sekitar 50% atau seluas 384.733 ha yang secara efektif dimanfaatkan
(Kemendag,
2013).
Oleh
karena
itu,
pemerintah
melalui
Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan rumput laut sebagai salah
satu komoditas unggulan dalam program revitalisasi perikanan melalui program minapolitan. Rumput laut merupakan salah satu komoditi perikanan yang berpotensi untuk mensukseskan program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan rakyat dan meningkatkan devisa negara. Fungsi rumput laut sebagai bahan baku berbagai produk olahan bernilai ekonomi tinggi untuk tujuan pangan maupun non pangan yang membuat rumput laut banyak dibudidayakan dan diperdagangkan di pasar lokal dan internasional. Rumput Laut banyak digunakan sebagai produk makanan dan kesehatan. Tumbuhan ini juga digunakan sebagai pupuk taman dan pertanian. Untuk pengembangan selanjutnya, rumput laut dapat digunakan sebagai bahan bio diesel. Jika melihat segi pemasaran, produk added value rumput laut dapat berupa makanan, pupuk, bahan makanan tambahan, pengendalian pencemaran dan bahan kecantikan. Berikut merupakan data produksi perikanan budidaya menurut komoditas utama tahun 2009 sampai dengan tahun 2014 di Indonesia. Tabel 1.1 Produksi Komoditas Utama Perikanan Budidaya 2009-2014 (Ton) Tahun Jenis ikan
Jumlah Produksi 1.
Rumput Laut
2009
2010
2011
Kenaikan rata-
2012
rata
2013
2014*)
4.708.565 6.277.923 7.928.962 9.675.553
13.300.906
14.521.349
37,47
2.963.556 3.915.017 5.170.201 6.514.854
9.298.474
10.234.357
42,73
2012-2013 (%)
2.
Udang
338.060
380.972
400.385
415.703
645.955
592.219
55,39
3.
Kerapu
5.073
10.398
10.580
11.950
18.864
12.430
57,85
4.
Kakap
6.400
5.738
5.236
6.198
6.735
4.439
8,66
5.
Bandeng
328.288
421.757
467.449
518.939
627.333
621.393
20,89
6.
Ikan Mas
249.279
282.695
332.206
374.366
412.703
484.110
10,24
7.
Nila
323.389
464.191
567.078
695.063
914.778
912.613
31,61
8.
Lele
144.755
242.811
337.577
441.217
543.774
613.120
23,24
9.
Patin
109.685
147.888
229.267
347.000
410.883
403.133
18,41
10. Gurame
46.254
56.889
64.252
84.681
94.605
108.180
11,72
11. Lainnya
193.826
349.568
344.731
265.580
326.801
535.355
23,05
Sumber : Statistik Perikanan Indonesia 2014, KKP. Berdasarkan Tabel 1.1 dapat diketahui bahwa dari 11 macam perikanan budidaya menurut statistik perikanan Indonesia, produksi rumput laut merupakan produksi tertinggi di 5 tahun terakhir. Jumlah produksinya terus meningkat dari
2
tahun ke tahun bahkan pada tahun 2012-2013 kenaikan rata-ratanya mencapai 42,73%. Peningkatan produksi rumput laut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan, sekaligus devisa bagi negara. Selain itu dapat melestarikan dan meningkatkan produksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun sebagai komoditas ekspor. Budidaya rumput laut merupakan salah satu pilihan untuk memanfaatkan potensi sumber daya laut. Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya mengubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumber daya alam kearah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan. Usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pembudidaya juga dapat digunakan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai (Malingkas, 2015). Potensi rumput laut Indonesia dapat menjadi salah satu sumber pemasukan bagi devisa negara dan mampu menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor rumput laut kering terbesar dunia. Saat ini terdapat sekitar 782 jenis rumput laut yang hidup di perairan Indonesia. Jumlah tersebut terdiri dari 196 algae hijau, 134 algae coklat, dan 452 algae merah. Sebagai penyedia bahan baku industri, rumput laut memiliki turunan yang sangat beragam seperti untuk bahan makanan (dodol, minuman, kembang gula, dan lain-lain), kosmetik, dan juga untuk bahan obat-obatan. Jenis yang banyak dikembangkan dan banyak diminati pasar adalah jenis Euchema spinosum, Euchema cottonii dan Gracilaria sp. (Harnoto, Mudeng, Mondoringin, 2015). Indonesia adalah eksportir terbesar rumput laut mentah untuk dunia dalam kurun waktu 3 tahun terakhir yaitu dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Meskipun kenaikan rata-rata per tahun nya bukan yang terbesar, akan tetapi menunjukkan kenaikan yang positif. Artinya setiap tahun volume ekspor rumput laut Indonesia selalu bertambah. Pada sisi ekspor, Indonesia menjadi eksportir terbesar apabila ditinjau berdasarkan volume ekspor tahun 2012 dan 2014, sesuai dengan data yang diperoleh dari UN Comtrade. Namun, sebagian besar ekspor rumput laut Indonesia masih dalam bentuk gelondongan kering (raw seaweeds), sedangkan bentuk produk olahan seperti karaginan dan alginat masih harus diimpor. Sehingga nilai tambah dari pengolahan rumput laut tidak diperoleh, melainkan menjadi keuntungan yang cukup besar bagi negara tujuan
3
ekspor rumput laut kering tersebut karena harga jual rumput laut mentah pasti lebih murah daripada rumput laut yang sudah diolah dan memiliki nilai tambah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu bersaing dalam industri pengolahan rumput laut. Berikut merupakan volume ekspor dari delapan besar eksportir rumput laut mentah (raw seaweed) dunia tahun 2012 sampai dengan 2014. Tabel 1.2 Volume ekspor Rumput Laut Mentah Dunia, 2012-2014 (kg) Tahun Negara
Kenaikan Rata Rata
2012
2013
2014
2012-2014 (%)
168.279.322
176.110.739
200.705.767
19,27
2. Chile
71.198.125
82.142.415
74.872.046
5,16
3. Irlandia
32.408.285
38.237.068
43.343.691
33,74
4. Peru
27.183.135
31.050.364
29.115.627
7,11
5. Filipina
26.053.269
37.062.984
18.493.261
-29,02
6. Tiongkok
22.594.702
15.398.594
13.926.474
-38,36
7. Amerika
1.410.886
1.548.191
1.663.796
17,93
8. Jepang
1.103.754
1.410.487
1.320.360
19,62
1. Indonesia
Sumber : UN Comtrade, 2015 Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, rumput laut Indonesia juga di ekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. Seiring dengan produksi yang terus mengalami kenaikan, ekspor rumput laut Indonesia juga selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Ekspor rumput laut Indonesia tidak hanya terbatas rumput laut mentah, namun juga rumput laut olahan. Satusatunya rumput olahan yang di ekspor Indonesia menurut data dari FAO adalah agar-agar. Meskipun Indonesia merupakan eksportir terbesar dunia untuk rumput laut mentah, akan tetapi ekspor rumput laut olahan Indonesia yakni agar agar masih relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa industri pengolahan dalam negeri belum berkembang dengan baik, sehingga ekspor masih dominan untuk komoditas mentah yang belum memiliki nilai tambah. Industri rumput laut Indonesia masih perlu didorong untuk dapat menghasilkan produk yang berbahan dasar rumput laut yang lebih beragam. Saat ini, ekspor rumput laut dalam bentuk olahan hanya berupa agar-agar.
4
Volume ekspornya pun masih jauh dibawah ekspor rumput laut mentahnya. Meskipun volume ekspor agar-agar jauh lebih rendah daripada ekspor mentahnya, namun apabila ditinjau dari harga ekspor maka harga ekspor rumput laut olahan lebih tinggi karena nilai tambahnya. Berikut adalah data nilai ekspor, volume ekspor rumput laut mentah dan olahan Indonesia selama 10 tahun terakhir dari tahun 2004 sampai tahun 2014. Tabel 1.3 Nilai dan Volume Ekspor Rumput Laut Mentah dan Olahan di Indonesia tahun 2004-2014 Nilai Ekspor Tahun
Mentah (USD) Olahan (USD)
Volume Ekspor Mentah (kg)
Olahan (kg)
Harga Ekspor Mentah
Olahan
(USD/kg)
(USD/kg)
2004
25.296.399
6.270.000
51.010.828
3.560.000
0,496
1,761
2005
35.555.019
8.805.000
69.264.256
2.663.000
0,513
3,306
2006
49.586.226
9.741.000
95.588.055
4.186.000
0,519
2,327
2007
57.522.350
9.437.000
94.073.398
2.118.000
0,611
4,456
2008
110.153.291
14.206.000
99.948.576
2.467.000
1,102
5,758
2009
87.773.297
10.310.000
94.002.964
1.795.000
0,934
5,744
2010
135.939.458
10.693.000
123.074.961
1.721.000
1,105
6,213
2011
157.586.549
12.627.000
159.075.454
1.873.000
0,991
6,742
2012
134.155.689
12.861.057
168.279.322
1.291.603
0,797
9,957
2013
162.456.415
13.084.361
176.110.739
1.055.933
0,922
12,391
2014
226.228.693
14.811.551
200.705.767
933.253
1,127
15,871
Sumber : FAO, 2015 Rumput laut mentah sangat mendominasi produksi dalam negeri maupun ekspor dunia dikarenakan beberapa keunggulan. Keunggulannya tersebut diantaranya : peluang pasar ekspor yang terbuka luas, harga relatif stabil, juga belum ada batasan atau kuota perdagangan bagi rumput laut, teknologi pembudidayaannya
sederhana
sehingga
mudah
dikuasai,
siklus
pembudidayaannya relatif singkat sehingga cepat memberikan keuntungan, kebutuhan modal relatif kecil, merupakan komoditas yang tidak tergantikan karena tidak ada produk sintetisnya, usaha pembudidayaan rumput laut tergolong usaha yang padat karya sehingga mampu menyerap tenaga kerja (DKP Sulteng, 2011). Seiring dengan peningkatan permintaan dunia yang semakin besar, produksi rumput laut dunia juga mengalami peningkatan yang cukup baik setiap tahunnya. Beberapa negara produsen mulai bersaing untuk dapat memproduksi
5
rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas terbaik. Peningkatan produksi tersebut memberikan kontribusi yang besar dalam perbaikan posisi Indonesia dalam perdagangan internasional rumput laut. Hal ini juga menjadi salah satu indikator adanya perbaikan pola produksi rumput laut dalam negeri melalui program revitalisasi perikanan yang dicanangkan oleh pemerintah. Di sisi lain, dikarenakan Indonesia masih belum berkembang pada industri pengolahan rumput laut, impor rumput laut Indonesia umumnya dilakukan dalam bentuk olahan rumput laut dan ada juga impor untuk jenis rumput laut mentah yang tidak ditemukan di perairan. Volume impor rumput laut mengalami fluktuasi dan cenderung mengalami penurunan volume. Apabila dibandingkan dengan volume ekspor, rasio impor terhadap ekspor relatif menurun, artinya dalam perkembangannya impor tidak terlalu berpengaruh besar terhadap ekspor Indonesia. Anggadiredja et. al (2006) memperkirakan pasar dunia produk olahan rumput laut meningkat sekitar 10 persen setiap tahun untuk semirefine carrageenan (SRC), agar, dan alginat untuk industri (industrial grade). Adapun alginat untuk makanan (food grade) meningkat sebesar 7,5 persen dan refined carrageenan sebesar lima persen. Asumsi yang digunakan berdasarkan perkiraan kebutuhan pasar dunia produk olahan rumput laut, khususnya karaginan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pasar rumput laut dunia masih sangat besar, baik untuk pasar bahan baku mentah (raw seaweeds) ataupun untuk produk olahannya. Indonesia dengan potensi besar seharusnya dapat memanfaatkan peluang tersebut untuk peningkatan penerimaan dan devisa negara yang lebih besar dengan menjadi eksportir rumput laut yang memenuhi kebutuhan rumput laut dunia. Perkembangan volume ekspor rumput laut yang demikian tinggi mencerminkan adanya peluang dan demand yang semakin besar di pasar internasional terhadap rumput laut Indonesia. Kondisi ini seharusnya dapat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang semakin tinggi di pasar internasional. Apabila suatu negara memiliki pangsa pasar yang baik di negara importir utama, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut memiliki daya saing di pasar internasional rumput laut. Perdagangan
internasional
mengharuskan
setiap
negara
memiliki
spesialisasi dan juga kemampuan untuk dapat bersaing memperebutkan pasar
6
yang ada. Penguasaan pasar oleh suatu negara dapat menjadi suatu ukuran kemampuan bersaing suatu negara untuk komoditi tertentu. Penguasaan pangsa pasar akan menentukan posisi daya saing ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional. Indonesia dengan potensi perikanan yang sangat besar khususnya untuk komoditas rumput laut berpeluang menjadi salah satu yang terbesar sebagai produsen rumput laut, akan tetapi Indonesia juga harus mempunyai kemampuan dalam bersaing baik dari segi harga, kualitas, kebijakan-kebijakan perdagangan, dan kemampuan dalam manajemen produksi rumput laut nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk meningkatkan bisnis rumput laut masih sangat terbuka dan potensial, selain dari produksi nasional yang semakin baik juga permintaan yang semakin besar. Upaya untuk meningkatkan nilai ekspor rumput laut Indonesia adalah dengan meningkatkan ekspor rumput laut dalam bentuk olahan, sehingga memiliki harga jual yang tinggi. Hal ini dapat diwujudkan dengan menggalakkan program hilirisasi industri pengolahan rumput laut. Dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha di bidang pertanian maka pemberian fasilitas kemudahan perpajakan sangat diperlukan. Fasilitas ini berupa penetapan barang hasil pertanian sebagai Barang Kena Pajak bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada awal tahun 2000, pemerintah mengeluarkan Undang Undang Nomer 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas Undang Undang Nomer 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Menurut Undang Undang tersebut, komoditas rumput laut dikenai pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Hal inilah yang dapat menyebabkan lesunya industri pengolahan rumput laut. Selain itu juga menyebabkan adanya perubahan pola dari yang sebelumnya rumput laut diolah industri pengolahan rumput laut dalam negeri menjadi diekspor ke negara lain
dalam
bentuk
barang
mentah.
Sehingga
menyebabkan
terjadinya
kelangkaan bahan baku untuk dalam negeri dan merupakan kerugian yang besar bagi industri-industri pengolahan rumput laut di dalam negeri, yang pada akhirnya menyulitkan dan memaksa mereka untuk berhenti beroperasi kemudian menutup perusahaannya.
7
Pada tahun 2007, Pemerintah memutuskan untuk menarik kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Peraturan tersebut menyatakan bahwa komoditas rumput laut merupakan hasil pertanian yang bersifat strategis dan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Peraturan ini bertujuan untuk membangkitkan kembali industri pengolahan rumput laut dalam rangka mengimplementasikan program hilirisasi perikanan dan kelautan dari pemerintah. Dengan adanya program hilirisasi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk rumput laut sehingga Indonesia dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan dunia melalui kegiatan ekspor rumput laut khususnya dalam bentuk olahan. 1.2 Permasalahan Beragam permasalahan terjadi dengan kondisi ekspor rumput laut Indonesia seperti harga ekspornya yang cukup rendah karena masih di ekspor dalam bentuk bahan baku yang belum diolah. Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah peningkatan mutu rumput laut ekspor. Peningkatan mutu dan adanya kerjasama dari berbagai pihak dapat menjadi dorongan modal baru bagi peningkatan posisi daya saing ekspor rumput laut di pasar internasional. Selain itu munculnya kebijakan pembebasan Pengenaan PPN yang tertuang dalam PP No.7 tahun 2007 dimana menjadi salah satu kondisi yang diciptakan oleh pemerintah dalam upaya mendorong peningkatan daya saing rumput laut Indonesia. Informasi-informasi tersebut diatas menjadi sebuah pertanyaan mengingat potensi Indonesia yang sangat besar dalam bidang perikanan dan kelautan khususnya komoditas rumput laut. Oleh karena itu, penulis terdorong untuk mengetahui lebih jauh terkait ekspor dan daya saing rumput laut di Indonesia. Secara lebih rinci, beberapa pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah : 1. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap ekspor rumput laut Indonesia?
8
2. Apakah kebijakan pembebasan Pengenaan PPN tahun 2007 berpengaruh signifikan terhadap ekspor rumput laut Indonesia? 3. Bagaimana posisi daya saing ekspor rumput laut Indonesia di pasar ekspor rumput laut dunia? 4. Apakah kebijakan pembebasan Pengenaan PPN tahun 2007 berpengaruh signifikan terhadap daya saing ekspor rumput laut Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor rumput laut Indonesia. 2. Mengetahui pengaruh kebijakan pembebasan Pengenaan PPN tahun 2007 terhadap ekspor rumput laut Indonesia. 3. Mengetahui posisi daya saing ekspor rumput laut Indonesia di pasar ekspor rumput laut dunia. 4. Mengetahui pengaruh kebijakan pembebasan Pengenaan PPN tahun 2007 terhadap daya saing ekspor rumput laut Indonesia. 1.4 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun pembaca dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan, mengembangkan dan mengimplementasikan ilmu yang telah dipelajari. 2. Bagi pembaca, sebagai referensi dan informasi bagi penelitian serupa di masa yang akan datang dan dapat menambah perbendaharaan pustaka di bidang perdagangan internasional. 3. Bagi pemerintah, dapat memberikan sumbangsih pemikiran sehingga dapat memudahkan dalam mengambil alternatif kebijakan.
9